Senin, 25 Februari 2019

GUNAKAN QARINAH DALAM MEMUTUS PERKARA SEDERHANA KALAU PERLU CONTRA EGEM





GUNAKAN QARINAH
DALAM MEMUTUS  PERKARA SEDERHANA
KALAU PERLU CONTRA LEGEM

Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1].


Kata Kunci : Qarinah,  Perkara Sederhana dan Contra Legem.


Pendahuluan

       Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia berdasarkan Undang-undang RI Nomor 7 tahun 1989  tentang peradilan agama adalah dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi[2]   karenanya semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara  yang diatur dengan undang-undang, termasuk Pengadilan Agama Blitar berwenang memeriksa dan mengadili perkara  tertentu   yang  berhubungan dengan permasalahan  hukum keluarga,  sehingga Pengadilan Agama mempunyai tugas pokok dan paling utama yaitu mendamaikan para pihak .
         Pasal 49 UU Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:  a. perkawinan,  b. waris,  c. wasiat;,  d. hibah,  e. wakaf,  f. zakat,  g. infaq,  h. shadaqah; dan   i. ekonomi syari'ah. Selanjutnya  yang dimaksud dengan bidang  "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah.
      
         Semua perkara yang sudah masuk ke Pengadilan Agama  menjadi masalah hukum yang aktual dan membutuhkan penyelesaian yang arif, bukannya sekedar memeriksa, memutus  begitu saja,  akan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelesaikannya (eksekusi ) sampai tuntas. Sahabat Umar bin Khothob RA.dalam suratnya kepada Abu Musa Al Asy’ari pernah menyatakan bahwa: Suatu kebenaran ( putusan hakim ) yang tidak dilaksanakan  tidak ada gunanya. Ini berarti bahwa puncak serta inti dari proses berperkara adalah pelaksanaan putusan hakim.
        Salah satu bidang perkawinan adalah menyelesaikan perkara cerai gugat dan cerai talak dengan se-sederhana mungkin, secepat mungkin sekaligus biaya ringan. Karena itulah penulis tertarik untuk menulis tentang Qarinah dengan judul “Gunakan Qarinah Dalam Memutus Perkara Sederhana Kalau Perlu Contra Legem” , dengan harapan ikut mengurai melonjaknya perkara yang diterima Pengadilan Agama terutama perceraian, termasuk mensiasati penyelesaian perkara dengan mudah, cepat,  sehingga setiap laporan tahunan bisa turun  drastis.

Permasalahan
1.     Apa yang menjadi kriteria “perkara sederhana” sehingga dalam memutus menggunakan Qarinah dan kalua perlu contra legem.
2.     Sejauh mana dalam memutus “perkara sederhana” menggunakan Qarinah masih diperlukan pembuktian lainnya.

I.         TENTANG  QARINAH
Qarinah secara bahasa berarti suatu tanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang  dicari dan di inginkan. Adapun secara istilah adalah setiap petunjuk yang tampak yang menyertai sesuatu yang tersembunyi yang  bisa menunjukkan keberadaan sesuatu yang  tersembunyi tersebut. Dari definisi ini, dapat diambil kesimpulan bahwa suatu qarinah harus memenuhi dua unsur. Pertama, ada sesuatu yang tampak dan biasa dikenal yang secara dasar layak dijadikan sebagai sandaran. Kedua, adanya korelasi yang relevan antara sesuatu yang tampak dan sesuatu yang  tersembunyi[3]. Dengan demikian qarinah dapat diartikan juga sebagai indikasi yaitu tanda-tanda yang menarik perhatian, petunjuk[4]. Pengertian yang hampir sama juga datang dari Syeh Sayyid Sabiq,  bahwa Qarinah  adalah tanda atau petunjuk  yang mencapai batas keyakinan[5]. Sehingga menurutnya Qarinah yang demikian ini diambil oleh seorang hakim bila dia merasa pasti bahwa kenyataan itu cukup meyakinkan[6].
 Kalau menurut M. Quraish Shihab[7], Qarana mengandung makna kebersamaan dua pihak atau lebih dalam  satu hal yang sama. Sesuatu yang mendampingi pihak lain, maka dia adalah Qarin dari pihak itu, dan pihak lainpun menjadi Qarin baginya. Penggunaan kata ini mengesankan bahwa teman penghuni surga yang di bicarakan di sini adalah teman yang  tadinya begitu akrab dengannya. Namun dia mengorbankan persahabatan itu setelah jalan keduanya berbeda. Yang ini mukmin dan yang itu enggan percaya. Sehingga Qarin adalah sesuatu yang selalu menyertai seseorang,  ia bisa berupa manusia, setan, jin atau bahkan malaikat. Qarin yang berupa setan akan menjerumuskan manusia, bahkan semua Qarin akan mempengaruhi manusia, baik atau buruk , karena itu Nabi berpesan agar pandai-pandai memilih teman[8]. Al-Quran banyak menyebut kata Qariin, Quruun lebih dari 15 kali, antara lain QS. As-Shaffat[9] ayat 51, Az-Zuhruf ayat 36 dan 37 dan ayat-ayat lainnya yang membahas masalah kebersamaan, pertemanan dua pihak yang dapat dijadikan Qarinah oleh hakim dalam menyelesaikan persoalan hukum .
Allah SWT meletakkan berbagai tanda, alamat, dan indikasi untuk suatu hak yang wujud dan legal, yang tanda-tanda dan indi­kasi-indikasi itu menunjukkan keberadaan hak tersebut serta mengungkapnya ke permukaan. Allah SWT meletakkan berbagai tanda, alamat, dan indikasi- indikasi yang menunjukkan keimanan dan kemunafikan. Rasulullah saw. dan para sahabat setelah be­liau memperhitungkan tanda, alamat, dan indikasi-indikasi petunjuk dalam masalah hu­kum. Mereka menjadikan tanda, alamat, dan indikasi-indikasi tersebut sebagai alat untuk mengungkap fakta-fakta hukum.
Selama ini fokus hukum pembuktian mengacu pada aturan normatif HIR dan masih stagnan sampai sekarang, belum ada perkembangan baik melalui jadge made law maupun yurisprudensi.  Itulah makna alat bukti  yang dapat dipergunakan dalam persidangan yaitu alat bukti surat, bukti saksi, sangka,  pengakuan, sumpah[10], yang  diawali ungkapan barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak , atau yang guna menguatkan haknya atau untuk membatah  hak orang lain , menunjuk kepada sesuau peristiwa , diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut[11].
Padahal selain lima alat bukti diatas masih ada satu  lagi yang disebut Qarinah  (القرينة), berasal dari bahasa arab “Qarana” jamaknya Qara’in,  bentuk mu’anas al-Qariin menunjukkan jenis, pasangan perempuan[12]. Kata qarana, yang artinya jama’a (menggabungkan atau mengumpulkan) atau shaahaba (membarengi atau membersamai, atau menemani ). Jadi qarinah menurut pengertian bahasa Arab artinya sesuatu yang berkumpul atau membarengi atau menemani sesuatu yang lain.
Selain Qarinah dalam praktek terdapat satu alat bukti lagi yaitu “Pengetahuan Hakim “ yaitu keadaan yang diketahui langsung oleh majelis hakim dalam persidangan, misalnya majelis hakim melihat  sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan  setempat, bahwa benar di tubuh penggugat memar bekas pukulan tergugat, atau antara penggugat dan tergugat tidak menunjukkan adanya sengketa perkawinan di dalam persidangan[13]. Adapun menurut istilah dalam ushul fiqih, qarinah menurut Syaikh ‘Atha bin Khalil adalah setiap apa-apa yang memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna tuntutan itu jika dia digabungkan atau dibarengkan dengan tuntutan tersebut. (kullu maa yubayyin nau’ al thalab wa yuhaddidu ma’nahu idzaa maa jama’a ilaihi wa shaahabahu [14]).
Setelah penulis menyinggung sedikit tentang jenis alat bukti sebagaimana yang sudah dipraktekkan dalam persidangan akan tetapi ada alat bukti yang luput dari jangkauan normatif hukum yang mampu menjawab persoalan hukum yaitu “Qarinah”. Karena itu  Qarinah tak dapat dilepaskan dari kaidah ushul fiqih (qa’idah ushuliyah) yang berbunyi : al ashlu fi ma’na al amr at thalab (asal dari makna perintah adalah tuntutan). Artinya, jika terdapat perintah (amr) dalam Al Qur`an atau As Sunnah, maka pengertian dasar dari amr itu adalah tuntutan (thalab). Yang menentukan jenis amr itu, apakah berupa amr yang jazm (tegas), atau amr yang ghair jazm (tidak tegas), atau amr yang berupa takhyir (pilihan), adalah qarinah-qarinah yang menyertai amr tersebut[15].
Berdasarkan kadar kuat lemahnya korelasi tersebut, qarinah terbagi menjadi qarinah yang kuat dan qarinah yang lemah. Fuqaha dan para qadhi memiliki penilaian yang cukup signifikan dalam mengartikan dan menarik kesimpulan-kesimpulan tertentu dari qarinah. Apabila suatu qarinah bersifat qath'i atau pasti dan mencapai tingkatan yakin, seperti menvonis seseorang bahwa ia adalah pelaku pembunuhan ketika ia terlihat dalam keada­an gugup dan ketakutan serta berlumuran darah sambil memegang sebilah pisau di sam­ping seseorang yang tergeletak bermandikan darah, qarinah ini dianggap sebagai bayyinah (alat bukti) final yang cukup untuk dijadikan sebagai dasar putusan hukum.
Adapun jika qarinah yang ada tidak ber­sifat qath'i, tetapi hanya baru mencapai ting­katan zhanniyyah aghlabiyyah (dugaan kuat) saja, seperti qarinah 'urfiyyah (yang bersi­fat biasanya) atau qarinah yang disimpul­kan dari fakta-fakta gugatan dan dakwaan yang ada serta tindakan-tindakan para pihak yang beperkara, itu hanya baru sebatas buk­ti petunjuk awal yang memperkuat posisi sa­lah satu pihak yang beperkara jika memang hakim meyakini hal itu, sementara tidak ada dalil dan alat bukti lain atau hingga bisa dila­kukan pembuktian sebaliknya dengan berda­sarkan suatu cara yang lebih kuat.

Qarinah berlaku untuk perkara perdata;
Perkara perdata yang diselesaikan melalui  Pengadilan  Agama adalah paling  banyak dibandingkan  dengan  perkara yang diselesaikan oleh peradilan lainnya. Sebut saja masalah perceraian yang didominasi oleh cerai gugat ( inisiatif yang mengajukan perkara datang dari pihak istri),  lalu disusul dengan cerai talak (inisiatif yang mengajukan perkara datang dari pihak suami) dan tidak semua dalil /alasan dari para pihak yang mengajukan perkara tidak  banyak orang yang mengetahui, melihat, mendengarkannya, bahkan keluarga  sendiripun banyak yang tidak tahu, apalagi sampai tetangganya semua tidak ada yang tahu. Terus bagaimana suami istri yang sudah tidak mungkin dirukunkan kembali masih tetap harus dipertahankan dengan alasan tidak ada orang yang mengetahui, melihat dan mendengarkan adanya peristiwa hukumnya ? atau dengan kata lain saksi-saksi tidak ada yang tahu alasan dan  peristiwa hukumnya. Karenanya menurut penulis perkara yang telah diajukan ke Pengadilan harus segera diselesaikan  dan diputus dengan menggunakan Qarinah sepanjang dalam perkara sederhana khususnya perkara perceraian.
Bahkan Qarinah-qarinah tersebut bisa diguna­kan sebagai dasar penetapan hukum dalam ruang lingkup muamalat atau transaksi bis­nis (perdata) dan ahwal syakhshiyyah[16] (perso­nal status) ketika tidak ditemukan bayyinah dalam pembuktian dan penetapan hak-hak yang muncul dari transaksi bisnis atau ahwal syakhshiyyah tersebut sebagaimana diperhitungkannya alamat dan tanda-tan­da dalam masalah barang temuan (luqathah). Keterangan tentang ciri-ciri dan spesifikasi­-spesifikasi barang temuan yang dikemuka­kan oleh pihak yang mengklaim barang itu miliknya, dijadikan sebagai tanda dan ala­mat yang menunjukkan kejujurannya sehing­ga bisa ditetapkan bahwa barang temuan itu adalah miliknya.
Sampai-sampai Sahabat Umar Ibnul Khaththab berkirim surat kepada Abdullah bin Qais ( nama julukan Abu Musa Al-Asy’ari ) : “Sesungguhnya peradilan itu adalah fardlu yang dikukuhkan dan sunnah yang diikuti. Maka fahamilah bila peradilan dibebankan padamu, karena sesungguhnya tiada bermanfaat membicarakan kebenaran (putusan hakim) tanpa melaksanakannya[17] (eksekusi). Samakan hak semua orang di  hadapanmu, di dalam pengadilanmu, dan di dalam majelismu sehingga orang yang terpandang tidak menginginkan  kecenderunganmu kepadanya, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu. Pembuktian itu wajib bagi orang yang mendakwa, dan sumpah itu wajib bagi orang yang menolak dakwaan. dan seterusnya....itulah sekelumit isi surat yang sangat berarti bagi pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonnesia terutama harus memahami terlebih dahulu tentang Qarinah, lalu syahadah, bayyinah,  iqrar, qasamah,  dan bukti-bukti lainnya.
Berikut contoh  kasus perdata :
- Tentang perselisihan barang-barang perabot rumah tangga:
  Di antara bentuk qarinah fiqih adalah ketika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai kepemilikan suatu barang dan perabotan rumah, jika barang perabotan rumah itu pantasnya adalah dimiliki orang laki-laki, barang itu dianggap milik  suami, seperti surban dan pedang.
  Sedangkan barang yang pantasnya adalah dimiliki kaum perempuan saja, seperti perhiasan dianggap milik istri, berdasarkan kesaksian kondisi lahiriah dan catatan adat kebiasaan serta tradisi.

- Tentang keberadaan sesuatu di tangan seseorang:
  Di antara bentuk qarinah hukum adalah memutuskan bahwa sesuatu itu adalah untuk orang yang benda itu berada di tangannya, atas dasar pertimbangan bahwa keberadaan sesuatu di tangan seseorang merupakan qari­nah yang menunjukkan kepemilikan yang se­suai dengan zahirnya, termasuk siapa yang mengenakan baju anti peluru berarti ia  pemiliknya kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.


- Tentang kehamilan:
  Para sahabat menjadikan kehamilan se­bagai alamat dan tanda yang menunjukkan telah terjadinya perzinaan sehingga berdasarkan itu, mereka menjatuhkan hukuman  had zina kepada  perempuan meskipun tidak mengaku dan tidak ada kesaksian empat orang saksi. Mereka bahkan menjadikan kehamilan sebagai alat bukti yang lebih  kuat dan lebih jujur dari pada kesaksian.

-  Tentang siapa pemilik tepung gandum yang  ada di kapal:
Orang-orang Hanafi menyebutkan contoh yang seperti ini pula,  apabila dua orang berselisih dalam urusan kapal yang didalamnya terdapat tepung gandum, sedang salah seorang dari keduanya itu seorang pedagang dan yang lain seorang tukang kapal,  dan salah satu dari kedua orang itu tidak mempunyai bukti,  maka gandum itu bagi orang yang pertama (pedagang), dan kapal bagi orang kedua (tukang kapal[18] ).

-  Tentang minuman keras:
  Mereka menjadikan bau minuman keras pada mu­lut seseorang dan muntah-muntah minuman keras yang dikeluarkannya,  sebagai alamat dan tanda yang menunjukkan bahwa ia telah meminum minuman keras sebagai ganti alat bukti berupa iqrar (pengakuan) dan kesaksian dua orang saksi.

- Tentang penyembelihan onta:
  Rasulullah saw. menjadikan tindakan orang-orang kafir Quraisy yang menyembelih sepuluh atau sembilan unta pada Perang Badar sebagai alamat dan tanda yang menunjukkan bahwa jumlah mereka waktu itu sekitar sembilan ratus sampai seribu orang.

-  Tentang nasabnya seorang anak :
Begitu pula untuk mengetahui tetapnya nasab seorang anak adalah dari suaminya, karena pengamalan hadis yang mulia ”Al waladu lil firasyi” artinya anak itu bagi yang mempunyai istri (suami[19]).

-  Tentang adanya bekas darah di pedang:
  Rasulullar saw. memperhitungkan suatu tanda pada pedang dan adanya bekas darah pada pedang itu dalam menetapkan keputusan hukum bahwa as-salab (harta benda yang berada bersama orang kafir yang terbunuh dalam peperangan) adalah untuk salah satu pihak yang bersengketa mengenai status kepemilikar as-salab tersebut. Beliau menempatkan dan memposisikan suatu bekas pada posisi bayyinah.
  Demikian juga bahwa Qarinah berarti tanda atau indikasi yang menunjukkan ada atau tidak adanya sesuatu. Umpamanya, kelihatan seseorang baru saja keluar dari sebuah rumah dan pada tangannya ada sebilah pisau yang berlumuran darah. Kemudian ternyata dalam rumah itu ada jenazah tergeletak yang baru terbunuh dengan tusukan pisau. Maka keluarnya se­seorang yang membawa pisau berdarah dari rumah itu tadi adalah qarinah yang menunjukkan atau menimbulkan kecurigaan kuat bahwa dialah pem­bunuhnya[20].

-  Tentang benda curian:
  Seseorang kecurian suatu benda, kemudian benda itu ditemukan di rumah seseorang  maka hal itu adalah qarinah bahwa pemilik rumah itulah pencuri benda itu, atau setidaknya bisa dituduh ada hubungannya dengan pencuri seperti sebagai penadah, atau pencuri menitipkan benda itu di rumah Fulan.

-  Tentang usia baligh  bagi laki-laki:
Rasulullah SAW.memperhitungkan telah tumbuhnya rambut kemaluan bagian depan dalan masalah kebalighan dan menjadikannya sebagai tanda dan alamat kebalighan. Dengan demikian, pada kasus bani Quraizhah, beliau membunuh anak laki-laki yang sudah tumbuh rambut pada kemaluan bagian depannya,  sedangkan yang belum tumbuh rambut pada kemaluan depannya maka beliau membiarkannya hidup.

- Tentang barra’ah ar-rahim;
Rasulullah SAW. menjadikan haid sebagai tanda dan alamat bahwa tidak ada janin pada rahim seorang perempuan (baraa'ah ar-rahim). Mengenai darah yang dikeluarkan oleh seorang perempuan dan ia ragu apakah itu darah haid ataukah darah istihadhah, beliau menjelaskan indikasi dan tanda-tanda untuk membedakan antara darah haid dan darah is­tihadhah. Beliau menjelaskannya berdasar­kan waktu keluarnya darah dan warnanya[21].

- Tentang Qarinah harta rikaz dan luqathah.
  Ulama Hanabilah membedakan antara harta rikaz dan luqathah dengan berdasar­kan pada Qarinah, alamat dan tanda-tanda yang ada. Mereka mengatakan bahwa harta rikaz ada­lah harta yang dipendam oleh orang Jahiliah dan itu bisa diketahui dengan melihat alamat dan tanda-tanda yang ada pada harta tersebut, seperti nama para raja Jahiliah, gam­bar-gambar mereka, dan simbol-simbol salib mereka.
  Adapun jika pada harta itu terdapat Qarinah, tanda dan alamat-alamat kaum muslimin, se­perti nama-nama mereka atau seperti tulisan Al-Qur'an dan sebagainya, itu adalah harta luqathah karena itu adalah harta milik seo­rang muslim yang tidak diketahui secara pasti bahwa kepemilikannya atas harta itu telah hilang.  Jika pada sebagian harta itu terdapat Qarinah, tanda-tanda yang identik dengan Islam, se­dangkan pada sebagian yang lainnya terdapat tanda-tanda yang identik dengan kaum kafir, harta itu dihukumi sebagai harta luqat­hah karena zahirnya adalah harta itu telah menjadi milik seorang muslim yang ia pendam dalam tanah.
  Adapun jika harta itu tidak memiliki suatu tanda apa pun (tidak ada Qarinah) , harta itu di­hukumi sebagai harta luqathah, sebagai ben­tuk memenangkan dan mengunggulkan per­timbangan Islam. Itulah sebabnya banyak ulama salaf menjadikan Qarinah sebagai salan satu cara pembuktian dengan berbagai argumentasinya berikut ini.

Argumentasi Qarinah sebagai alat  bukti:
         Untuk mengetahui sejauhmana argumentasi qarinah sebagai alat bukti maka berikut  para Fukaha (ahli-ahli fikih) menganggap sah menjadikan qarinah sebagai salah satu cara pembuktian[22]. Ada beberapa argu­mentasi yang dikemukakan untuk itu antara lain:
-  Pertama, Dalam menceritakan peristiwa Nabi Yusuf AS yang dikhianati oleh saudara-saudara kandungnya dengan melemparkannya ke dalam sebuah sumur, namun mereka membohongi orang tuanya (Nabi Ya`qub AS) bahwa Yusuf AS dimakan serigala, Allah SWT berfirman yang artinya: "Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya`qub berkata: 'Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu maka kesabaran yang baik itulah (kesa­baranku). Dan Allah sajalah yang dimohon per­tolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan" (QS.12:18). Al-Qurtubi (seorang ahli tafsir dan pengarang kitab tafsir terkenal Al-Jämi` li Ahkam al-Qur'an) menjelaskan dalam karyanya itu, bahwa ahli-ahli fikih berdasarkan ayat tersebut menetapkan sahnya qarinah sebagai salah satu cara pembuktian di pengadilan dalam memutuskan perkara.
    Nabi Ya`qub AS, menurut al-Qurtubi, berdasarkan Qarinah  dapat menebak secara tepat kedustaan saudara Nabi Yusuf AS. Qarinah itu ialah, bahwa baju Yusuf AS yang diberitakan telah dimakan serigala itu ternyata tidak robek. Seandainya benar Yusuf AS dimakan serigala seperti dilaporkan saudara-saudaranya itu, tentu bajunya robek. Dalam satu riwayat, menurut al-Qurtubi, dikatakan, ketika Nabi Ya`qub AS melihat baju yang berlumuran darah (palsu) itu tidak robek, ia berkata: "Kapan  serigala itu menjadi bijaksana sehingga bisa memakan Yusuf tanpa harus merobek bajunya?" Ungkapan bernada pertanyaan tersebut sebagai sindiran bahwa dia tahu akan kebohongan saudara-saudara Nabi Yusuf  AS.

-       Kedua, Kisah Zulaikha (istri seorang pembesar Mesir) yang menggoda Nabi Yusuf AS seperti diungkapkan dalam Al-Qur'an. Dalan cerita ini, ketika Zulaikha menggoda Yusuf AS untul berbuat serong, Yusuf AS menolak dan berupaya menghindar dengan lari ke luar rumah, namun Zulaikha mengejarnya. Firman Allah SWT dalam ­surah Yusuf (12) ayat 25 yang artinya: "Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita menarik baju gamis Yusuf dari belakang koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: 'Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?'"
Dalam pernyataan Zulaikha di atas kelihatan betapa liciknya wanita itu, setelah ia menggoda dan mengejar Yusuf AS sampai baju Yusuf AS robek, di hadapan suaminya ia justru menuduh bahwa Yusuf AS lah yang ingin berbuat serong terhadap dirinya dan menuntut agar suaminya menimpakan hukuman terhadap diri Yusuf AS. Dalam peristiwa ini kelihatan  betapa jelinya seorang saksi ahli atau juru penyelesai dengan mengatakan, "...Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar" (QS.12:26-27).
Dalam kisah di atas saksi itu menggunakan Qarinah untuk menebak siapa yang salah dan siapa yan benar. Dan kenyataan baju Yusuf AS koyak sebelah  belakang dapat diketahui bahwa Yusuf AS adalah pihak yang dikejar oleh wanita itu dan wanita adalah pihak yang mengejar Yusuf AS.

-       Ketiga,  Hadis riwayat Imam Muslim dari Abdur Rahman bin Auf, bahwa dua orang dari kalangan Ansar waktu Perang Badar berhasil membunuh Jahal dan lalu masing-masing melapor kepada Rasulullah SAW. Menjawab pertanyaan Rasululllah SAW siapa di antara keduanya yang membunuhnya, masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang membunuhnya. Lalu Rasulullah SAW berkata lagi,  kalian sudah membasuh pedang kalian? masing-masing  menjawab, "Belum." Setelah melihat tanda atau bekas darah pada pedang masing-masing,  ­Rasulullah SAW lalu berkata:  Kalau begitu kalian berdualah yang membunuhnya." Dalam  hadis tersebut, Rasulullah SAW menetapk­an pembunuhnya bukan hanya seorang, tetapi kedua orang itulah pembunuhnya, adalah ber­dasarkan Qarinah,  yaitu bekas darah yang terdapat pada masing-masing pedang. Oleh   karena itu  berdasarkan  beberapa argumentasi tersebut di atas ulama fikih sepakat menjadikan qarinah sebagai alat bukti ada yang dengan tegas menerimanya[23]  dan ada pula yang tidak tegas.

-       Keempat, Berbagai pendapat Imam Madzhab Qarinah sebagai alat bukti.
     Mazhab  Maliki dan Mazhab  Hanbali secara tegas  dalam literatur-literatur fikih mereka qarinah sebagai alat bukti. Begitu juga dalam mazhab  lainnya seperti Mazhab Syafil dan meskipun tidak secara tegas menerimanya dalam beberapa kasus fatwa-fatwa fikih  menunjukkan menerima qarinah sebagai pembuktian.  Misalnya, fatwa tentang harta terpendam yang ditemukan oleh orang Islam, jika terdapat tanda-tanda yang menunjukkan harta itu kepunyaan orang Islam,  maka qarinah itu cukup untuk menganggap harta itu sebagai harta luqatah, yaitu harta tercecer atau hilang dari pemiliknya. Oleh karena itu, terhadap harta itu diperlakukan  hukum luqatah. Adapun jika pada harta itu  terdapat tanda-tanda (qarinah) yang menunjukkan kepunyaan orang kafir harbi (kafir orang Islam),  maka harta itu dapat dianggap sebagai harta rikaz ( iqtä'), yaitu  harta terpendam yang secara sah boleh digunakan pihak yang menemukannya dengan membayar zakatnya.

Menguji Kekuatan Qarinah
     Pada dasarnya setiap keadaan yang dapat menimbulkan kecurigaan kuat terhadap terjadinya suatu peristiwa dapat dianggap sebagai  Qarinah. Abdul Qadir Audah (w. 1373 H/1945 M)  seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir) mengemukakan beberapa bentuk qarinah yang dapat dijadikan alat bukti dalam memutuskan hukum. Bukti-bukti nyata sebagai berikut :
-       Kehamilan  seorang wanita yang tidak bersuami sebagai qarinah yang menimbulkan kecurigaan kuat hahwa wanita itu telah melakukan zina.
-       Keberadaan Jenazah di tengah sebuah perkampungan  sebagai qarinah bahwa pembu­nuhnya adalah penduduk perkampungan itu.
-       Ketika penggugat tidak  dapat mengemukakan bukti, bilamana tergugat tidak mengakui gugatan itu, ia diminta untuk bersumpah bahwa ia tidak bersalah. Jika ia enggan bersumpah, maka keengganannya untuk bersumpah bisa dianggap sebagai qarinah bahwa ia bersalah.
-       Adanya bau khamar yang keluar dari mulut sese­orang adalah qarinah bahwa ia baru saja selesai meminum khamar.
-       Terdapat suatu benda yang ditemukan di jalan umpamanya, untuk mengetahui pemiliknya bisa dengan memakai qarinah, yaitu orang yang mengetahui tentang sifat, warna, atau jumlah bilangan barang itu, pengetahuannya itu adalah qarinah bah­wa dialah pemiliknya.
            Meskipun ulama sepakat, seperti telah dikemu­kakan di atas, bahwa qarinah bisa dijadikan salah satu cara pembuktian, namun dalam masalah jari­mah (tindak kejahatan) mereka berbeda pendapat tentang bentuk kasus yang dapat diberlakukan qari­nah sebagai alat bukti. Jumhur ulama fikih berpen­dapat, dalam masalah jarimah, qarinah hanya da­pat diberlakukan dalam masalah-masalah yang da­pat dibuktikan dengan jalan qasamah (bersumpah dengan menyebut nama Allah SWT sebanyak lima puluh kali), karena hal itulah petunjuk langsung dari Syar’i (pembuat hukum; Allah SWT dan Rasul-Nya). Bentuk kasus yang dapat dibuktikan dengan qasamah adalah, bahwa keberadaan mayat di satu per­kampungan atau di samping rumah seseorang dapat dianggap sebagai qarinah bahwa pembunuhnya adalah penduduk kampung atau pemilik rumah itu, sebagaimana telah penulis jelaskan tantang menguji kekuatan qarinah diatas.
                    Me­nurut Mazhab Hanafi bila penduduk kampung yang dicurigai itu tidak mengakuinya, maka diminta untuk melakukan qasämah dan menurut Mazhab Syafi` keluarga terbunuh disuruh bersumpah lima puluh kali bahwa tuduhan mereka adalah benar. Dalam bentuk-bentuk kasus lain selain dari bentuk kasus tersebut, qarinah tidak bisa diberlakukan secara ter­sendiri. Alasannya, qarinah adalah pembuktian yang tidak meyakinkan. Padahal pembuktian kasus-­kasus jarimah (tindak kejahatan) memerlukan bukti yang meyakinkan, kecuali ada ketegasan dari Syäri’ bahwa kejahatan itu dapat dibuktikan dengan qari­nah seperti dalam masalah qasämah. Oleh karena itu dalam masalah pidana qarinah tidak dapat berdiri sendiri dan harus dikuatkan dengan bukti-bukti lainnya.
                 Berbeda de­ngan itu, Ibnu Qayyim al-Jauziah dari kalangan Mazhab Hanbali mengatakan bahwa qarinah bisa dijadikan alat bukti dalam seluruh tindak kejahatan. Alasannya, seandainya qarinah tidak dapat diang­gap sebagai bukti tersendiri dalam tindak kejahatan, maka akan banyak tindak kejahatan yang luput dari pembuktian yang meyakinkan, karena begitu sering terjadi tindak kejahatan yang tidak dapat dibuktikan dengan mata kepala atau dengan pengakuan dari pelakunya. Agar kejahatan tidak ada yang luput dari pemantauan yang berwajib, qarinah yang kuat atas terjadinya suatu tindakan dianggap cukup untuk me­mutuskan hukum. Namun demikian, mereka sepakat bahwa pihak hakim hendaklah melakukan penyelidikan secara cermat terhadap  kebenaran suatu Qarinah[24]. Qarinah yang dapat dijadikan bukti,  adalah     Qarinah yang menimbulkan  dugaan keras atau zanni (relatif benar) yang dalam bahasa Al-Humaedi (seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Arab Saudi) disebut ‘ilm at-tuma’ninah (pengetahuan yang menenangkan hati atau tidak mengandung keraguan yang berarti).
    Demikian juga Hindun pernah mengadukan kepada Rasulullsah SAW. bahwa Abu Sufyan (suaminya) itu seorang laki-laki yang bakhil , apakah dia boleh mengambil hartanya tanpa seijin dari suaminya, maka Rasululah menjawab : Khudhii  ma yakfiki wa waladaki  bil ma’rufi, artinya : Ambillah harta darinya yang mencukupi engkau dan anakmu dengan cara yang baik[25],  tanpa mendengar kata-kata lawannya. Dari jawaban Rasulullah SAW. terhadap Hindun diatas dapat dimengerti bahwa  istri berhak untuk  mendapatkan  hartanya ( nafkah, harta bersama dan sebagainya) yang menjadi hak para pihak tanpa menunggu perceraian terlebih dahulu.  Hal yang demikian berarti yang dilakukan Hindun telah sesuai dengan putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan eksekusi harta bersama  dari penggugat rekonpensi (istri) , sekalipun antara suami istri secara yuridis masih dalam ikatan perkawinan tetapi secara faktual tidak mungkin akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga[26] (pasal 19 huruf (f) PP No.9 tahun 1975 Jo. pasal 116 KHI). karenanya peristiwa Hindun sebagai Qarinah bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, akan tetapi hakim Pengadilan Agama sampai hari ini belum ada yang berani mengabulkan gugatan / permohonan para pihak yang hanya berdasar qarinah belaka. Seharusnya hakim melakukan contra legem seperti menyelesaikan kasus Hindun diatas tanpa memerlukan saksi.
          Untuk lebih mengetahui kondisi riil masyarakat yang menjadi kompensi relative Pengadilan Agama Blitar  berdasarkan laporan tahunan tahun 2018[27] bahwa pada tahun 2018 Pengadilan Agama Blitar memutus sisa perkara tahin 2017 sebanyak 913 perkara dan memutus perkara  sebanyak 3838 perkara untuk perkara tahun 2018. Sehingga jumlah perkara yang diputus tahun 2018 berjumlah 4736 perkara.


II. MEMAKNAI PERKARA SEDERHANA

                Setiap perkara baru yang telah diserahkan kepada ketua majelis untuk ditetapkan hari sidangnya, terlebih dahulu  ketua majelis harus membaca, meneliti dan mencermatinya  lalu  memberi catatan-catatan penting. Sejak awal diterima sebuah perkara baik permohonan maupun gugatan diperlukan ketajaman mata hati  (muhasafatul qulub) seorang hakim untuk menganalisanya. Di analisa apakah perkara yang diserahkan kepada ketua majelis yang menurutnya termasuk perkara  sederhana atau perkara biasa atau  perkara sulit. Oleh karena itu perlu dirumuskan tentang kriteria perkara sederhana. Kalau dalam sidang pertama atas pertanyaan majelis hakim, Tergugat/Termohon sudah menjawab “ saya keberatan bercerai” atau “saya masih mencintainya” atau jawaban dengan istilah lainnya yang mengindikasikan adanya keberatan bercerai dengan Penggugat/Pemohon, tentu kasus tersebut tidak dapat di katakan sebagai perkara sederhana. Padahal penulis ingin ikut mengurai dalam mengatasi lonjakan perkara agar dapat terselesaikan dengan cepat,  kalau perlu sekali sidang langsung putus,  bahkan Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI. dalam beberapa kesempatan selalu menyampaikan bahwa hendaknya perkara dapat diselesaikan dengan cepat  dan yang sudah putus  langsung one day minute dan one day publis harus  tercapai.

         Perceraian termasuk Perkara Sederhana
           Sehubungan dengan maksud diatas penulis mencoba membuat kriteria perkara sederhana,  tentu tulisan ini mengundang contra dari para pembaca dan berharap contra tersebut sebagai tanggapan, yang pasti bermanfaat.
Kriteria perkara sederhana adalah :
1.       Mempunyai kemauan yang sama, yaitu suami istri sama-sama ingin bercerai.
Karenanya jika Tergugat/Termohon masih ada jawaban” aku masih mencintai atau masih  sayang atau  saya tidak mau bercerai”,  tidak termasuk perkara sederhana. Jadi begitu ditanyakan kepada tergugat/termohon dan jawabannya sudah seperti itu, hakim langsung menggunakan qarinahnya bahwa yang dihadapi bukan termasuk perkara sederhana.

2.       Harus sama-sama hadir dalam sidang yang telah ditetapkan.
Kalau salah  satunya tidak hadir pada sidang pertama, atau sidang kedua juga tidak hadir,  sehingga ada putusan verstek maka ketidak hadiranyya itu tidak termasuk perkara sederhana, karena masih terbuka kemungkinan tergugat/termohon mengajukan verzet sesuai waktu yang ditentukan undang-undang.

3.        Hanya satu tujuan yang penting cepat selesai sidangnya.
Ternyata jika salah satu  pihak hadir dalam persidangan, sedangkan pihak lainnya tidak hadir  atau secara bergantian  tidak hadir, maka tidak termasuk perkara sederhana, karena ada indikasi mengolor-olor waktu agar sidangnya tidak cepat selesai.

4.        Tidak ada eksepsi
Kalau sejak awal persidangan Tergugat/Termohon sudah menyatakan  tidak mau diperiksa di pengadilan ini dan mohon diperiksa di pengadilan lain, atau mengajukan bentuk ekssepsi lainnya maka hakim segera mengalihkan perhatiannya bahwa perkara yang sedang diperiksa bukan perkara sederhana.
                          
5.       Tidak ada kumulasi
Surat gugatan/surat permohonannya tidak ada kumulasi dengan tuntutan lainnya. Jika ternyata dalam gugatan/permohonan ada gugatan kumulasi tentang : harta bersama, nafkah madhiyah, iddah, mut’ah, hadhanah , nafkah anak, jelas perkara kumulasi tersebut mengindikasikan  penyelesaian yang lama, perlu pembuktian yang teliti terutama pembuktian  harta bersama, benar tidaknya istri tersebut tamkin atau nuyuz, dan pembukktian-pembuktian lainnya, karenanya kalau ada gugatan kumulasi maka tidak termasuk perkara sederhana.

6.       Sepakat tidak ada yang mengajukan gugatan rekonpensi
Kalau ternyata dalam persidangan pertama ternyata Tergugat/Termohon mengajukan gugatan rekonpensi, apalagi sampai terjadi ada replik, duplik, sampai berlanjut re replik, re duplik, maka berarti kedua belah pihak  sudah menyimpang dari kesepakatan  dan hakim segera mengalihkan perhatian para pihak untuk mennyarankan membuat replik  maupun duplik yang benar dan seterusnya, karena perkara yang ada gugatan rekonpensi membutuhkan waktu pembuktian yang teliti, hati-hati yang tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat bahkan  sampai berkali-kali sidangnya.

7.       Pihak Tergugat / Termohon mengakui semua alasan gugatan / permohonan
Kalau demikian pihak Penggugat/Pemohon tidak usah mengajukan replik tetapi replik cukup secara lisan pada pokoknya tetap pada dalil gugatan/permohonannya, demikian juga Tergugat/Termohon cukup menyampaikan duplik secara lisan pada pokoknya setuju dan membenarkan dalil-dalil/alasan Penggugat/Pemohon.

8.       Kemungkinan sekali sidang langsung putus
Sesuai dengan maksud menjadikan perkara sederhana maka tiada  pilihan lain kecuali sekali sidang langsung selesai langsung putus. Caranya,  pada waktu yang telah ditetapkan sidang pertama suami istri datang menghadap persidangan lalu ketua majelis hakim mendamaikan mereka (pasal 130 HIR) jika tidak berhasil ketua majelis langsung menskors persidangan  dan memerintahkan suami istri untuk menempuh proses mediasi[28] dengan menghadap mediator, karena ternyata mediasi juga tidak berasil,  mediator kemudian membuat laporan kepada ketua majelis bahwa mediasi sudah dilaksanakan tetapi tidak berhasil. Selanjutnya mereka dipanggil memasuki ruang sidang untuk melanjutkan persidangan kembali dan dinyatakan  tertutup untuk umum dan ketua majelis memulai dengan membacakan surat gugatan/permohonan, lalu atas gugatan/permohonan tersebut Tergugat/Termohon mengakui dan membenarkan semua dalil/alasan gugatan/permohonan. Dari sinilah langsung  dilanjutkan dengan pembuktian berupa : pengakuan Tergugat/Termohon sebagai suami istri, ternyata para pihak sudah mempersiapkan bukti berupa asli Kartu Tanda Penduduk ( KTP) / Kartu Keluarga (KK) / Surat Keterangan Domisli dari Kepala Desa/Lurah dalam wilayah hukum Pengadilan Agama tempat kediaman istri/suami + fotokopinya masing-masing telah dinezegelend dan bukti perkawinannya ( Akta Nikah / Kutipan Akta Nikah / menghadirkan petugas dari Kantor Urusan Agama tempat perkawinan mereka dilangsungkan dahulu dengan menunjukkan Buku Registernya )  + masing-masing di fotokopi dan  telah dinezegelend di kantor pos[29].
               Setelah majelis hakim memeriksa bukti-bukti para pihak ditambah dengan pengakuan tergugat/termohon bahwa apa yang didalilkan penggugat/pemohon adalah benar  semua ditambah dengan qarinah yang telah dimiliki hakim maka pemeriksaan perkara sederhana dianggap telah selesai, sidang di skors beberapa saat , suami istri diperintahkan untuk menunggu diluar sidang karena majelis hakim akan bermusyawarah untuk menjatuhkan putusan dan begitu musyawarah hakim dianggap sudah selesai maka suami istri dipanggil untuk memasuki ruang sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, lalu majelis hakim membacakan putusan yang pada pokoknya:  mengabulkan gugatan penggugat / mengabulkan permohonan pemohon dan seterusnya....itulah gambaran singkat dari penulis tentang penyelesaian perkara sederhana.

9.       Berupa Putusan Positif
Karena para pihak sudah sejak lama menginginkan putusan pengadilan yang secepatnya dan tentang kriteria perkara sederhana angka 1 s/d angka 9 sudah terpenuhi, menurut majelis hakim dengan menggunakan qarinahnya ternyata  semua kriteria diatas tidak ada satupun yang dilanggar maka itulah yang penulis maksudkan sebagai “Perkara  Sederhana”. Akan tetapi kalau ada salah satu saja yang tidak dilaksanakan, maka  perkara berubah menjadi perkara biasa, bahkan perkara sulit  dan tentu penyelesaiannya tidak secepat  dan semudah  menyelesaikan perkara sederhana.
               Yahya Harahap[30],  menambahkan bahwa bentuk panggilan untuk sidang pertama berdasarkan pasal 390 ayat (1) HIR panggilan dilakukan dalam bentuk surat panggilan tertulis (in writing)  maupun berita acara panggilan dan panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan keabsahannya. Oleh karena itu proses pemanggilan para pihak harus benar-benar mengikuti tatacara pemanggilan yang dibenarkan oleh undang-undang, kecuali kalau sampai tidak putus pada sidang pertama maka panggilan untuk sidang kedua cukup ketua majelis mengumumkannya dalam persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkannya dengan memerintahkan kepada para pihak untuk hadir pada persidangan yang telah ditetapkan tersebut tanpa dipanggil lagi.
      Oleh karena perkara perceraian ternyata dapat diselesaikan pemeriksaannya dalam waktu cepat dan langsung putus maka majelis hakim perlu menambahkan dalam pertimbangan hukumnya sebagai contoh dibawah ini yaitu:
      “Menimbang bahwa,  perkara perceraian yang telah diperiksa ini sejak awal persidangan para pihak sudah menyatakan dihadapan majelis hakim bahwa  tergugat/termohon telah bersedia bercerai dan tidak keberatan untuk bercerai dengan penggugat/pemohon, juga tergugat/termohon telah mengakui dan membenarkan semua dalil/alasan gugatan penggugat / permohonan pemohon  serta para pihak sudah tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali, tidak ada gugatan rekonpensi  dalam bentuk apapun dari tergugat/termohon, tidak ada kumulasi gugatan/permohonannya, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis hakim berpendapat bahwa sudah cukup bukti-bukti yang telah diajukan berupa bukti  P.I (Akta Nikah) dan bukti pengakuan, sehingga majelis hakim tidak perlu lagi mendengar keterangan saksi-saksi karena adanya perpisahan tempat tinggal yang sudah sekian tahun/bulan, majelis hakim telah mendamaikan para pihak serta adanya laporan mediator yang telah gagal mendamaikan mereka, sehingga telah meyakinkan majelis hakim untuk menerima dan mengabulkan gugatan penggugat / permohonan pemohon sesuai dengan maksud pasal  pasal  4 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan sesuai pula  dengan pasal 19 huruf (----)  Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf ( --- ) Kompilasi Hukum Islam”. Kira-kira demikianlah tambahan pertimbangan hukumnya sekalipun hakim tidak menyebutkan kata-kata Qarinah dalam mempertimbangkan putusannya dan sekaligus hakim telah contra legem terhadap hukum pembuktian.


E. Court bukan termasuk perkara  sederhana

               Oleh karena  e.court sampai hari ini masih belum mampu melayani ke jenjang masyarakat muslim perorangan dan yang dapat menggunakan pendaftaran perkara secara e.court sementara ini masih terbatas pada Pengacara/Advokat.  Pengaturan mengenai e-Court ini, kita dapat merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Peraturan tersebut dimaksudkan sebagai landasan hukum penyelenggaraan administrasi perkara di pengadilan secara elektronik untuk mendukung terwujudnya tertib administrasi perkara yang profesional, transparan, akuntabel, efektif, efisien dan modern.
Layanan administrasi perkara secara elektronik dapat digunakan oleh advokat maupun perorangan yang terdaftar. Layanan administrasi perkara secara elektronik oleh perorangan akan diatur lebih lanjut dalam surat keputusan Ketua Mahkamah Agung.  Namun sampai saat ini, dan sampai saat ini keputusan Ketua Mahkamah Agung yang mengatur mengenai layanan administrasi perkara secara elektronik oleh perorangan belum ada.
Selanjutnya, Pasal 5 ayat (4) Perma 3/2018 mengamanatkan untuk membentuk syarat dan ketentuan lebih lanjut terkait pengguna terdaftar dalam surat keputusan Ketua Mahkamah Agung, dalam perkembangannya telah terbit Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 122/KMA/SK/VII/2018 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Kelola Pengguna Terdaftar Sistem Informasi Pengadilan (Keputusan Ketua MA 122/2018). Sangat disayangkan bahwa pedoman tersebut baru mengakomodir advokat sebagai pengguna terdaftar, belum mengakomodir perorangan selain advokat sebagaimana disebut dalam ketentuan tahap pendaftaran akun pada Romawi IV Lampiran Keputusan Ketua MA 122/2018.  Sehingga berdasarkan aturan diatas menurut penulis bahwa E. Court bukan termasuk perkara  sederhana.
Dari pemahaman penulis diatas, maka majelis hakim harus punya indikasi bahwa perkara yang diajukan secara e.court bukan masuk perkara sederhana akan tetapi menurut penulis termasuk perkara biasa. Memang secara teoritis dapat mempersingkat waktu penyelesaian perkaranya karena mulai dari Pengadilan Agama mengirim panggilan ke para pihak, lalu para pihak mengirim jawaban, replik dan duplik ke Pengadilan Agama dengan cepat,  akan tetapi secepat apapun tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam penyelesaian  perkara sederhana. Sepertinya penulis ingin mengajak untuk membanding-bandingkan cara penyelesaian antara kedua jenis perkara sederhana dan perkara biasa,  akan tetapi hakim harus menyelesaikannya dengan benar sesuai hukum formil dan materiilnya. Hanya saja kriteria perkara sederhana dalam penyelesaiannya cukup singkat tentu dapat mengurangi sisa jumlah perkara yang belum putus setiap laporan akhir tahun  dan contohnya adalah Pengadan Agama Blitar yang ternyata tahun 2018 sisa perkaranya menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Perkara verstek bukan perkara sederhana
      Kenapa tidak disebut sebagai perkara sederhana, menurut penulis karena ada kemungkinan tergugat/termohon melakukan upaya hukum verzet dan kalau ini yang terjadi tentu membutuhkan waktu yang lama lagi penyelesaiannya dan masih banyak lagi alasan lainnya.

Qarinah tidak berlaku untuk kasus pidana tertentu :
         Menurut jumhur fuqaha, qarinah-qarinah ini tidak bisa dijadikan dasar atau alat buk­ti untuk menetapkan putusan atau vonis hu­kum dalam kasus-kasus kriminal atau pidana dengan ancaman hukuman had karena hu­kuman had ditolak dan tidak bisa dijatuhkan dengan adanya syubhat, juga dalam kasus pidana dengan ancaman hukuman qisas ke­cuali dalam kasus pembunuhan yang ditetap­kan dengan cara al-qasaamah. Hal ini sebagai langkah kehati-kehatian dalam masalah yang berkaitan dengan darah dan penghilangan nyawa.
        Hanya saja, ulama Malikiyah menetap­kan vonis bersalah melakukan tindak pidana meminum minuman keras dengan berdasar­kan bau minuman keras dari mulut dan me­netapkan vonis bersalah melakukan tindak pidana perzinaan dengan berdasarkan ke­hamilan. Ibnu al-Qayyim sependapat dengan mereka dalam hal menetapkan vonis bersalah melakukan tindak pidana perzinaan dengan berdasarkan kehamilan[31]. Sementara itu, ulama Hanabilah mengklasifikasi dengan menga­takan bahwa seorang wanita yang kedapatan hamil, sedangkan ia dan suaminya hidup ber­jauhan, bisa dijatuhi hukuman had zina jika si wanita tidak mengklaim dan mengaku adanya syubhat. Vonis hukum perzinaan tidak dapat dijatuhkan dan ditetapkan dengan berdasar­kan kehamilan terhadap seorang wanita yang sendirian, tidak bersuami[32].
        Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa jumhur fuqaha seperti Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah memperhitungkan qarinah-qarinah yang tampak dan zhann atau dugaan yang sangat kuat serta dominan yang diserupakan dengan sesuatu yang pasti. Mereka memperhitungkannya se­suai dengan kapasitas dan kompetensi qarinah-qarinah yang kuat tersebut. Mereka meli­hat bahwa suatu dakwaah atau gugatan bisa menjadi kuat dengan sesuatu yang posisinya jauh di bawah qarinah-qarinah tersebut, se­perti keberadaan sesuatu di tangan orang yang bersangkutan, praduga tak bersalah dan an-nukuul (ketidak sediaan bersumpah), sum­pah yang ditolak, satu orang saksi dan sum­pah, satu saksi laki-laki dan dua saksi perem­puan. Hal-hal ini memunculkan suatu dugaan yang bisa memperkuat suatu dakwaan dan gugatan.
 Sudah maklum bahwa dugaan yang terdapat dalam qarinah-qarinah yang kuat tersebut posisinya itu jauh lebih kuat daripa­da dugaan yang muncul berdasarkan hal-hal yang baru saja disebutkan. Ini adalah suatu fakta yang tidak bisa diingkari dan ditolak. Sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qayyim bahwa bukti nyata dalam pandangan syara’ lebih utama ketimbang persaksian. Oleh sebab itu segala  sesuatu yang bisa membuktikan kebenaran dan mengungkapkannya, maka ia merupakan bukti nyata yang bisa dijadikan landasan hukum untuk memutuskan suatu perkara. Berdasarkan hal ini, seorang hakim dapat menetapkan hukum suatu perkara berdasarkan indikasi-indikasi / bukti-bukti yang pasti[33], juga persaksian non muslim yang bisa dipercaya kesaksiannya.

Menguji Kekuatan Qarinah        
         Pada dasarnya setiap keadaan yang dapat menimbulkan kecurigaan kuat terhadap terjadinya suatu peristiwa dapat dianggap sebagai  Qarinah. Abdul Qadir Audah (w. 1373 H/1945 M)  seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir) mengemukakan beberapa bentuk qarinah yang dapat dijadikan alat bukti dalam memutuskan hukum. Bukti-bukti nyata sebagai berikut :
-       Kehamilan  seorang wanita yang tidak bersuami sebagai qarinah yang menimbulkan kecurigaan kuat hahwa wanita itu telah melakukan zina.
-       Keberadaan Jenazah di tengah sebuah perkampungan  sebagai qarinah bahwa pembu­nuhnya adalah penduduk perkampungan itu.
-       Ketika penggugat tidak  dapat mengemukakan bukti, bilamana tergugat tidak mengakui gugatan itu, ia diminta untuk bersumpah bahwa ia tidak bersalah. Jika ia enggan bersumpah, maka keengganannya untuk bersumpah bisa dianggap sebagai qarinah bahwa ia bersalah.
-       Adanya bau khamar yang keluar dari mulut sese­orang adalah qarinah bahwa ia baru saja selesai meminum khamar.
-       Terdapat suatu benda yang ditemukan di jalan umpamanya, untuk mengetahui pemiliknya bisa dengan memakai qarinah, yaitu orang yang mengetahui tentang sifat, warna, atau jumlah bilangan barang itu, pengetahuannya itu adalah qarinah bah­wa dialah pemiliknya.
-       Di Zaman Sulaiman dan Nabi Daud AS. Ada dua orang perempuan yang bersengketa untuk memperebutkan seorang anak, perempuan yang satu agak muda dan yang satunya lagi agak tua. Nabi Daud mengadilinya dengan memenangkan perempuan tua berdasarkan pengakuan yang disampaikannya kepada Nabi Daud AS. Akan tetapi Nabi Sulaiman yang turut hadir dalam majelis pengadilan itu meminta sebilah pedang yang tajam dan berpura-pura bertindak akan membelah dua anak tersebut sambil berkata itulah yang adil. Perempuan yang tua menyetujui pembelahan tersebut akan tetapi perempuan yang sambil bersembah mengatakan bahwa anak itu jangan di belah dan ia rela anak itu diserahkan kepada perempuan yang tua asalkan anak itu tidak akan mati. Nabi Sulaiman memutuskan bahwa anak itu adalah milik perempuan yang muda. Hal ini dapat kita maklumi bahwa seorang ibu tidakakan merelakan anaknya di belah atau dibunuh hanya karena diambil orang.
-       Nabi Muhammad SAW pernah pula menggunakan qarīnah ini dalam beberapa hal diantaranya ; menemukan barang yang hilang yang diberikan kepada orang- orang yang dapat menyebutkan sifat-sifat pokok dari batang tersebut.
-       Khalifah Umar bin Khattab pernah menghukum had terhadap seseorang perempuan hamil padahal ia tidak bersuami dan bukan pada hamba sahaya. Juga Amru bin Mas’ud menjatuhkan hukuman had kepada seseorang yang keluar dari mulutnya bau bekas minuman khamar.
         Dari dasar-dasar di atas, tergambarlah bahwa betapa peranan qarīnah dalam menegakkan keadilan terhadap perkara-perkara yang tidak mempunyai alat bukti lain. Sehingga di Mesir qarīnah ini dipakai sebagai “alat bukti” dalam proses persidangan yang diundangkan oleh pemerintah dalam Undang-Undang No. 174 tentang Acara Perdata. Menurut Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, persangkaan ada dua macam, yaitu: persangkaan menurut Undang-undang dan persangkaan menurut hakim. Persangkaan Undang-undang adalah kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan sidang. Seperti pembuktian seorang laki-laki dan perempuan muda yang dituduh berzina, sedang keduanya tebukti pernah menginap disebuah hotel dengan satu kamar, dimana didalam kamar itu hanya terdapat satu tempat tidur. Maka dengan persangkaan hakim dianggaplah keduanya telah melakukan zina. Dalam Hukum Peradilan Islam pun, dikenal ada dua macam Qarīnah, yaitu: Qarīnah Qādi’yah, yakni qarīnah yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah memeriksa perkara, dan Qarīnah Qanūniyah yakni qarīnah yang ditentukan Oleh Undang-undang.
         Namun menurut Hukum Islam tidak semua dapat dijadikan sebagai alat bukti melainkan hanya sebagai qarīnah yang jelas-jelas saja yang sering disebut qarīnah wadihah (al-qara’in al-wadihah). Adapun kriteria qarīnah wāḍiḥah yang dapat dijadikan alat bukti menurut Roihan A. Rasyid adalah :
 1. Qarīnah yang karena demikian jelas dan meyakinkan tidak akan patut dibantah lagi oleh manusia normal atau berakal, dapat dikategorikan sebagai qarīnah wadihah dan dapat dijadikan dasar pemutus walaupun hanya atas atau satu qarīnah wadihah tanpa didukung oleh buku lainnya. Sebagai contoh kisah Nabi Yusuf seta beberapa kisah yang telah diuraikan dalam pembahasan tentang dasar hukum dimuka.
2. Semua persangkaan menurut Undang-undang dilingkungan Peradilan Umum, sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum Islam dapat dianggap qarīnah wadihah.
3. Qarīnah lain-lainnya tidak termasuk qarīnah wadihah dan tidak termasuk alat bukti.
         Kekuatan Qarīnah Dalam Memutus Perkara Kalau kita perhatikan beberapa dasar hukum, dipakainya qarīnah untuk memutuskan suatu perkara, seperti yang telah diuraikan di atas, maka jelas bahwa qarīnah sebagai alat bukti dalam Hukum Islam adalah kuat. Islam menganggap qarīnah sebagai alat bukti dan Rasulullah SAW menganggap qarīnah sebagai putusannya. Rasulullah SAW pernah menahan seseorang dan menghukum tertuduhlah setelah timbul persangkaan karena tampak tanda-tanda mencurigakan pada diri tertuduh. Dan Nabi pernah memerintahkan orang yang menemukan sesuatu agar menyerahkan barang temunnya kepada orang yang ternyata tepat dalam menyebutkan sifat-sifat barang yang hilang kemudian Nabi pernah memrintahkan agar orang tersebut (pihak yang kehilangan) menyebutkan sifat-sifat barangnya yang hilang.
               Meskipun ulama sepakat, seperti telah dikemu­kakan di atas, bahwa qarinah bisa dijadikan salah satu cara pembuktian, namun dalam masalah jari­mah (tindak kejahatan) mereka berbeda pendapat tentang bentuk kasus yang dapat diberlakukan qari­nah sebagai alat bukti. Jumhur ulama fikih berpen­dapat, dalam masalah jarimah, qarinah hanya da­pat diberlakukan dalam masalah-masalah yang da­pat dibuktikan dengan jalan qasamah (bersumpah dengan menyebut nama Allah SWT sebanyak lima puluh kali), karena hal itulah petunjuk langsung dari Syar’i (pembuat hukum; Allah SWT dan Rasul-Nya). Bentuk kasus yang dapat dibuktikan dengan qasamah adalah, bahwa keberadaan mayat di satu per­kampungan atau di samping rumah seseorang dapat dianggap sebagai qarinah bahwa pembunuhnya adalah penduduk kampung atau pemilik rumah itu.
                Me­nurut Mazhab Hanafi bila penduduk kampung yang dicurigai itu tidak mengakuinya, maka diminta untuk melakukan qasämah dan menurut Mazhab Syafi` keluarga terbunuh disuruh bersumpah lima puluh kali bahwa tuduhan mereka adalah benar. Dalam bentuk-bentuk kasus lain selain dari bentuk kasus tersebut, qarinah tidak bisa diberlakukan secara ter­sendiri. Alasannya, qarinah adalah pembuktian yang tidak meyakinkan. Padahal pembuktian kasus-­kasus jarimah (tindak kejahatan) memerlukan bukti yang meyakinkan, kecuali ada ketegasan dari Syäri’ bahwa kejahatan itu dapat dibuktikan dengan qari­nah seperti dalam masalah qasämah.
               Berbeda de­ngan itu, Ibnu Qayyim al-Jauziah dari kalangan Mazhab Hanbali mengatakan bahwa qarinah bisa dijadikan alat bukti dalam seluruh tindak kejahatan. Alasannya, seandainya qarinah tidak dapat diang­gap sebagai bukti tersendiri dalam tindak kejahatan, maka akan banyak tindak kejahatan yang luput dari pembuktian yang meyakinkan, karena begitu sering terjadi tindak kejahatan yang tidak dapat dibuktikan dengan mata kepala. atau dengan pengakuan dari pelakunya. Agar kejahatan tidak ada yang luput dari pemantauan yang berwajib, qarinah yang kuat atas terjadinya suatu tindakan dianggap cukup untuk me­mutuskan hukum. Namun demikian, mereka sepakat bahwa pihak hakim hendaklah melakukan penyelidikan secara cermat terhadap  kebenaran suatu Qarinah[34]. Qarinah yang dapat dijadikan bukti,  adalah     Qarinah yang menimbulkan  dugaan keras atau zanni (relatif benar) yang dalam bahasa Al-Humaedi (seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Arab Saudi) disebut ‘ilm at-tuma’ninah (pengetahuan yang menenangkan hati atau tidak mengandung keraguan yang berarti).
               Demikian juga Hindun pernah mengadukan kepada Rasulullsah SAW. bahwa Abu Sufyan (suaminya) itu seorang laki-laki yang bakhil , apakah dia boleh mengambil hartanya tanpa seijin dari suaminya, maka Rasululah menjawab : Khudhii  ma yakfiki wa waladaki  bil ma’rufi, artinya : Ambillah harta darinya yang mencukupi engkau dan anakmu dengan cara yang baik[35],  tanpa mendengar kata-kata lawannya. Dari jawaban Rasulullah SAW. terhadap Hindun diatas dapat dimengerti bahwa  istri berhak untuk mendapatkan  hartanya ( nafkah, harta bersama dan sebagainya) yang menjadi hak para pihak tanpa menunggu perceraian terlebih dahulu. Hal yang demikian berarti yang dilakukan Hindun telah sesuai dengan putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan eksekusi harta bersama  dari penggugat rekonpensi (istri) , sekalipun antara suami istri secara yuridis masih dalam ikatan perkawinan tetapi secara faktual tidak mungkin akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga[36] (pasal 19 huruf (f) PP No.9 tahun 1975 Jo. pasal 116 KHI). karenanya peristiwa Hindun sebagai Qarinah bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, akan tetapi hakim Pengadilan Agama sampai hari ini belum ada yang berani mengabulkan gugatan / permohonan para pihak yang hanya berdasar qarinah belaka. Seharusnya hakim melakukan contra legem seperti menyelesaikan kasus Hindun diatas.

III. Harus Berani Contra Legem
                  Contra legem merupakan istilah hukum dalam bahasa latin yang mempunyai arti pengesampingan peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim yang dikonstruksi dari penemuan hukum dan didapat dari fakta persidangan[37]. Lebih lanjut yang dimaksud contra legem dalam bahasa hukum adalah putusan Hakim pengadilan yang mengesampingkan peraturan perundang- undangan yang ada, sehingga Hakim tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan dengan pasal Undang-Undang[38]. Memberikan kemudahan dengan cara-cara yang dibenarkan peraturan perundangan sebagaimana maksud pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan[39].
         Karena yang penulis maksudkan untuk penyelesaian perkara sederhana tentu hal-hal mengenai pembuktian guna memperlancar pemeriksaan perkara sederhana tidak diperlukan penerapan pembuktian secara imperatif akan tetapi harus contra legem  dan mencukupkan penyelesaiannya melalui Qarinah, Hal yang demikian sangat tepat diterapkan dalam menyelesaikan perkara sederhana  apalagi  ada kewajiban hukum bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan[40].
                Oleh karena volume kasus yang diajukan ke Pengadilan Agama banyak tentang perceraian maka penulis membatasi dan fokus pada pembahasan penyelesaian perkara sederhana, karena menurut penulis perceraian yang sudah dkehendaki suami istri kedua-duanya sudah sepakat bercerai dan  tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga[41] termasuk perkara sederhana.
         Mengingat qarīnah ini dibutuhkan untuk menguatkan hakim dalam memutuskan suatu perkara, Ibnul Qayyim menganggapnya sebagai alat bukti dan kedudukannya sama dengan kedudukan saksi. Diantara Fuqaha berpendapat bahwa qarīnah sama kedudukannya dengan sahnya jual beli yang semata-mata saling menyerahkan antara penjual dan pembeli tanpa ada keterangan kata-kata apapun, hanya berpegangan pada kerelaan masing- masing yang merupakan syarat sahnya jual beli. Kedudukan qarīnah seperti saksi sebagaimana tergambar dalam riwayat bahwa ada seorang laki-laki menitipkan sebuah karung tertutup berisikan uang dinar kepada seorang temannya. Setelah lama kepergian penitip barang tadi maka dibukalah karung tersebut oleh orang yang dititipi, kemudian diambil isinya dan diganti dengan uang dirham lalu dijahit kembali karung itu seperti semula. Kemudian setelah beberapa lama datanglah penitip karung itu lalu meminta kembali karungnya. Tetapi setelah dibuka ia terkejut karena isinya telah berubah menjadi uang dirham, lalu dinyatakanlah kepada yang dititipi : aku dahulu menitipkan kepadamu adalah sebuah karung yang berisikan uang dinar, tetapi ternyata engkau serahkan kepadaku bukan karung yang berisikan uang dinar tetapi uang dirham”. Kemudian dijawab : “ itu adalah karungmu dan tutupnya masih asli”. Maka dibawalah perkara tersebut kepada hakim, kemudian hakim menjatuhkan pernyataan kepada  pemilik barang, “sejak kapan engkau menitipkan barangmu kepadanya?” Ia menjawab “sejak Lima belas tahun yang lalu.” Kemudian hakim mengambil uang dirham tersebut, dan ternyata ada yang baru dibuat dua tahun yang lalu, maka putusan itu dijatuhkan dengan kewajiban kepada pihak yang dititipi untuk mengganti uang dirham dengan uang dinar[42].
         Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Umar bin Khattab pernah menemukan mayat yang di telungkupkan ditengah jalan dan tidak diketahui siapa pembunuhnya, lalu ia berdo’a : “Ya Allah tunjukkanlah kepadaku pembunuhnya”. Kemudian setelah berjalan selama satu tahun ditemukanlah seorang bayi yang diletakkan ditempat mayat tersebut dan ditemukan, kemudian dibawa kepada Khalifah Umar bin Khattab, lalu ia berkata : “dengan ini aku menemukan jejak pembunuhnya”. Kemudian diserahkanlah bayi itu kepada seorang perempuan untuk dipelihara dan diberi sedikit bekal untuk biaya perawatannya, lalu Khalifah Umar bin Khattab berkata: perhatikan siapa yang mengambilnya, dan apabila engkau temukan seorang perempuan mencium dan merangkulnya, maka beritahukanlah kepadaku dimana tempat perempuan itu berada. Setelah beberapa waktu tiba-tiba seorang perempuan berkata kepada si pemelihara bayi tadi : “aku diperintahkan tuan puteri menghadap kemari untuk menyampaikan kepada ibu agar sudi datang kepada tuan puteri dengan membawa bayi ini karena tuan puteri ingin melihatnya dan akan dikembalikan kepada ibu lagi”. Lalu dibawalah bayi tersebut kepada tuan puteri. Setelah dilihatnya bayi itu diciumlah dan dipeluknya. Setelah Khalifah Umar bin Khattab diberitahu, maka dicarilah wanita tersebut dan dituduh sebagai pembunuh mayat yang pernah ditemukan olehnya beberapa waktu yang lalu dan akhirnya wanita itu mengakui dan menceritakan sebab musabab mengapa ia sampai membunuhnya[43].

Kesimpulan
         Setelah penulis menguraikan tentang “ Gunakan  Qarinah dalam memutus perkara sederhana terutama perkara perceraian dan kalau perlu contra legem maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.     Bahwa mejelis hakim sejak awal persidangan harus sudah dapat menggunakan qarinahnya untuk dapat mengarahkan perkara  menjadi “perkara sederhana” terutama perkara perceraian yaitu  Penggugat / Pemohon:
a.     Mempunyai kemauan yang sama, yaitu suami istri sama-sama ingin cerai.
b.     Harus sama-sama hadir dalam sidang yang telah ditetapkan.
c.      Hanya satu tujuan yang penting cepat selesai sidangnya.
d.     Tidak ada eksepsi.
e.      Tidak ada kumulasi.
f.       Sepakat tidak ada yang mengajukan gugatan rekonpensi.
g.     Mengakui dan membenarkan semua alasan gugatan / permohonan.
h.     Berupa Putusan Positif.
Kriteria huruf a s/d h secara kumulatif sekaligus imperative.
2.     Bahwa khusus penyelesaian perkara perceraian tidak sepenuhnya dapat diputus dengan Qarinah semata, akan tetapi tetap dibutuhkan alat bukti surat sebagai bukti adanya perkawinan ( Kutipan Akta Nikah / Duplikat Kutipan Akta Nikah/ para pihak menghadirkan petugas dari KUA wilayah dimana dulu menikah dengan membawa buku register nikah).
3.     Bahwa qarinah hanya dapat diberlakukan dalam menyelesaikan dan memutus perkara perdata tertentu di Pengadilan Agama.

Penutup
         Demikian tulisan yang sangat sederhana ini semoga berguna bagi praktisi hukum dan para pembaca pada umumnya, amiin. Terimakasih

Blitar, 18 Pebruari 2018
Penulis


Drs. H. Sudono, M.H.







Daftar Pustaka
-       Al-Qur’an dan Terjemahnya, Penerbit Al-Hidayah Surabaya, tahun 1971.
-       Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, tt.
-       Ahmad Mujahidin, Dr. M.H., Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan  Agama dan Mahkamah Syar’iyah  Di Iindonesia, IKAHI, Cetakan Pertama, Jakarta, Pebruari, 2008.
-       Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta 2007.
-       Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa A. Hanafi, M.A,, Jilid 10, Bulan Bintang,  Jakarta, 1970.
-       M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian  Al-Qur’an, Volume 12 , Lentera Hati, 2002.
-       Mr.R. Tresna, Komentar HIR, Pasal 164 HIR.,Pradnya Paramita, Jakarta, Nopember 1984.
-       R. Subekti, S.H., Prof.,  Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, April 1987.
-       M.Yahya Harahap, SH. Hukum Acara Perdata, Sinnar Grafika, Jakarta, Oktober 2008.
-       Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam AL-Mufahras Li Al-Fadhil Qur’anil Karim, Maktabah Dahlan Indonesia, tt.
-       Muhammad Salam Madzkur, Al-Qada’ Fil Islam, Darl An-Nahdhah Al- Arabiyah, Beirut, 1964 M / 1384 H.
-       Syeh Sayyid Sabiq, Fiqhussunah, Jilid 3, Darl Fikr, 1992 M/ 1412.
-       Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 ,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta, Cet ke 7, 2006.
-       Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang  Dan Diklat Kementerian  Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik ,  Edisi Revisi, Juz 3, Kamil Pustaka, Cetakan kelima,  Agustus 2018, Jakarta, 2018.
-       Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu,Juz 6, Darl Fikr, 2008.
-       Sudono, Tesis : Eksekusi Putusan Cerai Talak Dan Implikasi Hukumnya Terhadap Harta Bersama, Unisma Malang, 2007.
-       UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
-       UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
-       Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
-       Kompilasi Hukum Islam.
-       Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.
-       Laporan Tahunan Tahun 2018 Pengadilan Agama Blitar.



[1] Hakim Utama Muda Pengadiian  Agama Blitar Kelas 1 A.
[2] Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No.7 tahun 1989.
[3] Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu,Juz 6, Darl Fikr, 2008, hal. 558
[4] Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indnesia, Edisi Ketiga, Jakarta 2007, hal. 430.
[5] Syeh Sayyid Sabiq, Fiqhussunah, Jilid 3, Darl Fikr, 1992 M/ 1412 H, hal. 347.
[6] Ibid.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian  Al-Qur’an, Volume 12 , Lentera Hati, 2002, hal.35.
[8] M.  Quraish Shihab, Volume 2,  Ibid. hal. 444.
[9] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam AL-Mufahras Li Al-Fadhil Qur’anil Karim, Maktabah Dahlan Indonesia, tt, hal.689-690.
[10] Mr.R. Tresna, Komentar HIR, Pasal 164 HIR.,Pradnya Paramita, Jakarta, Nopember 1984, hal.163.
[11] R. Subekti, S.H., Prof.,  Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, April 1987, hal.76.Jo.Pasal 163 HIR.
[12] Departemen Pendidikan Nasional, hal. Oc.Cit.
[13] Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan  Agama dan Mahkamah Syar’iyah  Di Iindonesia, IKAHI, Cetakan Pertama, Jakarta, Pebruari, 2008, hal.234-235
[14] Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hal. 19
[15] Ibid.Hal 13
[16] Wahbah Azzuhaili, Op.Cit., hal. 559.
[17] Syeh Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal. 321.
[18] Syeh Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal. 347.
[19] Ibid.
[20] Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 ,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta, Cet ke 7, 2006,hal. 1450.
[21] Wahbah Azzuhaili, Op.Cit., hal. 560.
[22] Ensiklopedi Hukum Islam, Loc.Cit.
[23] Ensiklopedi Hukum Islam, Ibid., hal. 1450-1451.
[24] Ensiklopedi Hukum Islam, Ibid., hal. 1452.
[25] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa A. Hanafi, M.A,, Jilid 10, Bulan Bintang,  Jakarta, 1970, hal. 253.
[26] Sudono, Tesis : Eksekusi Putusan Cerai Talak Dan Implikasi Hukumnya Terhadap Harta Bersama, Unisma Malang, 2007, hal. 137.
[27] Laoran Tahunan Tahun 2018 Pengadilan Agama Blitar, hal.36.
[28] Melasanakan  Peraturan Mahkamah  Agung Nomor 01 taun 2016 tentang Mediasi di Pengadilan.
[29] Pengadilan Agama Blitar sudah  ada MOU dengan kantor Pos dan Bank BRI Cabang setempat dan berkantor di salah satu ruangan yang disediakan Pengadilan Agama setempat sehingga memudahkan para pihak yang berhubungan dengan membayar panjar biaya  perkara melalui Bank BRI dan  urusan pos terutama nezegelend untuk kepentingan pembuktian di persidangan  Pengadilan  Agama.
[30] M.Yahya Harahap, SH. Hukum Acara Perdata, Sinnar Grafika, Jakarta, Oktober 2008, Hal. 220.
[31] Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu,Juz 6, Darl Fikr, 2008, hal. 559.
[32] Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu,Juz 6, Darl Fikr, 2008, hal. 559
[33] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang  Dan Diklat Kementerian  Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik ,  Edisi Revisi, Juz 3, Kamil Pustaka, Cetakan kelima,  Agustus 2018, Jakarta, hal.  149.
[34] Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 ,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta, Cet ke 7, 2006, hal. 1452.
[35] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa A. Hanafi, M.A,, Jilid 10, Bulan Bintang,  Jakarta, 1970, hal. 253.
[36] Sudono, Tesis : Eksekusi Putusan Cerai Talak Dan Implikasi Hukumnya Terhadap Harta Bersama, Unisma Malang, 2007, hal. 137.
[38] https://www.google.com/search?client=firefox ab&q=apa+itu+contra+legem+menurut+hukum.
[39] Pasal  2 ayat (4) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[40] Pasal  4 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[41] Pasal 19 huruf f PP.No.9 tahun 1975,  Jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam
[42] Muhammad Salam Madzkur, Al-Qada’ Fil Islam, Darl An-Nahdhah Al- Arabiyah, Beirut, 1964 M / 1384 H. hal.96.
[43] Ibid.