Senin, 19 November 2018

JAWABLAH 3 PANGGILAN ALLOH





JAWABLAH 3 PANGGILAN ALLOH

Oleh  :  Sudono Al-Qudsi



Ikuti dialog ibu dengan anaknya berikut ini :

Ibu berkata, Allah hanya memanggil kita 3 kali saja seumur hidup
Keningku berkerut.. ‘Sedikit sekali Allah memanggil kita..?’
… Ibu tersenyum.. ‘Iya, tahu tidak apa saja 3 panggilan itu..?’
Saya menggelengkan kepala.
‘Panggilan pertama adalah *Adzan*, ujar Ibu.
‘Itu adalah panggilan Allah yang pertama. Panggilan ini sangat jelas terdengar di telinga kita, sangat kuat terdengar.
Ketika kita Sholat, sesungguhnya kita menjawab panggilan Allah.
Tetapi Allah masih fleksibel, Dia tidak ‘cepat marah’ akan sikap kita.
Kadang kita terlambat, bahkan tidak Sholat sama sekali karena malas.
Allah tidak marah seketika. Dia masih memberikan rahmatNya, masih memberikan kebahagiaan bagi umatNya, baik umatNya itu menjawab panggilan Adzan-Nya atau tidak. Allah hanya akan membalas umatNya ketika hari Kiamat nanti’.
Saya terpekur…. mata saya berkaca-kaca. Terbayang saya masih melambatkan Sholat karena meeting lah, mengajar lah, dan lain lain. Masya Allah…
Ibu melanjutkan,
Panggilan yang kedua adalah Panggilan *Haji*
Panggilan ini bersifat halus. Allah memanggil hamba-hambaNya dengan panggilan yang halus dan sifatnya ‘bergiliran’ . Hamba yang satu mendapatkan kesempatan yang berbeda dengan hamba yang lain.
Jalan nya bermacam-macam. Yang tidak punya uang menjadi punya uang, yang tidak merencanakan, ternyata akan pergi, ada yang memang merencanakan dan terkabul. Ketika kita mengambil niat Haji , berpakaian Ihram dan melafazkan ‘Labaik Allahuma Labaik’, sesungguhnya kita saat itu menjawab panggilan Allah yang ke dua.
Saat itu kita merasa bahagia, karena panggilan Allah sudah kita jawab, meskipun panggilan itu halus sekali.
Allah berkata, laksanakan Haji  bagi yang mampu’.
Mata saya semakin berkaca-kaca. Subhanallah….. saya datang menjawab panggilan Allah lebih cepat dari yang saya rancangkan.. …Alhamdulillah…
‘Dan panggilan ke-3 adalah *KEMATIAN*.
Panggilan yang kita jawab dengan amal kita.
Pada kebanyakan kasus, Allah tidak memberikan tanda tanda secara langsung, dan kita tidak mampu menjawab dengan lisan dan gerakan. Kita hanya menjawabnya dengan amal sholeh. Karena itu , manfaatkan waktumu sebaik-baiknya. Jawablah 3 panggilan Allah dengan hatimu dan sikap yang Husnul Khotimah. Insya Allah syurga adalah balasannya.
Demikian alur dialog ibu dan anaknya ini semoga menjadi ibrah dan perhatian kita amiin. Terimakasih.


Minggu, 18 November 2018

IJTIHAD SAHABAT DALAM MENENTUKAN BAGIAN KAKEK BERSAMA SAUDARA KANDUNG PEWARIS




IJTIHAD SAHABAT DALAM MENENTUKAN BAGIAN KAKEK BERSAMA SAUDARA KANDUNG PEWARIS


Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1].

Pendahuluan

Ulama Indonesia maupun ahli-ahli hukum atau lembaga negara yang mempunyai otoritas, sampai sekarang belum mengkompilasikan bagian kakek bersama saudara kandung pewaris dalam bentuk peraturan hukum  ataupun Kompilasi Hukum Islam, untuk dijadikan acuan oleh praktisi hukum dalam memutus dan menyelesaikan  perkara demi  kepastian hukum di Indonesia. Karena selama ini sudah ratusan tahun sumber acuannya masih berserakan dalam kitab-kitab kuning sehingga dalam kasus yang sama akan terjadi putusan hukum yang berbeda. Padahal yang  terjadi di negara-negara  lain  seperti undang-undang Syria sepakat de­ngan undang-undang Mesir untuk memberi­kan seperenam pada kakek, apa pun keada­annya, baik dia bersama dengan dzawil furudh atau tidak,  sehingga acuannya jelas, tegas, tranparan dan berkepastian hukum kenapa Indonnesia belum mengakomodirnya ?
Mengungkap tentang bagian warisan kakek  bersama  saudara kandung pewaris,  patut ditelusuri siapa saja orang-orang yang berjasa ber-ijtihad agar kakek bersama  saudara pewaris layak mendapat bagian. Karena itu tokoh-tokoh berikut inilah yang punya andil besar dalam kazanah pembagian warisan dari kalangan sahabat. Sumber hukum dari dalil-dalil nagli dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, sama sekali tidak di­sebutkan bagian kakek dengan sau­dara kandung. Hukum mereka ada karena ijti­had para sahabat[2]. Para sahabat dalam masalah ini ada beberapa madzhab yang akan penulis paparkan satu persatu dan merekapun mendasarkan ijtihadnya pada qiyas ,  menurut Ibnu Rusyd yang lebih kuat ialah qiyas orang yang mempersamakan antara ayah dengan kakek , karena kakek itu adalah ayah pada tingkatan kedua atau ketiga, sebagaimana anaknya-anak adalah anak juga,  baik pada tingkatan kedua atau ketiga.
Apabila anak tidak menghalang-halangi kakek, sedang anak tersebut menghalang-halangi saudara-saudara lelaki , maka sudah seharusnya kakek menghalang-halangi orang yang dihalang-halangi oleh anak lelaki. Saudara lelaki bukan “asal” mayat ataupun  keturunannya , melainkan bersama-sama dengan  mayat pada “asal”.  “Asal”  lebih berhak akan sesuatu dari pada orang yang bersama-sama dengan mayat pada “Asal” , demikian komentar Ibnu Rusyd[3].
Oleh karena itu berikut ini merekalah orang yang punya kontribusi dalam penentuan bagian kakek bersama saudara kandung pewaris yang layak dijadikan pertimbangan hukum terutama oleh hakim dan praktisis hukum lainnya dalam perkara pembagian warisan yang menyangkut keduanya, mereka adalah  sahabat Ibnu Mas’ud, Ali Bin Abu Thalib, Abu Bakar As-Shiddik, dan  Zaid bin Tsabit, berikut adalah ijtihat mereka :

     Ijtihad lbnu Mas'ud :
a.    Kakek berbagi dengan saudara-saudara laki-laki, selama haknya yang sepertiga tidak berkurang, sesuai dengan madzhab Zaid.
b.   Saudara-saudara laki-laki seayah tidak di­anggap dalam hal pembagian kakek, keti­ka bersama dengan saudara-saudara laki-­laki sekandung.  Dengan demikian, saudara perempuan seayah ti­dak dihitung ketika bersama dengan sau­dara perempuan sekandung dengan mengorbankan kakek. Ucapan para fuqaha: saudara-saudara laki-laki seayah tidak dianggap dalam pembagian dengan kakek dan saudara-saudara laki-laki sekandung. Berbeda dengan cara pembagian warisan Zaid yang akan datang: saudara-saudara laki-laki seayah dihitung ketika bersama saudara-saudara laki-laki sekandung, de­ngan mengorbankan kakek.
c.    Saudara-saudara perempuan yang sendiri­an mendapatkan bagian (furudh) dengan adanya kakek. Ini sesuai dengan pendapat Ali dalam bagian kedua. Perlu dicatat bah­wa cara ini adalah penggabungan antara dua cara, yaitu Ali dan Zaid.
Menurut Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir Abu Abu al-Abbas al-Husain al-Ubaidi Taqiyuddin al Maqrizi (1364-1442; seorang ahli sejarah muslim), Ibnu Mas`ud adalah seorang mufti. Ibnu Me­nurut Hazm, apabila dihimpun, fatwa-fatwa­ Ibnu mas’ud  akan menjadi buku yang tebal. Fatwanya tersebut antara lain sebagai berikut:
1.   Akhir masa idah wanita yang ditalak adalah sucinya istri dari haid ketiga setelah suami menja­tuhkan talak. Fatwa ini disepakati oleh Umar bin al-Khattab, tetapi berbeda dengan fatwa Zaid bin Sabit (sahabat Nabi SAW; 611-655) yang menga­takan bahwa akhir masa idah wanita ialah datangnya masa haid yang ketiga. Dalil yang mereka guna­kan adalah sama, yaitu firman Allah SWT yang artinya: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah me­nahan diri (menunggu) tiga kali quru’..." (QS.2:228 Namun, mereka berbeda pendapat tentang makna  quru'  di dalam ayat tersebut.
Menurut Ibnu Mas`ud kata itu berarti "haid", sedangkan menurut Zaid bin Sabit berarti "suci".
2.  Akhir masa idah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah saat istri melahirkan. Fatwanya ini berbeda dengan fatwa Ali bin Abi Talib (603­-661). Menurut Ali, akhir masa idah wanita itu ada­lah yang paling lama di antara dua masa yang ditetapkan di dalam AI-Qur'an. Di dalam surat al-Baqarah (2) ayat 234, akhir masa idahnya 4 bulan 10 hari; sedangkan di dalam surah at-Talaq (65) ayat 4, akhir masa idahnya adalah saat mela­hirkan. Ibnu Mas`ud mengamalkan surah at-Talaq ­(65) ayat 4 karena menurut pendapatnya ayat ini  menghapus hukum surah al-Baqarah (2) ayat 234.
3.  Apabila yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya telah berlangsung selama 4 bulan  dalam arti suami tidak kembali menggauli istrinya dalam masa tersebut, maka secara otomatis telah jatuh talak ba'in. Dalilnya ialah firman Allah SWT yang artinya: "Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka  ­sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mer­dengar lagi Maha Mengetahui" (QS.2:226-227). 
Ibnu Mas`ud memahami bahwa kata-kata "jika mereka kembali" berarti kembali sebelum masa 4 bulan itu berakhir.
4.  Tayamum tidak menjadi pengganti thahara dari hadas besar. Menurut pendapatnya, kata ganti "kamu" di dalam firman Allah SWT: "... kemudian  kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah ­dengan tanah yang baik (suci)...." (QS.4:43) dan QS.5:6 merujuk kepada orang-orang yang berhadas kecil.
             Pemikiran Ibnu Mas`ud berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran para fukaha Irak, tempat  diutus oleh Khalifah Umar bin al-Khattab untuk  mengajar dan mengurus baitulmal. Di negeri ini ia mempunyai murid-murid, antara lain yang terkena. adalah Alqamah bin Qais (w. 62 H) yang mewa­riskan ilmunya kepada an-Nakha’i, salah seorang tokoh ahlurra'yi dan guru dari Hammad bin Ab. Sulaiman (guru Imam Abu Hanifah; w. 120 H).
                  Dalam Ensikopedia Hukum Islam jilid 2 halaman 612-614 dikatakan bahwa Ibnu Mas’ud (27-28 SH/596 M-32-33 H/654 M) seorang Fakih dan hafiz dari kalangan sahabat Rasulullah SAW , guru dan kadi[4] bagi penduduk Kufah, Irak, pada masanya. Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Al-Hudzali. Kunyah beliau adalah Abu Abdurrahman. Beliau sering dinisbahkan kepada ibunya, karena ayahnya mati di zaman jahiliah, sementara ibunya masih mendapati Islam dan masuk Islam. Karena itu, ibu beliau sering digelari “Ummu Abd”, sementara Ibnu Mas’ud digelari “Ibnu Ummi Abd”. Beliau termasuk kalangan As-Sabiqunal Awwalun (para sahabat yang masuk Islam di awal dakwah), mengikuti dua hijrah, ke Habasyah dan ke Madinah. Beliau juga mengikuti Perang Badar dan beliaulah yang membunuh Abu Jahal dalam Perang Badar.
                   Nabi SAW. pernah berkata kepada beliau, di awal dakwah, “Engkau pemuda yang terdidik.” (HR. Ahmad, no. 3599; dinilai sahih oleh Syuaib Al-Arnauth). Nabi SAW. juga pernah bersabda tentang Ibnu Mas’ud, “Barangsiapa yang ingin membaca Alquran, asli sebagaimana ketika diturunkan, maka bacalah sebagaimana cara membaca Ibnu Ummi Abd (Ibnu Mas’ud).” (HR. Ahmad no. 35; dinyatakan sahih oleh Syuaib Al-Arnauth).
                Ibnu Mas’ud pernah mengatakan tentang diri beliau, “Sesungguhnya, para sahabat Nabi SAW. telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling memahami Alquran. Demi Allah, Dzat yang tidak Tuhan yang berhak disembah selain Diri-Nya, tidaklah diturunkan satu surat pun dalam Alquran, kecuali aku mengetahui di mana surat ini turun, tentang siapa ayat ini turun[5]. Andaikan aku mengetahui bahwa ada orang yang lebih mengetahui tentang Alquran daripada aku, dan keberadaannya bisa dijangkau dengan naik unta, niscaya aku akan mendatanginya.”
               Di antara keistimewaan beliau yang lain, beliau merupakan sahabat yang selalu melayani Nabi SAW.,  Beliau siapkan sendal, air wudu, dan bantal Nabi SAW. Sampai-sampai, Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan, “Aku dan adikku datang dari Yaman. Kemudian, (kami) datang untuk tinggal bersama Nabi SAW. Kami mengira Ibnu Mas’ud termasuk keluarga Nabi SAW. karena seringnya beliau dan ibunya keluar masuk rumah Nabi SAW.”  Saking seringnya beliau berjumpa dengan Nabi SAW. dalam keseharian maka tak heran jika kebiasaan beliau sangat dipengaruhi oleh sunah-sunah Nabi SAW. Sampai, Hudzaifah mengatakan, “Saya tidak melihat seseorang yang gerak-gerik dan tingkah lakunya lebih mirip dengan Nabi SAW. daripada Ibnu Ummi Abd.”
         Di masa Khalifah Umar, beliau diutus ke Kufah untuk mengajari masyarakat tentang agama. Sementara, Umar menunjuk Ammar bin Yasir sebagai gubernur di Kufah. Umar berpesan kepada masyarakat Kufah, “Sesungguhnya, dua orang ini adalah dua sahabat Nabi SAW. yang merupakan pilihan, maka teladani keduanya.” Kemudian, beliau ditarik ke Madinah dan meninggal di Madinah tahun 32 H, pada usia tujuh puluhan tahun. Beliau dikuburkan di Pemakaman Baqi’ di Madinah. (Ushul fi Tafsir, hlm. 52–53).
         Huzaifah bin al-Yaman, salah seorang sahabat dari kaum Ansar, mengatakan, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang kekhusyukan dan perilakunya lebih dekat dengan Rasulullah SAW dibanding Ibnu Mas`ud." Di dalam sejarah Islam ia dikenal sebagai orang pertama setelah Rasulullah JAW yang berani membaca ayat-ayat Al-Qur'an secara terang-terangan di hadapan kaum musyrikin Kuraisy di Mekah. Pada waktu duha, ia pergi ke Ka'bah. Di sana para pemuka Kuraisy sedang ber­icumpul, lalu ia membaca surah ar-Ratiman (55) dengan suara keras sehingga mereka memukulinya. Di sam ping itu, ia banyak menerima ilmu dari Rasulullah SAW, baik tentang Al-Qur'an maupun hadis. Otoritas keilmuannya tentang Al-Qur'an diakui oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, -Ambill 11-1 bacaan Al-Qur'an dari empat orang: Ibnu Mas`ud, Salim Maula Abu Huzaifah, Ubay bin Kai', dan Mu'az bin Jabal" (HR. al-Bukhari). Ia bahkan pernah diminta oleh Rasulullah SAW untuk mem­bacakan Al-Qur'an baginya sehingga ia bertanya, -Mengapa saya harus membacakan Al-Qur'an bagi­mu, sedangkan ia diturunkan kepadamu?" Namun, kemudian ia membacakannya (HR. al-Bukhari). Mengenai pengetahuannya tentang Al-Qur'an, ia sendiri pernah berkata, "Demi Allah, tidak ada satu ayat pun dari Al-Qur'an tanpa kuketahui latar bela­kang diturunkannya ayat tersebut. Tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitabullah A1-Qur'an) dibanding aku. Meskipun begitu, aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian" (HR. Ahmad bin Hanbal).
         Hubungannya yang dekat dengan Rasulullah SAW juga merupakan faktor kondusif baginya untuk menerima banyak hadis dari Rasulullah SAW. Meskipun demikian, ia jarang meriwayatkan hadis. Apabila meriwayatkan hadis, ia sangat berhati-hati sehingga terlihat gemetar dan berkeringat karena khawatir akan mengubah lafal yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.
          Hadis yang diriwayatkan darinya di dalam as Sahihain (kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim) berjumlah 848 buah. Ulama yang meri­wayatkan hadis darinya terdiri atas para sahabat dan Tabiin. Dari kalangan sahabat antara lain adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa, Imran bin Husin, Abu Sa’id al-Asajj, dan Abu Hurairah; dan dari kalangan tabiin antara lain adalah Alqamah bin Qais, Abu Wa'il, Masruq, Qais bin Abi Hazim, dan Ubaidah.
         Para sahabat dan khalifah yang empat telah mengenal akhlak dan otoritas keilmuan Ibnu Mas`ud. Karenanya, Amirul mukminin Umar bin al-Khattab (581-644) mempercayakan kepadanya jabatan pengurus baitulmal di Kufah. Di dalam suratnya yang ditujukan kepada penduduk Kufah, Umar mengatakan, "Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya aku mengutamakan Abdullah bin Mas`ud atas diriku. Maka tuntutlah ilmu darinya." Di masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan (576-656), Ibnu Mas`ud masih tetap mengurus baitulmal Kufah. Namun, dalam perkembangannya hubungan mereka menjadi kurang baik sehingga ia sempat tidak mendapat gaji. Selanjutnya ia dipulangkan ke Madinah. Meskipun begitu, ia tidak pernah berkata buruk tentang Usman. Bahkan, ketika mendengar berita bahwa sebagian kaum muslimin bermaksud menggulingkan kekhali­fahannya, menurut para sejarawan, Ibnu Mas`ud berkata, "Seandainya mereka membunuhnya, nis­caya mereka tidak akan menemukan pengganti seperti dirinya." Ibnu Mas`ud meninggal dunia di Madinah dalam usia lebih dari 60 tahun dan Usman datang melayat untuk melakukan salat jenazah.
         Di dalam sejarah hukum Islam, Ibnu Mas`ud di­kenal sebagai salah seorang fakih yang sering meng­gunakan rakyu dalam menetapkan hukum Islam[6]. Hal ini tampaknya dipengaruhi pula oleh struktur sosial dan budaya yang dihadapinya di Kufah. Ia banyak mengikuti pemikiran Umar bin al-Khattab. Pemikirannya, menurut Ahmad Amin (seorang ahli sejarah dari Mesir), hampir tidak pernah berten­tangan dengan pemikiran Umar.
         Ibnu Mas`ud mengemukakan metode penetapan hukum sebagai berikut. (1) Menetapkan hukum de­ngan merujuk langsung pada Kitabullah (Al-Qur'an). (2) Jika hukumnya tidak terdapat di dalam Kita­bullah, maka hukumnya diambil dari hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW (sunah Rasulullah SAW). (3) Apabila hukumnya tidak terdapat di da­lam Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW, maka hukumnya diambil dari hukum yang telah ditetapkan oleh ulama yang saleh. (4) Apabila hukumnya tidak terdapat di dalam Kitabullah, sunah Rasulullah SAW atau ketetapan ulama yang saleh, maka hendaklah seseorang berusaha menggunakan rakyunya.
         Ada riwayat dari Imam al-Bukhari yang menya­takan bahwa Ibnu Mas`ud mencela penggunaan rakyu. Riwayat seperti itu, menurut Ahmad Amin, merupakan akibat perselisihan antara ahlul hadis dan ahlurra'yi. Perkataan Ibnu Mas`ud dan para sahabat lainnya yang mencela penggunaan rakyu, menurut Muhammad Ali as-Sayis (ahli hukum Islam kontemporer dari Mesir), tidak berarti bahwa mereka tidak menggunakan rakyu dalam menetapkan hukum. Perkataan mereka dimaksudkan untuk menjauhkan orang-orang yang tidak mempunyai otoritas dalam berijtihad dari lapangan ijtihad. Meskipun menggunakan rakyu dalam menetapkan hukum, Ibnu Mas`ud tidak pemah mengklaim bahwa hukum yang ditetapkannya adalah hukum Allah SWT. Ia berkata tentang hasil ijtihadnya, "Apabila hasil ijtihadku betul, maka itu dari Allah; dan apabila keliru, maka itu dariku dan dari setan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya bebas dari kekeliruan itu[7].

Ijtihad Ali bin Abi Thalib:
Kakek dengan saudara-saudara laki-laki mempunyai tiga keadaan[8] yaitu :
1.      Bagian seperenam untuk kakek. Kakek berbagi dengan saudara-saudara laki-laki selama haknya seperenam tidak berkurang. Jika berkurang maka kakek diberi seperenam. Kalau kakek bersama dengan dua orang saudara laki-laki sekandung atau tiga, empat maka berbagi lebih balk baginya. Jika mereka berlima maka berba­gi dan seperenam sama raja. Mengenai kasus kakek, ibu, suami, anak perempuan, dan dua orang saudara laki-laki maka ibu mendapatkan seperenam, suami seper­empat, anak perempuan setengah. Maka, sisanya kurang dari seperenam, kakek diberi bagian seperenam. Asal masalah aul menjadi tiga belas (13). Dua orang saudara tidak mendapatkan apa-apa.
2.      Kakek mewarisi dengan ashabah. Kakek mengambil sisa setelah ashabul furudh. Kalau kakek bersama dengan saudara-sau­dara perempuan atau seorang saudara pe­rempuan, maka saudara-saudara perem­puan mendapatkan dua pertiga—dalam keadaan mereka berbilang dan setengah dalam keadaan sendirian, sedang sisanya untuk kakek dengan cara ashabah. Jika kakek bersama dengan seorang saudara perempuan sekandung dan seorang sau­dara perempuan seayah maka untuk yang pertama setengah, untuk yang kedua se­perenam, dan kakek mendapatkan sisa.
3.      Muqasamah (berbagi). Kakek berbagi de­ngan saudara-saudara laki-laki, artinya kakek termasuk dalam bagian mereka, dan dia mendapatkan dua kali lipat pe­rempuan. Jika kakek bersama dengan se­orang saudara laki-laki sekandung dan seorang saudara laki-laki seayah maka harta tersebut dibagi rata antara kakek dan saudara sekandung. Saudara-saudara laki-laki seayah atau saudara perempuan seayah tidak dihitung dalam pembagian bersama dengan saudara-saudara sekan­dung. Dalam kasus kakek, dua orang sau­dara perempuan sekandung, dan seorang saudara laki-laki sekandung maka kakek berbagi dengan mereka. Tirkah menjadi tiga kelompok untuk mereka[9]. Selanjutnya Kakek tidak mewaris ashabah bersama dengan saudara-saudara perempuan. Sau­dara perempuan adalah pewaris dengan bagian tertentu (fardh). Kalau kakek ber­sama dengan seorang saudara perempu­an sekandung dan seorang saudara pe­rempuan seayah maka untuk yang perta­ma mendapatkan setengah, yang kedua mendapatkan seperenam, sedang kakek mendapatkan sisa.

Ijtihad Zaid bin Tsabit :
1.       Kakek dengan saudara-saudara laki-laki berhak mendapatkan satu dari dua hal yang paling baik, antara berbagi dan seper­tiga semua harta, jika mereka tidak ber­sama dengan ahli waris ashabul furudh. Maka, kakek dijadikan dalam pembagian seperti salah seorang saudara-saudara laki-laki. Harta dibagi di antara mereka dan saudara-saudara perempuan. Laki-la­ki mendapatkan bagian dua perempuan. Bagian kakek dijadikan dengan saudara-­saudara laki-laki sebagai salah seorang dari mereka, selama berbagi itu lebih baik baginya. Jika pembagian itu kurang dari sepertiga harta maka kita memberikan­nya sepertiga. Jika kakek bersama dengan seorang saudara, kakek mengambil sete­ngah harta. Kesimpulannya, jika mereka tidak bersama dengan ashabul furudh maka kakek boleh mengambil yang lebih menguntungkan, antara berbagi dan se­pertiga semua harta[10].
2.       Saudara-saudara laki-laki, dan saudara-­saudara perempuan seayah berbagi dalam pembagian itu dengan saudara-saudara laki-laki sekandung, dengan merugikan kakek. Artinya, mereka menghitung ka­kek termasuk saudara-saudara laki-laki sekandung. Jika kakek mengambil bagi­annya maka saudara-saudara laki-laki, perempuan seayah tidak mendapatkan apa-apa. Sedang sisanya, setelah kakek mengambil bagiannya untuk saudara-­saudara laki-laki dan perempuan sekan­dung. Mereka berbagi antara mereka. Laki-laki mendapatkan dua kali bagian perempuan. Inilah al-Mu'aaddah (saling berbagi). Sebab, kakek berbagi dengan saudara laki-laki seayah, kemudian dia mengambil apa yang diperoleh saudara laki-laki seayah itu. Dalam kasus kakek, seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seayah mengurangi bagian kakek, di mana kakek berkurang dari bagian muqasamah (berbagi) menjadi mengambil sepertiga harta. Setelah kakek mengambil sepertiga, saudara laki-laki sekandung mengambil bagian saudara laki-laki seayah karena yang pertama menghijab kedua.
3.       Jika ada seorang saudara perempuan se­kandung maka dia mengambil bagiannya dan kakek mengambil bagiannya. Jika masih tersisa maka untuk saudara-sau­dara perempuan seayah. Jika tidak ada maka mereka tidak mendapatkan apa­-apa, seperti kasus ahli waris yang terdiri atas kakek, seorang saudara perempuan sekandung, dan dua orang saudara pe­rempuan seayah. Maka, berbagi adalah lebih baik bagi kakek. Asal masalah di­jadikan dari jumlah mereka yaitu lima. Kakek mendapatkan dua bagian, satu orang saudara perempuan sekandung se­tengah dari seluruh harta yaitu dua bagi­an, sedang bagian sisa adalah untuk dua orang saudara perempuan seayah. Asal masalah ditashih menjadi dua puluh.
         Jika dalam contoh tersebut, dua orang saudara perempuan seayah diganti seorang saudara perempuan seayah, dia tidak mendapatkan apa-apa. Sebab, kakek dengan muqasamah (berbagi) mengambil setengah harta. Ini lebih baik baginya da­ri-pada sepertiga. Setengah sisanya untuk seorang saudara perempuan sekandung. Saudara perempuan seayah tidak men­dapatkan apa-apa.
4.       Jika mereka bersama dengan ahli waris furudh maka adakalanya kakek mendapat­kan seperenam, adakalanya mendapatkan yang lebih menguntungkan dari tiga hal yaitu muqasamah (berbagi), sepertiga dari sisa atau seperenam dari semua harta. Hal ini, jika setelah dibagi ashabul furudh harta masih tersisa lebih dari seperenam.
         Pembagian ini menjelaskan keadaan-ke­adaan kakek dengan saudara-saudara laki-laki dengan mempertimbangkan ada tidaknya ahli waris al-Fardh bersama mereka:
a.     Bersama mereka tidak ada asha­bul furudh.
Maka kakek mengambil yang paling baik dari dua hal, yaitu sepertiga semua harta[11] se­perti dalam kasus kakek, dua orang saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Atau muqasamah, ini lebih baik bagi kakek jika jumlah saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan lebih sedikit dari dua kali jumlah kakek. Ini terbatas pada lima kasus, yaitu kakek dan seorang saudara laki­laki, kakek dan seorang saudara perempuan, kakek dan dua orang saudara perempuan, ka­kek dan tiga orang saudara perempuan, kakek dan seorang saudara laki-laki, serta seorang saudara perempuan.
b.     Adakalanya mereka bersama dengan ahli waris fardh, yaitu suami istri, ibu, dua orang nenek, seorang anak perempuan, seorang anak perempuan dari anak laki-laki. Artinya,  selain saudara-saudara perempuan.
c.     Adakalanya kakek lebih baik diberikan bagian yang lebih besar dari seperenam. Kakek mengambil di antara tiga hal yang paling baik, yaitu muqasamah, sepertiga sisa dan seperenam semua harta.
  Karena itu Muqasamah lebih baik bagi kakek dalam kasus kakek, nenek, dan seorang saudara laki-laki. Asal masalah dua belas (12), kakek dan saudara laki-laki masing­masing 5, nenek 2. Seperti juga suami, kakek, dan saudara laki-laki. Asal masalah empat (4).
Lalu bagaimana yang lebih baik :
1.     Sepertiga sisa lebih baik bagi kakek dalam contoh ibu, kakek, dan sepuluh saudara laki-laki. Asal masalah 6, ditashih menjadi 18. Maka ibu mendapatkan 3, nenek 5, sedang sisanya untuk saudara­-saudara laki-laki. Juga seperti kasus kakek, seorang nenek, dua orang saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Asal masalah 6, ditashih menjadi 18. Pembagian bisa terjadi jika sisanya bukan sepertiga pe­nuh. Maka, makhraj sepertiga yakni (3) dikalikan asal masalah (6) (3x6 = 18). Kakek mendapatkan 5, nenek 3, dua orang saudara laki-laki 8, seorang saudara perempuan 2.
Seperenam semua harta lebih baik bagi kakek dalam contoh istri, dua orang anak perempuan, kakek, dan seorang saudara laki-laki. Istri mendapatkan 3 dari 24, dua orang anak perempuan dua pertiga (16), sisa 5. Seperenam dari semuanya (4) adalah lebih baik bagi kakek daripada muqasamah.
2.       Atau lebih baik seperenam. Kakek diberi­kan bagian (fardh), saudara laki-laki gugur. Seperti dalam kasus suami, ibu, kakek, dan saudara laki-laki. Asal masalah enam (6). Suami mendapatkan setengah (3), ibu dua pertiga (2), kakek seperenam (1), saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa.
3.       Atau lebih baik mendapatkan kurang dari seperenam. Bagian kakek di-aul (dinaik­kan) menjadi genap seperenam. Saudara laki-laki gugur seperti suami, dua orang anak perempuan, kakek, dan saudara laki-laki. Asal masalah 12, aul (naik) menjadi 13. Dua orang anak perempuan mendapatkan 8, suami 3, masih sisa satu (1). Maka, di-aul-kan satu demi genapnya seperenam, gugurlah saudara laki-laki.
Juga seperti suami, kakek, seorang anak perempuan, ibu, dan seorang saudara perempuan sekandung. Asal masalah aul menjadi 13. Saudara perempuan tidak mendapatkan apa-apa, sebab dia ashabah dengan anak perempuan atau dengan ka­kek. Tidak tersisa untuk saudara perem­puan setelah kakek mengambil bagian seperenam.
4.       Seperenam bagian kakek sudah meng­habiskan semua bagian. Saudara laki-laki gugur, ditambahkan dalam aul seperti suami, dua orang anak perempuan, ibu, kakek, dan seorang saudara laki-laki. Asal masalah aul menjadi 13, dalam aul ditam­bahkan seperenam bagian kakek maka asal masalah menjadi 15.

       Ijtihad sejumlah sahabat ( Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit) :
                 Mengutip  pendapat Prof. Dr. Wahbah Azzuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu   yang mengambil alih  undang-undang Mesir dan Syria dengan mendasarkan pada pendapat mayoritas ulama (tiga madzhab dan dua orang murid Abu Hanifah),  Mereka memberikan warisan saudara-saudara laki-laki jika bersama kakek. Dengan demikian, kakek tidak menghijab saudara-saudara laki­-laki baik sekandung maupun seayah. Kakek berbagi dengan mereka dalam hal pewarisan. Ini adalah prinsip pembagian warisan kakek. Dalil ijtihad mereka adalah sebagai berikut:
a.   Warisan saudara-saudara laki­laki baik sekandung atau seayah tetap dalam Al-Qur'an. Mereka tidak bisa terhijab kecuali dengan nash atau ijma. Dan salah satu dari keduanya tidak ada.
b.   Bahwa kakek dan saudara-saudara laki-laki sama di dalam hal penyebab mem­peroleh hak warisan. Sebab, masing-masing dari mereka mendekati mayit dengan satu tingkat yaitu ayah.
           Golongan  Syi’ah  menempatkan saudara dalam  derajat yang sama dengan kakek , karena hubungannya yang sama kepada pewaris, yaitu sama-sama melalui  ayah . Oleh karena itu kakek tidak menutup saudara[12]. Di kalangan golongan  Ahlu Sunnah terdapat pula perbedaan pendapat :  Golongan Hanafi dan Dhairi  berpendapat bahwa saudara tidak berhak atas warisan, bila ada kakek, karena kakek  dalam hal ini  berkedudukan sebagai ayah  dalam menutup saudara.
           Ulama Ahlu Sunnah yang lain (Maliki, Syafi’i dan Hambali ) berpendapat bahwa saudara dapat menjadi ahli waris bersama dengan kakek , karena hubungan keduanya kepada pewaris adalah sama yaitu sama-sama melalui ayah atau ibu. Pendapat ini mengikuti hasil ijtihad Zaid Bin Tsabit dan Ibnu Mas’ud[13]. Sepintas lalu terlihat bahwa Jumhur  Ahlu Sunnah sama pendapatnya dengan golongan Syi’ah yang menempatkan saudara mewaris bersama  kakek.
      Mu`awiyah menulis kepada Zaid bin Thabit bertanyakan tentang datuk (ayah dari ayah), maka dibalas oleh Zaid: „ aku sendiri telah-menyaksikan dua orang khalifah sebelum saudara memberikan kepada datuk seperdua jika dia mewaris bersama-­sama seorang saudara laki-laki dan sepertiga jika dia mewa­ris bersama-sama dua orang atau lebih saudara[14], dan tidak boleh kurang bagian datuk itu dari sepertiga, sekalipun banyak jumlah saudara-saudara itu, tidak perduli apakah saudara-saudara itu laki-laki, perempuan, ataukah setengahnya laki-laki dan setengah­nya perempuan. Lebih lanjut Hazairin menyatakan bahwa, dari  hadis ini nyata bahwa kasus „datuk bersama saudara", yang dikalangan Ahlu'ssunnah dihubungkan dengan IV: 176, hukumnya bersumber kepada  Ulul Amri dan tidak kepada sunnah Rasul[15].
                       Al-Hasan berkata bahwa Zaid Ibnu Thabit menyerikatkan datuk dengan saudara-saudara (dengan datuk mendapat sekurang­-kurangnya atau setinggi-tingginya sepertiga ). Hadis  Al-Hasan ini dapat menimbulkan paham bahwa datuk dalam bersyarikat dengan saudara-saudara memperoleh seting­gi-tingginya sepertiga atau sampai sepertiga (... kana Zaidun yu­syarrikul jadda ma'al ikhwati ila stulutsi). Assya`biyyu berkata bahwa Umar membagikan sama banyak antara datuk dan seorang saudara laki-laki atau antara datuk dan dua orang saudara laki-laki. Bila saudara-saudara itu lebih dari dua orang maka diberikannya kepada datuk sepertiga dan jika datuk berhimpun dengan anak (keturunan) maka diberinya datuk 1/6.  (Addarami, dari A.Hassan „Al-faraaid1")[16].
       Dan tiga buah hadis itu, yang sekali-kali tidak berisikan sunnah Rasul tetapi hanya berdasarkan ketetapan Ulil Amri , jelaslah bahwa kedudukan datuk jika berhimpun dengan saudara adalah kedudukan istimewa bagi seorang `asabah yang disegani , yang terkemuka, yang memimpin, seorang syaikh, kadang-kadang juga disebut seorang „khal", yaitu seorang kepala adat, sebab sistim clan membawakan sistim pemerintahan yang genealogic. Bandingkanlah kedudukannya dengan kedudukan „datuk-datuk" di Minangkabau „datuk" sebagai gelar untuk „tua-tua" di dalam suku, bagian suku atau sekelompok keluarga matrilineal, dan kadang-kadang hanya mengepalai dan menguasai beberapa rumah tangga saja, sampai-sampai ada yang menguasai seluruh orang­-orang yang sesuku di dalam sesuatu nagari Minangkabau. Juga di Tanah Batak (patrilineal) ada kepala-kepala adat itu yang disebut ompu (datuk).
       Bagian untuk datuk menurut Ahlu'ssunnah itu terjenis ke­pada bagian untuk `asabah. Jika dia berhimpun dengan seorang saudara laki-laki sampai dengan dua orang saudara laki-laid maka pembagian antara mereka adalah pembagian sama rata menurut jumlah mereka, jika dua orang maka masing-masing mendapat   ½  jika 3 orang maka masing-masing mendapat 1/3 , hal mana menimbulkan kesan seakan-akan datuk itu disamakan dengan saudara.
      Bahwa datuk dalam sistim Ahlu'ssunnah[17] sesung­guhnya tidak persis disamakan dengan saudara ternyata jika datuk berhimpun dengan lebih dari dua orang saudara laki-laki, atau dengan seorang saudara laki-laki beserta lebih dari dua orang saudara perempuan, atau dengan beberapa saudara laki-laki beserta dengan saudara perempuan, dimana datuk tidak lagi berbagi menurut jumlah kepala tetapi terjamin mendapat 1/3. Hal ini membuktikan bahwa datuk itu istimewa kedudukannya dalam lingkungan keluarga, seperti disinggung di atas tadi. Dalam sistim Ahlu'ssunnah pembagian antara datuk dan saudara itu dikaitkan kepada hal kalalah IV:176 dengan membentuk seperangkaian garis hukum tambahan, dimana ternyata pula bahwa datuk jika berhimpun dengan saudara-saudara yang diantaranya ada yang berhak fara'id sedangkan di luar saudara-saudara itu ada pula pihak lain yang berhak fara’id, maka datuk akan terja­min mendapat sekurang-kurangnya 1/6 dan jika jumlah semua angka fara’id beserta 1/6 untuk datuk itu melampaui angka 1, maka datuk diperlakukan seakan-akan dia pula sehingga mesti tunduk pula kepada peraturan 'aul.
             Seorang ulama kontemporer  yang kapasitasnya sudah tidak diragukan lagi yaitu Prof. Dr. Wahbah Azzuhail telah menguraikan dalam kitabnya  : al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu , juz 8 halaman 295 – 306 tentang istilah kakek. Menurut  beliau yang dimaksud di sini adalah kakek asha­bah atau ayah. Dinamakan juga kakek shahih (sebenarnya) atau kakek tsabit (yang kokoh). Dia adalah kakek yang dalam nasabnya menu­ju mayit tidak ada perempuan[18]. Demikian juga Syeh Sayyid Sabiq bernada sama yaitu kakek shahih dan kakek fasid[19] dan bagian kakek mendasarkan pada Ijma’ yaitu : Hadis  dari Imron  Bin Husein  bahwa ada seorang lelaki mendatangi Nabi SAW. dan mengatakan: sesungguhnyan cucuku lelaki telah meninggal dunia apakah saya mendapatkan bagian warisan darinya? lalu  Rasul menjawab  kamu dapat bagian 1/6,  kemudian ketika laki-laki tadi berpaling Rasulpun memanggilnya lagi dan Rasul berkata : kamu dapat 1/6 , lalu ketika laki-laki berjalan lagi Rasul memanggilnya lagi dan mengatakan kamu dapat 1//6 yang lain, kemudian Rasul memanggilnya lagi dan mmenyatakan bahwa 1/6 lainnya adalah makanan ( H.R. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi menshahihkan hadis tersebut[20]).
        Berbeda lagi adalah kakek rahim, dinamakan juga kakek fa­sid (rusak) atau kakek yang tidak tsabit seperti ayahnya ibu. Dia adalah kakek yang mendekat kepada mayit dengan perantara perempuan. Dia bukanlah orang yang mendapatkan bagian atau ashabah. Namun, dia termasuk dzawil ar­ham[21].
        Posisi kakek seperti ayah dalam tiga kon­disi di atas. Namun, dia sama sekali tidak mewarisi dengan adanya ayah, karena kaidah umum barang siapa mendekat kepada mayit dengan perantara maka dia tidak bisa mewa­risi dengan adanya perantara tersebut. Oleh karena itu, kakek gugur dengan adanya ayah.  Kakek mewarisi dengan cara al-Fardh (bagian yang ditentukan) saja jika orang yang mati meninggalkan anak laki-laki atau anak laki-laki dari anak laki-laki, maka kakek mendapatkan seperenam. Jika seseorang mati meninggalkan istri, dan seorang anak laki-laki maka si istri mendapatkan bagian seper  delapan karena adanya ahli waris garis anak, kakek mendapatkan bagian seperenam sedang sisanya untuk anak laki-laki dengan cara ashabah. Jika seseorang mati meninggalkan anak laki-laki dari anak laki-laki, kakek, maka kakek mendapatkan bagian seperenam, sedang sisanya untuk anak laki-laki dari anak laki-laki dengan cara ashabah. Kakek mewarisi dengan cara ashabah sa­ja.  Jika orang yang meninggal tidak mem­punyai ahli waris garis anak, kakek meng­ambil semua harta atau sisanya setelah ashabul furudh mengambil bagian mereka.
       Jika seseorang mati meninggalkan is­tri dan kakek maka si istri mendapatkan seperempat karena tidak ada ahli waris garis anak, sedang kakek mendapatkan sisa dengan cara ashabah. Jika mayit ha­nya meninggalkan kakek maka dia men­dapatkan semua tirkah[22]. Kakek mendapatkan bagian warisan (fardh) dan ashabah juga. Jika orang yang mati mempunyai anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki maka ka­kek mendapatkan bagian seperenam dan sisanya dengan cara ashabah[23].
        Kalau seseorang mati meninggalkan istri, anak perempuan dari anak laki-laki dan kakek maka istri mendapatkan seperdelapan, karena ada ahli waris garis anak. Anak perempuan da­ri anak laki-laki mendapatkan setengah, kakek mendapatkan seperenam dan sisa dengan cara ashabah. "...Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian ma­sing-masing seperenam dari harta yang diting­galkan[24]...." .Hadits yang diriwayatkan oleh lmran bin Hushain. "Bahwa seseorang mendatangi Nabi Mu­hammad saw. kemudian dia berkata, Anakku meninggal, maka berapa warisan untukku? ' Nabi bersabda, 'Bagimu seperenam.
        Para sahabat bersepakat bahwa kakek mewarisi jika tidak ada ayah[25]. Undang-undang Mesir (M 9, 21), Syria (M 266, 280) menyatakan keadaan warisan kakek sebagaimana ayah.
Hal-hal yang mana kakek berbeda dengan ayah. Keadaan kakek seperti ayah kecuali da­lam empat masalah:
1.   Nenek shahihah (yang sebenarnya) atau ibunya ayah terhijab (terhalang) karena ayah. Nenek tersebut tidak terhalang oleh kakek. Dia juga tidak mewarisi dengan ada­nya ayah, namun mewarisi dengan adanya kakek.
2.   Masalah al-Gharrawain. Jika mayit mening­galkan kedua orang tua dan salah seorang suami atau istri maka ibu mendapatkan sepertiga dari sisa setelah bagian salah seorang suami istri. Adapun jika posisi ayah ditempati kakek maka ibu, menurut mayoritas ulama  berbeda dengan pen­dapat Abu Yusuf  mendapatkan sepertiga semua tirkah. Dia tidak dalam posisi gha­rawah dengan kakek. Ibu menurut Abu Yusuf mendapatkan dua pertiga sisa se­telah bagian salah seorang suami istri.
3.   Ayah menghijab saudara-saudara laki-laki (lebih dari seorang) dan saudara-saudara perempuan (lebih dari seorang) baik se­kandung atau seayah berdasarkan ijma. Mereka tidak dihijab oleh kakek menurut mayoritas ulama (tiga imam dan dua mu-rid Imam Abu Hanifah). Menurut Abu Ha­nifah, kakek menghijab mereka.
4.   Ayah dari orang yang memerdekakan ber­sama dengan anaknya mengambil seper­enam bagian wala' menurut Abu Yusuf. Sementara, kakeknya tidak mendapatkan­nya. Wala' semuanya untuk anak laki-laki. Tidak ada perbedaan antara kakek dan ayah menurut imam-imam yang lain, se­bab keduanya tidak mengambil sama se­kali warisan wala[26].

Ijtihad Abu Bakar
Nash AL-Qur’an  banyak menyebut kata ayah  dan dari sinilah makna ayah berkembang sampai kepada makna kakek , termasuk  yang dipegangi oleh Abu Bakar dan para sahabat yang mengikutinya seperti Ibnu Ab­bas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ubay bin Ka'ab, Hudzaifah ibnul Yaman, Abu Sa'id al-Khudri, Mu'adz bin Jabal, Abu Musa al-Asy'ari, Aisyah dan dari tabiin seperti al-Hasan, Ibnu Sirin. Mereka menyatakan: Tidak ada warisan untuk bani al-A’yan (saudara-saudara laki-laki, perempuan sekan­dung), bani al-Allat (saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah) jika bersama dengan kakek, sebagaimana mereka tidak mewarisi jika bersama dengan ayah. Kakek sendirian mendapatkan harta seperti ayah. Artinya, ka­kek dalam warisan seperti ayah, menghijab saudara-saudara laki-laki secara mutlak baik sekandung, seayah atau seibu. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. Oleh karena itu, tidak ada muqasamah (pembagian warisan bersama) antara kakek dan saudara­-saudara laki-laki, perempuan menurut pen­dapatnya. Dalil mereka dari Al-Qur'an dan As­Sunnah.
Adapun dari Al-Qur'an adalah banyak se­kali ayat yang menyebutkan kata ayah untuk kakek, seperti firman Allah SWT, yang artinya : "Dan aku mengikuti agama nenek moyang­ku: Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub...."(Yusuf: 38)
        Dengan demikian, kakek harus mengam­bil status ayah dalam hal dia bisa menghijab saudara-saudara laki-laki secara mutlak. Oleh karena itu, Umar berkata, "Bagaimana dia anakku sementara aku bukan ayahnya?" Ibnu Abbas mengatakan, "Tidakkah Zaid bin Tsabit takut kepada Allah, dia menjadikan anak laki-­laki dari anak laki-laki sebagai anak laki-laki, sementara tidak menjadikan ayahnya ayah sebagai ayah?"
                     Adapun dari sunnah adalah hadits yang artinya : "Berikan warisan-warisan pada orang-­orang yang berhak, sedang sisanya adalah un­tuk laki-laki yang paling dekat." Oleh karena itu Ijtihad Abu Bakar bahwa  Kakek lebih dekat dari pada saudara-sau­dara laki-laki[27]. Kaidah mengatakan dalam ashabah men­dahulukan sisi garis ayah dari pada sisi garis saudara.

Muqasamah kakek dan saudara laki-laki pewaris :
         Bahwa prinsip muqasamah adalah menyamakan bagian kakek dengan saudara kandung pewaris asalkan bagian kakek tidak berkurang dari bagian saudara kandung pewaris, cara seperti inipun sudah dianut oleh Wahbah Azzuhaili  dari Undang-undang Mesir (M 22), Syria (M 279/1-4) menyatakan tentang pembagian ka­kek dan saudara-saudara laki-laki. Undang-undang Mesir menjadikan wari­san kakek dengan saudara-saudara laki-laki pada dua keadaan.
1.      Orang yang ada bersama kakek, yaitu saudara-saudara laki-laki dan saudara­saudara perempuan adalah orang yang mewa­risi dengan cara ashabah. Baik laki-laki saja, laki-laki dan perempuan, atau perempuan yang mewarisi secara ashabah dengan orang lain, seperti seorang saudara laki-laki sekan­dung atau seorang saudara laki-laki sekan­dung dengan seorang saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki seayah dengan saudara perempuan seayah, saudara perem­puan sekandung atau seayah dengan seorang anak perempuan, atau anak perempuan dari anak laki-laki.
          Maka, kakek dijadikan seperti saudara laki-laki. Kakek mewarisi bersama mereka dengan cara ashabah. Dia berbagi dengan me­reka selama tidak kurang dari seperenam. Jika kurang dari seperenam maka pada saat itu kakek diberi bagian seperenam. Jika yang ber­sama kakek kurang dari lima orang saudara maka berbagi adalah lebih baik. Jika yang ber­sama kakek lima orang saudara maka muqa­samah dan seperenam sama saja. Jika yang bersama kakek enam orang saudara atau lebih maka seperenam lebih baik bagi kakek daripa­da mugasamah. Maka, kakek diberikan bagian seperenam.
       Saudara-saudara laki-laki seayah dengan saudara-saudara laki-laki sekandung tidak bi­sa merugikan kakek, sebab mereka terhalang oleh saudara-saudara laki-laki sekandung. Maka dalam kasus kakek, seorang saudara laki-laki sekandung dan saudara-saudara laki­laki seayah, masing-masing dari kakek, sauda­ra kandung mendapatkan setengah, sedang saudara-saudara yang lain gugur bagiannya. Ternyata ini mengambil madzhab Ali dan Ibnu Mas'ud[28].
2.     Hendaklah yang ada yaitu saudara-­saudara perempuan yang bersama dengan ka­kek adalah ahli waris ashabul furudh. Seperti seorang saudara perempuan sekandung, atau seayah atau lebih dan tidak ada ahli waris ashabah dengan kakek. Ini mengambil madzhab Ali dan Ibnu Mas'ud bahwa kakek tidak mewarisi ashabah dengan saudara-saudara perempuan yang sendirian. Mereka mengambil bagian mereka, sedangkan kakek mewarisi dengan ashabah.
       Maka, kakek mewarisi dengan cara asha­bah, dan mengambil semua sisa setelah pem­bagian, selama tidak kurang dari seperenam. Jika kurang dari seperenam maka kakek diberi seperenam.
          Dalam kasus kakek, seorang saudara pe­rempuan sekandung atau seayah, maka sauda­ra perempuan mendapatkan bagian setengah, sedang sisanya untuk kakek dengan cara ashabah. Dalam kasus kakek, dua orang sauda­ra perempuan sekandung atau seayah maka dua orang saudara perempuan mendapatkan bagian dua pertiga, sedang sisanya untuk ka­kek dengan cara ashabah. Dalam kasus se­orang saudara perempuan sekandung, seorang saudara perempuan seayah, dan kakek, maka saudara perempuan sekandung mendapatkan bagian setengah, saudara perempuan seayah mendapatkan bagian seperenam sebagai pe­nyempurna dua pertiga, sedang kakek men­dapatkan sisa dengan cara ashabah. Ini adalah madzhab Ali, Ibnu Mas'ud yaitu kakek tidak mewaris secara ashabah dengan saudara­saudara perempuan yang sendirian (tanpa saudara-saudara laki-laki).
          Adapun undang-undang Syria sepakat de­ngan undang-undang Mesir untuk memberi­kan seperenam pada kakek, apa pun keada­annya, baik dia bersama dengan dzawil furudh atau tidak. Berdasarkan uraian tentang Muqasamah kakek dan saudara laki-laki pewaris,  Penulis sangat setuju bahwa untuk mencapai kepastian hukum khususnya di Indonesia layak mengadopsi undang-undang negara Mesir dan Syria bahwa untuk memberi­kan seperenam pada kakek, apa pun keada­annya, baik dia bersama dengan dzawil furudh atau tidak,  ataukah kakek mendapat sepertiga, asalkan legal formal telah menjadi keputusan bagi otoritas di Indonesia ini.

Kesimpulan :
1.     Bahwa bagian kakek dengan saudara kandung pewaris di Indonesia masih belum menjadi acuan hukum bagi praktisi hukum terutama hakim Pengadilan Agama karena aturannya masih berserakan dalam kitab-kitab kuning dan belum menjadi hukum terapan di Indonesia.
2.     Bahwa bagian kakek dengan saudara kandung pewaris berdasarkan ijtihad sahabat  terdapat dua pendapat, yaitu kakek mendapat 1/3 atau 1/6 atau sepanjang tidak merugikan kakek sesuai dengan hasil ijtihat mereka berdasarkan qiyas  , sedangkan bagian saudara kandung pewaris mendapat ashabah, sepanjang tidak merugikan kakek tetapi  bagian yang menguntungkan kakek harus lebih besar.
3.     Bahwa penyelesaian kasus bagian kakek dan saudara kandung pewaris bisa melalui muqasamah sepanjang bagian kakek tidak berkurang dengan bagian  saudara kandung pewaris.

Saran-saran
          Ulama Indonesia maupun ahli-ahli hukum atau lembaga negara yang mempunyai otoritas,  sampai sekarang belum mengkompilasikan bagian kakek dan saudara kandung pewaris dalam bentuk peraturan perundangan ataupun Kompilasi Hukum Islam, untuk dijadikan acuan oleh praktisi hukum dalam memutus dan menyelesaikan  perkara demi  kepastian hukum di Indonesia, karena selama ini sudah ratusan tahun sumber acuannya masih berserakan dalam kitab-kitab kuning sehingga dalam kasus yang sama akan terjadi putusan hukum yang berbeda. Padahal yang  terjadi di negara lain  seperti undang-undang Syria sepakat de­ngan undang-undang Mesir untuk memberi­kan seperenam pada kakek, apa pun keada­annya, baik dia bersama dengan dzawil furudh atau tidak,  sehingga acuannya tegas, tranparan dan berkepastian hukum kenapa Indonesia belum mengakomodirnya ?

Penutup
          Demikian tulisan ini semoga banyak manfaatnya dan mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan ini, terimakasih.


Blitar, 20 Nopember 2018

Penulis



Drs. H.  Sudono,  M.H.







Buku Rujukan :
1.     Al-qur’an dan Terjemahnya.
2.     Dr. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Gunung Agung Jakarta, 1984.
3.     Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid, 2, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cetakan ke 7, 2006.
4.      Ibnu Rusyd,  Bidayatul Mjtahid, Jilid 10, Alih Bahasa  oleh A.Hanafi , M.A , Bulan Bintang, Jakarta,Cet.1, 1970.
5.      Prof. Dr. Wahbah Azzuhaili, Al fiqhul Islami wa Adillatuhu,  juz 8, Darul Fikr, Damaskus, 2008.
6.     Prof.Dr. Hazairin, S.H., Hukum Kewarisan Bliateral MeurutQur’an dan Hadith, Tinta Mas, Jakarta,1982
7.     Syeh Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Jilid 3, Darl Fikr, 1992 M / 1412 H.
8.     Dan lainnya.




[1] Hakim Utama Muda Pengadilan Agama Blitar Kelas 1 A.
[2] Wahbah Azzuhaili, Al fiqhul Islami wa Adillatuhu,  juz 8, Darul Fikr, Damaskus, 2008, hal. 292.
[3] Ibnu Rusyd,  Bidayatul Mjtahid, Jilid 10, Alih Bahasa  oleh A.Hanafi , M.A , Bulan Bintang, Jakarta,Cet.1, 1970, hal.35-36.
[4] Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid, 2, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cetakan ke 7, 2006, hal 612.
[5] Ibid, hlm. 613.
[6] Loc.cit.
[7] Ibid. hlm. 614.
[8] Wahbah Azzuhaili, Op.cit. 2008, hlm. 297-298.
[9] Ibid.  hlm. 298.
[10] Ibid, hlm. 299.


[11] Ibid. hlm.301.
[12] Dr. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Gunung Agung Jakarta, 1984, hal 61.
[13] Loc.cit.
[14] Prof.Dr. Hazairin, S.H., Hukum Kewarisan Bliateral MeurutQur’an dan Hadith, Tinta Mas, Jakarta,1982, Hal. 134.
[15] Ibid. hlm. 135.
[16] Ibid.
[17] Ibid, hlm. 136.
[18] Wahbah Azzuhaili, Op.cit,  2008, hal.294.
[19] Syeh Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Jilid 3, Darl Fikr, 1992 M / 1412 H. Hlm 430
[20] Ibid  . Hlm 431
[21] Wahbah Azzuhaili, Op.cit,  2008, hal.294.
[22] Loc.cit.
[23] Loc.cit.
[24] An-Nisa ayat 11.
[25] Wahbah Azzuhaili, Op.cit,  2008.hlm .295.
[26] Wahbah Azzuhaili, Op.cit,  2008. hlm. 296.
[27] Ibid.hlm. 298.
[28] Wahbah Azzuhaili, Ibid, hlm. 303.