Kamis, 28 Juli 2016




 PERKAWINAN USIA DINI
Oleh :  Drs.  H.  Sudono, M.H.
Hakim Madya Utama Pengadilan Agama Blitar

           Perkawinan usia ideal
           Sampai saat ini pembicaraan masalah usia ideal masih actual , akan tetapi demi kepastian hukum di Indonesia  sudah ada batasan minimal usia perkawinan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita[1] . Batas  umur ideal (kedewasaan) baik di dalam BW maupun dalam UUP no.1/l974 mengalami konsistensi , yaitu sama-sama dewasa  adalah 21 tahun , namun untuk ijin menikah mengalami peningkatan dari semula 18 tahun menjadi 19 tahun untuk laki-laki  dan dari semula 15 tahun menjadi 16 untuk perempuan[2].   Permasalahannya sekarang  umur  berapa  memasuki usia ideal perkawinan ? para pakar maupun organisasi wanita banyak yang mengusulkan UUP no.1 tahun 1974 diamandemen bahkan mulai tahun 2001 s/d sekarang belum terwujud masih dalam pembahasan di DPR entah sampai kapan.       
         Setiap suami istri  dalam berkeluarga harus punya tujuan yaitu  membentuk keluarga /  rumah tangga yang bahagia kekal, sakinah, mawaddah  wa rahmah[3]. Oleh karena itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam perkawinan yaitu :
1.      Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan dengan cara di adakan peminangan ( khitbah) terlebih dahulu.
2.       Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria  sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan (mahram) antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3.      Perkawinan harus   dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu , baik yang menyangkut kedua belah pihak  maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan itu sendiri.
4.      Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga.
5.      Harus kafaah (serasi) terutama seagama.
Dalam konteks prinsi-prinsip tersebut , usia ideal perkawinan menjadi bagian yang signifikan. Dasarnya adalah disamping wahyu, juga aspek konsepsional yang bersifat ijtihadi[4]. Oleh karena itu usia perkawinan dalam pengertian umum akan sangat relevan  dengan hukum nikah yang difahami dari ayat Al-Qur’an surat An Nisa (4) ayat 19, 24.
           Ternyata prinsip-prinsip tersebut telah direspon dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 yaitu : asas sukarela,  partisipasi keluarga, perceraian dipersulit, poligami dibatasi secara ketat, kematangan calon mempelai, memperbaiki derajat kaum wanita[5].
           Secata teoritis bila masing-masing pihak sudah memahami prinsip-prinsip dalam hukum perkawinan, setidak-tidaknya dapat mengurangi resiko keretakan rumah tangga atau bahkan tercipta perkawinan yang harmonis karena perkawinan juga ibadah terlama, kebersamaan terlama dan pendidikan dalam keluarga terlama[6]. Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) , Rasulullah SAW bersabda : Wahai para pemuda, siapa yang telah sanggup (lahir dan batin untuk kawin), maka kawinlah kamu, karena perkawinan itu akan dapat membatasi pandangan (dari maksiat) dan memelihara kehormatan (kemaluan). Dan siapa yang belum sanggup (untuk kawin), maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa baginya adalah obat (dapat mengurangi syahwat)(HR al-Bukhari, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hambal[7].
         Dalam  perkawinan usia ideal itulah ada hal yang harus dipertahankan dan dipelihara meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl)[8]. Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam kitab al Bajuri menuturkan bahwa  agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.  


Perkawinan Usia Dini
          Untuk disebut sebagai usia dini sangatlah relatif, mulai dari mumayyiz 12 tahun (KHI), kurang dari 16 tahun bagi wanita dan kurang dari 19 tahun bagi pria (UUP), termasuk kemampuan untuk bertindak (kecakapan) 18 tahun belum dewasa[9] , bahkan ada lagi  di usia dini 13-15 tahun sudah dapat bekerja , dengan pembatasan /syarat[10] ,  sehingga berbagai disiplin ilmu memandang usia dini benar-benar relatif perlu ijtihad dengan pertimbangan kemaslahatan.
           Masalah perkawinan  usia dini terus actual dibicarakan bahkan menjadi masalah social, dampaknya sangat kompleks mencakup social, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun psikis, kependudukan dan lainnya termasuk perceraian.
Beberapa faktor  penyebab terjadinya perkawinan usia dini antara lain :
1.      Masalah ekonomi lemah dan kemiskinan menyebabkan orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan anaknya dan tidak mampu membiayai sekolah sehingga mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan harapan sudah lepas tanggung jawab untuk membiayai kehidupan anaknya ataupun dengan harapan anaknya bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik.
2.      Terjadi hamil diluar nikah sehingga orang tuanya mendorong anaknya untuk menikah dan  atau dipaksa menikah  di usia dini.
3.      Masalah social-budaya atau adat istiadat yang diyakini masyarakat tertentu. Misalnya keyakinan bahwa tidak boleh menolak pinangan seseorang pada putrinya walaupun masih dibawah usia perkawinan  terkadang dianggap menyepelekan dan menghina menyebabkan orang tua menikahkan putrinya.
4.      Penolakan perkawinan oleh Kantor Urusan Agama
5.      Banyaknya kasus dispensasi kawin di Pengadilan Agama, tahun 2015 di Pengadilan Agama Blitar ada 216 perkara[11], dan sampai April 2016 ada 66 perkara [12] dan dimungkinkan terjadi peningkatan setiap tahunnya.
6.      Yang penting ijab qobul dulu nanti pada waktunya akan mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama, untuk tahun 2015 ada 33 perkara isbat nikah, dan sampai April 2016 ada 24 perkara, akan tetapi tidak semua perkara isbat nikah bermula dari perkawinan usia dini saja bahkan terjadi lonjakan perkara setiap tahunnya.
7.      Banjir vidio Pornografi dan porno aksi.
8.      Di Indonesia masih banyak anak –anak usia dini yang tidak tamat Sekolah Dasar/sederajat atau tidak tamat SMP/MTs. Dan masih banyak factor lainnya.
Dampak negative perkawinan usia dini  diantaranya adalah :
-          Pendidikan anak terputus : perkawinan dini menyebabkan anak putus sekolah hal ini berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan dan akses informasi pada anak.
-          Kemiskinan : dua orang anak yang menikah dini cenderung belum memiliki penghasilan yang cukup atau bahkan belum bekerja. Hal inilah yang menyebabkan pernikahan dini rentan dengan kemiskinan.
-          Kekerasan dalam rumah tangga: dominasi pasangan akibat kondisi psikis yang masih labil menyebabkan emosi sehingga  berdampak pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
-          Kesehatan psikologi anak: ibu yang mengandung di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, kurang sosialisasi dan juga mengalami krisis percaya diri
-          Anak yang dilahirkan : Saat anak yang masih bertumbuh mengalami proses kehamilan, terjadi persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu hamil seringkali sulit naik, dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi, serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Didapatkan bahwa sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 16 tahun adalah prematur. Anak berisiko mengalami perlakuan salah dan atau penelantaran. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan usia dini berisiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orangtua pula di usia dini
-          Kesehatan Reproduksi : kehamilan pada usia kurang dari 16 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Hal ini disebabkan organ reproduksi anak belum berkembang dengan baik dan panggul juga belum siap untuk melahirkan. Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Selain itu, juga meningkatkan risiko kanker service dan penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV.
-          Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat  mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
          Menurut penulis, UU. no. 1 tahun 1974 bahwa usia minimal  16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki sudah waktunya diamandemen karena dulu masyarakat Indonesia masih menargetkan anak untuk bekerja. Anak sudah dianggap matang pada usia 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria karena sudah mengalami pubertas. Akan tetapi, zaman sekarang, standar usia itu tak relevan karena terbukti secara psikologis remaja belum bisa berpikir jernih dan mengambil keputusan bertanggung jawab  apalagi punya hak dan tanggungjawab sebagai suami istri  karena sebuah hukum yang baik harus bersifat progresif, yakni disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan sosial masyarakat.
           Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Surya Chandra Surapaty menjelaskan dari sisi kesehatan. Dia mengatakan, leher rahim remaja perempuan masih sensitif sehingga jika dipaksakan hamil, berisiko menimbulkan kanker leher rahim di kemudian hari. Risiko kematian saat melahirkan juga besar pada usia muda. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan, 48 orang dari 1.000 remaja putri usia 15-19 tahun sudah melahirkan.
           Mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Inang Winarso menambahkan, perkawinan di usia anak memperpanjang usia reproduksi perempuan dan meningkatkan peluang perempuan untuk lebih sering hamil. Jika tidak dikendalikan, jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur Indonesia yang pada 2002-2012 stagnan di 2,6 anak sulit diturunkan. Tingginya jumlah kelahiran mempersulit negara meningkatkan kualitas penduduk.
            Kondisi itu mengancam peluang Indonesia yang saat ini memasuki bonus demografi untuk melompat menjadi negara maju. Syarat meraih bonus demografi itu antara lain penduduk berkualitas dan masuknya perempuan dalam pasar kerja. Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
           Perkawinan usia  dini sedikit  mempunyai sisi positif, saat ini pacaran yang dilakukan muda-mudi tidak mengindahkan norma-norma agama, kebebasan  sudah melampui batas, akibat kebebasan itu kerap terjadi tindakan-tindakan asusila di masyarakat.  Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah   memprihatinkan.
Kesimpulan
1.      Perkawinan usia dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut sekaligus sebagai solusi legal yang salah satunya melalui dispensasi kawin di Pengadilan Agama dan sesuai pertimbangannya Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolaknya.
2.      Negara  melarang pernikahan usia dini adalah dengan berbagai  pertimbangan terutama untuk mencapai kemaslahatan sesuai  kaidah “tasharruful Imami alarra’iyati Manuthun Bilmashlahah   , artinya, kebijakan pemimpin dalam urusan  public harus berorientasi pada kemaslahatan
3.      Pernikahan usia dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ideal ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama.

                   Saran dan Penutup
Setiap perbuatan hukum yang dilakukan menurut hukum, berakibat mendapat perlindungan hukum, khususnya masalah hukum perkawinan di Indonesia. Perkawinan usia dini harus dihindari sejak dini dan jangan berurusan dengan Pengadilan Agama kalau sudah sekali pernah bercerai, maka ada kecenderungan  ingin kedua kali, ketiga kali dan seterusnya.
                          Demikian tulisan yang belum sempurna ini semoga ada manfaatnya dan  terimakasih,    
                                                                                             Blitar, 18 Mei 2016.
                                                                                                                                                                                                                                                         Penulis

                                                               Drs. H. Sudono,  M.H.






[1] Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
[2] Ade Manan Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur, PT.Gramedia Jakarta, 2010, hal.110
[3] Q.S. Arrum ayat 21.
[4] H. Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan , Kencana Mas,        Jakarta, 2005, hal. 46
[5] H. Arso Sosroatmodjo, SH.,  H.A. Wasit Aulawi,SH., Hukum Perkawinan di Indonesi, Bulan Bintang, jakarta,  hal. 35
[6] Blitar, 04 April 2016 , http:/sudonoalqudsi.blogspot.co.id,
[7] Ensiklopedi hukum Islam, PT.Ictiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006, hal. 1330
[8] Syeh Ibrahim, al Bajuri, Juz 2 , Syirkah Al Maarif, Bandung, tt. hal. 90
[9] Pasal 1 angka 5 UU No.39 tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia, pasal 1 ayat (1) UU.No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hanya menyebut usia dewasa minimal 18 tahun.
[10] Pasal 69 UU.No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[11] Laporan tahunan tahun 2015 Pengadilan Agama Blitar
          [12]Laporan Perkara yang diterima Pengadilan Agama Blitar bulan Januari s/d April 2016.  


PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
MENURUT  UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
DAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA[1]
Oleh :  Drs.  H.  Sudono,  M.H.
Hakim Madya Utama Pengadilan Agama Blitar

Pendahuluan
         Melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi setiap warga negara, penegasan tersebut termuat dalam pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan kedua. Dalam pasal tersebut dinyatakan : (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
         Meskipun perkawinan merupakan hak azasi, bukan berarti bahwa  setiap warga negara secara bebas dapat melaksanakan perkawinan , akan tetapi harus mengikuti  peraturan perundangan yang berlaku, yang menurut pasal  2 ayar (1) dan ayat  ( 2 ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan  ; bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu . Ayat  ( 2 )  bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dibuktikan dengan Akta Nikah , Jo. Pasal 5, dan 6 Kompilasi Hukum Islam.

1.      PERKAWINAN HARUS MELALUI  INSTITUSI NEGARA
          Di Indonesia sudah cukup lengkap untuk mengatur masalah perkawinan , pemeluk agama apapun harus tunduk dan patuh ada hukum perkawinan di Indonesia  karena kita hidup di Indonesia maka kita harus  tunduk sepenuhnya , terutama pelaksanaan perkawinan harus melibatkan institusi negara, bagi umat Islam melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi  non Islam melalui Kantor Catatan Sipil.
           Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga  ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[2]. Lebih tegas lagi dinyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan , yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksakannya merupakan ibadah[3] dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga  yang sakinah, mawaddah , dan rahmah. Untuk mencapai sah dan tujuan perkawinan  tersebut harus seagama , yaitu seorang pria yang beragama Islam menikahi seorang wanita yang beragama Islam dan kalau terjadi saat akan dilaksanakan perkawinan masih beda agama maka perkawinanya tidak sah. Undang-undang menghendaki pencatatan perkawinan karenanya secara hukum ketentuan tersebut berlaku mengikat bagi umat Islam yang akan melangsungkan perkawinan harus dicatat di KUA  dan selain Islam yang akan melangsungkan perkawinan harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
           Pencatatan perkawinan disamping untuk menjamin ketertiban masyarakat juga mempunyai kekuatan hukum , artinya semua yang timbul akibat perkawinan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebaliknya perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan institusi negara (pegawai pencatat nikah ) tidak mempunyai kekuatan hukum[4] dan dianggap tidak pernah ada.

2.      SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN
Syarat –syarat perkawinan yaitu :
-          Harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai[5].
-          Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya , atau apabila tidak mau memberi izin , dapat mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Agama[6].
-          Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun[7].
-          Penyimpangan terhadap ayat (1) tersebut , orang tuanya dapat meminta dispensas kawin kepada Pengadilan Agama[8].
Rukun perkawinan :
-          a. Calon suami, b. calon istri , c. Wali nikah,  d. Dua orang saksi, e. Iijab dan kabul[9].

3.      PERKAWINAN DILUAR ISTITUSI NEGARA
           Perkawinan yang dilaksanakan diluar institusi negara tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang kita temui perkawinan yang dilaksanakan  secara sembunyi ( sirri, kontrak, bawah tangan dan berbagai macam istilah lainnya )  artinya perkawinan tersebut bukan menambah tentram dan  bahagia akan tetapi banyak menimbulkan masalah baru karena tidak melibatkan institusi negara (KUA) atau Kantor Catatan Sipil sehingga perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum . Dalam perkembangannya tentu rumah tangga tersebut akan menghasilkan keturunan bahkan tidak sedikit yang dapat menghimpun harta benda. Oleh karena perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum  maka anak yang lahir dari perkawinan mereka juga tidak dapat dibuktikan secara hukum bahwa anak tersebut adalah anak dari hasil perkawinann pasangan suami istri yang sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan yang dilaksanakan diluar pengawasan KUA atau Kantor Catatan Sipil juga tidak dapat dibuktikan  secara hukum kalau harta tersebut adalah harta bersama yang dilindungi oleh hukum.  
           Karena itu sepanjang masih  ada oknum yang mau menikahkan calon mempelai laki dan perempuan yang tidak melibatkan institusi negara maka jangan harapkan rumah tangga tenteram akan tetapi malah berantakan karena banyak korban dari orang yang tidak bertanggungjawab.  

4.      SOLUSI MEMINIMALKAN NIKAH  BAWAH TANGAN
          Untuk meminimalkan dan mengakhiri kenyataan bahwa perkawinan yang telah berlangsung secara illegal telah menghasilkan anak dan  harta benda, maka UU No. 1/1974  Jo. PP. No. 9/1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menawarkan solusi  agar perkawinan yang telah  mempunyai anak dan harta benda dapat diakui secara legal dengan cara mengajukan perkara “  Pengesahan Pernikahan/Itsbat Nikah” ke Pengadilan Agama, dapat dilakukan  oleh kedua suami istri atau salah satu dari suami istri , anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan  dengan perkawinan tersebut ke Pengadilan Agama dalam wilayah hukum pemohon bertempat tinggal , dan permohonan itsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit[10].  Adapun alasan-alasan itsbat nikah adalah sebagai berikut :
a.      Adanya perkawinan dalan rangka penyelesaian perceraian
b.      Hilangnya akta nikah
c.       Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d.     Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang nomor 1/1974.
e.      Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang perkawinan nomor 1/1974[11].
Oleh karena telah dibuka kran melalui itsbat nikah agar perkawinan mempunyai legal standing  akan tetapi yang namanya itsbat nikah adalah sebuah rekonstruksi dari peristwa yang pernah terjadi maka diperlukan pembuktian yang hati-hati, teliti, cermat dan terutama bagi mereka yang sudah lama meninggal dunia dan saks-saksi yang se-usia mereka tidak  ada lagi.

5.      PERCERAIAN  MENURUT PERATURAN PERUNDANGAN
         Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa ,  Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam , Pengadilan Umum bagi lainnya[12]. Dengan demikian khusus masalah perceraian  telah diatur secara lex spesialis dalam peraturan perundang-undangan antara lain UU No.7/1989 Jo. UU No. 3/2006 Jo. UU No. 50 /2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7/l989 tentang Peradian Agama , PP No.9/l975 tentang pelaksanaan UU No.1/1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
         Di lingkungan peradilan agama dikenal dengan istilah ‘cerai gugat dan cerai talak”. Cerai talak yaitu inisiatif yang mengajukan perkara dari pihak suami disebut Pemohon, sedangkan inisiatif yang mengajukan perkara dari pihak istri disebut Penggugat. Baik dari pihak suami maupun dari pihak istri mempunyai hak yang sama untuk bertindak  di depan hukum. Karena itu kalau suami atau istri yang akan mengajukan permohonan/gugatan cerai ke Pengadilan Agama prosedurnya sebagai berikut :
1.      Seorang suami yang beragama Islam sebagai pemohon, jika akan menceraikan istrinya , permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi  tempat kediaman istri (termohon ).
2.      Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
3.      Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama  yang daerah hukumnya  meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan, atau kepada pengadilan Agama Jakarta Pusat.
4.      Seorang istri yang beragama Islam  sebagai penggugat , mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama  yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri (penggugat).
5.      Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri , gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan Agama yang  daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
6.      Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri , maka gugatan diajukan kepada Pengadilan   yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat[13].
           Untuk alasan-alasan perceraian dapat dibaca dalam pasal 19  PP No. 9/1975 Jo. Pasal 116 KHI, penjelasan pasal 49 ayat (2) UU No. 71989 tentang peradilan  Agama dan juga  perlu di ketahui  bahwa perkara yang masuk ke pengadilan Agama tersebut setelah melalui proses persidangan ada yang diterima dan dikabulkan, ditolak, digugurkan, dicoret, dan ada pula yang dinyatakan tidak diterima (Niet Onvankelijke verklaard (NO).
                      Untuk lebih mengetahui kondisi riil masyarakat yang menjadi kompensi relative Pengadilan Agama Blitar  berdasarkan laporan tahunan 2015 yaitu :  sisa  perkara  tahun 2014 berjumlah  1253 perkara  , ditambah  perkara  masuk  tahun 2015 berjumlah 4864 jadi  jumlah keseluruhan 6117, lalu diputus sebanyak 4991 perkara,  sehingga sisa belum putus tahun 2015 sejumlah 1126 perkara. Sedangkan urutan volume perkaranya : Cerai gugat 2940 perkara, Cerai talak 1393 perkara,  Dispensasi kawin 216 perkara,  Perubahan biodata 149 perkara,  Wali adhol 38 perkara,  Itsbat nikah 33 perkara,  Asal usul anak 10 perkara, Pengangkatan anak 9 perkara, Harta bersama  7 perkara,  Penguasaan anak 5 perkara[14], dan untuk perkara lainnya masih taraf wajar. Kemudian untuk Januari  tahun 2016 sampai akhir bulan Juli 2016 ini perkara masuk  sudah 3100 perkara, makanya untuk Pengadilan Agama Blitar masuk 5 besar di wilayah  Pengadilan Tinggi Agama Surabaya.

6        TERJADINYA PERCERAIAN
          Dalam perkara cerai talak yang diajukan oleh suami dan sudah diputus oleh Pengadilan Agama dengan telah diberi izin untuk menjatuhkan talak satu roj’i kepada termohon ( istrinya ) di depan persidangan Pengadilan Agama dan putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap  maka pemohon akan dipanggil lagi untuk sidang ikrar talak dan sejak pemohon mengikrarkan talak terhadap istrinya itulah berlaku mulai TERJADINYA PERCERAIAN bagi suami.
         Sedangkan untuk perkara cerai gugat yang diajukan oleh pihak istri,  maka untuk mengetahui terjadinya perceraian beserta akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap[15]

          7   PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA
           Dalam penjelasan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7/l989 tentag peradilan agama  yang  dalam bidang perkawinan antara lain angka 20 terdapat jenis permohonan (voluntair) “Penetapan asal usul anak dan “Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam” menjadi kewenangan baru bagi Pengadilan Agama. Selain masalah voluntair juga kewenangan baru yaitu sengketa zakat, infaq  shodakoh dan bidang ekonomi syari’ah sampai 11 item.
         Khusus pengangkatan anak dalam syari’at Islam dibolehkan bahkan dianjurkan sepanjang motivasi pengangkatan anak tersebut untuk kepentingan dan kesejahteraan anak serta tidak bertentangan  dengan hukum Islam. Permohonan pengangkatan anak oleh warga negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam  terhadap anak WNI yang beragama Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama,  dengan prosedur sebagai berikut :
1.      Diajukan ke Pengadilan Agama dalam wilayah hukum dimana anak tersebut bertempat tinggal (berada).
2.      Prosedur permohonan pemeriksaan pengangkatan anak harus mempedomani Surat Edaran  Mahkamah Agung RI. No.2/1979, No. 6/1983 dan No. 3/2005.
3.      Permohonan tersebut diatas dapat dikabulkan jika terbukti memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam pasal 39 UU No.23 /2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 5 ayat (2) UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI , SEMA No. 2/1979,  No. 6 /2003  dan No. 3/2005.
4.      Salinan penetapan pengangkatan anak tersebut dikirim kepada Kementerian Sosial, Kemenerian Kehakiman cq Dirjen Imigrasi , Kementerian Luar Negeri , Kementerian Kesehatan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI dan Panitera Mahkamah Agung[16].
5.      Mempedomani Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110/HUK/2009 tanggal 19 Oktober 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak . 

8   PRINSIP HUKUM ANAK ANGKAT
         Berdasarkan penetapan Pengadilan Agama status anak angkat, orang tua angkat dan orang tua kandung terikat dan mempunyai hubungan hukum sebagai berikut :
a.      Nasab anak angkat tidak putus dengan nasab  orang tua kandung dan saudara-saudara kandungnya.
b.      Yang beralih dari anak angkat  terhadap orang tua angkatnya hanyalah tanggungjawab kewajiban pemeliharaan, nafkah, biaya pendidikan dan lainya.
c.       Anak angkat tetap dipanggil dengan BIN/BINTI  orang tua kandungnya.
d.     Orang tua angkat hanya menjadi wali terbatas terhadap diri , harta, tindakan hukum dan tidak termasuk wali nikah  jika anak angkat ini perempuan.
e.      Anak angkat boleh dinikahkan dengan orang tua angkatnya, juga boleh dengan anak kandung atau anak angkat lain dari orang tua angkatnya.
f.        Anak angkat tidak boleh menjadi ahli waris orang tua angkatnya, tetapi anak angkat memeroleh wasiat wajibah dari orang tua angkatnya.
           9.  KESIMPULAN
                a.  Perkawinan yang tanpa melalui institusi negara maka perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum , tidak ada kepastian hukum, tidak mendapat perlindungan hukum, sekaligus tidak mendapat bukti autentik dan perkawinannya dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu perceraiannya tidak berakibat hukum apa-apa.
                b. Perkawinan yang melibatkan institusi negara akan berakibat hukum yaitu  menimbulkan hak dan kewajiban , mendapatkan perlindungan hukum , ada kepastian hukum sekaligus mendapatkan bukti autentik berupa akta nikah dari pejabat yang berwenang. Oleh karena itu perceraiannya harus melalui Pengadilan Agama bagi  masyarakat muslim dan ke Pengadilan Negeri bagi non muslim.  

           Penutup
            Demikian tulisan tentang Perkawinan dan Perceraian  Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Pengangkatan  Anak di Pengagdilan Agama ini,  semoga ada manfaatnya, terimakasih dan mohon maaf bila ada kesalahan.


                                                                                             Blitar, 23 Juli 2016
                                                                                                      Penulis

                                                                                             Drs. H.  Sudono,  M.H.






[1] Disampaikan dalam acara Sosialisasi Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) oleh Dinas Sosial Kabupaten Blitar tanggal 28 Juli 2016  di Balai Desa Jatinom Kecamatan Kanigoro Blitar.
[2] Pasal 1 UUP No.1/1974
[3] Pasal 2 Kompillasi Hukum Islam.
[4] Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 ,  Jo. Pasal 4, 5, dan 6 KHI
[5] Pasal 6 ayat (1) UU No.1/1974.
[6] Pasal 6 ayat (2),(3), (4) dan (5) UU No. 1/1974
[7] Pasal  7 ayat (1) UU No.1/174.
[8] Pasal  7 ayat (2) UU No. 1/1974.
[9] Pasal 14 KHI
[10] Mahkamah Agung RI. Dirjenbapera, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, Jakarta, 2013, hal. 144.
[11] Pasal 7 ayat (3)  KHI
[12] Pasal 63  ayat (1) UU No.1/1974 
[13] Pasal 66 dan 73 UU No. 50/2009 tentang perubahan kedua UU No.7/1989 tentang                               Peradilan Agama.
[14] Sumber Laporan Tahunan Pengadilan Agama Blitar Tahun 2015
[15] Pasal 81 ayat (2) UU No. 71989 tentang Peradilan Agama.
[16] Mahkamah Agung RI. Dirjenbapera, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, Jakarta, 2013, hal. 159.