CIRI-CIRI
HAJI MABRUR
Oleh
: Drs. H. Sudono Al-Qudsi, M.H.
-
Predikat mabrur memang hak prerogatif Allah SWT untuk
disematkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Tetapi seseorang yang
dapat meraih haji mabrur pasti memiliki ciri-ciri-tersendiri.
-
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW memberikan
penjelasan الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ
-
لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّة
-
Rasulullah SAW juga pernah memberikan kisi-kisi tanda atau
ciri-ciri bagi setiap orang yang mendapatkan predikat mabrur hajinya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya.
-
قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال:
"إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
-
Artinya, “Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu
haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan
kedamaian.’”
-
Sebagaimana dikutip Imam Badrudin Al-Aini dalam Umdatul
Qari-nya.
-
سئل النبي ما بر الحج قال إطعام الطعام وطيب الكلام وقال صحيح
الإسناد ولم يخرجاه
-
Artinya, “Rasulullah SAW ditanya tentang haji mabrur.
Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’
Al-Hakim berkata bahwa hadits ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim.”
Dari dua hadits di atas bahwa sebagian dari tanda mabrurnya haji seseorang ada tiga.
Pertama, santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam).
Kedua, menebarkan kedamaian (ifsya’us salam).
Ketiga, memiliki kepedulian sosial (ith‘amut tha‘am)
Dari dua hadits di atas bahwa sebagian dari tanda mabrurnya haji seseorang ada tiga.
Pertama, santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam).
Kedua, menebarkan kedamaian (ifsya’us salam).
Ketiga, memiliki kepedulian sosial (ith‘amut tha‘am)
-
Ciri pertama yaitu santun dalam tutur kata. Ciri kedua,
selalu menebarkan kedamaian. Sedangkan ciri ketiga, meningkatnya kepedulian
sosial terutama kepada mereka yang kelaparan.
-
Dari ketiga ciri ini, semuanya berorientasi kepada orang
lain. Artinya, haji mabrur diukur dari dampak yang muncul pada masyarakat
sekitarnya lewat kebaikan-kebaikan orang yang berhaji.
TIDAK SEMUA ORANG MERAIH HAJI MABRUR
-
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang
mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah
berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban
berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah
Ta’ala.
-
Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji
mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi
mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik lantaran
jamaah haji yang baik.”
-
Tanda-Tanda Haji Mabrur
-
Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji,
berdasarkan keterangan al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan
kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.
-
Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para
ulama adalah:
1. Harta yang dipakai untuk haji adalah
harta yang halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang halal,
sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
-
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ
إِلاَّ طَيِّبًا
-
“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.
-
Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa
seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama mereka
yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari
transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh
panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair:
-
Jika anda haji dengan harta tak halal asalnya.
-
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
-
Allah tidak terima kecuali yang halal saja.
-
Tidak semua yang haji mabrur hajinya.
2. Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas
dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam .
Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan
harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan
penebusnya yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan
keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari
merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar) berhaji sedikit,
meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi
alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.”
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji
dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya, dan
ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk
bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji
yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri
dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat
perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk
orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya
telah salah.
3. Hajinya dipenuhi dengan banyak
amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada
waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul
di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji
mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ
الْكَلاَمِ
“Memberi makan dan berkata-kata baik.”
4. Tidak
berbuat maksiat selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam
kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrur yang
diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan
jidal. Allah berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي
الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang
siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji,
maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ
يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq,
ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.”
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak
berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya,
meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun
bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang
dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu
ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan
yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur harus
meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa
syirik, bid’ah maupun maksiat.
5. Setelah haji
menjadi lebih baik
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah
adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut.
Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu
adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.
Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan
para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada
Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang
melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu
agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan
agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan
pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak
demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak
yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.
Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki
hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan
itu adalah salah satu tanda haji mabrur.
Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai
titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah Ta’ala. Ia
akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.
Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur adalah pulang
dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” Ia juga mengatakan,
“Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum
haji.”
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda
diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti
teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis
kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”
Allah berfirman dalam QS, An-Nisa’
ayat 114 :
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ
إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ
وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا
عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali
(bisik-bisikan) orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau
mendamaikan di antara manusia. Dan siapa yang berbuat demikian dengan maksud
mencari keridhoan Allah, tentulah Kami akan memberi kepadanya pahala yang amat
besar.”
Demikian gambaran singkat ciri-ciri haji mabrur semoga ada manfaatnya amiin.