PERJANJIAN
PERKAWINAN DI IND0NESIA[1]
Oleh
: Drs. Sudono Al-Qudsi, M.H[2].
Pedahuluan
Setiap
calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan yang akan melaksanakan
perkawinan bebas mengadakan perjanjian perkawinan secara tertulis baik
dihadapan pejabat KUA maupun notaris, yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam maupun peraturan perundang-undangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
bahwa perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang
dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa
yang tersebut dalam persetujuan itu[3].
atau perjanjian adalah persetujuan
antara dua orang atau lebih, dalam bentuk tertulis yang dibubuhi meterai, yang
meliputi hak dan kewajiban timbal balik, masing-masing pihak menerima
tembusan perjanjian itu
sebagai tanda bukti keikutsertaannya dalam perjanjian itu.
Demikian
juga masalah perjanjian perkawian di Indonesia harus berpedoman pada peraturan
perundang-undangan dan peraturan organiknya yaitu Kompilasi Hukum Islam.
Pembahasan
Berikut
sekilas aturan perjanjian perkawinan di Indonesia yaitu pasal 1320 KUH Perdata
menyebutkan : empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:
1.
Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat
suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal[4].
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif
karena kedua syarat tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum, sedangkan syarat ketiga dan keempat sebagai syarat obyektif karena kedua syarat
ini harus dipenuhi oleh obyek perjanjian.
Tidak terpenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan
suatu perjanjian menjadi dapat dibatalkan. Maksudnya ialah perjanjian tersebut
menjadi batal apabila ada yang mengajukan
permohonan pembatalan. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif akan mengakibatkan
perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya sejak semula dianggap
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Selanjutnya pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa ”Tiada sepakat yang sah
apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan
paksaan atau penipuan[5].
Dalam
kompilasi hukum Islam penulis menyalin teks aslinya pasal demi pasal dimulai
dari pasal 45 s/d pasal 52 Kompilasi Hukum Islam, sekaligus penulis menelusuri
sumber dari kitab-kitab fiqih, tafsir, hadis, kaidah ushul dan lainnya
semata-mata untuk melengkapi uraian tentang perjanjian perkawinan di Indonesia.
Sebagai Penyuluh hukum Islam pada saatnya pasti akan bersinggungan
dengan calon mempelai yang akan membuat atau mengadakan perjanjian perkawinan
sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam berikut ini:
Pasal 45
Kedua
calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik
talak dan
2. Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya : Hai orang – orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ( al- Maidah ayat 1).
المسلمون على
شروطهم الا شرطا حرم حلالا او احل حراما (
الحد يث رواه الترميذي – سبل السلام - ج -
3 - ص - 59
Artinya: orang-orang Islam itu mengikuti perjanjiannya kecuali
perjanjian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalakan sesuatu yang
haram[6]
( Subulussalam Juz 3, hal 59).
قال صلى الله عليه وسلم –
المؤمنون عند شروطهم – وقال – كل شرط ليس
فى كتاب الله فهو باطل وان كان مائة شرط
Artinya:
Rasulullah SAW. bersabda: orang-orang mukmin itu terikat dengan
perjanjian-perjanjian yang mereka buat, lebih lanjut Rasulullah menyatakan:
setiap syarat yang diperjanjikan tidak sesuai dengan kitab (al-Qur’an) maka
perjanjian tersebut menjadi batal sekalipun dibuat seratus perjanjian
(tafsir al-Qurtubi, jilid III, juz 5-6,
hal. 24).
Quraish Shihab menafsirkan QS al-Maidah ayat 1 adalah :
Termasuk dalam janji yang harus
dipenuhi dalam ayat ini adalah janji yang diucapkan kepada sesama manusia.
'Uqûd (bentuk jamak dari 'aqd 'janji', 'perjanjian') yang digunakan dalam ayat
ini, pada dasarnya berlangsung antara dua pihak. Kata 'aqd itu sendiri
mengandung arti 'penguatan', 'pengukuhan', berbeda dengan 'ahd ('janji',
'perjanjian') yang berasal dari satu pihak saja, dan termasuk di dalamnya
memenuhi kehendak pribadi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa al-Qur'ân
lebih dahulu berbicara mengenai pemenuhan janji dari pada
undang-undang positif. Ayat ini bersifat umum dan menyeluruh. Sebab, dalam
Islam terdapat hukum mengenai dua pihak yang melakukan perjanjian. Tidak ada
hukum positif mana pun yang lebih mencakup, lebih jelas dan lebih terperinci
dari pada ayat ini mengenai pentingnya memenuhi dan menghormati janji .
Jalaluddin as-Suyuti menafsirkannya
: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu perjanjian itu) baik
perjanjian yang terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama
manusia .
Pasal 46
(1) Isi
taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
ما
لا يجب الوفاء به مع صحة العقد وهو ما كان منافيا لمقتضى العقد –
Artinya: yang termasuk
perjanjian yang tidak harus dipenuhi padahal akad nikahnya sah, adalah
perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan akad nikah ( Zaad al-Ma’ad,
Juz 4, hal. 6).
فتضمن
هذا الحكم وجوب الوفاء بالشروط التى شرطات فى العقد
اذا
لم تتضمن تغييرا لحكم الله ورسوله
Artinya :
Perjanjian-perjanjian perkawinan itu harus dipenuhi sepanjang perjanjian ktu
tidak meruah hukum-hukum Alah dan RasulNya ( Zaad al-Ma’ad, Juz 4, hal.
6).
(2) Apabila keadaan
yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi
kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya
talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
ولا
يقتضين اى هذه الأداوت فورا فى المعلق عليه
Artinya
: Lafadz-lafadz taklik talak itu tidak dengan sendirinya membuat talak jatuh (Tuhfah
al-Muhtaj, Juz VIII, hal.96).
بل
يتوقف على ذلك اى طلب الترسيم من الحاكم وترسميه بالفعل لأن حقيقة الترسيم تختص
بالحاكم
Artinya
: jatuhnya talak dengan taklik talak diperlukan pembuktian melalui persidangan oleh majelis hakim
pengadilan dan sesungguhnya untuk pembuktian tertulis itu menjadi wewenang
hakim( Tuhfah al-Muhtaj, Juz VIII, hal.97).
(3) Perjanjian
taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan
tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
يجوز
تعليق الطلاق كالعتق بالشروط
Artinya:
Perjanjian taklik talak itu hukumnya boleh, seperti membebaskan hamba dengan
bersyarat (I’anatuth Thalibin Juz IV , hal. 22).
ولا
طريق للرجوع عن الطلاق المعلق بل يقع عند وجود الصفة
Artinya: Perjanjian
taklik talak tidak boleh dibatalkan atau dicabut. Talak akan benar-benar jatuh
dengan terbuktinya sifat yang diperjanjikan ( Bughyah al-Mustarsyidin,
hal. 231).
Pasal 47
(1) Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat
membuat perjanjian tertulis yang
disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
ما يجب الوفاء به وهي
ماكانت من مقتضيات العقد ومقاصده ولم تتضمن تغييرا لحكم الله ورسوله
Artinya: Perjanjian yang
wajib dipenuhi adalah perjanjian
yang sejalan dengan ketentuan dan
maksud-maksud akad nikah dan tidak
merubah hukum-hukum Allah dan RasulNya ( Fiqih Sunnah, Juz II, ha. 43).
(2) Perjanjian tersebut
dalam ayat (1) dapat meliputi
percampuran harta probadi
dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang
hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di
samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta
pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
ان الشرط الصحيح الذى يجب الوفاء
به هو الشرط الذى لم يقم دليل من المنصوص على بطلانه ولم ينافه مقتضى العقد
Artinya: Sesungghnya
perjanjian yang harus dipenuhi adalah perjanjian apa saja sepanjang tidak ada
nash yang membatalkan dan tidak bertentangan dengan ketentuan akad nikah (
al-Ahwal al-Syakhsiyah hal 183).
Pasal 48
(1) Apabila
dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta
syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila
dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1)
dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan
kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ
Artinya: (Karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan ( QS.An-Nisa ayat 32).
اى لكل كرزق الرجال
وللنساء حظ مقدر فى الأزل من نعيم الدنيا
فى التجارات والزراعات وعلى ذلك من المكاسب
Artinya: Sesungguhnya
bagi semua orang laki-laki atau perempuan ada bagian tertentu dari kenikmatan
dunia hasil usahanya atau hasil pertaniannya dan lain-lain (Tafsir Ali Sayis
Juz II, hal. 32).
Dalam tafsir
al-Mishbah disebutkan : Laki-laki hendaknya tidak iri hati terhadap karunia
yang diberikan Allah kepada wanita. Begitu juga, sebaliknya, wanita tidak boleh
iri hati terhadap apa-apa yang dikaruniakan Allah kepada laki-laki. Masing- masing
mendapatkan bagian, sesuai dengan tabiat
perbuatan dan haknya.
at-Tirmidzi meriwayatkan melalui
Mujahid bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ucapan istri Nabi SAW. Ummu Salamah yang berkata kepada Rasul, sesungguhnya pria berjihad mengangkat senjata
melawan musuh,sedang perempuan tidak demikian . Kami juga selaku perempuan
hanya mendapat setengan bagian
lelaki,…”ini angan-angan yang bukan pada tempatnya sehingga ia terlarang.
Tetapi bukan semua angan-angan dilarang
, karena ada yang dapat mendorong terciptanya kreasi-kreasi baru, Ayat ini
mengajarkan kita hidup realistis[7].
Maka hendaknya masing-masing berharap agar karunianya ditambah oleh Allah
dengan mengembangkan bakat dan memanfaatkan kelebihan yang dititipkan Allah
kepadanya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, dan memberikan kepada setiap
jenis makhluk sesuatu yang sesuai dengan kejadiannya.
Dalam tafsir Jalalain juga
diterangkan: (Dan janganlah kamu
mengangan-angankan karunia yang dilebihkan Allah kepada sebagian kamu dari
sebagian lainnya) baik dari segi keduniaan maupun pada soal keagamaan agar hal
itu tidak menimbulkan saling membenci dan mendengki. (Bagi laki-laki ada
bagian) atau pahala (dari apa yang mereka usahakan) disebabkan perjuangan yang
mereka lakukan dan lain-lain (dan bagi wanita ada bagian pula dari apa yang
mereka usahakan) misalnya mematuhi suami dan memelihara kehormatan mereka[8].
Ayat ini turun ketika Umu Salamah mengatakan, "Wahai! Kenapa kita tidak
menjadi laki-laki saja, hingga kita dapat berjihad dan beroleh pahala seperti
pahala laki-laki," (dan mohonlah olehmu) ada yang memakai hamzah dan ada
pula yang tidak (kepada Allah karunia-Nya) yang kamu butuhkan niscaya akan
dikabulkan-Nya. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) di antaranya
siapa seharusnya yang beroleh karunia, begitu pula permohonan kamu kepada-Nya.
Baik karunia dari sisi dunia maupun
agama, yang mungkin maupun tidak mungkin. Oleh karena itu, kaum wanita tidak
boleh iri hati terhadap keistimewaan yang dimiliki kaum laki-laki, demikian
juga orang miskin dan bercacat tidak boleh iri hati kepada orang yang kaya atau
yang sempurna. Yang demikian merupakan hasad, karena dia ingin nikmat Allah
yang ada pada orang lain berpindah kepada dirinya. Hal itu dilarang, karena dapat
membuahkan sikap kesal terhadap taqdir Allah, membuat malas serta membuahkan
angan-angan yang tidak dibarengi amal dan usaha. Yang terpuji adalah jika
seorang hamba berusaha sesuai kemampuannya untuk memperoleh hal yang bermanfaat
baginya baik agama maupun dunia, meminta karunia kepada Allah, tidak bersandar
kepada diri serta tidak kepada sesuatu yang lain selain kepada Allah Tuhannya.
Ada yang berupa pahala, Seperti
jihad dan amal saleh lainnya. Ada juga berupa ketaatan kepada suami dan menjaga
kehormatan. Ayat ini turun ketika Ummu Salamah berkata, "Andai saja kita laki-laki, sehingga kita dapat berjihad
sehingga memperoleh pahala seperti yang diperoleh kaum laki-laki.” Yakni
mohonlah kepada Allah apa saja yang kamu butuhkan, niscaya Dia akan
memberikannya kepadamu. Hal ini termasuk sempurnanya seorang hamba dan tanda
bahagia dirinya, tidak seperti orang yang tidak beramal atau bersandar kepada
dirinya tidak butuh kepada Tuhannya, atau menggabung kedua hal tersebut (tidak
beramal dan bersandar kepada dirinya), orang yang seperti ini adalah orang yang
rugi[9].
Di antara pengetahuan-Nya adalah Dia
mengetahui siapa yang berhak mendapatkan karunia dan mengetahui permintaan
kamu. Dia memberikan orang yang diketahui-Nya berhak memperoleh pemberian-Nya
dan mencegah orang yang diketahui-Nya tidak layak memperolehnya.
Pasal 49
(1) Perjanjian
percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-
masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan
bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,
sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama
perkawinan atau sebaliknya.
Disebutkan dalam tafsir ayat
ahkam Rawa’i al-Bayan[10]:
فى
قوله تعالى – اوفوا بالعقود – والمراد بالعقود هنا ما يسمل العقود التى عقدها الله
على عباده كالتكالف الشرعية والعهود التى
بين الناس كعقود الأمنات والمبايعات وساءرانواع العقود
Artinya:
Yang dimaksud dengan akad, pada firman Allah AUFUU BIL UQUD adalah segala
perjanjian yang diperjanjikan Allah kepada hambanya seperti kewajiban-kewajiban
syar’i dan perjanjian-perjanjian antar sesama manusia seperti amanat-amanat,
jual beli dan perjanjian lainnya ( Rawa’ al-Bayan Juz I, hal. 521).
Dalam keterangan Tafsir
al-Qurtubi[11]
dinyatakan :
المعنى
اوفوا بعهد الله عليكم وبعقد كم بعضكم على
بعض – وهذا كله راجع الى القول بالعموم
Artinya: Yang dimaksud dengan firman Allah AUFUU BIL
UQUD adalah perjanjian Allah kepadamu dan tunaikan pula perjanjian diantara
kamu. Dan akad-akad ini semua kembali kepada keumuman ayatnya ( Tafsir
al-Qurtubi, Jilid III, Juz 5-6, hal. 24).
ولا
مانع للرجلين ان يخلطا ماليهما ويتجرا – لأن للمالك ان يصرف فى ملكه كيف يشاء مالم
يستلزم ذلك التصرف محرما مما ورد الشرع بتحريمه
Artinya: Tidak dilarang apabila dua orang melakukan
perjanjian pencampuran hatanya masing-masing untuk diniagakan karena pemilik
suatu harta boleh mengolah hartanya itu
sekehendaknya sepangjang dalam hal syara’ tidak melarangnya[12]
(Fiqhussunnah, Juz 3, hal. 297).
Pasal 50
(1) Perjanjian
perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga
terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perjanjian
perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri
dan wajib mendaftarkannya
di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan
(3) sejak
pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi
terhadap pihak ketiga pencabutan
baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu
surat kabar setempat.
(4) Apaila
dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya
gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan
perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang
telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Dalam Fiqih Sunnah[13]
انا
ثالث الشركين مالم يخن احدهما صاحبه فاءن خان احدهما صاحبه خرجت من بينهما – رواه
ابو داود عن ابى هريرة -
Artinya: Kami beserta dua
orang yang berserikat, selama yang seorang tidak menghianati yang seorang lagi,
maka apabila yang seorangnya mengkhianati saudaranya kami keluar dari
perserikatan keduanya ( HR. Abu Dawud
dari Abu Hurairah, Fiqih Sunnah Juz III, hal. 294).
Lebih lanjut Sayyid Sabiq
menjelaskan lagi:
Artinya: Sesungguhnya Allah memberikan
keberkahan kepda duaorang yang berserikat dalam masalah harta, sepanjang tidak
teradi kekhianatan di antara keduanya, namun jika salah satunya ada yang berkhianat maka hilanglah
keberkahannya[14].
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian
perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan nikah atau
mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
وكان
لها حق فسخ الزواج اذا لم يف لها بالشرط ولا يسقط حقها فى الفسخ اذا اسقطته او
رضية فهو نفه الشرط
Artinya: Dan bagi istri ada hak mengajukan pembatalan
nikah apabila suami tidak menepati perjanjian perkawinannya dan hak tersebut
tidak gugur kecuali bila digugurkan oleh istri atau istri meridhoi dengan tidak
terpenuhinya perjanjian tersebut (al-Ahwa al-Syakhsiyah, hal. 185).
وانما يثبت للمرأة خيار الفسخ
ان لم يف لها به
Artinya: Sesungguhnya bagiistrimada hak uuntuk memilih
mengajukan pembatalan nikah atau tidak
apabila suamimrtidak memenuhi perjanjian
perkawinannya[15]
(Fiqhu Sunnah, Jilid II, hal. 45).
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan
dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai
tempat kediaman, waktu
giliran dan biaya rumah tangga
bagi isteri yang akan
dinikahinya itu.
Artinya: Para ulama
berpendapat bahwa suami wajib memenuhi apabila yang diperjanjikan untuk istrinya dan apabila
suami tidak memenuhinya maka istri
berhak mengajukan pembatalan nikah[16] ( Fiqhus Sunnah, Jilid II, hal. 44).
ان رجلا تزوج امرأة وشرط لها دارها ثم أراد نقلها
فخاصموه الى عمر بن الخطاب فقال لها شروطها
Artinya: Seorang
suami menjanjikan suatu rumah untuk istrinya kemudian ia bermaksud
memindahkannya ke rumah yang lain dan pihak istri mengadu kepada Umar bin Khathab maka Umar berkata sesungguhnya hak istri ini untuk
dipenuhi janji suaminya itu[17]
( Fiqih Sunnah, Jilid III, hal. 45).
Kesimpulan
1. Calon suami maupun calon istri bebas membuat perjanjian perkawinan
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam maupun peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
2. Agar berkepastian hukum, perjanjian perkawinan harus dibuat dihadapan
pejabat KUA atau pejabat lain seperti dibuat dihadapan Notaris.
3. Tidak
terpenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian menjadi dapat
dibatalkan. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif akan mengakibatkan
perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.
4. Dalam membuat perjanjian harus bebas kekhilafan, paksaan atau penipuan.
Penutup
Demikian tulisan semoga
bermanfaat amiin.
Blitar, Oktober
2019
Penulis
Drs.H. Sudono Al-Qudsi
,M.H.
[1] Disampaikan di
hadapan Penyuluh Agama Islam Kabupaten Blitar tanggal 14 Oktober 2019 di Desa Wonodadi
Kecamatan Wonodadi Kab.Blitar.
[3] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka,
Jakarta, 2007, hal. 458.
[4] Prof. R.
Subekti, S.H., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta, Cet.ke 19, 1985, hal.305.
[6] Mohammad
Ismail al-Haklani, Subulussalam, Jilid II, Juz 3-4, Syarah Bulughul Maram, Darl
Al-Fikr, Beirut Libanon, t.t., hal. 59.
[8] Lil Imamaini al-Jalalaini Jalaluddin Muhammad Ahmad al-Mahalli dan
Jalaluddin Abi Bakr as-Suyuti, Tafsir al-Qur’an al-Adzim , Syirkah Maarif,
Bandung Indonnesia, Juz 1, tt. hal. 76.
[10] Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’i al-Ahkam Tafsir Ayat Ahkam, Juz I, tt.
Hal. 521.
[11] Al-Imam Abu Abdillah Muhammmad Bin Ahmad al- Anshari al-Qurtubi, al-Jami’u Liahkamil
Quran, Jlid III Juz 5-6, Dar al- Kutub al-Ilmiyah, Baerut Libanon, tt. Hal. 24.
[12] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Jilid III, Dar al Fikri, Libanon, 1992 M /
1412 H, hal. 297.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 45.
[16] Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 44
[17] Ibid. Hal. 45.