Rabu, 02 Juni 2021

SAHNYA PERKAWINAN DI INDONESIA

 


SAHNYA PERKAWINAN DI INDONESIA

Oleh: Ds. H. Sudono, M.H[1].

 

          Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[2].

 

Fiqih Sunnah Juz II, hal. 37 mengungkapkan :

 

شروط صحة الزواج هى الشروط التى تتوقف عليها صحته بحيث اذا وجدت يعتبر عقد الزواج موجودا شرعا وتثبت له جميع الأحكام والحقوق المترتبة عليه -

 

Artinya: Syarat untuk sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang menentukan sahnya apabia terpenuhi  syarat tersebut maka perkawinan dianggap ada secara syar’i dan mempunyai akibat hukum dan melahirkan berbagai hak bagi pelakunya[3].

 

Pasal 5

(1)    Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

     Pertanyaannya kenapa perkawinan menjadi sah harus dicatatkan ? dan logikanya kalau ada perkawinan tanpa dicatatkan berarti perkawinan tersebut tidak sah, karenanya Penulis berpendapat sebagai berikut:

a.     Berdasarkan QS.al-Baqarah ayat 282 sebagai berkut :

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar (QS.al-Baqarah ayat 282).

 

b.      Pernikahan di masa Rasulullah SAW.

Orang yang bertemu dan bersahabat dengan Beliau disebut masa sahabat dan orang telah taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya  mereka dajamin kejujurannya, para sahabat jika mempunyai masalah dapat langsung menghadap dan bertanya kepada Beliau sehingga urusan dapat selesai.

Selanjutnya di masa sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, mereka tingkat kehebatan  dan kejujurannya juga masih bisa diandalkan, mereka saling menghargai pendapat mereka masih saling percaya dan tidak memerlukan bukti-bukti tertulis layaknya masa sekarang ini.

Pada tingkatan berikutnya adalah para Ulama karena mereka adalah warasatul anbiya’ sehingga lahirlah ulama ahli fiqih, ahli tafsir, ahli hadis, dari berbagai negara dengan membawa ciri khasnya masing-masing sesuai keahliannya dan mereka berkarya besar dalam bidang fiqih, tafsir , hadis dan sebagainya, orang-orang tersebut hebat dan masih dapat diandalkan tingkat kejujurannya. Karena itu terutama kitab-kitab fiqih banyak menjelaskan dan menerangkan bahwa untuk sahnya perkawinan mereka sepakat harus ada calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah, ijab qabul, dan dua orang  saksi, dan itu sudah cukup dan  sah,  itu saja kan ?,  apakah pendapat yang demikian  dapat dipertahankan sampai sekarang ?,  apakah mereka pelaku-pelaku pernikahan bawah tangan dapat diandalkan tingkat kejujurannya ?,  apakah hanya menuruti nafsu belaka dengan membenarkan pendapat dalam kitab-kitab kuning masih dipertahankan dengan resiko banyak kemadorotannya bagi wanita / perempuan dari pada maslahahnya ?.

 

c.      Wajib Mengumumkan Pernikahan

    Hadis dari Ahmad bin Abdullah bin Zubair –radhiyallahu’anha-, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,   أعلنوا النكاح  “Umumkanlah pernikahan…”
Perintah pada hadis ini, oleh Mayoritas ulama (jumhur) dipahami wajib. Bahkan bila kita renungi, mengumumkan pernikahan masuk dalam syarat sah pernikahan. Karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,     لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل “Tidaklah sah pernikahan tanpa izin wali (perempuan), dan kehadiran dua saksi yang adil.” (HR. Baihaqi) Hadirnya dua saksi, diantara tujuan pokoknya adalah, agar kabar pernikahan tersebar. Oleh karenanya, tidak boleh bagi pengantin, walinya atau siapapun, melarang para saksi mengabarkan pernikahan.

    Syekh Muhammad bin Mukhtar As-Syinqiti –hafidzahullah– (anggota ulama senior Kerajaan Saudi Arabia, pengajar di masjid Nabawi)[4] menegaskan,

       لم يجز أن يستكتم الشهود الخبر، فلا يجوز لأحد أن يقول لشهود النكاح: لا تخبروا أحداً

Artinya : Para saksi tidak boleh menyembunyikan kabar pernikahan. Maka tidak boleh seorangpun berpesan kepada para saksi, “Tolong jangan kabarkan siapa-siapa.” Bahkan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, jika dilaporkan ada pernikahan dilakukan sembunyi-sembunyi, beliau akan jatuhkan hukuman cambuk untuk wali dan para saksi. Karena seperti itu menyalahi syariat Allah yang memerintahkan mengumumkan nikah.

    Berdasarkan beberapa pendapat para sahabat Nabi tersebut penulis berpendapat, mengumumkan nikah hukumnya wajib, karena itu nikah yang dirahasiakan (nikah sirri, nikah bawah tangan, secara sembunyi-sembunyi atau biar tidak diketahui oleh istri pertamanya (poligami liar )  tidak sah. Sedangkan semakin menyebarkan kabar pernikahan lebih luas, hukumnya sunnah. Hal ini bertujuan agar: [1] Menjaga kesucian nasab, [2] Membedakan antara pernikahan dengan perzinahan, [3] Menjaga hak-hak pengantin,  [4] Tidak muncul prasangka buruk di tengah masyarakat, disebabkan seorang sudah serumah dengan pasangannya dalam ikatan pernikahan, disebabkan mereka tidak mengumumkan pernikahannya kepada masyarakat.

                                Lebih lanjut, Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan mengadakan acara walimah. Agar orang-orang banyak berkumpul dan mengetahui kabar pernikahan. Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda , أولم ولو بشاةLaksanakanlah walimah walau dengan seekor kambing. (HR. Bukhari).

     Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan :

       الواجب إعلان النكاح، حتى يعلم الناس أن فلان تزوج، وفلانة تزوجت؛ لأن عدم الإعلان يجعله كالزنا،

Artinya: Mengumumkan nikah hukumnya wajib. Agar masyarakat tahu bahwa si fulan sudah menikah. Karena menyembunyikan pernikahan, menjadikannya seperti zina[5].

Ibnu Qudamah mengatakan[6],

فإن عقده بولي وشاهدين فأسروه أو تواصوا بكتمانه كره ذلك وصح النكاح وبه يقول أبو حنيفة والشافعي وابن المنذر، وممن كره نكاح السر عمرـ رضي الله عنه ـ وعروة وعبيد الله بن عبد الله بن عتبة، والشعبي ونافع ـ مولى ابن عمرـ

Artinya: Jika ada orang melakukan akad nikah, ada wali dan dua saksi, lalu mereka merahasiakannya atau sepakat untuk merahasiakannya, maka hukumnya makruh, meskipun nikahnya sah. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ibnul Mundzir. Diantara sahabat yang membenci nikah siri adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, Urwah, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, as-Sya’bi, dan Nafi. (al-Mughi, 7/428)

                            Setelah Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat di atas, beliau mengatakan:

وقال أبو بكرعبد العزيز النكاح باطل، لأن أحمد قال: إذا تزوج بولي

 وشاهدين: لا، حتى يعلنه، وهذا مذهب مالك

Artinya: Sementara Abu Bakr Abdul Aziz, mengatakan, nikahnya batal. Ada riwayat dari Imam Ahmad, beliau ditanya, “Jika orang menikah, apakah cukup dengan wali dan dua saksi?” jawab beliau, “Belum cukup, sampai diumumkan.” Dan ini pendapat Imam Malik. (al-Mughi, 7/428).

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan[7],

وإن اتفق الجميع على كتمه فهو باطل عند بعض أهل العلم كالمالكية ومن وافقهم

Artinya: Jika semua yang terlibat dalam akad nikah sepakat untuk merahasiakan nikah, maka statusnya batal menurut sebagian ulama, seperti Malikiyah dan yang sepemahaman dengan mereka. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 127689).

Berdasarkan pendapat kedua ulama  tafsir tersebut diatas penuliis dapat menyimpulkan bahwa untuk urusan utang-piutang sekecil apapun perlu diharuskan ada bukti pencatatan (nota-kwitansi-surat –surat perjanjian-SIM-STNK-BPKB-akta jual beli- dan lain sebagainya) apalagi sebuah peristiwa hukum pernikahan sebagai bentuk perjanjian yang sangat kuat “mitsaqan ghaliidzan”, karenanya pencatatan perkawinan oleh pejabat pembuat AKTA NIKAH hukumnya menjadi wajib sebagai unsur sahnya perkawinan di Indonesia.

Bahwa untuk menjelaskan tentang keharusan pencatatan perkawinan dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan seagai berikut:

 

البينة فى الشرعى أعم من الشهادة فكل ما يتبين به الحق كالقراءن اليقينة  يسمى بينة

 

Artinya: Pengertian bayyinah dalam pandangan syara’ lebih umum dari kesaksian, karena sesuatu yang dapat mengungkap kebenaran seperti qarinah yang menyakinkan itu adalah bayyinah[8] (Tafsir al-Maraghi, Juz III, hal. 74).

 

Qaidah Fiqih juga meyatakan :

 

ما لايتم الواجب الا به فهو واجب

 

Artinya: Suatu kewajiban tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib[9].

            Bahwa pernikahan adalah sesuatu perbuatan hukum yang sakral, hidmad, menimbukan hak  dan kewajiban bagi kedua pihak (suami istri), karena  ini merupakan hukum syariat kullî. Untuk membeli sesuatu yang nilainya kecil saja pakai tanda bukti berupa kwitannsi, harus ada STNK, BPKB, Sertifikat tanah dan lain sebagainya, apalagi perbuatan hukum berupa transaksi wali nikah dengan calon mempelai laki-laki, ijab dan qabul, dua orang saksi laki-laki dan dicatat dalam bentuk bukti autentik berupa AKTA NIKAH yang telah dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang ( di KUA bagi yang beragama slam, dan Kantor Penncatatan Sipil bagi yang beragama non muslim) tentu peristiwa pernikahan yang demikian mendapat perlindungan hukum dari negara berupa AKTA NIKAH. Berdasarkan kaidah diatas maka untuk perkawinan yang dilangsungkan tanpa melibatkan pencatatannya maka peristiwa hukum tersebut dianggap tidak pernah ada atau boleh  disebut sebagai perkawinan yang tidak sah. Dengan demikian kaidah  Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib   disebut sebagai hukum syariat karena kaidah ini digali dari dalil-dalil syari’at, baik al-Quran maupun as-Sunnah, melalui dalâlah iltizâm yang terdapat di dalamnya.

 

Dalam kitab al-Ahwal al-Syakhsiyah, hal. 59

 

Dan sungguh Rasulllah SAW menyatakan :  umumkan adanya pernikahan walaupun dengan manabuh bedug.

           

وقال ابو بكر الصد يق لا يجوز نكاح السر حتى يعلن ويشهد عليه

 

Artinya : Abu Bakar as-Shiddiq berkata : nikah sirri itu tidak dibenarkan, semua pernikahan harus diumumkan dan harus dipersaksikan[10].

 

(2)    Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

 

al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz VIII, hal. 128:

 

ومن القا عدة الشرعية وهى أن الولي الأمر ان يأمر بالمباح بما يراه من المصلحة العامة ومن أمر به وجبت طا عته -

Artinya : sebagian dari kaidah syar’iyah bahwa pemerintah  berwenang memerintahkan  sesuatu  yang mubah (hukum asalnya) yang menurut pertimbangannya mengandung kemaslahatan umum, dan dengan diperintahkannya (rakyat) wajib melaksanakannya[11].

 

Yang dimaksud nikah sirri dalam tulisan ini  menurut penulis adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita yang seharusnya dilakukan menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA. Selain seharusnya dilakukan menurut ketentuan hukum Islam, juga seharusnya perkawinan tersebut dicatatkan, agar keberadaannya dilindungi oleh hukum negara dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 1 ahun 1974 tentang perkawinan.

 

Bila ditelisik, terdapat beberapa faktor yang mendasari masyarakat melakukan pernikahan sirri yaitu faktor ekonomi, belum cukup umur, ikatan dinas/kerja atau sekolah, dari pada hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas, kurangnya pemahaman dan kesadaran pentingnya pencatatan pernikahan, faktor-faktor sosial juga karena ketatnya aturan poligami.

 

Dari seluruh faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri ada faktor lain yang berfungsi sebagai argumentasi teologis, yaitu adanya pemahaman sebagian masyarakat bahwa persoalan pernikahan adalah persoalan pengamalan ajaran agama, disertai anggapan yang penting dalam pernikahan yang dilangsungkan, syarat dan rukunnya terpenuhi. Pembaca mesti faham di kalangan sebagian umat Islam Indonesia sangat kuat tradisi pemikiran fiqh klasik (fiqh oriented). Tak sedikit masyarkat memandang fiqh identik dengan hukum Islam dan hukum Islam identik dengan aturan Allah . Dengan cara pandang yang demikian, maka kitab-kitab fiqh dianggap sebagai kumpulan-kumpulan hukum Allah. Padahal kitab-kitab fiqh adalah sebagai produk pemikiran keagamaan[12].

Pandangan diatas membawa implikasi pemahaman, bahwa selain dari bentuk fiqh dianggap tidak inklusif merefleksikan ajaran Islam seperti bentuk undang-undang (qanun), putusan peradilan Islam atau kompilasi, maka konsekwensinya adalah jika teks-teks ajaran Islam dituangkan tidak dalam bentuk fiqh, tetapi berbentuk pasal-pasal perundang-undangan, maka cenderung dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari agama. Dalam konteks seperti pencatatan perkawinan yang diformulasikan dalam bentuk pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dipandang bukanlah bagian agama, efeknya masyarakat berpikir bahwa pernikahan sirri sudah sah menurut agama dan pencatatan hanya masalah administrasi saja. Pemahaman agama seperti ini telah menjadi “stempel” akan kebenaran dan keabsahan nikah sirri.

 

Padahal sesungguhnya tujuan dituntutnkannya hukum Islam ( maqoshidut tasyri’) adalah untuk ketertiban dan keharmonisan. Setidaknya di era ini, pencatatan perkawinan dapat menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan baik menurut hukum, kepercayaannya dan menurut Undang-Undang. Pencatatan perkawinan adalah sebagai bukti hukum, dimana suatu perkawinan dianggap ada dan diakui sebagai suatu perkawinan, dengan terbitnya akta nikah. Dengan pencatatan perkawinan suami isteri mendapatkan perlindungan hukum, memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan.

 

Sebaliknya pernikahan sirri adalah perkawinan yang tidak memiliki kekuatan hukum yang berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik oleh instansi yang berwenang bagi pelakunya. Mereka tidak memperoleh perlindungan dan pelayanan hukum oleh instansi yang berwenang sebagaimana mestinya. Perkawinan mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan, bagi anak-anak mereka tidak dapat memperoleh akte kelahiran dan seterusnya. Dengan kata lain, pernikahan sirri banyak membawa madharat dalam kehidupan bermasyarakat. Sisi negative ini banyak dialami wanita (istri) dan anak-anak tatkala suami tidak bertanggung jawab. Sedangkan mencatatkan perkawinan lebih banyak mendatangkan manfaat bagi masyarakat Pencatatan perkawinan mengandung pengakuan, perlindungan, ketertiban, kepastian dan kemanfaatan hukum.

 

Pasal 6

(1)   Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

 

ولا تترتب أحكامها ولا يظللها بحمايته بمجرالتراضى عليها بل يشترط  شروطا أخرى لترتيب الأحكام وحمايتها وتنفيذها كالرسمية فى بعض الهبات -

Artinya: Perkawinan tidak berakibat hukum dan tidak dilindungi apabila dlaksanakan hanya semata-mata suka sama suka,  untuk itu disyaratkan persyaratan lainnya seperti disyaratkannya pencatatan perkawinan tersebut, sebagaimana berlaku dalam hibah ada akta hibahnya[13] (al-Ahwal al-Syakhsiyah, hal. 57).

 

(2)   Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

 

لا يجوز سماع الدعوى من احد الزوجين او غيره الا اذا كانت ثابتة

 بأورق رسمية -

 

Artinya : Gugatan yang terkait perkawinan suami istri atau dari yang lainnya tidak diterima kecuali apabila ada (menunjukkan) akta nikahnya[14]( Fiqih Sunnah, Juz II, hal. 59).

 

Pasal 7

(1)   Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

 

           Kaidah fiqhiyyah menyatakan:

 

البينة حجة متعدية والاقرار حجة قاصرة

 

Artinya: Bayyinah adalah hujjah yang prospektif sedangkan ikrar adalah hujjah yang terbatas.

الكتاب كالخطاب

Artinya : Tulisan itu sama dengan ucapan (kaidah Fiqhiyyah).

Demikian,  tulisan ini semoga banyak manfaatnya amiin, terimakasih.


                                                                                                Blitar, 02 Juni 2021



[1] Adalah Hakim Utama Muda Pengadilan Agama Blitar Kelas 1 A

[2] Pasal 4 KHI

[3]Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz 2, Darul Fikr, Baerut Libanon , 1992 M / 1412 H, Hal. 37.

[4] https://konsultasisyariah.com/35285-wajib-mengumumkan-pernikahan.html

[5] https://binbaz.org.sa/fatwas/12969/ حكم-اعلان-النكاح

[6] Read more https://konsultasisyariah.com/27697-tidak-boleh-merahasiakan-nikah.html

[7]Read more https://konsultasisyariah.com/27697-tidak-boleh-merahasiakan-nikah.html

[8]Kanwil Kemenag Propinsi Jawa Timur, Komilasi Hukum Islam (Buku 1  Hukum Perkawiinan) disertai dalil-dalil Nash  dan Kitab Fiqih, 2010, hal. 9.

[9] Kaidah diatas juga dibahas panjang lebar oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,  Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah, Juz  III hal. 36-38.ر

[10] Muhammad Abu Zahroh, al-Ahwal as-Syahsiyah, Darl Fikr Al-Arabi, 13 Shafar 1377/8 Agustus 1957, hal. 59.

[11] Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu,  Juz 8, Dar-alfikr 2008, hal. 128

[12] https://www.pa-jakartabarat.go.id/informasi-pengadilan/276-nikah-sirri-fenomena-gunung-es

[13] Muhammad Abu Zahroh, al-Ahwal as-Syahsiyah, Darl Fikr AlArabi, 13 Shafar 1377/8 Agustus 1957, hal.57.

[14] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz 2, Darul Fikr, Baerut Libanon , 1992 M / 1412 H, Hal. 59.