NIKAH TEMPORAL
Oleh : H. Sudono, M.H.
Keempat madzhab dan
mayoritas para sahabat telah bersepakat bahwa nikah mut’ah dan sejenisnya
merupakan pernikahan yang haram dan bathil. menurut para ulama Hanafiah,
pernikahan semacam itu batal, sekalipun syarat harus abadi dan ini adalah
syarat sah, karena itu tertera dalam
teks sunah. Hanya saja imam Zafar memandang bahwa pernikahan temporal tersebut
sah, dan syarat tempo (waktu) itu dianggap rusak atau batal. maksudnya syarat
tempo tersebut tidak dianggap dan status pernikahan tersebut menjadi abadi. Itu karena pernikahan tidak akan batal
sebab syarat-syarat yang rusak. Pendapat tersebut dapat dibantah bahwa akad
temporal semakna dengan akad mut’ah, dan yang dipandang dalam dalam masalah
akad itu adalah maknanya bukan lafadnya.
Syiah imamiyah
mengatakan bahwa, diperbolehkan menikah mut’ah atau nikah temporal dengan
perempuan muslimah atau ahli kitab , dan dimakruhkan dengan perempuan pezina.
Itu dengan syarat menyebutkan mahar, membatasi waktu dan terlaksana dengan salah
satu dari tiga lafad, yaitu : aku mengawinimu, aku menikahimu dan aku
memut’ahmu (bersenang-senang) . Dalam akad tersebut tidak disyaratkan ada saksi
dan wali :
Hukum-hukumnya sebagai berikut :
1.
Tidak menyebutkan mahar beserta waktunya dapat
membatalkan akad. Menyebutkan mahar tanpa menyebutkan waktu akan selalu
membalikkannya.
2.
Syarat-syarat tersebut tidak mempunyai status
hukum sebelum akad, dan harus dipenuhi
jika disebutkan dalam akad.
3.
Boleh mensyaratkan menggauli
perempuan di waktu malam atau siang , tidak menggaulinya di vagina dan
melalukan ‘azl tanpa seijin perempuan. Status anak tetap
disandarkan kepada ayah sekalipun telah melakukan ‘azl. Akan tetapi seandainya
ia mengingkari anak tersebut maka tidak dapat digunakan argumentasi ketika
li’an.
4.
Tidak akan terjadi talak (perceraian) dalam
perikahan mut’ah menurut ijma’ orang syi’ah, juga tidak pula li’an menurut
pendapat paling kuat . Akan tetapi masih diperselisihkan mengenai terjadinya
dhihar.
5.
Dengan pernikahan mut’ah tidak ada saling
mewarisi diantara suami istri. Sedangan anak dapat mewarisi harta kedua orang
tuanya tersebut, dan mereka berdua dapat mewarisi harta anak mereka. Tidak ada
perbedaan pendapat dalam hal ini.
6.
Jika telah usai waktu yang telah disepakati,
menurut pendapat paling mayshur masa iddah si perempuan adalah dua kali haid
dan iddah perempuan yang tidak haid selama 45 hari. Sedangkan iddah karena
kematian, seandainya suami meninggal dunia, pendapat yang paling
masyhur adalah 4 bulan 10 hari.
7.
Tidak sah melakukan akad nikah baru sebelum
waktu yang disepakati habis, jika lelaki ingin memperbaharui akad lagi, maka ia
harus menghadiahkan sisa waktu akad pertama dan memulainya lagi.
( Wahbah Azzuhaili,Al-fiqhul Islami Wa
adillatuhu,Juz 7,hal.75-76)