PERKAWINAN DAN
PERCERAIAN
MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
DAN
PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA
Oleh :
Drs. H. Sudono,
M.H.
Hakim Madya Utama Pengadilan Agama Blitar
Pendahuluan
Melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi setiap warga negara,
penegasan tersebut termuat dalam pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
hasil perubahan kedua. Dalam pasal tersebut dinyatakan : (1) Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah.
Meskipun perkawinan merupakan hak azasi, bukan berarti bahwa setiap warga negara secara bebas dapat
melaksanakan perkawinan , akan tetapi harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku, yang
menurut pasal 2 ayar (1) dan ayat
( 2 ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ; bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu . Ayat ( 2 ) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dibuktikan dengan Akta Nikah ,
Jo. Pasal 5, dan 6 Kompilasi Hukum Islam.
1.
PERKAWINAN HARUS
MELALUI INSTITUSI NEGARA
Di Indonesia sudah cukup lengkap
untuk mengatur masalah perkawinan , pemeluk agama apapun harus tunduk dan patuh
ada hukum perkawinan di Indonesia karena
kita hidup di Indonesia maka kita harus tunduk
sepenuhnya , terutama pelaksanaan perkawinan harus melibatkan institusi negara,
bagi umat Islam melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi non Islam melalui Kantor Catatan Sipil.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lebih tegas lagi dinyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan , yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksakannya merupakan ibadah
dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah , dan rahmah. Untuk mencapai
sah dan tujuan perkawinan tersebut harus
seagama , yaitu seorang pria yang beragama Islam menikahi seorang wanita yang
beragama Islam dan kalau terjadi saat akan dilaksanakan perkawinan masih beda
agama maka perkawinanya tidak sah. Undang-undang menghendaki pencatatan
perkawinan karenanya secara hukum ketentuan tersebut berlaku mengikat bagi umat
Islam yang akan melangsungkan perkawinan harus dicatat di KUA dan selain Islam yang akan melangsungkan
perkawinan harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Pencatatan perkawinan disamping untuk menjamin
ketertiban masyarakat juga mempunyai kekuatan hukum , artinya semua yang timbul
akibat perkawinan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebaliknya
perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan institusi negara (pegawai pencatat
nikah ) tidak mempunyai kekuatan hukum
dan dianggap tidak pernah ada.
2.
SYARAT DAN RUKUN
PERKAWINAN
Syarat –syarat
perkawinan yaitu :
-
Harus didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai.
-
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tuanya , atau apabila tidak mau memberi izin , dapat
mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Agama.
-
Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun.
-
Penyimpangan terhadap
ayat (1) tersebut , orang tuanya dapat meminta dispensas kawin kepada
Pengadilan Agama.
Rukun perkawinan :
-
a. Calon suami, b.
calon istri , c. Wali nikah, d. Dua
orang saksi, e. Iijab dan kabul.
3.
PERKAWINAN DILUAR
ISTITUSI NEGARA
Perkawinan yang dilaksanakan diluar
institusi negara tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam kehidupan masyarakat
tidak jarang kita temui perkawinan yang dilaksanakan secara sembunyi ( sirri, kontrak, bawah
tangan dan berbagai macam istilah lainnya )
artinya perkawinan tersebut bukan menambah tentram dan bahagia akan tetapi banyak menimbulkan
masalah baru karena tidak melibatkan institusi negara (KUA) atau Kantor Catatan
Sipil sehingga perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum .
Dalam perkembangannya tentu rumah tangga tersebut akan menghasilkan keturunan bahkan
tidak sedikit yang dapat menghimpun harta benda. Oleh karena perkawinannya
tidak mempunyai kekuatan hukum maka anak
yang lahir dari perkawinan mereka juga tidak dapat dibuktikan secara hukum bahwa
anak tersebut adalah anak dari hasil perkawinann pasangan suami istri yang sah
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga harta
benda yang diperoleh selama dalam perkawinan yang dilaksanakan diluar
pengawasan KUA atau Kantor Catatan Sipil juga tidak dapat dibuktikan secara hukum kalau harta tersebut adalah
harta bersama yang dilindungi oleh hukum.
Karena itu sepanjang masih ada oknum yang mau menikahkan calon mempelai
laki dan perempuan yang tidak melibatkan institusi negara maka jangan harapkan
rumah tangga tenteram akan tetapi malah berantakan karena banyak korban dari
orang yang tidak bertanggungjawab.
4.
SOLUSI
MEMINIMALKAN NIKAH BAWAH TANGAN
Untuk meminimalkan dan mengakhiri
kenyataan bahwa perkawinan yang telah berlangsung secara illegal telah
menghasilkan anak dan harta benda, maka
UU No. 1/1974 Jo. PP. No. 9/1975 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menawarkan solusi
agar perkawinan yang telah
mempunyai anak dan harta benda dapat diakui secara legal dengan cara
mengajukan perkara “ Pengesahan
Pernikahan/Itsbat Nikah” ke Pengadilan Agama, dapat dilakukan oleh kedua suami istri atau salah satu dari
suami istri , anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut ke Pengadilan
Agama dalam wilayah hukum pemohon bertempat tinggal , dan permohonan itsbat
nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit. Adapun alasan-alasan itsbat nikah adalah
sebagai berikut :
a.
Adanya perkawinan
dalan rangka penyelesaian perceraian
b.
Hilangnya akta
nikah
c.
Adanya keraguan
tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d.
Adanya perkawinan
yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang nomor 1/1974.
e.
Perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang
perkawinan nomor 1/1974.
Oleh karena telah
dibuka kran melalui itsbat nikah agar perkawinan mempunyai legal standing akan tetapi yang namanya itsbat nikah adalah
sebuah rekonstruksi dari peristwa yang pernah terjadi maka diperlukan
pembuktian yang hati-hati, teliti, cermat dan terutama bagi mereka yang sudah
lama meninggal dunia dan saks-saksi yang se-usia mereka tidak ada lagi.
5.
PERCERAIAN MENURUT PERATURAN PERUNDANGAN
Undang-Undang Perkawinan menyebutkan
bahwa , Pengadilan Agama bagi mereka
yang beragama Islam , Pengadilan Umum bagi lainnya.
Dengan demikian khusus masalah perceraian
telah diatur secara lex spesialis dalam peraturan perundang-undangan
antara lain UU No.7/1989 Jo. UU No. 3/2006 Jo. UU No. 50 /2009 tentang perubahan
kedua atas UU No. 7/l989 tentang Peradian Agama , PP No.9/l975 tentang
pelaksanaan UU No.1/1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Di lingkungan peradilan agama dikenal
dengan istilah ‘cerai gugat dan cerai talak”. Cerai talak yaitu inisiatif yang
mengajukan perkara dari pihak suami disebut Pemohon, sedangkan inisiatif yang
mengajukan perkara dari pihak istri disebut Penggugat. Baik dari pihak suami
maupun dari pihak istri mempunyai hak yang sama untuk bertindak di depan hukum. Karena itu kalau suami atau
istri yang akan mengajukan permohonan/gugatan cerai ke Pengadilan Agama prosedurnya
sebagai berikut :
1.
Seorang suami yang
beragama Islam sebagai pemohon, jika akan menceraikan istrinya , permohonan
diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri (termohon ).
2.
Dalam hal termohon
bertempat kediaman di luar negeri permohonan diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
3.
Dalam hal pemohon
dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan, atau kepada pengadilan Agama Jakarta Pusat.
4.
Seorang istri yang
beragama Islam sebagai penggugat ,
mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
istri (penggugat).
5.
Dalam hal
penggugat bertempat kediaman di luar negeri , gugatan perceraian diajukan
kepada pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
6.
Dalam hal
penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri , maka gugatan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
Untuk alasan-alasan perceraian dapat
dibaca dalam pasal 19 PP No. 9/1975 Jo.
Pasal 116 KHI, penjelasan pasal 49 ayat (2) UU No. 71989 tentang peradilan Agama dan juga perlu di ketahui bahwa perkara yang masuk ke pengadilan Agama
tersebut setelah melalui proses persidangan ada yang diterima dan dikabulkan,
ditolak, digugurkan, dicoret, dan ada pula yang dinyatakan tidak diterima (Niet
Onvankelijke verklaard (NO).
Untuk lebih mengetahui kondisi riil
masyarakat yang menjadi kompensi relative Pengadilan Agama Blitar berdasarkan laporan tahunan 2015 yaitu : sisa
perkara tahun 2014 berjumlah 1253 perkara
, ditambah perkara masuk
tahun 2015 berjumlah 4864 jadi
jumlah keseluruhan 6117, lalu diputus sebanyak 4991 perkara, sehingga sisa belum putus tahun 2015 sejumlah
1126 perkara. Sedangkan urutan volume perkaranya : Cerai gugat 2940
perkara, Cerai talak 1393 perkara, Dispensasi kawin 216 perkara, Perubahan biodata 149 perkara, Wali adhol 38 perkara, Itsbat nikah 33 perkara, Asal usul anak 10 perkara, Pengangkatan
anak 9 perkara, Harta bersama 7
perkara, Penguasaan anak 5 perkara,
dan untuk perkara lainnya masih taraf wajar. Kemudian untuk Januari tahun 2016 sampai akhir bulan Juli 2016 ini
perkara masuk sudah 3100 perkara,
makanya untuk Pengadilan Agama Blitar masuk 5 besar di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Surabaya.
6
TERJADINYA
PERCERAIAN
Dalam perkara cerai talak yang
diajukan oleh suami dan sudah diputus oleh Pengadilan Agama dengan telah diberi
izin untuk menjatuhkan talak satu roj’i kepada termohon ( istrinya ) di depan
persidangan Pengadilan Agama dan putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap maka pemohon akan dipanggil lagi untuk sidang
ikrar talak dan sejak pemohon mengikrarkan talak terhadap istrinya itulah
berlaku mulai TERJADINYA PERCERAIAN bagi suami.
Sedangkan untuk perkara cerai gugat
yang diajukan oleh pihak istri, maka
untuk mengetahui terjadinya perceraian beserta akibat hukumnya terhitung sejak
putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap
7
PENGANGKATAN
ANAK DI PENGADILAN AGAMA
Dalam penjelasan pasal 49 UU No. 3
tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7/l989 tentag peradilan agama yang
dalam bidang perkawinan antara lain angka 20 terdapat jenis permohonan
(voluntair) “Penetapan asal usul anak dan “Pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam” menjadi kewenangan baru bagi Pengadilan Agama. Selain masalah voluntair
juga kewenangan baru yaitu sengketa zakat, infaq shodakoh dan bidang ekonomi syari’ah sampai
11 item.
Khusus pengangkatan anak dalam
syari’at Islam dibolehkan bahkan dianjurkan sepanjang motivasi pengangkatan
anak tersebut untuk kepentingan dan kesejahteraan anak serta tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Permohonan pengangkatan anak oleh warga negara Indonesia (WNI) yang beragama
Islam terhadap anak WNI yang beragama
Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama,
dengan prosedur sebagai berikut :
1.
Diajukan ke
Pengadilan Agama dalam wilayah hukum dimana anak tersebut bertempat tinggal
(berada).
2.
Prosedur
permohonan pemeriksaan pengangkatan anak harus mempedomani Surat Edaran Mahkamah Agung RI. No.2/1979, No. 6/1983 dan
No. 3/2005.
3.
Permohonan
tersebut diatas dapat dikabulkan jika terbukti memenuhi syarat-syarat yang
diatur dalam pasal 39 UU No.23 /2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 5 ayat
(2) UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI , SEMA No. 2/1979, No. 6 /2003 dan No. 3/2005.
4.
Salinan penetapan
pengangkatan anak tersebut dikirim kepada Kementerian Sosial, Kemenerian
Kehakiman cq Dirjen Imigrasi , Kementerian Luar Negeri , Kementerian Kesehatan,
Kejaksaan Agung, Kepolisian RI dan Panitera Mahkamah Agung.
5.
Mempedomani
Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110/HUK/2009 tanggal 19 Oktober 2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak .
8 PRINSIP HUKUM ANAK ANGKAT
Berdasarkan penetapan Pengadilan Agama
status anak angkat, orang tua angkat dan orang tua kandung terikat dan
mempunyai hubungan hukum sebagai berikut :
a.
Nasab anak angkat
tidak putus dengan nasab orang tua
kandung dan saudara-saudara kandungnya.
b.
Yang beralih dari
anak angkat terhadap orang tua angkatnya
hanyalah tanggungjawab kewajiban pemeliharaan, nafkah, biaya pendidikan dan
lainya.
c.
Anak angkat tetap
dipanggil dengan BIN/BINTI orang tua
kandungnya.
d.
Orang tua angkat
hanya menjadi wali terbatas terhadap diri , harta, tindakan hukum dan tidak
termasuk wali nikah jika anak angkat ini
perempuan.
e.
Anak angkat boleh
dinikahkan dengan orang tua angkatnya, juga boleh dengan anak kandung atau anak
angkat lain dari orang tua angkatnya.
f.
Anak angkat tidak
boleh menjadi ahli waris orang tua angkatnya, tetapi anak angkat memeroleh
wasiat wajibah dari orang tua angkatnya.
9.
KESIMPULAN
a.
Perkawinan yang tanpa melalui institusi negara maka perkawinan tersebut
tidak mempunyai akibat hukum , tidak ada kepastian hukum, tidak mendapat
perlindungan hukum, sekaligus tidak mendapat bukti autentik dan perkawinannya
dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu perceraiannya tidak berakibat hukum
apa-apa.
b. Perkawinan yang
melibatkan institusi negara akan berakibat hukum yaitu menimbulkan hak dan kewajiban , mendapatkan
perlindungan hukum , ada kepastian hukum sekaligus mendapatkan bukti autentik
berupa akta nikah dari pejabat yang berwenang. Oleh karena itu perceraiannya
harus melalui Pengadilan Agama bagi
masyarakat muslim dan ke Pengadilan Negeri bagi non muslim.
Penutup
Demikian tulisan tentang
Perkawinan dan Perceraian
Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Pengangkatan
Anak di Pengagdilan Agama ini, semoga ada manfaatnya, terimakasih dan mohon
maaf bila ada kesalahan.
Blitar, 23
Juli 2016
Penulis
Drs. H. Sudono,
M.H.
Pasal 6 ayat (1) UU No.1/1974.