IJTIHAD SAHABAT DALAM MENENTUKAN BAGIAN KAKEK BERSAMA
SAUDARA KANDUNG PEWARIS
Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1].
Pendahuluan
Ulama Indonesia maupun ahli-ahli hukum atau lembaga negara yang mempunyai otoritas, sampai sekarang belum mengkompilasikan bagian kakek bersama saudara
kandung pewaris dalam bentuk peraturan hukum ataupun Kompilasi Hukum Islam, untuk dijadikan
acuan oleh praktisi hukum dalam memutus dan menyelesaikan perkara demi
kepastian hukum di Indonesia. Karena selama ini sudah ratusan tahun sumber acuannya
masih berserakan dalam kitab-kitab kuning sehingga dalam kasus yang sama akan
terjadi putusan hukum yang berbeda. Padahal yang terjadi di negara-negara lain
seperti undang-undang Syria sepakat dengan undang-undang Mesir untuk
memberikan seperenam pada kakek, apa pun keadaannya, baik dia bersama
dengan dzawil furudh atau tidak, sehingga
acuannya jelas, tegas, tranparan dan berkepastian hukum kenapa Indonnesia belum
mengakomodirnya ?
Mengungkap tentang bagian warisan kakek bersama saudara kandung pewaris, patut ditelusuri siapa saja orang-orang yang
berjasa ber-ijtihad agar kakek bersama saudara pewaris layak mendapat bagian. Karena
itu tokoh-tokoh berikut inilah yang punya andil besar dalam kazanah pembagian
warisan dari kalangan sahabat. Sumber hukum dari dalil-dalil
nagli dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, sama sekali tidak disebutkan bagian kakek
dengan saudara kandung. Hukum mereka ada karena ijtihad para
sahabat[2].
Para sahabat dalam masalah ini ada beberapa madzhab yang akan penulis paparkan
satu persatu dan merekapun mendasarkan ijtihadnya pada qiyas , menurut Ibnu Rusyd yang lebih kuat ialah qiyas
orang yang mempersamakan antara ayah dengan kakek , karena kakek itu adalah
ayah pada tingkatan kedua atau ketiga, sebagaimana anaknya-anak adalah anak
juga, baik pada tingkatan kedua atau
ketiga.
Apabila
anak tidak menghalang-halangi kakek, sedang anak tersebut menghalang-halangi
saudara-saudara lelaki , maka sudah seharusnya kakek menghalang-halangi orang
yang dihalang-halangi oleh anak lelaki. Saudara lelaki bukan “asal” mayat
ataupun keturunannya , melainkan
bersama-sama dengan mayat pada
“asal”. “Asal” lebih berhak akan sesuatu dari pada orang
yang bersama-sama dengan mayat pada “Asal” , demikian komentar Ibnu Rusyd[3].
Oleh karena itu berikut ini merekalah orang yang punya kontribusi
dalam penentuan bagian kakek bersama saudara kandung pewaris yang layak
dijadikan pertimbangan hukum terutama oleh hakim dan praktisis hukum lainnya
dalam perkara pembagian warisan yang menyangkut keduanya, mereka adalah sahabat Ibnu Mas’ud, Ali Bin Abu Thalib, Abu
Bakar As-Shiddik, dan Zaid bin Tsabit,
berikut adalah ijtihat mereka :
Ijtihad lbnu Mas'ud :
a.
Kakek
berbagi dengan saudara-saudara laki-laki, selama haknya yang sepertiga
tidak berkurang, sesuai dengan madzhab Zaid.
b.
Saudara-saudara
laki-laki seayah tidak dianggap dalam hal pembagian kakek, ketika bersama
dengan saudara-saudara laki-laki sekandung.
Dengan demikian, saudara perempuan seayah tidak dihitung ketika bersama
dengan saudara perempuan sekandung dengan mengorbankan kakek. Ucapan para fuqaha:
saudara-saudara laki-laki seayah tidak dianggap dalam pembagian dengan kakek
dan saudara-saudara laki-laki sekandung. Berbeda dengan cara pembagian warisan
Zaid yang akan datang: saudara-saudara laki-laki seayah dihitung ketika bersama
saudara-saudara laki-laki sekandung, dengan mengorbankan kakek.
c.
Saudara-saudara
perempuan yang sendirian mendapatkan bagian (furudh) dengan adanya kakek. Ini
sesuai dengan pendapat Ali dalam bagian kedua. Perlu dicatat bahwa cara ini
adalah penggabungan antara dua cara, yaitu Ali dan Zaid.
Menurut
Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir Abu Abu al-Abbas al-Husain al-Ubaidi Taqiyuddin
al Maqrizi (1364-1442; seorang ahli sejarah muslim), Ibnu Mas`ud adalah
seorang mufti. Ibnu Menurut Hazm, apabila dihimpun, fatwa-fatwa Ibnu
mas’ud akan menjadi buku yang tebal.
Fatwanya tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Akhir
masa idah wanita yang ditalak adalah sucinya istri dari haid ketiga setelah
suami menjatuhkan talak. Fatwa ini disepakati oleh Umar bin al-Khattab, tetapi
berbeda dengan fatwa Zaid bin Sabit (sahabat Nabi SAW; 611-655) yang mengatakan
bahwa akhir masa idah wanita ialah datangnya masa haid yang ketiga. Dalil yang
mereka gunakan adalah sama, yaitu firman Allah SWT yang artinya:
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’..."
(QS.2:228 Namun, mereka berbeda pendapat tentang makna quru'
di dalam ayat tersebut.
Menurut Ibnu Mas`ud kata itu
berarti "haid", sedangkan menurut Zaid bin Sabit berarti
"suci".
2. Akhir masa idah wanita hamil yang ditinggal
mati suaminya adalah saat istri melahirkan. Fatwanya ini berbeda dengan fatwa
Ali bin Abi Talib (603-661). Menurut Ali, akhir masa idah wanita itu adalah
yang paling lama di antara dua masa yang ditetapkan di dalam AI-Qur'an. Di
dalam surat al-Baqarah (2) ayat 234, akhir masa idahnya 4 bulan 10 hari;
sedangkan di dalam surah at-Talaq (65) ayat 4, akhir masa idahnya adalah
saat melahirkan. Ibnu Mas`ud mengamalkan surah at-Talaq (65)
ayat 4 karena menurut pendapatnya ayat ini
menghapus hukum surah al-Baqarah (2) ayat 234.
3. Apabila yang dilakukan oleh suami
terhadap istrinya telah berlangsung selama 4 bulan dalam arti suami tidak kembali menggauli
istrinya dalam masa tersebut, maka secara otomatis telah jatuh talak ba'in. Dalilnya
ialah firman Allah SWT yang artinya: "Kepada orang-orang yang meng-ila’
istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali
(kepada istrinya), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap
hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Merdengar lagi Maha
Mengetahui" (QS.2:226-227).
Ibnu Mas`ud memahami bahwa kata-kata "jika
mereka kembali" berarti kembali sebelum masa 4 bulan itu berakhir.
4. Tayamum tidak menjadi pengganti thahara dari
hadas besar. Menurut pendapatnya, kata ganti "kamu" di dalam firman
Allah SWT: "... kemudian kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci)...."
(QS.4:43) dan QS.5:6 merujuk kepada orang-orang yang berhadas kecil.
Pemikiran Ibnu Mas`ud berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran
para fukaha Irak, tempat diutus oleh
Khalifah Umar bin al-Khattab untuk
mengajar dan mengurus baitulmal. Di negeri ini ia mempunyai murid-murid,
antara lain yang terkena. adalah Alqamah bin Qais (w. 62 H) yang mewariskan
ilmunya kepada an-Nakha’i, salah seorang tokoh ahlurra'yi dan guru dari Hammad
bin Ab. Sulaiman (guru Imam Abu Hanifah; w. 120 H).
Dalam
Ensikopedia Hukum Islam jilid 2 halaman 612-614 dikatakan bahwa Ibnu Mas’ud
(27-28 SH/596 M-32-33 H/654 M) seorang Fakih dan hafiz dari kalangan sahabat Rasulullah SAW ,
guru dan kadi[4]
bagi penduduk Kufah, Irak, pada masanya. Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin
Mas’ud bin Ghafil Al-Hudzali. Kunyah beliau adalah Abu Abdurrahman.
Beliau sering dinisbahkan kepada ibunya, karena ayahnya mati di zaman jahiliah,
sementara ibunya masih mendapati Islam dan masuk Islam. Karena itu, ibu beliau
sering digelari “Ummu Abd”, sementara Ibnu Mas’ud digelari “Ibnu Ummi Abd”.
Beliau termasuk kalangan As-Sabiqunal Awwalun (para sahabat yang masuk
Islam di awal dakwah), mengikuti dua hijrah, ke Habasyah dan ke Madinah. Beliau
juga mengikuti Perang Badar dan beliaulah yang membunuh Abu Jahal dalam Perang
Badar.
Nabi SAW. pernah berkata kepada
beliau, di awal dakwah, “Engkau pemuda yang terdidik.” (HR. Ahmad, no. 3599;
dinilai sahih oleh Syuaib Al-Arnauth). Nabi SAW. juga pernah bersabda
tentang Ibnu Mas’ud, “Barangsiapa yang ingin membaca Alquran, asli sebagaimana
ketika diturunkan, maka bacalah sebagaimana cara membaca Ibnu Ummi Abd (Ibnu
Mas’ud).” (HR. Ahmad no. 35; dinyatakan sahih oleh Syuaib Al-Arnauth).
Ibnu Mas’ud pernah
mengatakan tentang diri beliau, “Sesungguhnya, para sahabat Nabi SAW.
telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling memahami Alquran. Demi
Allah, Dzat yang tidak Tuhan yang berhak disembah selain Diri-Nya,
tidaklah diturunkan satu surat pun dalam Alquran, kecuali aku mengetahui di
mana surat ini turun, tentang siapa ayat ini turun[5].
Andaikan aku mengetahui bahwa ada orang yang lebih mengetahui tentang Alquran
daripada aku, dan keberadaannya bisa dijangkau dengan naik unta, niscaya aku
akan mendatanginya.”
Di antara keistimewaan
beliau yang lain, beliau merupakan sahabat yang selalu melayani Nabi SAW., Beliau siapkan sendal, air wudu, dan bantal
Nabi SAW. Sampai-sampai, Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan, “Aku dan adikku
datang dari Yaman. Kemudian, (kami) datang untuk tinggal bersama Nabi SAW.
Kami mengira Ibnu Mas’ud termasuk keluarga Nabi SAW. karena seringnya
beliau dan ibunya keluar masuk rumah Nabi SAW.” Saking seringnya beliau berjumpa dengan Nabi SAW.
dalam keseharian maka tak heran jika kebiasaan beliau sangat dipengaruhi oleh
sunah-sunah Nabi SAW. Sampai, Hudzaifah mengatakan, “Saya tidak melihat
seseorang yang gerak-gerik dan tingkah lakunya lebih mirip dengan Nabi SAW.
daripada Ibnu Ummi Abd.”
Di masa Khalifah Umar, beliau diutus ke Kufah untuk mengajari masyarakat
tentang agama. Sementara, Umar menunjuk Ammar bin Yasir sebagai gubernur di
Kufah. Umar berpesan kepada masyarakat Kufah, “Sesungguhnya, dua orang ini
adalah dua sahabat Nabi SAW. yang merupakan pilihan, maka teladani
keduanya.” Kemudian, beliau ditarik ke Madinah dan meninggal di Madinah tahun
32 H, pada usia tujuh puluhan tahun. Beliau dikuburkan di Pemakaman Baqi’ di
Madinah. (Ushul fi Tafsir, hlm. 52–53).
Huzaifah bin al-Yaman, salah seorang
sahabat dari kaum Ansar, mengatakan, "Aku tidak pernah melihat seseorang
yang kekhusyukan dan perilakunya lebih dekat dengan Rasulullah SAW dibanding
Ibnu Mas`ud." Di dalam sejarah Islam ia dikenal sebagai orang pertama setelah
Rasulullah JAW yang berani membaca ayat-ayat Al-Qur'an secara terang-terangan
di hadapan kaum musyrikin Kuraisy di Mekah. Pada waktu duha, ia pergi ke
Ka'bah. Di sana para pemuka Kuraisy sedang bericumpul, lalu ia membaca surah ar-Ratiman
(55) dengan suara keras sehingga mereka memukulinya. Di sam ping itu, ia
banyak menerima ilmu dari Rasulullah SAW, baik tentang Al-Qur'an maupun hadis.
Otoritas keilmuannya tentang Al-Qur'an diakui oleh Rasulullah SAW dengan
sabdanya, -Ambill 11-1 bacaan Al-Qur'an dari empat orang:
Ibnu Mas`ud, Salim Maula Abu Huzaifah, Ubay bin Kai', dan Mu'az bin Jabal"
(HR. al-Bukhari). Ia bahkan pernah diminta oleh Rasulullah SAW untuk membacakan
Al-Qur'an baginya sehingga ia bertanya, -Mengapa saya harus
membacakan Al-Qur'an bagimu, sedangkan ia diturunkan kepadamu?" Namun,
kemudian ia membacakannya (HR. al-Bukhari). Mengenai pengetahuannya tentang
Al-Qur'an, ia sendiri pernah berkata, "Demi Allah, tidak ada satu ayat pun
dari Al-Qur'an tanpa kuketahui latar belakang diturunkannya ayat tersebut.
Tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitabullah A1-Qur'an)
dibanding aku. Meskipun begitu, aku bukanlah orang yang terbaik di antara
kalian" (HR. Ahmad bin Hanbal).
Hubungannya yang dekat dengan Rasulullah
SAW juga merupakan faktor kondusif baginya untuk menerima banyak hadis dari
Rasulullah SAW. Meskipun demikian, ia jarang meriwayatkan hadis. Apabila
meriwayatkan hadis, ia sangat berhati-hati sehingga terlihat gemetar dan
berkeringat karena khawatir akan mengubah lafal yang disabdakan oleh Rasulullah
SAW.
Hadis yang diriwayatkan darinya di
dalam as Sahihain (kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim) berjumlah
848 buah. Ulama yang meriwayatkan hadis darinya terdiri atas para sahabat dan
Tabiin. Dari kalangan sahabat antara lain adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu
Musa, Imran bin Husin, Abu Sa’id al-Asajj, dan Abu Hurairah; dan dari kalangan
tabiin antara lain adalah Alqamah bin Qais, Abu Wa'il, Masruq, Qais bin Abi
Hazim, dan Ubaidah.
Para sahabat dan khalifah yang empat
telah mengenal akhlak dan otoritas keilmuan Ibnu Mas`ud. Karenanya, Amirul mukminin
Umar bin al-Khattab (581-644) mempercayakan kepadanya jabatan pengurus
baitulmal di Kufah. Di dalam suratnya yang ditujukan kepada penduduk Kufah,
Umar mengatakan, "Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya
aku mengutamakan Abdullah bin Mas`ud atas diriku. Maka tuntutlah ilmu
darinya." Di masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan (576-656), Ibnu
Mas`ud masih tetap mengurus baitulmal Kufah. Namun, dalam perkembangannya
hubungan mereka menjadi kurang baik sehingga ia sempat tidak mendapat gaji.
Selanjutnya ia dipulangkan ke Madinah. Meskipun begitu, ia tidak pernah berkata
buruk tentang Usman. Bahkan, ketika mendengar berita bahwa sebagian kaum
muslimin bermaksud menggulingkan kekhalifahannya, menurut para sejarawan, Ibnu
Mas`ud berkata, "Seandainya mereka membunuhnya, niscaya mereka tidak akan
menemukan pengganti seperti dirinya." Ibnu Mas`ud meninggal dunia di
Madinah dalam usia lebih dari 60 tahun dan Usman datang melayat untuk melakukan
salat jenazah.
Di
dalam sejarah hukum Islam, Ibnu Mas`ud dikenal sebagai salah seorang fakih
yang sering menggunakan rakyu dalam menetapkan hukum Islam[6].
Hal ini tampaknya dipengaruhi pula oleh struktur sosial dan budaya yang
dihadapinya di Kufah. Ia banyak mengikuti pemikiran Umar bin al-Khattab.
Pemikirannya, menurut Ahmad Amin (seorang ahli sejarah dari Mesir), hampir
tidak pernah bertentangan dengan pemikiran Umar.
Ibnu Mas`ud mengemukakan metode
penetapan hukum sebagai berikut. (1) Menetapkan hukum dengan merujuk langsung
pada Kitabullah (Al-Qur'an). (2) Jika hukumnya tidak terdapat di dalam Kitabullah,
maka hukumnya diambil dari hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW (sunah
Rasulullah SAW). (3) Apabila hukumnya tidak terdapat di dalam Kitabullah dan
sunah Rasulullah SAW, maka hukumnya diambil dari hukum yang telah ditetapkan
oleh ulama yang saleh. (4) Apabila hukumnya tidak terdapat di dalam Kitabullah,
sunah Rasulullah SAW atau ketetapan ulama yang saleh, maka hendaklah seseorang
berusaha menggunakan rakyunya.
Ada riwayat dari Imam al-Bukhari yang menyatakan bahwa Ibnu Mas`ud
mencela penggunaan rakyu. Riwayat seperti itu, menurut Ahmad Amin, merupakan
akibat perselisihan antara ahlul hadis dan ahlurra'yi. Perkataan Ibnu Mas`ud
dan para sahabat lainnya yang mencela penggunaan rakyu, menurut Muhammad Ali
as-Sayis (ahli hukum Islam kontemporer dari Mesir), tidak berarti bahwa mereka
tidak menggunakan rakyu dalam menetapkan hukum. Perkataan mereka dimaksudkan
untuk menjauhkan orang-orang yang tidak mempunyai otoritas dalam berijtihad
dari lapangan ijtihad. Meskipun menggunakan rakyu dalam menetapkan hukum, Ibnu
Mas`ud tidak pemah mengklaim bahwa hukum yang ditetapkannya adalah hukum Allah
SWT. Ia berkata tentang hasil ijtihadnya, "Apabila hasil ijtihadku
betul, maka itu dari Allah; dan apabila keliru, maka itu dariku dan dari setan,
sedangkan Allah dan Rasul-Nya bebas dari kekeliruan itu[7].
Ijtihad Ali bin Abi Thalib:
Kakek dengan saudara-saudara laki-laki
mempunyai tiga keadaan[8]
yaitu :
1.
Bagian seperenam
untuk kakek. Kakek berbagi dengan saudara-saudara laki-laki selama haknya seperenam tidak berkurang. Jika
berkurang maka kakek diberi seperenam. Kalau kakek bersama dengan dua orang
saudara laki-laki sekandung atau tiga, empat maka berbagi lebih balk baginya.
Jika mereka berlima maka berbagi dan seperenam sama raja. Mengenai kasus
kakek, ibu, suami, anak perempuan, dan dua orang saudara laki-laki maka ibu
mendapatkan seperenam, suami seperempat, anak perempuan setengah. Maka,
sisanya kurang dari seperenam, kakek diberi bagian seperenam. Asal masalah aul
menjadi tiga belas (13). Dua orang saudara tidak mendapatkan apa-apa.
2.
Kakek
mewarisi dengan ashabah. Kakek mengambil sisa setelah ashabul furudh. Kalau
kakek bersama dengan saudara-saudara perempuan atau seorang saudara perempuan,
maka saudara-saudara perempuan mendapatkan dua pertiga—dalam keadaan mereka
berbilang dan setengah dalam keadaan sendirian, sedang sisanya untuk kakek
dengan cara ashabah. Jika kakek bersama dengan seorang saudara perempuan
sekandung dan seorang saudara perempuan seayah maka untuk yang pertama
setengah, untuk yang kedua seperenam, dan kakek mendapatkan sisa.
3.
Muqasamah
(berbagi). Kakek berbagi dengan
saudara-saudara laki-laki, artinya kakek termasuk dalam bagian mereka, dan dia
mendapatkan dua kali lipat perempuan. Jika kakek bersama dengan seorang
saudara laki-laki sekandung dan seorang saudara laki-laki seayah maka harta
tersebut dibagi rata antara kakek dan saudara sekandung. Saudara-saudara
laki-laki seayah atau saudara perempuan seayah tidak dihitung dalam pembagian
bersama dengan saudara-saudara sekandung. Dalam kasus kakek, dua orang saudara
perempuan sekandung, dan seorang saudara
laki-laki sekandung maka kakek berbagi dengan mereka. Tirkah menjadi
tiga kelompok untuk mereka[9].
Selanjutnya Kakek tidak mewaris ashabah bersama dengan saudara-saudara
perempuan. Saudara perempuan adalah pewaris dengan bagian tertentu (fardh).
Kalau kakek bersama dengan seorang saudara perempuan sekandung dan seorang
saudara perempuan seayah maka untuk yang pertama mendapatkan setengah, yang
kedua mendapatkan seperenam, sedang kakek mendapatkan sisa.
Ijtihad Zaid bin Tsabit :
1.
Kakek
dengan saudara-saudara laki-laki berhak mendapatkan satu dari dua hal yang
paling baik, antara berbagi dan sepertiga semua harta, jika mereka tidak bersama
dengan ahli waris ashabul furudh. Maka, kakek dijadikan dalam pembagian seperti
salah seorang saudara-saudara laki-laki. Harta dibagi di antara mereka dan
saudara-saudara perempuan. Laki-laki mendapatkan bagian dua perempuan. Bagian
kakek dijadikan dengan saudara-saudara laki-laki sebagai salah seorang dari
mereka, selama berbagi itu lebih baik baginya. Jika pembagian itu kurang dari sepertiga
harta maka kita memberikannya sepertiga. Jika kakek bersama dengan seorang
saudara, kakek mengambil setengah harta. Kesimpulannya, jika mereka
tidak bersama dengan ashabul furudh maka kakek boleh mengambil yang lebih
menguntungkan, antara berbagi dan sepertiga semua harta[10].
2.
Saudara-saudara
laki-laki, dan saudara-saudara perempuan seayah berbagi dalam pembagian itu
dengan saudara-saudara laki-laki sekandung, dengan merugikan kakek. Artinya,
mereka menghitung kakek termasuk saudara-saudara laki-laki sekandung. Jika
kakek mengambil bagiannya maka saudara-saudara laki-laki, perempuan seayah
tidak mendapatkan apa-apa. Sedang sisanya, setelah kakek mengambil bagiannya
untuk saudara-saudara laki-laki dan perempuan sekandung. Mereka berbagi
antara mereka. Laki-laki mendapatkan dua kali bagian perempuan. Inilah al-Mu'aaddah
(saling berbagi). Sebab, kakek berbagi dengan saudara laki-laki seayah,
kemudian dia mengambil apa yang diperoleh saudara laki-laki seayah itu. Dalam
kasus kakek, seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang saudara laki-laki
seayah, saudara laki-laki seayah mengurangi bagian kakek, di mana kakek
berkurang dari bagian muqasamah (berbagi) menjadi mengambil sepertiga
harta. Setelah kakek mengambil sepertiga, saudara laki-laki sekandung mengambil
bagian saudara laki-laki seayah karena yang pertama menghijab kedua.
3.
Jika ada
seorang saudara perempuan sekandung maka dia mengambil bagiannya dan kakek
mengambil bagiannya. Jika masih tersisa maka untuk saudara-saudara perempuan
seayah. Jika tidak ada maka mereka tidak mendapatkan apa-apa, seperti kasus
ahli waris yang terdiri atas kakek, seorang saudara perempuan sekandung, dan
dua orang saudara perempuan seayah. Maka, berbagi adalah lebih baik bagi
kakek. Asal masalah dijadikan dari jumlah mereka yaitu lima. Kakek mendapatkan
dua bagian, satu orang saudara perempuan sekandung setengah dari seluruh harta
yaitu dua bagian, sedang bagian sisa adalah untuk dua orang saudara perempuan
seayah. Asal masalah ditashih menjadi dua puluh.
Jika dalam contoh tersebut, dua orang
saudara perempuan seayah diganti seorang saudara perempuan seayah, dia tidak
mendapatkan apa-apa. Sebab, kakek dengan muqasamah (berbagi) mengambil
setengah harta. Ini lebih baik baginya dari-pada sepertiga. Setengah sisanya
untuk seorang saudara perempuan sekandung. Saudara perempuan seayah tidak mendapatkan
apa-apa.
4.
Jika
mereka bersama dengan ahli waris furudh maka adakalanya kakek mendapatkan
seperenam, adakalanya mendapatkan yang lebih
menguntungkan dari tiga hal yaitu muqasamah (berbagi), sepertiga dari
sisa atau seperenam dari semua harta. Hal ini, jika setelah dibagi ashabul
furudh harta masih tersisa lebih dari seperenam.
Pembagian ini
menjelaskan keadaan-keadaan kakek dengan saudara-saudara laki-laki dengan
mempertimbangkan ada tidaknya ahli waris al-Fardh bersama mereka:
a.
Bersama
mereka tidak ada ashabul furudh.
Maka
kakek mengambil yang paling baik dari dua hal, yaitu sepertiga semua harta[11]
seperti dalam kasus kakek, dua orang saudara laki-laki, dan seorang saudara
perempuan. Atau muqasamah, ini lebih baik bagi kakek jika jumlah
saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan lebih sedikit dari dua
kali jumlah kakek. Ini terbatas pada lima kasus, yaitu kakek dan seorang
saudara lakilaki, kakek dan seorang saudara perempuan, kakek dan dua orang
saudara perempuan, kakek dan tiga orang saudara perempuan, kakek dan seorang
saudara laki-laki, serta seorang saudara perempuan.
b.
Adakalanya
mereka bersama dengan ahli waris fardh, yaitu suami istri, ibu, dua orang
nenek, seorang anak perempuan, seorang anak perempuan dari anak laki-laki.
Artinya, selain saudara-saudara
perempuan.
c.
Adakalanya
kakek lebih baik diberikan bagian yang lebih besar dari seperenam. Kakek
mengambil di antara tiga hal yang paling baik, yaitu muqasamah, sepertiga
sisa dan seperenam semua harta.
Karena itu Muqasamah lebih
baik bagi kakek dalam kasus kakek, nenek, dan seorang saudara laki-laki. Asal
masalah dua belas (12), kakek dan saudara laki-laki masingmasing 5, nenek 2.
Seperti juga suami, kakek, dan saudara laki-laki. Asal masalah empat (4).
Lalu
bagaimana yang lebih baik :
1.
Sepertiga
sisa lebih baik bagi kakek dalam contoh ibu, kakek, dan sepuluh saudara
laki-laki. Asal masalah 6, ditashih menjadi 18. Maka ibu mendapatkan 3, nenek
5, sedang sisanya untuk saudara-saudara laki-laki. Juga seperti kasus kakek,
seorang nenek, dua orang saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Asal
masalah 6, ditashih menjadi 18. Pembagian bisa terjadi jika sisanya bukan
sepertiga penuh. Maka, makhraj sepertiga yakni (3)
dikalikan asal masalah (6) (3x6 = 18). Kakek mendapatkan 5, nenek 3, dua orang
saudara laki-laki 8, seorang saudara perempuan 2.
Seperenam semua harta lebih baik bagi kakek
dalam contoh istri, dua orang anak perempuan, kakek, dan seorang saudara
laki-laki. Istri mendapatkan 3 dari 24, dua orang anak perempuan dua pertiga
(16), sisa 5. Seperenam dari semuanya (4) adalah lebih baik bagi kakek daripada
muqasamah.
2.
Atau
lebih baik seperenam. Kakek diberikan bagian (fardh), saudara laki-laki gugur.
Seperti dalam kasus suami, ibu, kakek, dan saudara laki-laki. Asal masalah enam
(6). Suami mendapatkan setengah (3), ibu dua pertiga (2), kakek seperenam (1),
saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa.
3.
Atau
lebih baik mendapatkan kurang dari seperenam. Bagian kakek di-aul (dinaikkan)
menjadi genap seperenam. Saudara laki-laki gugur seperti suami, dua orang anak
perempuan, kakek, dan saudara laki-laki. Asal masalah 12, aul (naik)
menjadi 13. Dua orang anak perempuan mendapatkan 8, suami 3, masih sisa satu
(1). Maka, di-aul-kan satu demi genapnya seperenam, gugurlah saudara laki-laki.
Juga
seperti suami, kakek, seorang anak perempuan, ibu, dan seorang saudara
perempuan sekandung. Asal masalah aul menjadi 13. Saudara perempuan
tidak mendapatkan apa-apa, sebab dia ashabah dengan anak perempuan atau dengan
kakek. Tidak tersisa untuk saudara perempuan setelah kakek mengambil bagian
seperenam.
4.
Seperenam
bagian kakek sudah menghabiskan semua bagian. Saudara laki-laki gugur,
ditambahkan dalam aul seperti suami, dua orang anak perempuan, ibu,
kakek, dan seorang saudara laki-laki. Asal masalah aul menjadi 13, dalam
aul ditambahkan seperenam bagian kakek maka asal masalah menjadi 15.
Ijtihad sejumlah sahabat ( Ali, Ibnu Mas’ud,
Zaid bin Tsabit) :
Mengutip pendapat Prof. Dr. Wahbah Azzuhaili dalam
kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu
yang mengambil alih undang-undang
Mesir dan Syria dengan mendasarkan pada pendapat mayoritas ulama (tiga madzhab
dan dua orang murid Abu Hanifah), Mereka
memberikan warisan saudara-saudara laki-laki jika bersama kakek. Dengan
demikian, kakek tidak menghijab saudara-saudara laki-laki baik sekandung
maupun seayah. Kakek berbagi dengan mereka dalam hal pewarisan. Ini adalah
prinsip pembagian warisan kakek. Dalil ijtihad mereka adalah sebagai
berikut:
a.
Warisan saudara-saudara lakilaki baik
sekandung atau seayah tetap dalam Al-Qur'an. Mereka tidak bisa terhijab kecuali
dengan nash atau ijma. Dan salah satu dari keduanya tidak ada.
b.
Bahwa kakek dan saudara-saudara
laki-laki sama di dalam hal penyebab memperoleh hak warisan. Sebab,
masing-masing dari mereka mendekati mayit dengan satu tingkat yaitu ayah.
Golongan Syi’ah
menempatkan saudara dalam derajat
yang sama dengan kakek , karena hubungannya yang sama kepada pewaris,
yaitu sama-sama melalui ayah . Oleh karena
itu kakek tidak menutup saudara[12].
Di kalangan golongan Ahlu Sunnah
terdapat pula perbedaan pendapat : Golongan
Hanafi dan Dhairi berpendapat bahwa
saudara tidak berhak atas warisan, bila ada kakek, karena kakek dalam hal ini
berkedudukan sebagai ayah dalam
menutup saudara.
Ulama Ahlu Sunnah yang lain (Maliki,
Syafi’i dan Hambali ) berpendapat bahwa saudara dapat menjadi ahli waris
bersama dengan kakek , karena hubungan keduanya kepada pewaris adalah sama
yaitu sama-sama melalui ayah atau ibu. Pendapat ini mengikuti hasil ijtihad Zaid
Bin Tsabit dan Ibnu Mas’ud[13]. Sepintas lalu
terlihat bahwa Jumhur Ahlu Sunnah sama
pendapatnya dengan golongan Syi’ah yang menempatkan saudara mewaris
bersama kakek.
Mu`awiyah
menulis kepada Zaid bin Thabit bertanyakan tentang datuk (ayah dari ayah), maka
dibalas oleh Zaid: „ aku sendiri telah-menyaksikan dua orang
khalifah sebelum saudara memberikan kepada datuk seperdua jika dia
mewaris bersama-sama seorang saudara laki-laki dan sepertiga jika dia
mewaris bersama-sama dua orang atau lebih saudara[14], dan
tidak boleh kurang bagian datuk itu dari sepertiga, sekalipun banyak jumlah
saudara-saudara itu, tidak perduli apakah saudara-saudara itu laki-laki,
perempuan, ataukah setengahnya laki-laki dan setengahnya perempuan. Lebih
lanjut Hazairin menyatakan bahwa, dari hadis
ini nyata bahwa kasus „datuk bersama saudara", yang dikalangan
Ahlu'ssunnah dihubungkan dengan IV: 176, hukumnya bersumber kepada Ulul Amri dan tidak kepada sunnah Rasul[15].
Al-Hasan berkata bahwa Zaid
Ibnu Thabit menyerikatkan datuk dengan saudara-saudara (dengan datuk mendapat
sekurang-kurangnya atau setinggi-tingginya sepertiga ). Hadis Al-Hasan ini dapat menimbulkan paham bahwa
datuk dalam bersyarikat dengan saudara-saudara memperoleh setinggi-tingginya
sepertiga atau sampai sepertiga (... kana Zaidun yusyarrikul jadda ma'al ikhwati
ila stulutsi). Assya`biyyu berkata bahwa Umar membagikan sama banyak
antara datuk dan seorang saudara laki-laki atau antara datuk dan dua orang
saudara laki-laki. Bila saudara-saudara itu lebih dari dua orang maka
diberikannya kepada datuk sepertiga dan jika datuk berhimpun dengan anak
(keturunan) maka diberinya datuk 1/6. (Addarami, dari A.Hassan „Al-faraa’id1")[16].
Dan tiga
buah hadis itu, yang sekali-kali tidak berisikan sunnah Rasul tetapi hanya
berdasarkan ketetapan Ulil Amri , jelaslah bahwa kedudukan datuk jika berhimpun
dengan saudara adalah kedudukan istimewa bagi seorang `asabah yang disegani ,
yang terkemuka, yang memimpin, seorang syaikh, kadang-kadang juga disebut
seorang „khal", yaitu seorang kepala adat, sebab sistim clan
membawakan sistim pemerintahan yang genealogic. Bandingkanlah kedudukannya
dengan kedudukan „datuk-datuk" di Minangkabau „datuk" sebagai
gelar untuk „tua-tua" di dalam suku, bagian suku atau sekelompok keluarga
matrilineal, dan kadang-kadang hanya mengepalai dan menguasai beberapa rumah
tangga saja, sampai-sampai ada yang menguasai seluruh orang-orang yang sesuku
di dalam sesuatu nagari Minangkabau. Juga di Tanah Batak
(patrilineal) ada kepala-kepala adat itu yang disebut ompu (datuk).
Bagian untuk datuk menurut Ahlu'ssunnah
itu terjenis kepada bagian untuk `asabah. Jika dia berhimpun dengan seorang
saudara laki-laki sampai dengan dua orang saudara laki-laid maka pembagian
antara mereka adalah pembagian sama rata menurut jumlah mereka, jika dua orang maka
masing-masing mendapat ½ jika
3 orang maka masing-masing mendapat 1/3 , hal mana menimbulkan kesan
seakan-akan datuk itu disamakan dengan saudara.
Bahwa datuk dalam sistim Ahlu'ssunnah[17] sesungguhnya tidak persis
disamakan dengan saudara ternyata jika datuk berhimpun dengan lebih dari dua
orang saudara laki-laki, atau dengan seorang saudara laki-laki beserta lebih
dari dua orang saudara perempuan, atau dengan beberapa saudara laki-laki
beserta dengan saudara perempuan, dimana datuk tidak lagi berbagi menurut
jumlah kepala tetapi terjamin mendapat 1/3. Hal ini membuktikan bahwa datuk itu istimewa
kedudukannya dalam lingkungan keluarga, seperti disinggung di atas tadi. Dalam
sistim Ahlu'ssunnah pembagian antara datuk dan saudara itu dikaitkan kepada hal
kalalah IV:176 dengan membentuk seperangkaian garis hukum tambahan, dimana
ternyata pula bahwa datuk jika berhimpun dengan saudara-saudara yang diantaranya
ada yang berhak fara'id sedangkan di luar saudara-saudara itu ada pula pihak
lain yang berhak fara’id, maka datuk akan terjamin mendapat sekurang-kurangnya
1/6 dan jika jumlah semua angka fara’id beserta 1/6
untuk datuk itu
melampaui angka 1, maka datuk diperlakukan seakan-akan dia pula sehingga mesti
tunduk pula kepada peraturan 'aul.
Seorang ulama kontemporer yang kapasitasnya sudah tidak diragukan lagi
yaitu Prof. Dr. Wahbah Azzuhail telah menguraikan dalam kitabnya : al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu , juz 8
halaman 295 – 306 tentang istilah kakek. Menurut beliau yang dimaksud di sini adalah kakek
ashabah atau ayah. Dinamakan juga kakek shahih (sebenarnya) atau kakek
tsabit (yang kokoh). Dia adalah kakek yang dalam nasabnya menuju mayit
tidak ada perempuan[18]. Demikian juga Syeh Sayyid Sabiq bernada sama yaitu kakek
shahih dan kakek fasid[19] dan
bagian kakek mendasarkan pada Ijma’ yaitu : Hadis dari Imron
Bin Husein bahwa ada seorang
lelaki mendatangi Nabi SAW. dan mengatakan: sesungguhnyan cucuku lelaki telah
meninggal dunia apakah saya mendapatkan bagian warisan darinya? lalu Rasul menjawab kamu dapat bagian 1/6, kemudian ketika laki-laki tadi berpaling
Rasulpun memanggilnya lagi dan Rasul berkata : kamu dapat 1/6 , lalu ketika laki-laki
berjalan lagi Rasul memanggilnya lagi dan mengatakan kamu dapat 1//6 yang lain,
kemudian Rasul memanggilnya lagi dan mmenyatakan bahwa 1/6 lainnya adalah
makanan ( H.R. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi menshahihkan hadis tersebut[20]).
Berbeda
lagi adalah kakek rahim, dinamakan juga kakek fasid (rusak) atau kakek yang
tidak tsabit seperti ayahnya ibu. Dia adalah kakek yang
mendekat kepada mayit dengan perantara perempuan. Dia bukanlah orang yang
mendapatkan bagian atau ashabah. Namun, dia termasuk dzawil arham[21].
Posisi kakek seperti ayah dalam tiga
kondisi di atas. Namun, dia sama sekali tidak mewarisi dengan adanya ayah,
karena kaidah umum barang siapa mendekat kepada mayit dengan perantara maka
dia tidak bisa mewarisi dengan adanya perantara tersebut. Oleh karena itu,
kakek gugur dengan adanya ayah. Kakek
mewarisi dengan cara al-Fardh (bagian yang ditentukan) saja jika orang yang
mati meninggalkan anak laki-laki atau anak laki-laki dari anak laki-laki, maka
kakek mendapatkan seperenam. Jika seseorang mati meninggalkan istri, dan
seorang anak laki-laki maka si istri mendapatkan bagian seper delapan karena adanya ahli waris garis anak,
kakek mendapatkan bagian seperenam sedang sisanya untuk anak laki-laki dengan
cara ashabah. Jika seseorang mati meninggalkan anak laki-laki dari anak
laki-laki, kakek, maka kakek mendapatkan bagian seperenam, sedang
sisanya untuk anak laki-laki dari anak laki-laki dengan cara ashabah. Kakek
mewarisi dengan cara ashabah saja. Jika
orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris garis anak, kakek mengambil
semua harta atau sisanya setelah ashabul furudh mengambil bagian mereka.
Jika
seseorang mati meninggalkan istri dan kakek maka si istri mendapatkan
seperempat karena tidak ada ahli waris garis anak, sedang kakek mendapatkan
sisa dengan cara ashabah. Jika mayit hanya meninggalkan kakek maka dia mendapatkan
semua tirkah[22].
Kakek mendapatkan bagian warisan (fardh) dan ashabah juga. Jika orang yang
mati mempunyai anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki maka kakek
mendapatkan bagian seperenam dan sisanya dengan cara ashabah[23].
Kalau seseorang mati meninggalkan istri, anak
perempuan dari anak laki-laki dan kakek maka istri mendapatkan seperdelapan,
karena ada ahli waris garis anak. Anak perempuan dari anak laki-laki
mendapatkan setengah, kakek mendapatkan seperenam dan sisa dengan cara ashabah.
"...Dan
untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan[24]...."
.Hadits yang diriwayatkan oleh lmran bin
Hushain. "Bahwa seseorang mendatangi Nabi Muhammad saw. kemudian dia
berkata, Anakku meninggal, maka berapa warisan untukku? ' Nabi bersabda, 'Bagimu
seperenam.
Para sahabat bersepakat bahwa kakek mewarisi jika tidak ada ayah[25].
Undang-undang Mesir (M 9, 21), Syria (M 266, 280) menyatakan keadaan warisan
kakek sebagaimana ayah.
Hal-hal yang mana kakek berbeda dengan
ayah. Keadaan kakek seperti ayah kecuali dalam empat masalah:
1.
Nenek shahihah (yang sebenarnya) atau
ibunya ayah terhijab (terhalang) karena ayah. Nenek tersebut tidak terhalang
oleh kakek. Dia juga tidak mewarisi dengan adanya ayah, namun mewarisi dengan
adanya kakek.
2. Masalah
al-Gharrawain. Jika mayit meninggalkan kedua orang tua dan salah seorang suami
atau istri maka ibu mendapatkan sepertiga dari sisa setelah bagian salah
seorang suami istri. Adapun jika posisi ayah ditempati kakek maka ibu, menurut
mayoritas ulama berbeda dengan pendapat
Abu Yusuf mendapatkan sepertiga semua tirkah. Dia
tidak dalam posisi gharawah dengan kakek. Ibu menurut Abu Yusuf
mendapatkan dua pertiga sisa setelah bagian salah seorang suami istri.
3.
Ayah menghijab saudara-saudara
laki-laki (lebih dari seorang) dan saudara-saudara perempuan (lebih dari
seorang) baik sekandung atau seayah berdasarkan ijma. Mereka tidak dihijab
oleh kakek menurut mayoritas ulama (tiga imam dan dua mu-rid Imam Abu Hanifah).
Menurut Abu Hanifah, kakek menghijab mereka.
4. Ayah
dari orang yang memerdekakan bersama dengan anaknya mengambil seperenam
bagian wala' menurut Abu Yusuf. Sementara, kakeknya tidak mendapatkannya.
Wala' semuanya untuk anak laki-laki. Tidak ada perbedaan antara kakek
dan ayah menurut imam-imam yang lain, sebab keduanya tidak mengambil sama sekali
warisan wala[26].
Ijtihad Abu Bakar
Nash AL-Qur’an banyak menyebut kata ayah dan dari sinilah makna ayah berkembang sampai
kepada makna kakek , termasuk yang
dipegangi oleh Abu Bakar dan para sahabat yang mengikutinya
seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ubay bin Ka'ab, Hudzaifah ibnul
Yaman, Abu Sa'id al-Khudri, Mu'adz bin Jabal, Abu Musa al-Asy'ari, Aisyah dan
dari tabiin seperti al-Hasan, Ibnu Sirin. Mereka menyatakan: Tidak ada warisan
untuk bani al-A’yan (saudara-saudara laki-laki, perempuan sekandung), bani
al-Allat (saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah) jika bersama
dengan kakek, sebagaimana mereka tidak mewarisi jika bersama dengan ayah. Kakek
sendirian mendapatkan harta seperti ayah. Artinya, kakek dalam warisan seperti
ayah, menghijab saudara-saudara laki-laki secara mutlak baik sekandung, seayah
atau seibu. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. Oleh karena itu, tidak ada muqasamah (pembagian warisan bersama) antara
kakek dan saudara-saudara laki-laki, perempuan menurut pendapatnya. Dalil
mereka dari Al-Qur'an dan AsSunnah.
Adapun dari Al-Qur'an adalah banyak sekali
ayat yang menyebutkan kata ayah untuk kakek, seperti firman Allah SWT, yang
artinya : "Dan aku mengikuti agama nenek moyangku: Ibrahim, Ishaq, dan
Ya'qub...."(Yusuf: 38)
Dengan demikian, kakek harus mengambil
status ayah dalam hal dia bisa menghijab saudara-saudara laki-laki secara
mutlak. Oleh karena itu, Umar berkata, "Bagaimana dia anakku sementara aku
bukan ayahnya?" Ibnu Abbas mengatakan, "Tidakkah Zaid bin Tsabit
takut kepada Allah, dia menjadikan anak laki-laki dari anak laki-laki sebagai
anak laki-laki, sementara tidak menjadikan ayahnya ayah sebagai ayah?"
Adapun dari sunnah adalah hadits yang
artinya : "Berikan warisan-warisan pada orang-orang yang berhak,
sedang sisanya adalah untuk laki-laki yang paling dekat." Oleh karena
itu Ijtihad Abu Bakar bahwa Kakek
lebih dekat dari pada saudara-saudara laki-laki[27].
Kaidah mengatakan dalam ashabah mendahulukan sisi garis ayah dari pada sisi
garis saudara.
Muqasamah kakek dan saudara laki-laki
pewaris :
Bahwa prinsip muqasamah adalah menyamakan bagian kakek dengan saudara kandung
pewaris asalkan bagian kakek tidak berkurang dari bagian saudara kandung
pewaris, cara seperti inipun sudah dianut oleh Wahbah Azzuhaili
dari Undang-undang Mesir (M 22), Syria (M
279/1-4) menyatakan tentang pembagian kakek dan saudara-saudara laki-laki. Undang-undang
Mesir menjadikan warisan kakek dengan saudara-saudara laki-laki pada dua
keadaan.
1.
Orang
yang ada bersama kakek, yaitu saudara-saudara laki-laki dan saudarasaudara
perempuan adalah orang yang mewarisi dengan cara ashabah. Baik laki-laki saja,
laki-laki dan perempuan, atau perempuan yang mewarisi secara ashabah dengan
orang lain, seperti seorang saudara laki-laki sekandung atau seorang saudara
laki-laki sekandung dengan seorang saudara perempuan sekandung, saudara
laki-laki seayah dengan saudara perempuan seayah, saudara perempuan sekandung
atau seayah dengan seorang anak perempuan, atau anak perempuan dari anak
laki-laki.
Maka, kakek dijadikan seperti saudara
laki-laki. Kakek mewarisi bersama mereka dengan cara ashabah. Dia berbagi
dengan mereka selama tidak kurang dari seperenam. Jika kurang
dari seperenam maka pada saat itu kakek diberi bagian seperenam. Jika yang bersama
kakek kurang dari lima orang saudara maka berbagi adalah lebih baik. Jika yang
bersama kakek lima orang saudara maka muqasamah dan seperenam sama
saja. Jika yang bersama kakek enam orang saudara atau lebih maka seperenam lebih
baik bagi kakek daripada mugasamah. Maka, kakek diberikan bagian
seperenam.
Saudara-saudara
laki-laki seayah dengan saudara-saudara laki-laki sekandung tidak bisa
merugikan kakek, sebab mereka terhalang oleh saudara-saudara laki-laki
sekandung. Maka dalam kasus kakek, seorang saudara laki-laki sekandung
dan saudara-saudara lakilaki seayah, masing-masing dari kakek, saudara
kandung mendapatkan setengah, sedang saudara-saudara yang lain gugur bagiannya.
Ternyata ini mengambil madzhab Ali dan Ibnu Mas'ud[28].
2. Hendaklah yang ada yaitu saudara-saudara perempuan yang
bersama dengan kakek adalah ahli waris ashabul furudh. Seperti seorang saudara
perempuan sekandung, atau seayah atau lebih dan tidak ada ahli waris ashabah
dengan kakek. Ini mengambil madzhab Ali dan Ibnu Mas'ud bahwa kakek tidak
mewarisi ashabah dengan saudara-saudara perempuan yang sendirian. Mereka
mengambil bagian mereka, sedangkan kakek mewarisi dengan ashabah.
Maka, kakek mewarisi dengan cara ashabah,
dan mengambil semua sisa setelah pembagian, selama tidak kurang dari
seperenam. Jika kurang dari seperenam maka kakek diberi seperenam.
Dalam kasus kakek, seorang saudara perempuan
sekandung atau seayah, maka saudara perempuan mendapatkan bagian setengah,
sedang sisanya untuk kakek dengan cara ashabah. Dalam kasus kakek, dua orang
saudara perempuan sekandung atau seayah maka dua orang saudara perempuan
mendapatkan bagian dua pertiga, sedang sisanya untuk kakek dengan cara
ashabah. Dalam kasus seorang saudara perempuan sekandung, seorang saudara
perempuan seayah, dan kakek, maka saudara perempuan sekandung mendapatkan
bagian setengah, saudara perempuan seayah mendapatkan bagian seperenam sebagai
penyempurna dua pertiga, sedang kakek mendapatkan sisa dengan cara ashabah.
Ini adalah madzhab Ali, Ibnu Mas'ud yaitu kakek tidak mewaris secara ashabah
dengan saudarasaudara perempuan yang sendirian (tanpa saudara-saudara
laki-laki).
Adapun undang-undang Syria sepakat dengan
undang-undang Mesir untuk memberikan seperenam pada kakek, apa pun keadaannya,
baik dia bersama dengan dzawil furudh atau tidak. Berdasarkan uraian
tentang Muqasamah
kakek dan saudara laki-laki pewaris,
Penulis sangat setuju bahwa untuk mencapai kepastian hukum khususnya di
Indonesia layak mengadopsi undang-undang negara Mesir dan Syria bahwa untuk
memberikan seperenam pada kakek, apa pun keadaannya, baik dia bersama dengan dzawil
furudh atau tidak, ataukah kakek
mendapat sepertiga, asalkan legal formal telah menjadi keputusan bagi otoritas
di Indonesia ini.
Kesimpulan :
1. Bahwa bagian
kakek dengan saudara kandung pewaris di Indonesia masih belum menjadi acuan
hukum bagi praktisi hukum terutama hakim Pengadilan Agama karena aturannya
masih berserakan dalam kitab-kitab kuning dan belum menjadi hukum terapan di
Indonesia.
2. Bahwa bagian
kakek dengan saudara kandung pewaris berdasarkan ijtihad sahabat terdapat dua pendapat, yaitu kakek mendapat
1/3 atau 1/6 atau sepanjang tidak merugikan kakek sesuai dengan hasil ijtihat
mereka berdasarkan qiyas , sedangkan
bagian saudara kandung pewaris mendapat ashabah, sepanjang tidak merugikan
kakek tetapi bagian yang menguntungkan
kakek harus lebih besar.
3. Bahwa
penyelesaian kasus bagian kakek dan saudara kandung pewaris bisa melalui
muqasamah sepanjang bagian kakek tidak berkurang dengan bagian saudara kandung pewaris.
Saran-saran
Ulama Indonesia maupun ahli-ahli hukum atau lembaga negara yang mempunyai otoritas, sampai sekarang belum mengkompilasikan bagian kakek dan
saudara kandung pewaris dalam bentuk peraturan perundangan ataupun Kompilasi
Hukum Islam, untuk dijadikan acuan oleh praktisi hukum dalam memutus dan
menyelesaikan perkara demi kepastian hukum di Indonesia, karena selama
ini sudah ratusan tahun sumber acuannya masih berserakan dalam kitab-kitab
kuning sehingga dalam kasus yang sama akan terjadi putusan hukum yang berbeda. Padahal yang terjadi di negara lain seperti undang-undang Syria sepakat dengan
undang-undang Mesir untuk memberikan seperenam pada kakek, apa pun keadaannya,
baik dia bersama dengan dzawil furudh atau tidak, sehingga acuannya tegas, tranparan dan
berkepastian hukum kenapa Indonesia belum mengakomodirnya ?
Penutup
Demikian tulisan ini semoga banyak manfaatnya dan mohon maaf atas segala
kekurangan dan kesalahan dalam penulisan ini, terimakasih.
Blitar, 20 Nopember 2018
Penulis
Drs. H.
Sudono, M.H.
Buku
Rujukan :
1. Al-qur’an dan
Terjemahnya.
2. Dr. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Gunung Agung Jakarta, 1984.
3. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid, 2, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
Cetakan ke 7, 2006.
4.
Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mjtahid, Jilid 10, Alih Bahasa
oleh A.Hanafi , M.A , Bulan Bintang, Jakarta,Cet.1, 1970.
5.
Prof. Dr. Wahbah Azzuhaili, Al
fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz 8, Darul Fikr, Damaskus, 2008.
6. Prof.Dr. Hazairin, S.H., Hukum Kewarisan Bliateral
MeurutQur’an dan Hadith, Tinta Mas, Jakarta,1982
7. Syeh Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Jilid 3, Darl Fikr, 1992 M / 1412 H.
8. Dan lainnya.
[1] Hakim Utama Muda Pengadilan Agama Blitar Kelas 1 A.
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mjtahid, Jilid 10, Alih Bahasa oleh
A.Hanafi , M.A , Bulan Bintang, Jakarta,Cet.1, 1970, hal.35-36.
[4] Ensiklopedi Hukum Islam,
Jilid, 2, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cetakan ke 7, 2006, hal 612.
[6] Loc.cit.
[11] Ibid. hlm.301.
[12] Dr. Amir Syarifuddin,
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Gunung
Agung Jakarta, 1984, hal 61.
[14] Prof.Dr.
Hazairin, S.H., Hukum Kewarisan Bliateral MeurutQur’an dan Hadith, Tinta Mas,
Jakarta,1982, Hal. 134.
[16] Ibid.
[24] An-Nisa ayat 11.
[28] Wahbah Azzuhaili, Ibid, hlm. 303.