Kamis, 24 September 2020

BUKAN TERMASUK NUZUS KEPERGIAN ISTRI KARENA LAGI EMOSI

 


 

BUKAN TERMASUK NUZUS

KEPERGIAN ISTRI KARENA LAGI  EMOSI

Oleh :  Sudono



Selama ini banyak yang menganggap bahwa kepergian istri dari tempat kediaman bersama danggap nuzuz padalah diperlukan penalaran yang cermat dari hakim untuk menyimpulkan benar tidaknya katagori nuzuz tersebut.

Banyak kasus yang tak mudah difahami secara dhohir dan perlu menginterpretasikan dari berbagai segi social, ekonomi, dan lain sebagainya, contoh :

-         Suami hampir tiap hari keluar rumah bukan untuk bekerja demi anak istrinya tetapi punya hubungan dengan  wanita lain.

-         Suami sengaja membawa dan memboncengkan pacarnya , dan lainya.

Lalu istrinya tahu kalau suaminya punya WIL dan sering digoncengkan , maka terjadilah pertengkaran dengan suaminya dan saat itulah istri pergi keluar rumah untuk menenangkan emosinya maka istri yang keluar rumah tanpa pamit suaminya maka tidak boleh dikatakan sebagai perbuatan nuyuz, sebagaimana komentar Sayyid Sabi berikut ini :

 

وافتي الحاكم ابن عتيبة في امراْة خرجت من بيت زوجها غا ضبة هل لها نفقة – قال – نعم

Al Hakam bin Utaibah telah berfatwa  tentang seorang istri yang keluar dari rumah suaminya karena marah, apakah baginya berhak atas nafkah ? ia menjawab, dapat ( Fiqh Sunnah juz II , oleh Sayyid Sabiq , halaman 151 )

 


Minggu, 20 September 2020

PERTIMBANGAN HUKUM DISSENTING OFINION DALAM PERKARA PERMOHONAN BOIDATA

 



PERTIMBANGAN HUKUM DISSENTING OFINION

DALAM PERKARA PERMOHONAN BOIDATA

 

Oleh : Drs. H. Sudono, M.H.

 

Menimbang bahwa,  dalam menjatuhkan penetapan terhadap perkara nomor--------  Pdt.P/2019/PA.BL. anggota majelis hakim tidak sepenuhnya bersepakat yaitu Drs.H.Sudono, M.H., dalam hal ini telah melalukan dissenting ofinion dengan mempertimbangkan sebagai berikut :

Menimbang bahwa, untuk melaksanakan tugas peradillan terutama untuk mengadili dan menyelesaikan suatu perkara diperlukan aturan hukum yang jelas apakah perkara tersebut dalam kompetensi yuridis Pengadilan Agama atau bukan dan setelah membaca dan mempelajari dengan seksama saya tidak sependapat dengan anggota majelis yang lain dengan pertimbangan :

-      Bahwa sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Agama RI. pasal 34 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, “Perubahan yang menyangkut biodata suami, isteri ataupun wali harus berdasarkan kepada putusan Pengadilan pada wilayah yang bersangkutan.” Sebelumnya, dalam pasal 1 ayat 5 dijelaskan: “Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.”

-       Bahwa ternyata Peraturan Menteri Agama RI. Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, sebagaimana tersebut diatas, telah dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan pasal 45 Peraturan Menteri Agama RI. Nomor 19 Tahun 2018 Tentang Pencatatan Perkawinan yang menyatakan : Pada saat Peraturan Menteri ini mulai belaku, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

-       Bahwa khusus pasal pasal 34 ayat (1) Peraturan Menteri Agama nomor 19 tahun 2018 tentang pencataan perkawinan yang menyatakan : Pencatatan perubahan nama suami, istri dan wali harus  berdasarkan penetapan pengadilan negeri pada wilayah yang bersangkutan. Kemudian Permenag ini diberlakukan Sejak ditetapkan oleh Menteri Agama R.I tanggal 27Agusus 2018.

-     Bahwa sebetulnya untuk merubah biodata cukup dilakukan berdasarkan pasal 34 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah yaitu caranya : perbaikan  penulisan dilakukan  dengan mencoret kata yang salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut , kemudian menulis kembali perbaikannya dengan dibubuhi paraf oleh PPN , dan diberi stempel KUA setempat, akan tetapi karena pasal tersebut juga ikut dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,  maka cukup meyakinkan saya untuk melakukan dissenting ofinion dalam menjatuhkan penetapan  perkara ini.

-   Bahwa Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil. Dua peraturan yang secara hirarki ada di atas Peraturan Menteri Agama, yang ternyata tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Agama tersebut. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana. Pencatatan sipil menjadi penting dalam system adminsitrasi kependudukan dalam suatu Negara hukum, karena apapun dipandang sah secara hukum jika bisa dibuktikan dengan adanya dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.

-    Bahwa Dalam Pasal 52 ayat (1) UU no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dijelaskan: Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat pemohon. Selanjutnya Dalam pasal 93 angka (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil menjelaskan: “Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:

a. salinan penetapan pengadilan negeri tentang perubahan nama;

b. Kutipan Akta Catatan Sipil;

c. Kutipan Akta Perkawinan bagi yang sudah kawin;

d. fotokopi KK; dan

e. fotokopi KTP.

-      Bahwa kedua peraturan tersebut (UU No. 23 tahun 2006 dan Peraturan Presiden RI.No. 25 Tahun 2008) tidak membedakan antara yang beragama Islam maupun non islam sehingga berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia bahkan yang mana penggunaan dari penetapan Pengadilan Negeri tersebut tidak hanya terbatas pada perubahan dalam buku nikah, namun juga meliputi dokumen administrasi lainnya.

-       Bahwa Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008, pasal 1 angka (15): “Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang – undangan.

-     Bahwa Pejabat PPN KUA juga termasuk dalam kategori Pejabat pencatatan sipil karena dalam pasal 1 angka (20) Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008 disebutkan “Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUA Kec, adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam. Sehingga ketentuan yang ada dalam Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008 pasal 101 tersebut juga mengikat bagi PPN KUA Kecamatan.

-     Bahwa dibandingkan ketentuan Perpres tersebut pasal 101 huruf b yang menyebutkan “Pejabat pencatatan sipil membuat akta pencatatan sipil baru untuk menggantikan akta pencatatan sipil dimana terdapat kesalahan tulis redaksional, dan menarik serta mencabut akta pencatatan sipil lama dari pemohon”, dengan Pasal 34 (1) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007: “Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannnya dengan dibubuhi paraf oleh PPN, dan diberi stempel KUA.

-      Bahwa dari banyak perbandingan diatas, pasal 34 Permenag RI Nomor 11 Tahun 2007 dan telah dicabutnya Permenag RI tersebut dan telah diberlakukannya  Permenag RI nomor 19 tahun 2018 pasal 34 ayat (1) dalam banyak hal bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan diatasnya secara hirarki (UU no. 23 tahun 2006 dan Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008), dan juga kurang memberikan pelayanan yang baik dengan hanya mencoret sana coret sini, yang diaplikasikan dengan sama sekali tidak memberikan pelayanan mengenai hal tersebut jika tidak ada putusan dari Pengadilan Agama sehingga memberatkan masyarakat. Jika memang pasal 34 Permenag RI Nomor 11 Tahun 2007 dan masih tetap dipertahankan Pengadilan Agama dengan hanya berdasaran konsideran dalam Permenag nomor 19 tahun 2018,  maka hal itu akan menjadi sesuatu yang diskriminatif bagi masyarakat yang pernikahannya tercatat di KUA Kecamatan.

-       Bahwa kaidah ushul  fiqih menyatakan :

الاصل فى الامر للوجوب

Artinya : pada asalnya kata perintah itu (amr) menunjukkan kepada hukum wajib.

الحكم با لظواهر والله يتولى السرائر

Artinya : Hukum itu mengenai apa yang dhahir dengan perbuatan dan perkataan manusia dan Allahlah yang menguasai apa yang masih dirahasiakan manusia dalam hatinya.

-       Bahwa berdasarkan kaidah diatas perintah itu (amr) yang berupa Undang-Undang adalah bersifat imperatif  untuk dilaksanakan, karenanya hukum yang dhahir berupa Undang-Undang dan yang berupa perbuatan dan perkataan adalah yang ditunjuk untuk melaksanaan adalah pejabat yang diangkat  oleh negara untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman (aparat peradilan agama /hakim) sesuai dengan bunyi pasal peraturan perundangan (Bidhdhawahir).

-       Bahwa menurut Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa Jenis hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas :

a. Undang Undang Dasar 1945.

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

c. Undang Undang/Perpu.

d. Peraturan Pemerintah.

e. Peraturan Presiden.

f.  Peraturan Daerah Provinsi

     g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kotakekuatan hukum peraturan perundang-undangan

-      Bahwa sesuai dengan hierarki sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1). Maksud dari pasal tersebut dapat disimpulkan :

1. Peraturan yang lebih tinggi harus didahulukan dari pada peraturan yang lebih rendah hierarkinya.

2. Peraturan yang lebih rendah hierarkinya, tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya.

3. Pembuat peraturan yang lebih rendah harus memperhatikan dan memahami dengan seksama serta mematuhi tata urutan perundang-undangan yang berlaku.

                 Menimbang  bahwa berdasarkan semua pertimbangan tersebut diatas baik melalui hierarki peraturan perundangan maupun kaidah ushul fiqih diatas ,  yang tidak saya setujui dan melakukan  dissenting ofinion ini, saya menyatakan bahwa perkara permohonan perubahan, pembetulan biodata ataupun istilahnya baik perubahan sebagian atau keseluruhan, terutama perkara permohonan nomor    ------adalah  bukan  kewenangan   Pengadilan Agama akan tetapi kewenangan Pengadilan Negeri dimana Pemohon bertempat tinggal  hal ini berdasarkan maksud pasal pasal 34  ayat (1) Permenag  RI Nomor 19 Tahun  2018  Jo. UU no.  23  tahun  2006 Jo.  Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008), oleh karenanya permohonan  tersebut  harus  dinyatakan  tidak  dapat  diterima  ( Niet  Onvankelijke  Verklaard). 

 

Blitar,  21 September 2020 

Yang menyatakan dissenting ofinion

 

 

Drs.H. Sudono, M.H.

 

 


 


Rabu, 16 September 2020

JANGKAUAN PASAL 84 AYAT (4) UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

 


JANGKAUAN PASAL 84 AYAT (4) UU NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG PERADILAN AGAMA

Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1].

                 Kewajiban adalah peran yang sifatnya imperatif atau harus dilaksanakan. Bila kewajiban tidak dilakukan maka seseorang dapat dikenakan sanksi, baik secara hukum maupun sanksi sosial[2]. Menurut KBBI, arti kewajiban adalah sesuatu yang diwajibkan, atau sesuatu yang harus dilaksanakan[3]. Menurut Prof. R. M. T. Sukamto Notonagoro bahwa kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh pihak tertentu dengan rasa tanggung jawab yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan[4].

“Kewajiban Hukum” merupakan suatu kewajiban dalam suatu organisasi atau dalam suatu kegiatan sehari-hari, dimana setiap orang wajib mentaati setiap peraturan yang ada, baik itu aturan dalam suatu perusahaan, aturan mengenai kode etik profesi dalam suatu organisasi ataupun aturan-aturan lainnya[5]. Jadi sangat jelas bahwa kewajiban hukum bagi setiap orang wajib ditaati, namun dibalik itu ada kepentingan hukum yang lebih diutamakan guna menghindari keadaan yang lebih parah.

Sehubungan dengan pengertian “kewajiban” dalam tulisan ini pasal  84 ayat (4) UU No. 7 tahun 1989 menyebutkan:  Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak. Selanjutnya dalam penjelasan  Pasal 84 Ayat (4) dinyatakan Cukup jelas. Lalu apa yang bisa dijangkau dari pasal 84 ayat (4) UU.No.7/1989 ?

   Panitera berkewajban memberikan akta cerai, Karena pasal tersebut sangat jelas dan tegas dan bersifat inperatif. Karena itu “berkewajiban memberikan akta cerai” , yang dimaksud bahwa Panitera punya kewajiban hukum yang dibebankan oleh UU. Kalau UU menyatakan bahwa pasal 84 ayat (4) UU Nomor 7 tahun 1989 cukup jelas, berarti untuk menyimpangi aturan tersebut diperlukan contra legem , analoq agar mendapatkan keyakinan dalam menerapkan pasal tersebut. Oleh Karena itu penulis berpendapat bahwa :

a.     Adanya kewajiban hukum

-    Panitera membuat dan menandatangani Akta Cerai,  lalu  memberikannya kepada para pihak adalah “kewajiban hukum”. yang dibebankan oleh UU di pundak Panitera.

-   SAMA  dengan kewajiban hakim mendamaikan para pihak dalam persidangan adalah kewajiban hukum, sehingga kalau pemeriksaan perkara perceraian (perdata) tanpa didamaikan maka melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan[6]. Karenanya inilah “kewajiban hukum” yang dibebankan oleh UU di pundak Hakim.

-   SAMA dengan kewajiban kepala Desa /Lurah yang mendapat amanat menyampaikan panggilan yang tidak bertemu para  pihak[7] . Kepala Desa/Lurah diwajibkan dengan segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, inilah “kewajiban hukum” yang dibebankan oleh UU di pundak Kepala Desa/Lurah.

-     Dari ketiga contoh diatas maka jangkauan Panitera berkewajiban memberikan akta cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,  harus dibaca dengan menganalogikan kasus ini dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor  1 Tahun 2011 tentang Penyampaian Salinan Putusan.

-     Pasal 64 A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 menentukan bahwa pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.

-     Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 1 Tahun 2011 pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 64 A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 harus dibaca bahwa dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak perlu menyampaikan salinan putusan kepada para pihak, akan tetapi salinan putusan harus sudah dipersiapkan dalam waktu tersebut.

-     Karena pasal 84 ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 1989 cukup jelas maka jangkauan yang dapat dilakukan yaitu dengan menganalokkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor  1 Tahun 2011 bahwa  Panitera berkewajiban memberikan akta cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,  harus sudah dipersiapkan dalam waktu tersebut,  dan Panitera tidak perlu  membuat PEMBERITAHUAN PUTUSAN TELAH BERKKEKUATAN HUKUM TETAP yang berisi agar Tergugat / Penggugat dapat mengambil akta cerainya sejak pemberitahuan ini di Pengadilan Agama……..

 

b.     Adanya kepentingan hukum

-       Kepentingan hukum diperbolehkan sepanjang demi kepentingan umum bukan untuk kepentingan organisasi, kantor  apalagi untuk pribadi. Hubungannya dengan Akta Cerai siapa yang mempunyai kepentingan hukum Panitera atau para pihak ?

-   Bahwa yang punya kepentingan hukum terhadap Akta Cerai adalah para pihak, bukan panitera, karena itu penulis serujuk dengan  SE- MA Nomor  1 Tahun 2011 bahwa  Panitera berkewajiban memberikan akta cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7  (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, yang dimaksud “memberikan”  harus sudah dipersiapkan dalam waktu tersebut, karena Panitera tidak ada kepentingan hukum terhadap Akta Cerai.

 

Kesimpulan

     Bahwa karena dalam pasal 84 ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 1989 cukup jelas maka Panitera mempunyai kewajiban hukum harus sudah menyiapkan dan memberikan Akta Cerai kepada para pihak yang  sudah dipersiapkan dalam waktu tersebut.

 

     Demikian  tulisan ini semoga ada manfaatnya, amiin , terimakasih

 

 

                                                                    Lamongan, 17 September 2020

                                                                Penulis

 

 

                                                                   Drs. H. Sudono, M.H.

 

 

 

 

 

 

 



[1] Hakim Utama Muda Pengadilan Agama Lamongan

[2] https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-kewajiban.html

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20111003215535AALoUOu

[6] Pasal 3 ayat (3) Perma Nomor 1 Tahun 2016

[7] Pasal 390(1) HIR, Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang akan disebut di bawah ini, harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya dan jika tidak dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau lurah bangsa Tionghoa yang diwajibkan dengan segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, dalam hal terakhir ini tidak perlu pernyataan menurut hukum.

 


Rabu, 09 September 2020

KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK

 

KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK

 

Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1].



 

Pendahuluan

Hakim dan aparat penegak hukum lain harus tidak ragu lagi menggunakan alat bukti elektronik sebagai bagian dari cara untuk membuktikan kasusnya di pengadilan. Jenis bukti elektronik akan berkembang sedemikian cepat sehingga penegak hukum harus mengikuti perkembangan alat bukti elektronik.

Penggunaan alat bukti elektronik dewasa ini memang semakin banyak digunakan masyarakat seperti e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan teleconference, hasil rekaman tersembunyi atau hasil rekaman penyadapan, informasi elektronik, dokumen elektronik dan sarana elektronik lainnya yang dijadikan media penyimpanan data. Pemeriksaan alat bukti yang menggunakan teknologi, pertama kali diajukan  di  pengadilan  tahun  2002,  yaitu  dalam proses pemeriksaan saksi BJ Habibie dengan menggunakan teleconference pada kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung. Saat itu belum ada dasar hukum yang mengatur mengenai keabsahan alat bukti elektronik   hanya perolehan izin dari Mahkamah Agung  sehingga tidak dapat dijamin bahwa kesaksian tersebut memiliki kekuatan pembuktian. Sedangkan, kasus pertama di Indonesia yang menggunakan alat bukti elektronik  sebagai alat bukti yang  sah  dan  telah  diatur  dalam  undang-undang adalah kasus Prita Mulyasari dengan pidana pencemaran nama baik melalui e-mail.

   Di Indonesia, alat bukti elektronik telah diatur dalam berbagai undang-undang, namun penyelenggaraan alat bukti elektronik dalam persidangan belum diatur aspek legalitas formilnya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terkait keabsahan alat bukti elektronik dalam hukum acara. Teknologi telah melahirkan berbagai sarana dan alat elektronik yang digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. Pengakuan alat  bukti  elektronik  sebagai  alat  bukti yang  sah  merupakan terobosan yang  positif dalam sistem peradilan di Indonesia.

Pembangunan di bidang   hukum    merupakan     bagian    dari  pembangunan nasional karena hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat masyarakat tidak boleh ketinggalan dari proses perkembangan yang terjadi di masyarakat. Salah satu fenomena yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi dan informasi antara lain munculnya era internet dan berbagai alat elektronik yang memudahkan manusia dalam berkomunikasi dan menjalankan kegiatannya.

Indonesia sangat memerlukan adanya pembaharuan hukum acara atau hukum formil dengan fungsi untuk menerapkan hukum materiil ke dalam peristiwa konkrit yang terjadi di masyarakat. Hal ini mengingat   semakin   pesatnya   perkembangan   dan pembaharuan hukum materiil dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibentuk secara parsial sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang baru juga dibentuk seiring dengan pengaturan mengenai hukum formilnya, sekalipun pada dasarnya hukum acara pidana bersumber pada KUHAP sebagai hukum positif. Hal ini menujukkan bahwa alat bukti elektronik hanya diatur secara parsial dalam peraturan perundang-undangan dan tidak terkodifikasi sehingga diperlukan suatu peraturan yang mengatur mengenai hukum formil yang terkodifikasi dan berlaku secara nasional.

 

A.      Permasalahan

Dari judul diatas akan timbul permasalahan sebagai berikut :

1.      Sejauhmana keabsahan penyampaian alat bukti elektronik di persidangan tanpa menunjukkan aslinya.

2.      Apakah menampilkan alat bukti elektronik melalui teleconference di persidangan sudah  dapat  dikatakan  disampaikan di depan  hakim  secara  langsung merupakan alat bukti elektronik yang sah.

 

B.      Pembahasan

Untuk memperjelas tentang judul diatas perlu sedikit penulis jelaskan hal berikut:  “alat” berarti, yang dipakai untuk mencapai maksud, bahkan dalam istilah hukum “alat” adalah sesuatu yang dipakai untuk menjalankan kekuasaan negara[2] (polisi, tentara). Sedangkan “bukti” adalah sesuatu keterangan, tanda yang menyatakan kebenaran sesuatu peristiwa[3]. Sehingga “alat bukti” berarti alat yang dapat menjelaskan  suatu keterangan yang menyatakan kebenaran sesuatu peristiwa,  baik di dalam persidangan maupun diluar persidangan.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa alat buti disebut Al-bayyinah[4] dan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah sebagai segala sesuatu yang da­pat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar) di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi, dan berbagai indikasi yang dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya. lbnu Qayyim al-Jauziah lebih jauh mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat digunakan di hadapan majelis hakim. Namun, tidak semua alat bukti tersebut diterima oleh ulama fikih. Oleh sebab itu, ada alat bukti yang disepakati para ahli fikih, kendati dalam meletakkan persyaratan dan perinciannya masing-masing ahli berbeda-beda, dan ada pula alat bukti yang diperselisihkan.

Alat bukti yang disepakati oleh ulama fikih ada-lah sebagai berikut.

(1)   Kesaksian (asy-syahadah). Jumlah saksi yang dapat diterima berbeda-beda sesuai dengan jenis perkara yang diajukan. Ada yang cukup dua orang saksi, ada yang harus empat orang saksi, namun ada juga yang hanya satu orang saksi dengan sumpahnya.

(2)   Ikrar (al-iqrãr), yaitu pengakuan dari pihak tergugat bahwa apa yang digugat oleh penggugat adalah benar. Dalam kaitan dengan ikrar sebagai alat bukti, ulama fikih menyatakan bahwa pengakuan (ikrar) itu merupakan tuan dari alat-alat bukti. Artinya, ikrar merupakan alat bukti yang sangat meyakinkan, sangat sahih, dan tidak diragukan sama sekali.

(3)   Sumpah (al-yamin), yaitu alat bukti yang dapat digunakan ketika pihak penggugat lemah.

(4)   Nukul (penolakan pihak tergugat untuk bersumpah dalam menguatkan haknya). Jika tergugat menolak untuk bersumpah di depan majelis hakim, hal ini merupakan indikasi pengakuannya atas apa yang digugat oleh pengguqat.

(5)   Qarinah, yaitu berbagai indikasi yang menunjukkan kebenaran atau ketidakbenaran gugatan.

(6)   Qasamah, yaitu sumpah yang dilakukan berulang kali oleh penggugat dalam kasus pembunuhan atau sumpah yang dilakukan oleh masyarakat daerah sekitar terjadinya pembunuhan atau kejadian perkara, yang bertujuan untuk menyatakan  bahwa mereka bukan pembunuhnya[5]. Dari ke 6 alat bukti tersebut, penulis tidak perlu membeberkan dalam tulisan ini, akan tetapi  perlu memahami alat bukti elektronik berikut ini.

 

C.      Memahami Alat Bukti Elektronik

          “Elektronik” adalah alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika atau benda yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika[6]. Alat bukti elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor  11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( selanjutnya disingkat UU ITE ) memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan. UU ITE menyatakan bahwa  Alat Bukti Elektronik” ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil. Bahkan diperjelas dalam pasal  5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Dalam memahami alat bukti elektronik dimaksud  berdasarkan pasal 1 butir 1 UU ITE, bahwa  informasi elektronik tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Kemudian yang  dimaksud dengan Dokumen Elektronik menurut Pasal 1 butir 4 UU ITE adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3[7]. Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokan menjadi dua bagian. Pertama Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kedua, hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. Karena itu Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat. Bahkan dapat diperluas lagi tentang jangkauan Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat  dijadikan alat bukti hukum yang sah.

M. Yahya Harahap, S.H.[8], menjelaskan bahwa alat bukti yang lama dianggap tidak komplit, karena system itu tidak menyebut dan memasukkan alat bukti modern yang dihasilkan perkembangan ilmu pengetahuan dan  teknologi, misalnya alat bukti elektronik (electronic evidence) , meliputi data elektronik ( electronis data), berkas elektronik (electronic file ), selanjutnya dikatakan juga bahwa “tidak saja data elektronik yang muncul belakangan ini sebagai alat bukti, tetapi juga bentuk yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti foto, film, pita suara, dan DNA. Berdasarkan kenyataan perkembangan dimaksud, kearah perkembangan peradaban  , layak dan beralasan meninggalkan system pembatasan alat  bukti yang klasik, kearah perkembangan peradaban, karena dari bentuk atau jenis alat bukti baru  tersebut, kemungkinan besar akan diperoleh  kebenaran yang lebih jelas dan utuh. Karena itu dianggap berlalasan memberi kebebasan kepada hakim menerima segala bentuk dan jenis alat bukti yang diajukan para pihak sepanjang hal itu tidak melanggar kepatutan dan ketertiban umum.

 

D.      Alat Bukti Elektronik Harus Penuhi Syarat Formil Dan Materiil

Yang harus diperhatikan tentang keabsahan  Alat Bukti Elektronik dinyatakan pasal 5 ayat (4) UU ITE bahwa,  Syarat formil  Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keautentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.

Berdasarkan uraian diatas dapat dijadikan standart bahwa dalam menggunakan alat bukti elektronik seperti , email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan dalam banyak hal alat bukti elektronik dan hasil cetaknya. Sudah ada beberapa putusan yang membahas mengenai kedudukan alat bukti elektronik.

 

Alat Bukti Saksi Melalui Teleconference

KUHAP   telah   mengatur bahwa keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, apabila “dinyatakan” di sidang pengadilan dan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Hal ini sesuai Pasal 185 ayat (1) jo Pasal 160 Ayat (3) KUHAP. Permasalahannya, apakah menampilkan saksi melalui teleconference di persidangan sudah  dapat  dikatakan  disampaikan di depan  hakim  secara  langsung dan tranparan ?  Jika dikaji lebih dalam pemeriksaan saksi melalui teleconference pada dasarnya sama dengan pemeriksaan saksi yang dilakukan di  muka persidangan. Saksi memberikan keterangannya  secara  lisan  dan  pribadi  di  muka persidangan. Perbedaannya hanya saja saksi tidak hadir secara fisik di  ruang persidangan, melainkan hadir secara visual dalam layar media elektronik.

Berkenaan dengan pemeriksaan saksi, jika saksi tersebut berada diluar wilayah hukum Pengadilan Pemeriksa, maka pemeriksaan saksi tersebut dapat dilakukan melalui teleconference. Untuk melakukan pemeriksaan saksi melalui teleconference, Ketua Pengadilan harus meminta bantuan pada Ketua Pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal saksi, agar menunjuk Hakim dan Panitera. Kemudian Pengadilan yang mewilayahi saksi tersebut harus menunjuk Hakim  dan Pantera yang akan mengangkat sumpah dan melihat langsung pada tempat dimana dilakukan teleconference Kemudian hasil pemeriksaan sidang tersebut berupa berita acara sidang dikirim kepada Pengadilan yang meminta bantuan. Berdasarkan sistemPeradilan e-Court, pemeriksaan tetap dilakukan oleh Pengadilan semula , Pengadilan yang diminta bantuan hanya menyaksikan pemeriksaan tersebut. Artinya kehadiran Hakim dan Panitera hanya sebatas memmastikan tentang pemeriksaantersebut secara fisik[9] dan praktek persidangan diatas pernah dilakukan di Pengadilan Agama Surabaya[10].

Permasalahan berikutnya terkait  dengan  rekaman. Pada prakteknya rekaman ini menjadi pro kontra, disatu sisi mengandung kebenaran materiil guna membuat terang adanya suatu tindak pidana, namun disisi lain merekam pembicaraan tanpa ijin atau tanpa diketahui oleh yang bersangkutan menyebabkan privasinya terganggu. Padahal hukum pidana mencari kebenaran materiil.

Pengaturan yang kurang mengenai alat bukti elektronik, menunjukkan bahwa hukum di Indonesia belum mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat dan hal ini berdampak pada proses beracara atau persidangan di pengadilan, khususnya hukum acara pidana di Indonesia. Sidang pembuktian pada  hukum  acara  pidana  yang  menggunakan alat bukti elektronik belum optimal. Pengakuan terhadap bukti  elektronik sebagai  alat  bukti  yang  sah  dapat digunakan di pengadilan, belumlah cukup memenuhi kepentingan  praktik  peradilan,  karena  baru merupakan pengaturan dalam tataran hukum materiil. Mengingat praktek peradilan didasarkan pada hukum acara sebagai hukum formil yang bersifat mengikat, maka pengaturan bukti elektronik (sebagai alat bukti yang sah untuk diajukan ke pengadilan) dalam bentuk hukum formil sangat diperlukan guna tercapainya kepastian hukum.

 Dalam hukum pembuktian, suatu alat bukti dikatakan sebagai alat bukti yang sah adalah tidak hanya alat bukti tersebut diatur dalam suatu undang-undang (bewijsmiddelen) tetapi bagaimana alat bukti tersebut diperoleh dan cara pengajuan alat bukti tersebut di pengadilan (bewijsvoering), serta dan kekuatan pembuktian (bewijskracht) atas masing- masing alat bukti yang diajukan tersebut juga sangat mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menilai keabsahan suatu alat bukti. Misalnya mengenai alat bukti saksi. Dalam KUHAP, diatur bahwa pemeriksaan alat bukti saksi harus disampaikan langsung di muka persidangan atau hakim. Yang menjadi  persoalan  adalah  bagaimana implementasinya apabila aturan itu diterapkan bagi saksi yang akan memberikan keterangannya dengan menggunakan teleconference. Apakah keterangan saksi  itu  tetap  dapat  dikatakan sah  padahal  secara teknis saksi tersebut tidak hadir di muka persidangan.

 

Alat Bukti Elektronik  Berupa Rekaman

Secara materiil telah terbukti adanya unsur-unsur tindak  pidana  yang  terkandung di  dalam rekaman, namun   pada   prakteknya   rekaman   sering   ditolak sebagai  alat  bukti  yang  sah  di  pengadilan  karena Pembuktian  memegang  peranan  yang penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian inilah yang menentukan bersalah atau tidaknya  seseorang  yang  diajukan  di  muka pengadilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan dengan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan dari orang tersebut maka akan dilepaskan dari hukuman, sebaliknya apabila kesalahan dapat dibuktikan maka dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.

 Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H., Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA dalam pengantar tulisannya mengutip tentang adanya pengalihan data tertulis ke dalam bentuk data elektronik telah di akomodir dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pada bagian menimbang huruf F dinyatakan bahwa "kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik”. Selanjutnya dipertegas “dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya dan merupakan alat bukti yang sah" sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) Jo Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1997. Hal ini berarti dokumen elektronik khususnya mengenai dokumen perusahaan merupakan alat bukti yang sah jauh sebelum diterbitkannya UU ITE. Karena itulah  Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE telah mengatur dengan jelas kedudukan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti yang sah dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (1) UU ITE (Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016).

Penulis sependapat dengan masuknya pasal Pasal 6 UU ITE yakni “informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”. Selain itu, terdapat pula kekhususan dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik serta transaksi elektronik.

E.      Cara Menyampaikan Alat Bukti Elektronik Di Pengadilan

Pasal 6 UU ITE menyebutkan “Dijamin keutuhannya” berarti tidak diubah-ubah bentuknya sejak dari dokumen elektronik tersebut disahkan. Tata cara penyerahan menjadi penting karena menyangkut sah atau tidaknya hukum acara perdata yang diterapkan dan dalam rangka memenuhi unsur "dijamin keutuhannya".Ternyata dalam UU ITE maupun UU lainnya tidak mengatur mengenai tata cara penyerahannya di persidangan. Karenanya ada keharusan untuk diserahkan di persidangan dan pihak lawan dapat melihat alat bukti elektronik yang berupa rekaman dan lainnya,  sejalan dengan maksud pasal 137 HIR  bahwa “Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya, surat mana diserahkan kepada hakim buat keperluan itu”. Dalam menjaga asas keterbukaan pembuktian dipersidangan maka ketentuan 137 HIR juga harus dapat diterapkan pada dokumen elektronik ketika pihak lawan meminta untuk diperlihatkan. Untuk itu, diperlukan perangkat teknologi berupa laptop maupun proyektor agar dapat menampilkan dokumen elektronik.

 

F.       Tandatangan Elektronik Dalam Alat Bukti Elektronik

 Lebih lanjut dinyatakan dalam pasal 11 UU ITE sehingga memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah yakni a. data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan, b. data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan, c. segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, d. segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.  Butir-butir kriteria di atas juga mengandung aspek keamanan dokumen elektronik sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 12 ayat 1 pada UUITE, diantaranya keaslian (authentication), keutuhan (integrity), dan anti penyangkalan (non repudiation). Lebih lanjut keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. Jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta[11].

Berikut pembagian kriteria dalam Pasal 11 UU ITE dan aspek jaminan keamanan dalam Pasal 12 UU ITE menyebutkan:

1.      Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan (Keaslian/Authentication)

2.      Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan (Keaslian/Authentication)

3.      Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui (Keutuhan/Integrity)

4.      Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui (Keutuhan/Integrity)

5.      Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya (Anti Penyangkalan/Non Repudiation)

6.      Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait (Anti Penyangkalan/Non Repudiation).

Berpijak dari ke enam jaminan keamanan Tandatangan elektronik yang mampu menjamin terpenuhinya angka 1 dan 6 diatas adalah tanda tangan yang tersertifikasi dan dapat "dipertanggungjawabkan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU ITE. Hal ini karena berfungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas identitas penandatangan, keutuhan dan keautentikan informasi elektronik serta dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Dari uraian diatas penulis sependapat dengan Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.,yang menyimpulkan  bahwa: Eksistensi dokumen elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah di persidangan perdata sesuai dengan UU Dokumen Perusahaan dan UU ITE namun sebagai bagian dari hukum acara, dokumen elektronik belum memiliki pengaturan tata cara penyerahannya di persidangan, tata cara memperlihatkannya kepada pihak lawan dan sedang disusun regulasi mengenai standarisasi jasa penyelenggara sertifikasi elektronik. Tata cara penyerahan dan memperlihatkan dokumen elektronik dipersidangan dapat dijawab melalui pengembangan praktik di persidangan namun untuk memberikan kepastian hukum maka perlu diatur dalam Hukum Acara Perdata atau disusun dalam Peraturan Mahkamah Agung.

 

G.     Kedudukan Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti

Maksud keabsahan terhadap alat bukti elektronik ini adalah bukti elektronik itu, baik secara perolehan maupun isinya, dapat diperoleh dengan cara yang sah dan legal. Kedudukan bukti elektronik sebagai alat bukti yang mandiri telah dipertegas eksistensinya melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Bahkan lebih lanjut, ketentuan Pasal 5 ayat (2) juga menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”

Dalam masalah pidana telah ada ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan: “Alat bukti yang sah dalam dalam bentuk Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

a.      Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan

b.      Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

 Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 26 A huruf a UU Tipikor menyebutkan yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik”, misalnya data yang disimpan dalam mikrofilm, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM), sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” adalah tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimile.” Termasuk pula CCTV  sebagai penafsiran pasal 5 ayat (1) dan (2) dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26 A UU Tipikor menyatakan bahwa khusus bukti elektronik (informasi/dokumen elektronik) harus dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang dan yang lebih penting bukti elektronik tersebut dapat dijaga keasliannya.

Alat bukti elektronik adalah hasil tehnologi tinggi seperti microfilm, microfiche, dan facsimile ( bukan cap tanda tangan) juga dapat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis hal ini dapat disimpulkan dari putusa Mahkamah Agung tanggal 14 April 1976 Nomor 701 K/Sip/1974,  bahkan Mahkamah Agung dalam suratnya tanggal 14 Januari 1988 Nomor 39/TU/88/102/Pid, yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman, Mahkamah Agung mengemukakan pendapatnya bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah[12] dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184  ayat (1) sub c KUHAP, dengan catatan baik microfilm maupun microfiche itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi  maupun berita acara. Termasuk juga untuk perkara perdata berlaku pula pendapat yang sama, sehngga copi surat Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman kemudian disebarluaskan kepada Ketua Pengadilan Negeri seluruh  Indonesia.

Walaupun   UU   No.   20/2001,   UU   No.15/2002   dan   UU   No.   15/2003   telah   mengakui legalitas informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi keberlakuannya masih terbatas pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Di dalam UU No. 20/2001, UU No. 15/2002 dan UU No. 15/2003 juga belum ada kejelasan mengenai legalitas  print  out  sebagai alat bukti dan juga belum diatur tata cara yang dapat menjadi acuan dalam hal perolehan dan pengajuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti ke pengadilan. Dasar hukum penggunaan alat bukti elektronik   di   pengadilan   menjadi   semakin   jelas setelah diundangkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang  Informasi  dan  Transaksi  Elektronik  (UU ITE). UU ITE ini dinilai lebih memberikan kepastian hukum dan lingkup keberlakuannya lebih luas, tidak terbatas pada tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme saja.

Selain mengakui informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, UU ITE juga mengakui print out (hasil cetak) sebagai alat bukti hukum yang sah. Demikian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE yang mengatur bahwa:

(1)  Informasi  Eletkronik  dan/atau  Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi  Elektronik dan/atau  Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Pasal 5 ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa keabsahan alat bukti elektronik ini diakui oleh hakim apabila menggunakan Sistem Elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU ITE, yaitu yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

a.  Dapat      menampilkan      kembali      Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;

b.  Dapat     melindungi     ketersediaan,     keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

c.  Dapat  beroperasi  sesuai  dengan  prosedur  atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

d.  Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan

e.  Memiliki mekanisme yang  berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Sehubungan dengan adanya syarat minimum diatas, menurut  penulis yang terpenting adalah alat bukti itu di dapat secara sah. Dan diperlukan campurtangan  seorang ahli digital forensic akan membantu menentukan keabsahan suatu alat bukti elektronik di persidangan. Berangkat dari prinsip bahwa every evidence can talk, yang dapat membuat alat bukti elektronik “berbicara” adalah seorang ahli digital forensic. Penjelasan ahli tersebut nantinya akan dilakukan dengan cara merekonstruksi alat bukti elektronik, sehingga membuat terang jalannya persidangan[13].

 

Kesimpulan

1.         Bahwa alat bukti elektronik dikatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan UU  ITE.  Pasal  16  ayat  (1)  UU  ITE  menyatakan bahwa suatu  bukti elektronik dapat  memiliki kekuatan hukum jika informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungajwabkan, dapat diakses,  dan  dapat  ditampilkan  sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menujukkan bahwa informasi yang diimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya sehingga  alat bukti elektronik itu di dapat secara sah.

2.         Bahwa pemeriksaan alat bukti melalui teleconference pada dasarnya sama dengan pemeriksaan alat bukti yang dilakukan di  muka persidangan dan  Informasi  Eletkronik  dan/atau  Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Contoh Saksi memberikan keterangannya  secara  lisan  dan  pribadi  di  muka persidangan. Perbedaannya hanya saja saksi tidak hadir secara fisik di  ruang persidangan, melainkan hadir secara visual dalam layar media elektronik. Disamping itu pihak yang mengajukan bukti elektronik sebagai alat bukti, telah melakukan  upaya   yang   patut   untuk   memastikan bahwa alat bukti  elektronik tersebut dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaannya,   termasuk  alat   bukti   saksi melalui   teleconference.

 

S a r a n

Untuk mewujudkan kepastian hukum UU ITE belum cukup mengatur mengenai persyaratan formil  alat bukti elektronik,  sehingga diperlukan  kebijakan  hukum  yang mengatur ulang materi hukum acara dan proses penegakan hukumnya. Dengan dilakukannya pembaharuan hukum acara maka dapat mengakomodasi perkembangan alat bukti elektronik seiring  dengan  kemajuan  teknologi  dan  informasi guna memenuhi kebutuhan praktik praktisi hukum di sidang Pengadilan.

 

Penutup

Demikian tulisan tentang “KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK” semoga banyak manfaatnya dan mohon maaf atas kekurangan dan kekhilafan dalam tulisan ini , terimakasih.

 

Blitar, 10 Februari 2020

Penulis

                               Description: _Pic2

          Drs. H. SUDONO, M.H.

 

Daftar Rujukan

-          Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007.

-          Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006.

-          Dr. Drs. Aco Nur, SH., M.H., Dr. Amam Fakhrur, Hukum Acara Elektronik di Pengadilan Agama Ea Baru Sistem Peradilan di Indonesia, Editor : Dr. Sugiri Permana, Nizamia Learning Center, 2019.

-          M. Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Cetakan Keempat, Jakarta, Mei 2006, hal. 555 – 556.

-          Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke Tujuh, Liberty, Yogyakarta, 1998.

-          Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP).

-          Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

-          Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP).

-          Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.

-          https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c4ac8398c012/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana/

-          http://cyberlaw.id/alat-bukti-elektronik-digital-evidence-dalam-uu-ite/

 

 

 

     Identitas Penulis

 Nama           : Drs. H. Sudono, M.H.

Jabatan          : Hakim Utama Muda

Satuan Kerja : Pengadilan Agama Blitar Kela 1 A

Nomor HP.   : 081 327 088 322

Email            : sudono.alqudsi@gmail.com

 



[1]Hakim Utama Muda Pengadilan Agama Blitar Kelas 1 A

[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hal. 27

[3] Ibid, hal. 172

[4] Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006, hal.206

[5] Ibid, hal. 208

[6] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hal.  294.

[8] M. Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Cetakan Keempat, Jakarta, Mei 2006, hal. 555 – 556.

[9] Dr. Drs. Aco Nur, SH., MH., Dr. Amam Fakhrur, Hukum Acara Elektronik di Pengadilan Agama Ea Baru Sistem Peradilan di Indonesia, Editor : Dr. Sugiri Permana, Nizamia Learning Center, 2019, hal.138

[10] Ibid, hal. 139.

[11]Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke Tujuh, Liberty, Yogyakarta, 1998, Hal. 149.

[12]Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Ibid, Hal. 165-166.