GUNAKAN QARINAH
DALAM MEMUTUS PERKARA
SEDERHANA
KALAU PERLU CONTRA LEGEM
Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1].
Kata Kunci : Qarinah, Perkara Sederhana dan Contra Legem.
Pendahuluan
Salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia berdasarkan Undang-undang
RI Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama adalah dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi[2] karenanya semua peradilan di seluruh wilayah
negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang, termasuk
Pengadilan Agama Blitar berwenang memeriksa dan mengadili perkara tertentu
yang berhubungan dengan
permasalahan hukum keluarga, sehingga Pengadilan Agama mempunyai tugas
pokok dan paling utama yaitu mendamaikan para pihak .
Pasal 49 UU
Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989
tentang peradilan agama menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan,
b. waris, c. wasiat;, d. hibah,
e. wakaf, f. zakat, g. infaq,
h. shadaqah; dan i. ekonomi
syari'ah. Selanjutnya
yang dimaksud dengan bidang
"perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah.
Semua perkara yang sudah masuk ke Pengadilan
Agama menjadi masalah hukum yang aktual
dan membutuhkan penyelesaian yang arif, bukannya sekedar memeriksa,
memutus begitu saja, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelesaikannya
(eksekusi ) sampai tuntas. Sahabat Umar bin Khothob RA.dalam suratnya
kepada Abu Musa Al Asy’ari pernah menyatakan bahwa: Suatu kebenaran ( putusan
hakim ) yang tidak dilaksanakan tidak
ada gunanya. Ini berarti bahwa puncak serta inti dari proses berperkara adalah
pelaksanaan putusan hakim.
Salah satu bidang perkawinan adalah menyelesaikan perkara cerai gugat
dan cerai talak dengan se-sederhana mungkin, secepat mungkin sekaligus biaya
ringan. Karena itulah penulis tertarik untuk menulis tentang Qarinah dengan judul “Gunakan
Qarinah Dalam Memutus Perkara
Sederhana Kalau Perlu Contra Legem” , dengan harapan ikut mengurai melonjaknya perkara yang diterima
Pengadilan Agama terutama perceraian, termasuk mensiasati penyelesaian perkara dengan mudah, cepat, sehingga setiap
laporan tahunan bisa turun drastis.
Permasalahan
1. Apa yang menjadi kriteria “perkara sederhana” sehingga dalam memutus
menggunakan Qarinah dan kalua perlu contra legem.
2. Sejauh mana dalam memutus “perkara sederhana” menggunakan Qarinah masih
diperlukan pembuktian lainnya.
I.
TENTANG QARINAH
Qarinah secara bahasa berarti suatu tanda yang menunjukkan kepada
sesuatu yang dicari dan di inginkan. Adapun secara istilah adalah setiap petunjuk yang tampak yang menyertai sesuatu yang tersembunyi yang bisa menunjukkan
keberadaan sesuatu yang tersembunyi tersebut. Dari definisi ini, dapat diambil kesimpulan bahwa suatu qarinah harus memenuhi dua unsur. Pertama, ada sesuatu yang tampak dan
biasa dikenal yang secara dasar layak
dijadikan sebagai sandaran. Kedua, adanya korelasi yang relevan antara sesuatu yang tampak dan sesuatu yang tersembunyi[3]. Dengan demikian qarinah dapat diartikan juga sebagai
indikasi yaitu tanda-tanda yang menarik perhatian, petunjuk[4]. Pengertian yang hampir sama juga datang dari Syeh Sayyid
Sabiq, bahwa Qarinah adalah tanda atau petunjuk yang mencapai batas keyakinan[5]. Sehingga menurutnya Qarinah yang demikian ini
diambil oleh seorang hakim bila dia merasa pasti bahwa kenyataan itu cukup
meyakinkan[6].
Kalau menurut M.
Quraish Shihab[7], Qarana mengandung makna kebersamaan dua pihak
atau lebih dalam satu hal yang sama.
Sesuatu yang mendampingi pihak lain, maka dia adalah Qarin dari pihak
itu, dan pihak lainpun menjadi Qarin baginya. Penggunaan kata ini mengesankan bahwa teman penghuni surga
yang di bicarakan di sini adalah teman yang
tadinya begitu akrab dengannya. Namun dia mengorbankan persahabatan itu
setelah jalan keduanya berbeda. Yang ini mukmin dan yang itu enggan percaya.
Sehingga Qarin adalah sesuatu yang selalu menyertai seseorang, ia bisa berupa manusia, setan, jin atau
bahkan malaikat. Qarin yang berupa setan akan menjerumuskan manusia, bahkan
semua Qarin akan mempengaruhi manusia, baik atau buruk , karena itu Nabi
berpesan agar pandai-pandai memilih teman[8]. Al-Quran banyak menyebut kata Qariin, Quruun lebih
dari 15 kali, antara lain QS. As-Shaffat[9] ayat 51, Az-Zuhruf ayat 36 dan 37 dan ayat-ayat lainnya
yang membahas masalah kebersamaan, pertemanan dua pihak yang dapat dijadikan Qarinah
oleh hakim dalam menyelesaikan persoalan hukum .
Allah SWT meletakkan berbagai tanda, alamat, dan indikasi untuk suatu hak yang wujud dan legal, yang tanda-tanda dan indikasi-indikasi itu menunjukkan keberadaan hak tersebut serta mengungkapnya
ke permukaan. Allah SWT meletakkan
berbagai tanda, alamat, dan indikasi- indikasi yang menunjukkan
keimanan dan kemunafikan. Rasulullah saw. dan para sahabat setelah beliau memperhitungkan tanda, alamat, dan indikasi-indikasi petunjuk dalam masalah hukum. Mereka menjadikan tanda, alamat, dan indikasi-indikasi
tersebut sebagai alat untuk mengungkap
fakta-fakta hukum.
Selama ini
fokus hukum pembuktian mengacu pada aturan normatif HIR dan masih stagnan
sampai sekarang, belum ada perkembangan baik melalui jadge made law maupun
yurisprudensi. Itulah makna alat bukti yang dapat dipergunakan dalam persidangan
yaitu alat bukti surat, bukti saksi, sangka, pengakuan, sumpah[10],
yang diawali ungkapan barang siapa yang
mendalilkan mempunyai suatu hak , atau yang guna menguatkan haknya atau untuk
membatah hak orang lain , menunjuk
kepada sesuau peristiwa , diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut[11].
Padahal selain
lima alat bukti diatas masih ada satu
lagi yang disebut Qarinah
(القرينة), berasal dari bahasa
arab “Qarana” jamaknya Qara’in, bentuk
mu’anas al-Qariin menunjukkan jenis, pasangan perempuan[12].
Kata qarana, yang artinya jama’a (menggabungkan atau mengumpulkan) atau
shaahaba (membarengi atau membersamai, atau menemani ). Jadi qarinah menurut
pengertian bahasa Arab artinya sesuatu yang berkumpul atau membarengi atau
menemani sesuatu yang lain.
Selain Qarinah
dalam praktek terdapat satu alat bukti lagi yaitu “Pengetahuan Hakim “ yaitu
keadaan yang diketahui langsung oleh majelis hakim dalam persidangan, misalnya
majelis hakim melihat sendiri pada waktu
melakukan pemeriksaan setempat, bahwa
benar di tubuh penggugat memar bekas pukulan tergugat, atau antara penggugat
dan tergugat tidak menunjukkan adanya sengketa perkawinan di dalam persidangan[13].
Adapun menurut istilah dalam ushul fiqih, qarinah menurut Syaikh ‘Atha bin
Khalil adalah setiap apa-apa yang memperjelas jenis tuntutan dan menentukan
makna tuntutan itu jika dia digabungkan atau dibarengkan dengan tuntutan
tersebut. (kullu maa yubayyin nau’ al thalab wa yuhaddidu ma’nahu idzaa maa
jama’a ilaihi wa shaahabahu [14]).
Setelah penulis
menyinggung sedikit tentang jenis alat bukti sebagaimana yang sudah
dipraktekkan dalam persidangan akan tetapi ada alat bukti yang luput dari
jangkauan normatif hukum yang mampu menjawab persoalan hukum yaitu “Qarinah”.
Karena itu Qarinah tak dapat dilepaskan
dari kaidah ushul fiqih (qa’idah ushuliyah) yang berbunyi : al ashlu fi ma’na
al amr at thalab (asal dari makna perintah adalah tuntutan). Artinya, jika
terdapat perintah (amr) dalam Al Qur`an atau As Sunnah, maka pengertian dasar
dari amr itu adalah tuntutan (thalab). Yang menentukan jenis amr itu, apakah
berupa amr yang jazm (tegas), atau amr yang ghair jazm (tidak tegas), atau amr
yang berupa takhyir (pilihan), adalah qarinah-qarinah yang menyertai amr
tersebut[15].
Berdasarkan kadar kuat lemahnya korelasi tersebut, qarinah terbagi menjadi qarinah yang kuat dan qarinah
yang lemah. Fuqaha dan para qadhi
memiliki penilaian yang cukup signifikan
dalam mengartikan dan menarik
kesimpulan-kesimpulan tertentu dari qarinah. Apabila suatu qarinah
bersifat qath'i
atau pasti dan mencapai tingkatan
yakin, seperti menvonis seseorang bahwa
ia adalah pelaku pembunuhan ketika ia
terlihat dalam keadaan gugup dan ketakutan
serta berlumuran darah sambil memegang
sebilah pisau di samping seseorang yang
tergeletak bermandikan darah, qarinah ini dianggap sebagai bayyinah (alat bukti) final yang cukup untuk dijadikan sebagai dasar putusan hukum.
Adapun jika qarinah
yang ada tidak bersifat qath'i, tetapi hanya baru mencapai tingkatan zhanniyyah aghlabiyyah (dugaan kuat) saja, seperti qarinah 'urfiyyah (yang bersifat biasanya) atau qarinah yang disimpulkan dari fakta-fakta
gugatan dan dakwaan yang ada serta
tindakan-tindakan para pihak yang beperkara, itu hanya
baru sebatas bukti petunjuk awal yang
memperkuat posisi salah satu pihak yang beperkara jika memang hakim meyakini
hal itu, sementara tidak ada dalil dan alat bukti lain
atau hingga bisa dilakukan pembuktian sebaliknya dengan berdasarkan suatu cara yang lebih kuat.
Qarinah berlaku untuk perkara perdata;
Perkara perdata yang diselesaikan melalui Pengadilan
Agama adalah paling banyak
dibandingkan dengan perkara yang diselesaikan oleh peradilan lainnya. Sebut saja
masalah perceraian yang didominasi oleh cerai gugat ( inisiatif yang mengajukan
perkara datang dari pihak istri), lalu
disusul dengan cerai talak (inisiatif yang mengajukan perkara datang dari pihak
suami) dan tidak semua dalil /alasan dari para pihak yang mengajukan perkara
tidak banyak orang yang mengetahui,
melihat, mendengarkannya, bahkan keluarga sendiripun banyak yang tidak tahu, apalagi
sampai tetangganya semua tidak ada yang tahu. Terus bagaimana suami istri yang
sudah tidak mungkin dirukunkan kembali masih tetap harus dipertahankan dengan
alasan tidak ada orang yang mengetahui, melihat dan mendengarkan adanya
peristiwa hukumnya ? atau dengan kata lain saksi-saksi tidak ada yang tahu
alasan dan peristiwa hukumnya. Karenanya
menurut penulis perkara yang telah diajukan ke Pengadilan harus segera
diselesaikan dan diputus dengan
menggunakan Qarinah sepanjang dalam “perkara sederhana” khususnya perkara perceraian.
Bahkan
Qarinah-qarinah tersebut bisa digunakan sebagai dasar penetapan hukum dalam ruang lingkup
muamalat atau transaksi bisnis (perdata) dan ahwal syakhshiyyah[16] (personal status) ketika tidak ditemukan bayyinah dalam pembuktian dan penetapan hak-hak yang muncul dari transaksi bisnis atau ahwal syakhshiyyah tersebut sebagaimana diperhitungkannya alamat dan
tanda-tanda dalam masalah barang temuan (luqathah).
Keterangan tentang ciri-ciri dan
spesifikasi-spesifikasi barang temuan yang
dikemukakan oleh pihak yang mengklaim barang
itu miliknya, dijadikan sebagai tanda dan
alamat yang menunjukkan kejujurannya sehingga bisa ditetapkan
bahwa barang temuan itu adalah miliknya.
Sampai-sampai Sahabat Umar
Ibnul Khaththab berkirim surat kepada Abdullah bin Qais ( nama julukan Abu Musa
Al-Asy’ari ) : “Sesungguhnya peradilan itu adalah fardlu yang dikukuhkan dan
sunnah yang diikuti. Maka fahamilah bila peradilan dibebankan padamu, karena sesungguhnya
tiada bermanfaat membicarakan kebenaran (putusan hakim) tanpa melaksanakannya[17] (eksekusi). Samakan hak semua orang
di hadapanmu, di dalam pengadilanmu, dan
di dalam majelismu sehingga orang yang terpandang tidak menginginkan kecenderunganmu kepadanya, dan orang yang
lemah tidak putus asa dari keadilanmu. Pembuktian itu wajib bagi orang yang
mendakwa, dan sumpah itu wajib bagi orang yang menolak dakwaan. dan
seterusnya....itulah sekelumit isi surat yang sangat berarti bagi pelaksana
kekuasaan kehakiman di Indonnesia terutama harus memahami terlebih dahulu
tentang Qarinah, lalu syahadah, bayyinah, iqrar, qasamah, dan bukti-bukti lainnya.
Berikut contoh kasus perdata :
- Tentang perselisihan barang-barang
perabot rumah tangga:
Di antara bentuk qarinah fiqih adalah ketika terjadi
perselisihan antara suami dan istri mengenai
kepemilikan suatu barang dan perabotan rumah,
jika barang perabotan rumah itu pantasnya adalah dimiliki orang laki-laki, barang itu dianggap milik suami, seperti surban dan pedang.
Sedangkan barang yang pantasnya adalah dimiliki kaum perempuan saja, seperti perhiasan dianggap milik
istri, berdasarkan kesaksian kondisi lahiriah dan
catatan adat kebiasaan serta tradisi.
-
Tentang keberadaan sesuatu di tangan seseorang:
Di antara bentuk qarinah hukum adalah memutuskan bahwa sesuatu itu adalah untuk orang yang benda itu
berada di tangannya, atas dasar pertimbangan bahwa keberadaan sesuatu di tangan
seseorang merupakan qarinah yang menunjukkan
kepemilikan yang sesuai dengan zahirnya, termasuk siapa yang
mengenakan baju anti peluru berarti ia
pemiliknya kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
- Tentang kehamilan:
Para sahabat menjadikan kehamilan sebagai alamat dan tanda yang
menunjukkan telah terjadinya perzinaan sehingga
berdasarkan itu, mereka menjatuhkan
hukuman had zina kepada perempuan meskipun tidak mengaku dan tidak ada kesaksian empat orang saksi. Mereka bahkan
menjadikan kehamilan sebagai alat bukti yang lebih
kuat dan lebih jujur dari pada
kesaksian.
- Tentang siapa pemilik tepung gandum
yang ada di kapal:
Orang-orang Hanafi menyebutkan contoh
yang seperti ini pula, apabila dua orang
berselisih dalam urusan kapal yang didalamnya terdapat tepung gandum, sedang
salah seorang dari keduanya itu seorang pedagang dan yang lain seorang tukang
kapal, dan salah satu dari kedua orang
itu tidak mempunyai bukti, maka gandum
itu bagi orang yang pertama (pedagang), dan kapal bagi orang kedua (tukang
kapal[18] ).
- Tentang minuman keras:
Mereka menjadikan bau minuman keras pada mulut seseorang dan muntah-muntah
minuman keras yang dikeluarkannya, sebagai alamat dan tanda yang menunjukkan bahwa ia telah meminum minuman keras sebagai ganti alat bukti berupa iqrar (pengakuan) dan kesaksian dua orang saksi.
- Tentang penyembelihan onta:
Rasulullah saw. menjadikan tindakan
orang-orang kafir Quraisy yang
menyembelih sepuluh atau sembilan unta pada
Perang Badar sebagai alamat dan tanda yang menunjukkan bahwa jumlah mereka waktu itu sekitar sembilan ratus sampai seribu orang.
-
Tentang nasabnya seorang anak :
Begitu pula untuk mengetahui tetapnya nasab seorang anak
adalah dari suaminya, karena pengamalan hadis yang mulia ”Al waladu lil
firasyi” artinya anak itu bagi yang mempunyai istri (suami[19]).
-
Tentang adanya bekas darah di pedang:
Rasulullar saw.
memperhitungkan suatu tanda pada pedang dan adanya bekas darah pada pedang itu dalam menetapkan keputusan hukum bahwa as-salab (harta benda yang berada bersama orang kafir yang terbunuh dalam peperangan) adalah untuk salah satu pihak yang bersengketa mengenai status kepemilikar as-salab tersebut. Beliau menempatkan dan memposisikan suatu bekas pada posisi bayyinah.
Demikian juga bahwa
Qarinah berarti tanda atau indikasi yang menunjukkan ada atau tidak adanya sesuatu. Umpamanya, kelihatan seseorang baru saja keluar dari
sebuah rumah dan pada tangannya ada sebilah pisau
yang berlumuran darah. Kemudian ternyata dalam rumah itu ada jenazah tergeletak yang baru terbunuh dengan tusukan pisau. Maka keluarnya seseorang yang membawa pisau berdarah dari rumah itu
tadi adalah qarinah yang menunjukkan atau menimbulkan kecurigaan kuat bahwa dialah pembunuhnya[20].
-
Tentang benda curian:
Seseorang kecurian
suatu benda, kemudian benda itu ditemukan di rumah seseorang
maka hal itu adalah qarinah bahwa
pemilik rumah itulah pencuri benda itu,
atau setidaknya bisa dituduh ada
hubungannya dengan pencuri seperti sebagai
penadah, atau pencuri menitipkan benda itu
di rumah Fulan.
- Tentang usia baligh bagi laki-laki:
Rasulullah
SAW.memperhitungkan telah tumbuhnya rambut kemaluan bagian depan dalan masalah kebalighan dan menjadikannya sebagai tanda dan alamat
kebalighan. Dengan demikian, pada
kasus bani Quraizhah, beliau membunuh
anak laki-laki yang sudah tumbuh rambut pada kemaluan bagian depannya, sedangkan yang belum tumbuh rambut pada kemaluan depannya maka beliau membiarkannya
hidup.
- Tentang barra’ah ar-rahim;
Rasulullah SAW. menjadikan haid sebagai tanda dan alamat bahwa tidak ada janin pada rahim seorang perempuan (baraa'ah
ar-rahim). Mengenai darah yang
dikeluarkan oleh seorang
perempuan dan ia ragu apakah itu darah haid ataukah darah istihadhah,
beliau menjelaskan indikasi dan tanda-tanda untuk membedakan
antara darah haid dan darah istihadhah. Beliau menjelaskannya
berdasarkan waktu keluarnya darah dan warnanya[21].
- Tentang
Qarinah harta rikaz dan luqathah.
Ulama
Hanabilah membedakan antara harta rikaz dan luqathah dengan berdasarkan pada Qarinah, alamat dan tanda-tanda yang ada. Mereka mengatakan bahwa harta rikaz adalah harta yang dipendam oleh orang Jahiliah dan itu bisa diketahui dengan melihat alamat dan tanda-tanda yang ada pada harta tersebut, seperti nama para raja Jahiliah, gambar-gambar mereka, dan simbol-simbol salib mereka.
Adapun
jika pada harta itu terdapat Qarinah, tanda dan alamat-alamat kaum muslimin, seperti nama-nama mereka atau seperti tulisan Al-Qur'an dan sebagainya, itu adalah harta luqathah karena itu adalah harta milik seorang muslim yang tidak diketahui secara pasti bahwa kepemilikannya atas harta itu telah
hilang. Jika pada sebagian harta itu
terdapat Qarinah, tanda-tanda yang identik dengan Islam, sedangkan pada sebagian yang lainnya terdapat tanda-tanda yang identik dengan kaum kafir, harta itu dihukumi sebagai harta luqathah karena zahirnya adalah harta itu telah menjadi milik seorang muslim yang ia pendam dalam tanah.
Adapun
jika harta itu tidak memiliki suatu tanda apa pun (tidak ada Qarinah) , harta itu dihukumi
sebagai harta luqathah, sebagai bentuk memenangkan dan mengunggulkan pertimbangan Islam. Itulah sebabnya banyak
ulama salaf menjadikan Qarinah sebagai salan satu cara pembuktian dengan
berbagai argumentasinya berikut ini.
Argumentasi Qarinah sebagai alat bukti:
Untuk mengetahui sejauhmana
argumentasi qarinah sebagai alat bukti maka berikut para Fukaha (ahli-ahli fikih) menganggap sah menjadikan qarinah sebagai
salah satu cara pembuktian[22]. Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan untuk itu antara lain:
- Pertama, Dalam menceritakan peristiwa Nabi Yusuf AS yang dikhianati oleh saudara-saudara kandungnya dengan melemparkannya ke dalam sebuah sumur, namun mereka membohongi orang tuanya (Nabi Ya`qub AS) bahwa Yusuf AS dimakan serigala, Allah SWT berfirman yang artinya: "Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya`qub berkata: 'Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan" (QS.12:18). Al-Qurtubi (seorang ahli tafsir dan pengarang kitab tafsir terkenal Al-Jämi` li Ahkam al-Qur'an)
menjelaskan
dalam karyanya itu, bahwa ahli-ahli fikih
berdasarkan ayat tersebut menetapkan sahnya
qarinah sebagai salah satu cara pembuktian di pengadilan dalam memutuskan perkara.
Nabi Ya`qub AS, menurut al-Qurtubi,
berdasarkan Qarinah dapat menebak secara
tepat kedustaan saudara Nabi Yusuf AS. Qarinah itu ialah, bahwa baju
Yusuf AS yang diberitakan telah dimakan serigala
itu ternyata tidak robek. Seandainya benar Yusuf AS dimakan serigala seperti dilaporkan saudara-saudaranya itu,
tentu bajunya robek. Dalam satu riwayat, menurut al-Qurtubi, dikatakan, ketika
Nabi Ya`qub AS melihat baju yang berlumuran darah (palsu) itu tidak robek, ia berkata: "Kapan serigala itu menjadi
bijaksana sehingga bisa memakan Yusuf tanpa harus merobek bajunya?" Ungkapan bernada pertanyaan tersebut sebagai sindiran bahwa
dia tahu akan kebohongan saudara-saudara Nabi Yusuf AS.
-
Kedua, Kisah Zulaikha (istri seorang pembesar Mesir) yang menggoda Nabi Yusuf AS seperti diungkapkan dalam Al-Qur'an. Dalan cerita ini, ketika Zulaikha menggoda Yusuf AS untul berbuat serong, Yusuf AS menolak dan berupaya menghindar dengan lari ke
luar rumah, namun Zulaikha mengejarnya.
Firman Allah SWT dalam surah Yusuf (12) ayat 25 yang artinya:
"Dan keduanya berlomba-lomba menuju
pintu dan wanita menarik baju gamis
Yusuf dari belakang koyak dan
kedua-duanya mendapati suami wanita itu
di muka pintu. Wanita itu berkata: 'Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?'"
Dalam pernyataan Zulaikha di atas kelihatan betapa liciknya wanita itu, setelah ia menggoda dan mengejar Yusuf AS sampai baju Yusuf AS robek, di hadapan
suaminya ia justru menuduh bahwa Yusuf AS lah
yang ingin berbuat serong terhadap dirinya dan menuntut agar suaminya menimpakan hukuman terhadap diri Yusuf AS. Dalam peristiwa ini kelihatan
betapa jelinya seorang saksi ahli atau juru penyelesai dengan mengatakan, "...Jika baju
gamisnya koyak di muka, maka wanita
itu benar, dan Yusuf termasuk
orang-orang yang dusta. Dan jika baju
gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar" (QS.12:26-27).
Dalam
kisah di atas saksi itu menggunakan Qarinah
untuk menebak siapa yang salah
dan siapa yan benar. Dan kenyataan
baju Yusuf AS koyak sebelah belakang dapat diketahui bahwa Yusuf AS adalah pihak yang dikejar oleh wanita itu dan wanita adalah pihak yang mengejar Yusuf AS.
-
Ketiga, Hadis riwayat Imam Muslim dari Abdur Rahman bin Auf, bahwa dua orang dari kalangan Ansar waktu Perang Badar berhasil membunuh Jahal dan lalu masing-masing melapor kepada Rasulullah SAW. Menjawab pertanyaan Rasululllah SAW siapa di antara keduanya yang membunuhnya, masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang
membunuhnya. Lalu Rasulullah SAW
berkata lagi, kalian sudah membasuh pedang kalian? masing-masing menjawab, "Belum." Setelah melihat tanda
atau bekas darah pada pedang
masing-masing, Rasulullah SAW lalu
berkata: Kalau begitu kalian berdualah yang membunuhnya." Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW menetapkan pembunuhnya bukan hanya
seorang, tetapi kedua orang itulah pembunuhnya, adalah berdasarkan Qarinah, yaitu bekas darah yang terdapat pada masing-masing pedang. Oleh karena
itu berdasarkan beberapa argumentasi tersebut di atas ulama fikih sepakat menjadikan qarinah sebagai
alat bukti ada yang dengan tegas
menerimanya[23] dan ada pula yang tidak tegas.
-
Keempat, Berbagai pendapat Imam
Madzhab Qarinah sebagai alat bukti.
Mazhab
Maliki dan Mazhab Hanbali secara
tegas dalam
literatur-literatur fikih mereka qarinah sebagai alat bukti. Begitu juga dalam mazhab lainnya seperti Mazhab Syafil dan meskipun tidak secara tegas menerimanya dalam beberapa kasus
fatwa-fatwa fikih menunjukkan menerima qarinah
sebagai pembuktian. Misalnya, fatwa tentang harta terpendam yang ditemukan
oleh orang Islam, jika terdapat tanda-tanda
yang menunjukkan harta itu kepunyaan orang Islam, maka qarinah itu cukup untuk
menganggap harta itu sebagai harta luqatah,
yaitu harta tercecer atau hilang dari pemiliknya. Oleh karena itu, terhadap harta itu diperlakukan hukum luqatah. Adapun jika pada harta
itu terdapat tanda-tanda (qarinah) yang
menunjukkan kepunyaan orang kafir harbi
(kafir orang Islam), maka harta itu dapat dianggap sebagai harta rikaz ( iqtä'), yaitu harta terpendam yang secara sah boleh
digunakan pihak yang menemukannya dengan
membayar zakatnya.
Menguji Kekuatan Qarinah
Pada dasarnya setiap keadaan yang dapat menimbulkan kecurigaan kuat terhadap terjadinya suatu peristiwa dapat dianggap sebagai Qarinah. Abdul Qadir Audah (w. 1373 H/1945 M) seorang ahli hukum Islam berkebangsaan
Mesir) mengemukakan beberapa bentuk qarinah yang dapat dijadikan alat
bukti dalam memutuskan hukum. Bukti-bukti
nyata sebagai berikut :
- Kehamilan seorang wanita
yang tidak bersuami sebagai qarinah yang menimbulkan kecurigaan kuat hahwa wanita itu telah melakukan zina.
- Keberadaan Jenazah di tengah sebuah
perkampungan sebagai qarinah bahwa pembunuhnya adalah penduduk perkampungan itu.
- Ketika penggugat tidak dapat mengemukakan bukti,
bilamana tergugat tidak mengakui gugatan
itu, ia diminta untuk bersumpah bahwa
ia tidak bersalah. Jika ia enggan
bersumpah, maka keengganannya untuk bersumpah
bisa dianggap sebagai qarinah bahwa ia bersalah.
- Adanya bau khamar yang keluar dari mulut seseorang adalah qarinah bahwa ia baru saja
selesai meminum khamar.
- Terdapat suatu benda yang ditemukan di jalan umpamanya, untuk mengetahui
pemiliknya bisa dengan
memakai qarinah, yaitu orang yang mengetahui tentang sifat, warna, atau jumlah bilangan barang itu, pengetahuannya itu adalah qarinah
bahwa dialah pemiliknya.
Meskipun ulama sepakat, seperti telah dikemukakan di atas, bahwa qarinah bisa dijadikan
salah satu cara pembuktian, namun
dalam masalah jarimah (tindak
kejahatan) mereka berbeda pendapat tentang bentuk kasus yang dapat
diberlakukan qarinah sebagai alat bukti. Jumhur ulama fikih berpendapat, dalam masalah jarimah, qarinah hanya
dapat diberlakukan dalam masalah-masalah
yang dapat dibuktikan dengan jalan qasamah
(bersumpah dengan menyebut nama Allah SWT sebanyak lima puluh kali), karena hal itulah petunjuk langsung
dari Syar’i (pembuat hukum; Allah SWT dan Rasul-Nya). Bentuk kasus yang dapat dibuktikan dengan qasamah adalah,
bahwa keberadaan mayat di satu perkampungan
atau di samping rumah seseorang dapat dianggap sebagai qarinah bahwa
pembunuhnya adalah penduduk kampung atau
pemilik rumah itu, sebagaimana telah penulis jelaskan tantang menguji kekuatan qarinah
diatas.
Menurut Mazhab Hanafi bila penduduk kampung yang
dicurigai itu tidak mengakuinya, maka diminta
untuk melakukan qasämah dan menurut Mazhab
Syafi` keluarga terbunuh disuruh bersumpah lima puluh kali bahwa tuduhan mereka adalah benar. Dalam bentuk-bentuk kasus lain selain dari bentuk
kasus tersebut, qarinah tidak bisa
diberlakukan secara tersendiri. Alasannya, qarinah adalah pembuktian yang tidak meyakinkan. Padahal pembuktian
kasus-kasus jarimah (tindak kejahatan) memerlukan bukti yang meyakinkan, kecuali ada ketegasan dari Syäri’
bahwa kejahatan itu dapat
dibuktikan dengan qarinah seperti dalam masalah qasämah. Oleh karena itu dalam
masalah pidana qarinah tidak dapat berdiri sendiri dan harus dikuatkan dengan
bukti-bukti lainnya.
Berbeda dengan itu, Ibnu Qayyim al-Jauziah
dari kalangan Mazhab Hanbali
mengatakan bahwa qarinah bisa dijadikan alat bukti dalam seluruh tindak kejahatan. Alasannya, seandainya qarinah tidak
dapat dianggap sebagai
bukti tersendiri dalam tindak kejahatan, maka akan banyak tindak kejahatan yang luput dari pembuktian yang meyakinkan, karena begitu
sering terjadi tindak kejahatan yang tidak dapat
dibuktikan dengan mata
kepala atau dengan pengakuan dari pelakunya. Agar kejahatan tidak ada yang luput dari pemantauan yang berwajib, qarinah yang
kuat atas terjadinya
suatu tindakan dianggap cukup untuk memutuskan hukum. Namun demikian, mereka
sepakat bahwa pihak hakim hendaklah melakukan
penyelidikan secara cermat terhadap
kebenaran suatu Qarinah[24]. Qarinah yang
dapat dijadikan bukti, adalah Qarinah yang menimbulkan dugaan keras atau zanni (relatif benar) yang
dalam bahasa Al-Humaedi (seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Arab Saudi)
disebut ‘ilm at-tuma’ninah (pengetahuan yang menenangkan hati atau tidak
mengandung keraguan yang berarti).
Demikian juga Hindun
pernah mengadukan kepada Rasulullsah SAW. bahwa Abu Sufyan (suaminya) itu
seorang laki-laki yang bakhil , apakah dia boleh mengambil hartanya tanpa
seijin dari suaminya, maka Rasululah menjawab : Khudhii ma yakfiki wa waladaki bil ma’rufi, artinya : Ambillah harta
darinya yang mencukupi engkau dan anakmu dengan cara yang baik[25], tanpa mendengar kata-kata lawannya. Dari
jawaban Rasulullah SAW. terhadap Hindun diatas dapat dimengerti bahwa istri berhak untuk mendapatkan
hartanya ( nafkah, harta bersama dan sebagainya) yang menjadi hak para
pihak tanpa menunggu perceraian terlebih dahulu. Hal yang demikian berarti yang dilakukan
Hindun telah sesuai dengan putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan
eksekusi harta bersama dari penggugat
rekonpensi (istri) , sekalipun antara suami istri secara yuridis masih dalam
ikatan perkawinan tetapi secara faktual tidak mungkin akan hidup rukun kembali
dalam rumah tangga[26]
(pasal 19 huruf (f) PP No.9 tahun 1975 Jo. pasal 116 KHI). karenanya peristiwa
Hindun sebagai Qarinah bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, akan tetapi
hakim Pengadilan Agama sampai hari ini belum ada yang berani mengabulkan
gugatan / permohonan para pihak yang hanya berdasar qarinah belaka.
Seharusnya hakim melakukan contra legem seperti menyelesaikan kasus Hindun
diatas tanpa memerlukan saksi.
Untuk lebih mengetahui kondisi riil masyarakat
yang menjadi kompensi relative Pengadilan Agama Blitar berdasarkan laporan tahunan tahun 2018[27] bahwa pada tahun 2018
Pengadilan Agama Blitar memutus sisa perkara tahin 2017 sebanyak 913 perkara
dan memutus perkara sebanyak 3838 perkara
untuk perkara tahun 2018. Sehingga jumlah perkara
yang diputus tahun 2018 berjumlah 4736 perkara.
II. MEMAKNAI “PERKARA SEDERHANA”
Setiap perkara baru yang telah diserahkan kepada ketua majelis
untuk ditetapkan hari sidangnya, terlebih dahulu ketua majelis harus membaca, meneliti dan
mencermatinya lalu memberi catatan-catatan penting. Sejak awal diterima
sebuah perkara baik permohonan maupun gugatan diperlukan ketajaman mata
hati (muhasafatul qulub) seorang hakim
untuk menganalisanya. Di analisa apakah perkara yang diserahkan kepada ketua
majelis yang menurutnya termasuk perkara
sederhana atau perkara biasa atau perkara sulit. Oleh karena itu perlu
dirumuskan tentang kriteria perkara sederhana. Kalau dalam sidang
pertama atas pertanyaan majelis hakim, Tergugat/Termohon sudah menjawab “ saya
keberatan bercerai” atau “saya masih mencintainya” atau jawaban dengan istilah
lainnya yang mengindikasikan adanya keberatan bercerai dengan Penggugat/Pemohon,
tentu kasus tersebut tidak dapat di katakan sebagai perkara sederhana.
Padahal penulis ingin ikut mengurai dalam mengatasi lonjakan
perkara agar dapat terselesaikan dengan cepat, kalau perlu sekali sidang langsung putus, bahkan Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI. dalam
beberapa kesempatan selalu menyampaikan bahwa hendaknya perkara dapat
diselesaikan dengan cepat dan yang sudah
putus langsung one day minute dan one
day publis harus tercapai.
Perceraian termasuk Perkara
Sederhana
Sehubungan dengan maksud diatas penulis mencoba membuat
kriteria perkara sederhana, tentu
tulisan ini mengundang contra dari para pembaca dan berharap contra tersebut
sebagai tanggapan, yang pasti bermanfaat.
Kriteria
perkara sederhana adalah :
1.
Mempunyai
kemauan yang sama, yaitu suami istri sama-sama ingin bercerai.
Karenanya
jika Tergugat/Termohon masih ada jawaban” aku masih mencintai atau masih sayang atau
saya tidak mau bercerai”, tidak
termasuk perkara sederhana. Jadi begitu ditanyakan kepada tergugat/termohon dan
jawabannya sudah seperti itu, hakim langsung menggunakan qarinahnya
bahwa yang dihadapi bukan termasuk perkara sederhana.
2.
Harus
sama-sama hadir dalam sidang yang telah ditetapkan.
Kalau
salah satunya tidak hadir pada sidang
pertama, atau sidang kedua juga tidak hadir, sehingga ada putusan verstek maka ketidak
hadiranyya itu tidak termasuk perkara sederhana, karena masih terbuka
kemungkinan tergugat/termohon mengajukan verzet sesuai waktu yang ditentukan
undang-undang.
3.
Hanya
satu tujuan yang penting cepat selesai sidangnya.
Ternyata
jika salah satu pihak hadir dalam
persidangan, sedangkan pihak lainnya tidak hadir atau secara bergantian tidak hadir, maka tidak termasuk perkara
sederhana, karena ada indikasi mengolor-olor waktu agar sidangnya tidak cepat
selesai.
4.
Tidak ada eksepsi
Kalau
sejak awal persidangan Tergugat/Termohon sudah menyatakan tidak mau diperiksa di pengadilan ini dan
mohon diperiksa di pengadilan lain, atau mengajukan bentuk ekssepsi lainnya
maka hakim segera mengalihkan perhatiannya bahwa perkara yang sedang diperiksa
bukan perkara sederhana.
5.
Tidak
ada kumulasi
Surat
gugatan/surat permohonannya tidak ada kumulasi dengan tuntutan lainnya. Jika
ternyata dalam gugatan/permohonan ada gugatan kumulasi tentang : harta bersama,
nafkah madhiyah, iddah, mut’ah, hadhanah , nafkah anak, jelas perkara kumulasi
tersebut mengindikasikan penyelesaian
yang lama, perlu pembuktian yang teliti terutama pembuktian harta bersama, benar tidaknya istri tersebut
tamkin atau nuyuz, dan pembukktian-pembuktian lainnya, karenanya kalau ada
gugatan kumulasi maka tidak termasuk perkara sederhana.
6.
Sepakat tidak ada yang mengajukan gugatan rekonpensi
Kalau
ternyata dalam persidangan pertama ternyata Tergugat/Termohon mengajukan
gugatan rekonpensi, apalagi sampai terjadi ada replik, duplik, sampai berlanjut
re replik, re duplik, maka berarti kedua belah pihak sudah menyimpang dari kesepakatan dan hakim segera mengalihkan perhatian para
pihak untuk mennyarankan membuat replik
maupun duplik yang benar dan seterusnya, karena perkara yang ada gugatan
rekonpensi membutuhkan waktu pembuktian yang teliti, hati-hati yang tidak
mungkin dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat bahkan sampai berkali-kali sidangnya.
7.
Pihak Tergugat / Termohon
mengakui semua alasan gugatan / permohonan
Kalau
demikian pihak Penggugat/Pemohon tidak usah mengajukan replik tetapi replik
cukup secara lisan pada pokoknya tetap pada dalil gugatan/permohonannya,
demikian juga Tergugat/Termohon cukup menyampaikan duplik secara lisan pada
pokoknya setuju dan membenarkan dalil-dalil/alasan Penggugat/Pemohon.
8.
Kemungkinan sekali sidang langsung putus
Sesuai
dengan maksud menjadikan perkara sederhana maka tiada pilihan lain kecuali sekali sidang langsung
selesai langsung putus. Caranya, pada
waktu yang telah ditetapkan sidang pertama suami istri datang menghadap
persidangan lalu ketua majelis hakim mendamaikan mereka (pasal 130 HIR) jika tidak
berhasil ketua majelis langsung menskors persidangan dan memerintahkan suami istri untuk menempuh
proses mediasi[28]
dengan menghadap mediator, karena ternyata mediasi juga tidak berasil, mediator kemudian
membuat laporan kepada ketua majelis bahwa mediasi sudah dilaksanakan tetapi
tidak berhasil. Selanjutnya mereka dipanggil memasuki ruang sidang untuk
melanjutkan persidangan kembali dan dinyatakan
tertutup untuk umum dan ketua majelis memulai dengan membacakan surat
gugatan/permohonan, lalu atas gugatan/permohonan tersebut Tergugat/Termohon
mengakui dan membenarkan semua dalil/alasan gugatan/permohonan. Dari sinilah
langsung dilanjutkan dengan pembuktian
berupa : pengakuan Tergugat/Termohon sebagai suami istri, ternyata para pihak
sudah mempersiapkan bukti berupa asli Kartu Tanda Penduduk ( KTP) / Kartu
Keluarga (KK) / Surat Keterangan Domisli dari Kepala Desa/Lurah dalam wilayah
hukum Pengadilan Agama tempat kediaman istri/suami + fotokopinya masing-masing
telah dinezegelend dan bukti perkawinannya ( Akta Nikah / Kutipan Akta Nikah /
menghadirkan petugas dari Kantor Urusan Agama tempat perkawinan mereka
dilangsungkan dahulu dengan menunjukkan Buku Registernya ) + masing-masing di fotokopi dan telah dinezegelend di kantor pos[29].
Setelah
majelis hakim memeriksa bukti-bukti para pihak ditambah dengan pengakuan
tergugat/termohon bahwa apa yang didalilkan penggugat/pemohon adalah
benar semua ditambah dengan qarinah
yang telah dimiliki hakim maka pemeriksaan perkara sederhana
dianggap telah selesai, sidang di skors beberapa saat , suami istri
diperintahkan untuk menunggu diluar sidang karena majelis hakim akan
bermusyawarah untuk menjatuhkan putusan dan begitu musyawarah hakim dianggap
sudah selesai maka suami istri dipanggil untuk memasuki ruang sidang dan
dinyatakan terbuka untuk umum, lalu majelis hakim membacakan putusan yang pada
pokoknya: mengabulkan gugatan penggugat /
mengabulkan permohonan pemohon dan seterusnya....itulah gambaran singkat dari penulis
tentang penyelesaian perkara sederhana.
9.
Berupa Putusan Positif
Karena
para pihak sudah sejak lama menginginkan putusan pengadilan yang secepatnya dan
tentang kriteria perkara sederhana angka 1 s/d angka 9 sudah terpenuhi, menurut
majelis hakim dengan menggunakan qarinahnya ternyata semua kriteria diatas tidak ada satupun yang
dilanggar maka itulah yang penulis maksudkan sebagai “Perkara Sederhana”. Akan tetapi kalau ada
salah satu saja yang tidak dilaksanakan, maka
perkara berubah menjadi perkara biasa, bahkan perkara sulit dan tentu penyelesaiannya tidak secepat dan semudah
menyelesaikan perkara sederhana.
Yahya Harahap[30], menambahkan bahwa bentuk panggilan untuk
sidang pertama berdasarkan pasal 390 ayat (1) HIR panggilan dilakukan dalam
bentuk surat panggilan tertulis (in writing)
maupun berita acara panggilan dan panggilan tidak dibenarkan dalam
bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan keabsahannya. Oleh karena itu
proses pemanggilan para pihak harus benar-benar mengikuti tatacara pemanggilan
yang dibenarkan oleh undang-undang, kecuali kalau sampai tidak putus pada
sidang pertama maka panggilan untuk sidang kedua cukup ketua majelis
mengumumkannya dalam persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkannya
dengan memerintahkan kepada para pihak untuk hadir pada persidangan yang
telah ditetapkan tersebut tanpa dipanggil lagi.
Oleh karena perkara
perceraian ternyata dapat diselesaikan pemeriksaannya dalam waktu cepat dan
langsung putus maka majelis hakim perlu menambahkan dalam pertimbangan
hukumnya sebagai contoh dibawah ini yaitu:
“Menimbang
bahwa, perkara perceraian yang telah
diperiksa ini sejak awal persidangan para pihak sudah menyatakan dihadapan
majelis hakim bahwa tergugat/termohon
telah bersedia bercerai dan tidak keberatan untuk bercerai dengan
penggugat/pemohon, juga tergugat/termohon telah mengakui dan membenarkan semua
dalil/alasan gugatan penggugat / permohonan pemohon serta para pihak sudah tidak ada harapan untuk
hidup rukun kembali, tidak ada gugatan rekonpensi dalam bentuk apapun dari tergugat/termohon, tidak
ada kumulasi gugatan/permohonannya, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut majelis hakim berpendapat bahwa sudah cukup bukti-bukti yang telah
diajukan berupa bukti P.I (Akta Nikah) dan
bukti pengakuan, sehingga majelis hakim tidak perlu lagi mendengar keterangan
saksi-saksi karena adanya perpisahan tempat tinggal yang sudah sekian
tahun/bulan, majelis hakim telah mendamaikan para pihak serta adanya laporan
mediator yang telah gagal mendamaikan mereka, sehingga telah meyakinkan majelis
hakim untuk menerima dan mengabulkan gugatan penggugat / permohonan pemohon
sesuai dengan maksud pasal pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan sesuai pula
dengan pasal 19 huruf (----) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf ( --- ) Kompilasi Hukum
Islam”. Kira-kira demikianlah tambahan pertimbangan hukumnya sekalipun hakim tidak
menyebutkan kata-kata Qarinah dalam mempertimbangkan putusannya dan
sekaligus hakim telah contra legem terhadap hukum pembuktian.
E.
Court bukan termasuk perkara sederhana
Oleh karena e.court sampai hari ini masih belum mampu
melayani ke jenjang masyarakat muslim perorangan dan yang dapat menggunakan
pendaftaran perkara secara e.court sementara ini masih terbatas pada
Pengacara/Advokat. Pengaturan mengenai e-Court ini, kita dapat merujuk pada Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara
Elektronik. Peraturan tersebut dimaksudkan sebagai landasan hukum
penyelenggaraan administrasi perkara di pengadilan secara elektronik untuk mendukung
terwujudnya tertib administrasi perkara yang profesional, transparan,
akuntabel, efektif, efisien dan modern.
Layanan administrasi perkara secara elektronik dapat digunakan oleh
advokat maupun perorangan yang terdaftar. Layanan administrasi perkara secara
elektronik oleh perorangan akan diatur lebih lanjut dalam surat keputusan Ketua
Mahkamah Agung. Namun sampai saat ini, dan
sampai saat ini keputusan Ketua Mahkamah Agung yang mengatur mengenai layanan
administrasi perkara secara elektronik oleh perorangan belum ada.
Selanjutnya, Pasal 5 ayat (4) Perma 3/2018 mengamanatkan untuk
membentuk syarat dan ketentuan lebih lanjut terkait pengguna terdaftar dalam
surat keputusan Ketua Mahkamah Agung, dalam perkembangannya telah terbit
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 122/KMA/SK/VII/2018 Tahun 2018 tentang
Pedoman Tata Kelola Pengguna Terdaftar Sistem Informasi Pengadilan (Keputusan
Ketua MA 122/2018). Sangat disayangkan bahwa pedoman tersebut baru mengakomodir
advokat sebagai pengguna terdaftar, belum mengakomodir perorangan selain
advokat sebagaimana disebut dalam ketentuan tahap pendaftaran akun pada Romawi
IV Lampiran Keputusan Ketua MA 122/2018.
Sehingga berdasarkan aturan diatas menurut penulis bahwa E. Court
bukan termasuk perkara sederhana.
Dari pemahaman penulis diatas, maka majelis hakim harus punya indikasi
bahwa perkara yang diajukan secara e.court bukan masuk perkara sederhana akan
tetapi menurut penulis termasuk perkara biasa. Memang secara teoritis dapat
mempersingkat waktu penyelesaian perkaranya karena mulai dari Pengadilan Agama
mengirim panggilan ke para pihak, lalu para pihak mengirim jawaban, replik dan
duplik ke Pengadilan Agama dengan cepat,
akan tetapi secepat apapun tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang
telah penulis uraikan dalam penyelesaian perkara sederhana. Sepertinya penulis ingin
mengajak untuk membanding-bandingkan cara penyelesaian antara kedua jenis
perkara sederhana dan perkara biasa,
akan tetapi hakim harus menyelesaikannya dengan benar sesuai hukum
formil dan materiilnya. Hanya saja kriteria perkara sederhana dalam
penyelesaiannya cukup singkat tentu dapat mengurangi sisa jumlah perkara yang
belum putus setiap laporan akhir tahun
dan contohnya adalah Pengadan Agama Blitar yang ternyata tahun 2018 sisa
perkaranya menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Perkara
verstek bukan perkara sederhana
Kenapa tidak disebut
sebagai perkara sederhana, menurut penulis karena ada kemungkinan
tergugat/termohon melakukan upaya hukum verzet dan kalau ini yang terjadi tentu
membutuhkan waktu yang lama lagi penyelesaiannya dan masih banyak lagi alasan
lainnya.
Qarinah tidak berlaku untuk kasus pidana tertentu :
Menurut jumhur fuqaha, qarinah-qarinah ini tidak bisa dijadikan dasar atau alat bukti untuk menetapkan putusan atau vonis hukum dalam kasus-kasus kriminal atau pidana dengan ancaman hukuman had karena hukuman had ditolak dan tidak bisa dijatuhkan dengan adanya syubhat, juga dalam kasus pidana dengan ancaman hukuman qisas kecuali dalam kasus pembunuhan yang ditetapkan dengan cara al-qasaamah. Hal ini sebagai langkah kehati-kehatian dalam masalah
yang berkaitan dengan darah dan penghilangan nyawa.
Hanya saja, ulama Malikiyah menetapkan vonis bersalah melakukan tindak pidana meminum minuman keras dengan berdasarkan bau minuman keras dari mulut dan menetapkan vonis bersalah melakukan tindak pidana perzinaan dengan berdasarkan kehamilan. Ibnu al-Qayyim sependapat dengan mereka dalam hal menetapkan vonis bersalah melakukan tindak pidana perzinaan dengan berdasarkan kehamilan[31].
Sementara itu, ulama Hanabilah mengklasifikasi dengan mengatakan bahwa seorang wanita yang
kedapatan hamil,
sedangkan ia dan suaminya hidup berjauhan, bisa dijatuhi hukuman had zina jika si wanita tidak mengklaim dan mengaku adanya syubhat. Vonis hukum perzinaan tidak dapat dijatuhkan dan ditetapkan dengan berdasarkan kehamilan terhadap seorang wanita yang sendirian, tidak bersuami[32].
Ibnu
al-Qayyim mengatakan bahwa jumhur fuqaha seperti Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah memperhitungkan qarinah-qarinah yang tampak dan zhann atau dugaan yang sangat kuat serta dominan yang diserupakan dengan sesuatu yang pasti. Mereka memperhitungkannya sesuai dengan kapasitas dan kompetensi qarinah-qarinah yang kuat tersebut. Mereka melihat bahwa suatu dakwaah atau gugatan bisa menjadi kuat dengan sesuatu
yang posisinya jauh di bawah qarinah-qarinah
tersebut, seperti keberadaan
sesuatu di tangan orang yang
bersangkutan, praduga tak bersalah dan an-nukuul (ketidak sediaan
bersumpah), sumpah yang ditolak, satu orang
saksi dan sumpah, satu saksi
laki-laki dan dua saksi perempuan.
Hal-hal ini memunculkan suatu dugaan yang
bisa memperkuat suatu dakwaan dan gugatan.
Sudah maklum
bahwa dugaan yang terdapat dalam qarinah-qarinah
yang kuat tersebut posisinya itu jauh lebih kuat
daripada dugaan yang muncul berdasarkan
hal-hal yang baru saja disebutkan. Ini adalah
suatu fakta yang tidak bisa diingkari dan ditolak. Sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qayyim bahwa
bukti nyata dalam pandangan syara’ lebih utama ketimbang persaksian. Oleh sebab
itu segala sesuatu yang bisa membuktikan
kebenaran dan mengungkapkannya, maka ia merupakan bukti nyata yang bisa
dijadikan landasan hukum untuk memutuskan suatu perkara. Berdasarkan hal ini,
seorang hakim dapat menetapkan hukum suatu perkara berdasarkan
indikasi-indikasi / bukti-bukti yang pasti[33],
juga persaksian non muslim yang bisa dipercaya kesaksiannya.
Menguji Kekuatan Qarinah
Pada dasarnya setiap keadaan yang dapat menimbulkan kecurigaan kuat terhadap terjadinya suatu peristiwa dapat dianggap sebagai Qarinah. Abdul Qadir Audah (w. 1373 H/1945 M) seorang ahli hukum Islam berkebangsaan
Mesir) mengemukakan beberapa bentuk qarinah yang dapat dijadikan alat
bukti dalam memutuskan hukum. Bukti-bukti
nyata sebagai berikut :
- Kehamilan seorang wanita
yang tidak bersuami sebagai qarinah yang menimbulkan kecurigaan kuat hahwa wanita itu telah melakukan zina.
- Keberadaan Jenazah di tengah sebuah
perkampungan sebagai qarinah bahwa pembunuhnya adalah penduduk perkampungan itu.
- Ketika penggugat tidak dapat mengemukakan bukti, bilamana
tergugat tidak mengakui gugatan itu, ia
diminta untuk bersumpah bahwa ia tidak
bersalah. Jika ia enggan bersumpah,
maka keengganannya untuk bersumpah
bisa dianggap sebagai qarinah bahwa ia bersalah.
- Adanya bau khamar yang keluar dari mulut seseorang adalah qarinah bahwa ia baru saja
selesai meminum khamar.
- Terdapat suatu benda yang ditemukan di jalan umpamanya, untuk mengetahui
pemiliknya bisa dengan
memakai qarinah, yaitu orang yang mengetahui tentang sifat, warna, atau jumlah bilangan barang itu, pengetahuannya itu adalah qarinah
bahwa dialah pemiliknya.
- Di Zaman Sulaiman dan Nabi Daud AS.
Ada dua orang perempuan yang bersengketa untuk memperebutkan seorang anak,
perempuan yang satu agak muda dan yang satunya lagi agak tua. Nabi Daud
mengadilinya dengan memenangkan perempuan tua berdasarkan pengakuan yang disampaikannya
kepada Nabi Daud AS. Akan tetapi Nabi Sulaiman yang turut hadir dalam majelis
pengadilan itu meminta sebilah pedang yang tajam dan berpura-pura bertindak
akan membelah dua anak tersebut sambil berkata itulah yang adil. Perempuan yang
tua menyetujui pembelahan tersebut akan tetapi perempuan yang sambil bersembah
mengatakan bahwa anak itu jangan di belah dan ia rela anak itu diserahkan
kepada perempuan yang tua asalkan anak itu tidak akan mati. Nabi Sulaiman
memutuskan bahwa anak itu adalah milik perempuan yang muda. Hal ini dapat kita
maklumi bahwa seorang ibu tidakakan merelakan anaknya di belah atau dibunuh
hanya karena diambil orang.
- Nabi Muhammad SAW pernah pula menggunakan qarīnah ini dalam
beberapa hal diantaranya ; menemukan barang yang hilang yang diberikan kepada
orang- orang yang dapat menyebutkan sifat-sifat pokok dari batang tersebut.
- Khalifah Umar bin Khattab pernah menghukum had terhadap seseorang
perempuan hamil padahal ia tidak bersuami dan bukan pada hamba sahaya. Juga
Amru bin Mas’ud menjatuhkan hukuman had kepada seseorang yang keluar dari
mulutnya bau bekas minuman khamar.
Dari dasar-dasar di
atas, tergambarlah bahwa betapa peranan qarīnah dalam menegakkan keadilan
terhadap perkara-perkara yang tidak mempunyai alat bukti lain. Sehingga di
Mesir qarīnah ini dipakai sebagai “alat bukti” dalam proses persidangan yang
diundangkan oleh pemerintah dalam Undang-Undang No. 174 tentang Acara Perdata.
Menurut Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, persangkaan ada dua macam, yaitu:
persangkaan menurut Undang-undang dan persangkaan menurut hakim. Persangkaan
Undang-undang adalah kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan hasil
penelitian dan pemeriksaan sidang. Seperti pembuktian seorang laki-laki dan
perempuan muda yang dituduh berzina, sedang keduanya tebukti pernah menginap
disebuah hotel dengan satu kamar, dimana didalam kamar itu hanya terdapat satu
tempat tidur. Maka dengan persangkaan hakim dianggaplah keduanya telah
melakukan zina. Dalam Hukum Peradilan Islam pun, dikenal ada dua macam Qarīnah,
yaitu: Qarīnah Qādi’yah, yakni qarīnah yang merupakan hasil kesimpulan
hakim setelah memeriksa perkara, dan Qarīnah Qanūniyah yakni qarīnah
yang ditentukan Oleh Undang-undang.
Namun menurut Hukum
Islam tidak semua dapat dijadikan sebagai alat bukti melainkan hanya sebagai
qarīnah yang jelas-jelas saja yang sering disebut qarīnah wadihah (al-qara’in
al-wadihah). Adapun kriteria qarīnah wāḍiḥah yang dapat dijadikan alat bukti
menurut Roihan A. Rasyid adalah :
1. Qarīnah yang karena demikian jelas dan
meyakinkan tidak akan patut dibantah lagi oleh manusia normal atau berakal,
dapat dikategorikan sebagai qarīnah wadihah dan dapat dijadikan dasar pemutus
walaupun hanya atas atau satu qarīnah wadihah tanpa didukung oleh buku lainnya.
Sebagai contoh kisah Nabi Yusuf seta beberapa kisah yang telah diuraikan dalam
pembahasan tentang dasar hukum dimuka.
2. Semua
persangkaan menurut Undang-undang dilingkungan Peradilan Umum, sepanjang tidak
bertentangan dengan Hukum Islam dapat dianggap qarīnah wadihah.
3. Qarīnah
lain-lainnya tidak termasuk qarīnah wadihah dan tidak termasuk alat bukti.
Kekuatan
Qarīnah Dalam Memutus Perkara Kalau kita perhatikan beberapa dasar hukum, dipakainya
qarīnah untuk memutuskan suatu perkara, seperti yang telah diuraikan di atas,
maka jelas bahwa qarīnah sebagai alat bukti dalam Hukum Islam adalah kuat.
Islam menganggap qarīnah sebagai alat bukti dan Rasulullah SAW menganggap
qarīnah sebagai putusannya. Rasulullah SAW pernah menahan seseorang dan
menghukum tertuduhlah setelah timbul persangkaan karena tampak tanda-tanda
mencurigakan pada diri tertuduh. Dan Nabi pernah memerintahkan orang yang
menemukan sesuatu agar menyerahkan barang temunnya kepada orang yang ternyata
tepat dalam menyebutkan sifat-sifat barang yang hilang kemudian Nabi pernah
memrintahkan agar orang tersebut (pihak yang kehilangan) menyebutkan
sifat-sifat barangnya yang hilang.
Meskipun
ulama sepakat, seperti telah dikemukakan di
atas, bahwa qarinah bisa dijadikan salah satu cara pembuktian, namun dalam masalah jarimah (tindak kejahatan) mereka berbeda pendapat tentang
bentuk kasus yang dapat diberlakukan qarinah sebagai alat bukti. Jumhur
ulama fikih berpendapat, dalam masalah
jarimah, qarinah hanya dapat
diberlakukan dalam masalah-masalah yang dapat dibuktikan dengan jalan qasamah (bersumpah dengan
menyebut nama Allah SWT sebanyak lima puluh
kali), karena hal itulah petunjuk langsung dari Syar’i (pembuat hukum; Allah SWT dan Rasul-Nya). Bentuk kasus yang dapat dibuktikan dengan qasamah adalah,
bahwa keberadaan mayat di satu perkampungan
atau di samping rumah seseorang dapat dianggap sebagai qarinah bahwa
pembunuhnya adalah penduduk kampung atau
pemilik rumah itu.
Menurut Mazhab Hanafi bila penduduk kampung yang dicurigai itu tidak mengakuinya, maka diminta
untuk melakukan qasämah dan menurut Mazhab
Syafi` keluarga terbunuh disuruh bersumpah lima puluh kali bahwa tuduhan mereka adalah benar. Dalam bentuk-bentuk kasus lain selain dari bentuk
kasus tersebut, qarinah tidak bisa
diberlakukan secara tersendiri. Alasannya, qarinah adalah pembuktian yang tidak meyakinkan. Padahal pembuktian
kasus-kasus jarimah (tindak kejahatan) memerlukan bukti yang meyakinkan, kecuali ada ketegasan dari Syäri’
bahwa kejahatan itu dapat
dibuktikan dengan qarinah seperti dalam masalah qasämah.
Berbeda dengan itu, Ibnu Qayyim al-Jauziah dari kalangan
Mazhab Hanbali mengatakan bahwa qarinah bisa
dijadikan alat bukti dalam seluruh tindak
kejahatan. Alasannya,
seandainya qarinah tidak dapat dianggap sebagai bukti tersendiri dalam tindak kejahatan, maka akan banyak tindak kejahatan yang luput
dari pembuktian yang meyakinkan, karena begitu
sering terjadi tindak kejahatan yang tidak dapat
dibuktikan dengan mata
kepala. atau dengan pengakuan dari pelakunya. Agar kejahatan tidak ada yang luput dari pemantauan yang berwajib, qarinah yang
kuat atas terjadinya
suatu tindakan dianggap cukup untuk memutuskan hukum. Namun demikian, mereka
sepakat bahwa pihak hakim hendaklah melakukan
penyelidikan secara cermat terhadap
kebenaran suatu Qarinah[34]. Qarinah yang
dapat dijadikan bukti, adalah Qarinah yang menimbulkan dugaan keras atau zanni (relatif benar) yang
dalam bahasa Al-Humaedi (seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Arab Saudi) disebut
‘ilm at-tuma’ninah (pengetahuan yang menenangkan hati atau tidak mengandung
keraguan yang berarti).
Demikian juga Hindun
pernah mengadukan kepada Rasulullsah SAW. bahwa Abu Sufyan (suaminya) itu
seorang laki-laki yang bakhil , apakah dia boleh mengambil hartanya tanpa
seijin dari suaminya, maka Rasululah menjawab : Khudhii ma yakfiki wa waladaki bil ma’rufi, artinya : Ambillah harta
darinya yang mencukupi engkau dan anakmu dengan cara yang baik[35], tanpa mendengar kata-kata lawannya. Dari
jawaban Rasulullah SAW. terhadap Hindun diatas dapat dimengerti bahwa istri berhak untuk mendapatkan hartanya ( nafkah, harta bersama dan
sebagainya) yang menjadi hak para pihak tanpa menunggu perceraian terlebih
dahulu. Hal yang demikian berarti yang dilakukan Hindun telah sesuai dengan
putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan eksekusi harta bersama dari penggugat rekonpensi (istri) , sekalipun
antara suami istri secara yuridis masih dalam ikatan perkawinan tetapi secara
faktual tidak mungkin akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga[36]
(pasal 19 huruf (f) PP No.9 tahun 1975 Jo. pasal 116 KHI). karenanya peristiwa
Hindun sebagai Qarinah bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, akan tetapi
hakim Pengadilan Agama sampai hari ini belum ada yang berani mengabulkan
gugatan / permohonan para pihak yang hanya berdasar qarinah belaka. Seharusnya
hakim melakukan contra legem seperti menyelesaikan kasus Hindun diatas.
III. Harus Berani Contra Legem
Contra
legem merupakan istilah hukum dalam bahasa latin yang mempunyai arti
pengesampingan peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim yang
dikonstruksi dari penemuan hukum dan didapat dari fakta persidangan[37].
Lebih lanjut yang dimaksud contra legem dalam bahasa hukum adalah putusan Hakim pengadilan yang mengesampingkan peraturan perundang-
undangan yang ada, sehingga Hakim tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan
atau bahkan bertentangan dengan pasal Undang-Undang[38]. Memberikan kemudahan dengan cara-cara yang dibenarkan peraturan
perundangan sebagaimana maksud pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan[39].
Karena yang penulis
maksudkan untuk penyelesaian perkara sederhana tentu hal-hal mengenai
pembuktian guna memperlancar pemeriksaan perkara sederhana tidak diperlukan
penerapan pembuktian secara imperatif akan tetapi harus contra legem dan mencukupkan penyelesaiannya melalui
Qarinah, Hal yang demikian sangat tepat diterapkan dalam menyelesaikan perkara
sederhana apalagi
ada kewajiban hukum bahwa Pengadilan membantu
pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan[40].
Oleh karena volume kasus yang
diajukan ke Pengadilan Agama banyak tentang perceraian maka penulis membatasi
dan fokus pada pembahasan penyelesaian perkara sederhana, karena menurut
penulis perceraian yang sudah dkehendaki suami istri kedua-duanya sudah sepakat
bercerai dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga[41]
termasuk perkara sederhana.
Mengingat qarīnah
ini dibutuhkan untuk menguatkan hakim dalam memutuskan suatu perkara, Ibnul
Qayyim menganggapnya sebagai alat bukti dan kedudukannya sama dengan kedudukan
saksi. Diantara Fuqaha berpendapat bahwa qarīnah sama kedudukannya dengan
sahnya jual beli yang semata-mata saling menyerahkan antara penjual dan pembeli
tanpa ada keterangan kata-kata apapun, hanya berpegangan pada kerelaan masing-
masing yang merupakan syarat sahnya jual beli. Kedudukan qarīnah seperti saksi
sebagaimana tergambar dalam riwayat bahwa ada seorang laki-laki menitipkan
sebuah karung tertutup berisikan uang dinar kepada seorang temannya. Setelah
lama kepergian penitip barang tadi maka dibukalah karung tersebut oleh orang
yang dititipi, kemudian diambil isinya dan diganti dengan uang dirham lalu
dijahit kembali karung itu seperti semula. Kemudian setelah beberapa lama
datanglah penitip karung itu lalu meminta kembali karungnya. Tetapi setelah
dibuka ia terkejut karena isinya telah berubah menjadi uang dirham, lalu
dinyatakanlah kepada yang dititipi : aku dahulu menitipkan kepadamu adalah
sebuah karung yang berisikan uang dinar, tetapi ternyata engkau serahkan
kepadaku bukan karung yang berisikan uang dinar tetapi uang dirham”. Kemudian
dijawab : “ itu adalah karungmu dan tutupnya masih asli”. Maka dibawalah
perkara tersebut kepada hakim, kemudian hakim menjatuhkan pernyataan kepada pemilik barang, “sejak kapan engkau menitipkan
barangmu kepadanya?” Ia menjawab “sejak Lima belas tahun yang lalu.” Kemudian
hakim mengambil uang dirham tersebut, dan ternyata ada yang baru dibuat dua
tahun yang lalu, maka putusan itu dijatuhkan dengan kewajiban kepada pihak yang
dititipi untuk mengganti uang dirham dengan uang dinar[42].
Dalam riwayat lain
dinyatakan bahwa Umar bin Khattab pernah menemukan mayat yang di telungkupkan
ditengah jalan dan tidak diketahui siapa pembunuhnya, lalu ia berdo’a : “Ya
Allah tunjukkanlah kepadaku pembunuhnya”. Kemudian setelah berjalan selama satu
tahun ditemukanlah seorang bayi yang diletakkan ditempat mayat tersebut dan
ditemukan, kemudian dibawa kepada Khalifah Umar bin Khattab, lalu ia berkata :
“dengan ini aku menemukan jejak pembunuhnya”. Kemudian diserahkanlah bayi itu
kepada seorang perempuan untuk dipelihara dan diberi sedikit bekal untuk biaya
perawatannya, lalu Khalifah Umar bin Khattab berkata: perhatikan siapa yang
mengambilnya, dan apabila engkau temukan seorang perempuan mencium dan
merangkulnya, maka beritahukanlah kepadaku dimana tempat perempuan itu berada.
Setelah beberapa waktu tiba-tiba seorang perempuan berkata kepada si pemelihara
bayi tadi : “aku diperintahkan tuan puteri menghadap kemari untuk menyampaikan
kepada ibu agar sudi datang kepada tuan puteri dengan membawa bayi ini karena tuan
puteri ingin melihatnya dan akan dikembalikan kepada ibu lagi”. Lalu dibawalah
bayi tersebut kepada tuan puteri. Setelah dilihatnya bayi itu diciumlah dan
dipeluknya. Setelah Khalifah Umar bin Khattab diberitahu, maka dicarilah wanita
tersebut dan dituduh sebagai pembunuh mayat yang pernah ditemukan olehnya
beberapa waktu yang lalu dan akhirnya wanita itu mengakui dan menceritakan
sebab musabab mengapa ia sampai membunuhnya[43].
Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan tentang “
Gunakan Qarinah dalam memutus perkara
sederhana terutama perkara perceraian dan kalau perlu contra legem maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa mejelis hakim sejak awal persidangan harus sudah dapat menggunakan
qarinahnya untuk dapat mengarahkan perkara menjadi “perkara sederhana” terutama perkara perceraian yaitu Penggugat / Pemohon:
a.
Mempunyai kemauan yang sama, yaitu suami istri sama-sama ingin
cerai.
b.
Harus sama-sama hadir dalam sidang yang telah ditetapkan.
c.
Hanya satu tujuan yang penting cepat selesai sidangnya.
d.
Tidak ada eksepsi.
e.
Tidak ada kumulasi.
f.
Sepakat tidak ada yang mengajukan gugatan rekonpensi.
g.
Mengakui
dan membenarkan semua alasan
gugatan / permohonan.
h.
Berupa Putusan Positif.
Kriteria
huruf a s/d h secara kumulatif sekaligus
imperative.
2. Bahwa khusus penyelesaian perkara perceraian tidak sepenuhnya dapat
diputus dengan Qarinah semata, akan tetapi tetap dibutuhkan alat bukti surat sebagai bukti adanya perkawinan ( Kutipan Akta Nikah / Duplikat Kutipan
Akta Nikah/ para pihak menghadirkan petugas dari KUA wilayah dimana dulu
menikah dengan membawa buku register nikah).
3. Bahwa qarinah hanya dapat diberlakukan dalam menyelesaikan dan memutus
perkara perdata tertentu di Pengadilan Agama.
Penutup
Demikian tulisan yang sangat sederhana
ini semoga berguna bagi praktisi hukum dan para pembaca pada umumnya, amiin.
Terimakasih
Blitar, 18 Pebruari 2018
Penulis
Drs. H. Sudono, M.H.
Daftar Pustaka
- Al-Qur’an dan Terjemahnya, Penerbit Al-Hidayah Surabaya, tahun
1971.
-
Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, tt.
-
Ahmad Mujahidin, Dr. M.H., Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Iindonesia, IKAHI, Cetakan Pertama,
Jakarta, Pebruari, 2008.
-
Departemen Pendidikan Nasional Balai
Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta 2007.
-
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa
A. Hanafi, M.A,, Jilid 10, Bulan Bintang,
Jakarta, 1970.
-
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Volume 12 , Lentera Hati, 2002.
-
Mr.R. Tresna, Komentar HIR, Pasal 164
HIR.,Pradnya Paramita, Jakarta, Nopember 1984.
-
R. Subekti, S.H., Prof., Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, April 1987.
-
M.Yahya
Harahap, SH. Hukum Acara Perdata, Sinnar Grafika, Jakarta, Oktober 2008.
-
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam
AL-Mufahras Li Al-Fadhil Qur’anil Karim, Maktabah Dahlan Indonesia, tt.
-
Muhammad
Salam Madzkur, Al-Qada’ Fil Islam, Darl An-Nahdhah Al- Arabiyah, Beirut, 1964 M
/ 1384 H.
-
Syeh Sayyid Sabiq, Fiqhussunah, Jilid 3,
Darl Fikr, 1992 M/ 1412.
-
Ensiklopedi
Hukum Islam, Jilid 5 ,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta, Cet ke 7, 2006.
-
Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang
Dan Diklat Kementerian Agama RI,
Tafsir Al-Qur’an Tematik , Edisi Revisi,
Juz 3, Kamil Pustaka, Cetakan kelima,
Agustus 2018, Jakarta, 2018.
-
Wahbah
Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu,Juz 6, Darl Fikr, 2008.
-
Sudono,
Tesis : Eksekusi Putusan Cerai Talak Dan Implikasi Hukumnya Terhadap Harta
Bersama, Unisma Malang, 2007.
-
UU No.7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
-
UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
-
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
-
Kompilasi Hukum Islam.
-
Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara
Elektronik.
-
Laporan
Tahunan Tahun 2018 Pengadilan Agama Blitar.
[1] Hakim
Utama Muda Pengadiian Agama Blitar Kelas
1 A.
[2] Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No.7 tahun
1989.
[3]
Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu,Juz 6, Darl Fikr, 2008, hal.
558
[4]
Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indnesia,
Edisi Ketiga, Jakarta 2007, hal. 430.
[5]
Syeh Sayyid Sabiq, Fiqhussunah, Jilid 3, Darl Fikr, 1992 M/ 1412 H, hal. 347.
[6]
Ibid.
[7] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 12 , Lentera Hati, 2002,
hal.35.
[9] Muhammad
Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam AL-Mufahras Li Al-Fadhil Qur’anil Karim, Maktabah
Dahlan Indonesia, tt, hal.689-690.
[11]
R. Subekti, S.H., Prof., Hukum
Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, April 1987, hal.76.Jo.Pasal 163 HIR.
[13] Dr.
Ahmad Mujahidin, M.H., Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Iindonesia, IKAHI, Cetakan Pertama,
Jakarta, Pebruari, 2008, hal.234-235
[14] Atha
bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hal. 19
[15] Ibid.Hal
13
[17] Syeh
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.
321.
[18] Syeh
Sayyid Sabiq, Op.Cit.,
hal. 347.
[19] Ibid.
[20]
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 ,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta, Cet ke
7, 2006,hal. 1450.
[21] Wahbah
Azzuhaili, Op.Cit., hal.
560.
[22]
Ensiklopedi Hukum Islam, Loc.Cit.
[24]
Ensiklopedi Hukum Islam, Ibid.,
hal. 1452.
[25] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa A. Hanafi, M.A,, Jilid 10, Bulan
Bintang, Jakarta, 1970, hal. 253.
[26]
Sudono, Tesis : Eksekusi Putusan Cerai Talak Dan Implikasi Hukumnya Terhadap
Harta Bersama, Unisma Malang, 2007, hal. 137.
[27] Laoran Tahunan Tahun 2018 Pengadilan
Agama Blitar, hal.36.
[29] Pengadilan Agama Blitar sudah
ada MOU dengan kantor Pos dan Bank BRI Cabang setempat dan berkantor di
salah satu ruangan yang disediakan Pengadilan Agama setempat sehingga
memudahkan para pihak yang berhubungan dengan membayar panjar biaya perkara melalui Bank BRI dan urusan pos terutama nezegelend untuk
kepentingan pembuktian di persidangan
Pengadilan Agama.
[30] M.Yahya
Harahap, SH. Hukum Acara Perdata, Sinnar Grafika, Jakarta, Oktober 2008, Hal.
220.
[31] Wahbah
Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu,Juz 6, Darl Fikr, 2008, hal. 559.
[32] Wahbah
Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu,Juz 6, Darl Fikr, 2008, hal. 559
[33] Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang
Dan Diklat Kementerian Agama RI,
Tafsir Al-Qur’an Tematik , Edisi Revisi,
Juz 3, Kamil Pustaka, Cetakan kelima,
Agustus 2018, Jakarta, hal. 149.
[34]
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 ,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta, Cet ke
7, 2006, hal. 1452.
[35] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa A. Hanafi, M.A,, Jilid 10, Bulan
Bintang, Jakarta, 1970, hal. 253.
[36] Sudono, Tesis : Eksekusi Putusan Cerai
Talak Dan Implikasi Hukumnya Terhadap Harta Bersama, Unisma Malang, 2007, hal.
137.
[39]
Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
[40]
Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
[41] Pasal
19 huruf f PP.No.9 tahun 1975, Jo. Pasal
116 huruf f Kompilasi Hukum Islam
[42]
Muhammad Salam Madzkur,
Al-Qada’ Fil Islam, Darl An-Nahdhah Al- Arabiyah, Beirut, 1964 M / 1384 H.
hal.96.
[43] Ibid.