ENAM PENYAKIT APARAT PERADILAN
Oleh : Drs. H. Sudono Al-Qudsi, M.H.
Menurut
para pakar
1. Dho’ful iman- Lemah iman
-tidak punyan motifasi & tidakm punya nilai plus
2. Dho’ful ilmi, lemah
ilmu-tdk manfaat
3. Dho’ful iktisab, tidak
berkah
4. Dho’ful khuluq, dekadensi
moral
5. Dho’ful jihad, tidakm ada semangat
6. Dho’funnidhom wal ijtima’-lemah berorganisasi.
wur
È@s?ù't
(#qä9'ré&
È@ôÒxÿø9$#
óOä3ZÏB
Ïpyè¡¡9$#ur
br&
(#þqè?÷sã
Í<'ré&
4n1öà)ø9$#
tûüÅ3»|¡yJø9$#ur
úïÌÉf»ygßJø9$#ur
Îû
È@Î6y
«!$#
(
(#qàÿ÷èuø9ur
(#þqßsxÿóÁuø9ur
3
wr&
tbq7ÏtéB
br&
tÏÿøót
ª!$#
óOä3s9
3
ª!$#ur
Öqàÿxî
îLìÏm§
ÇËËÈ
22. dan
janganlah orang-orang Yang berharta serta lapang hidupnya dari kalangan kamu,
bersumpah tidak mahu lagi memberi bantuan kepada kaum kerabat dan orang-orang
miskin serta orang-orang Yang berhijrah pada jalan Allah; dan (sebaliknya)
hendaklah mereka memaafkan serta melupakan kesalahan orang-orang itu; tidakkah
kamu suka supaya Allah mengampunkan dosa kamu? dan (ingatlah) Allah Maha
Pengampun lagi Maha Mengasihani.
ال – اءتلي- ياءتل - - ala- I’tala- ya’tali = bersumpah-
Dalam
riwayat Rasul- membaca ayat :
È@s?ù't wur Èlalu Abu bakar
meneruskan :
Oä3s9!$#Ïÿøót br& tbq7ÏtéB wr& lalu Abu bakar
membatalkan sumpahnya.dalam riwayat MISTHAH- sering dibantu Abu Bakar,
-
Malah sering lakukan kesalahan ?
-
Karena ada ketersinggungan
pribadi.
OKI-
hendaklah Abu Bakar memaafkannya
-
Kepada siapayang pernah melukai
hatinya
-
Berlapang dada membuka hatinya.
OKI- Memaafkan-
-
Meninggalan sangsi thd.yg
bersalah
عفو – menutupi(ketertutupan)- terhapus- habis tiada bekas-
kelebihan.
عفو-KBBI-
menghapus-membinasakan -mencabut akar
sesuatu.
ALGHOZALI-عفو/maghfiroh=menutup.
sesuatu yang ditutup hakikatnya tetap wujud.
(#þqßsxÿóÁuø9ur 3asshofhu,
lembaran yang terhampar.
Ayat
ini sekaligus memberi pelajaran kepada umat Islam untuk memaafkan dan tetap
bersedekah dan memberi bantuan kepada kerabatnya, orang-orang miskin sekalipun
mereka telah menyakitinya.
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam akan berpergian, beliau mengundi dahulu siapa diantara
istrinya yang akan dibawa ikut serta dalam perjalanan itu. Demikian juga
Rasulullah mengundi istri-istrinya yang akan dibawa ke medan perang. Pada suatu
hari-kejadiannya setelah turun ayat hijab-kebetulan
‘Aisyah terundi untuk dibawa. ‘Aisyah digotong diatas tandu, dan tandu itu
ditaruh diatas unta untuk kemudian berangkat. Setelah peperangan selesai, waktu
pulang hampir mendekati Madinah, Rasulullah memberi izin untuk berhenti
sebentar pada waktu malam. ‘Aisyah turun dan pergi buang air. Ketika kembali ke
tempatnya, ‘Aisyah meraba dadanya, ternyata kalungnya hilang, sehingga ia
kembali ke tempat tadi untuk mencari kalung itu. Lama ia mencarinya.
Orang-orang yang memikul tandunya mengangkat kembali tandu itu ke atas unta
yang dinaikinya. Mereka mengira ‘Aisyah ada didalamnya, karena wanita-wanita
pada waktu itu badannya enteng dan langsing-langsing , sehingga tidak begitu
terasa bedanya antara tandu kosong dengan yang berisi.
Kalung
itu ditemukannya setelah kembali setelah pasukan Rasulullah berangkat, dan tak
seorang pun yang masih ada disitu. ‘Aisyah duduk kembali di tempat berhenti
tadi, dengan harapan orang-orang akan menjemputnya atau mencarinya. Ketika
duduk di tempat istirahat tadi, ‘Aisyah mengantuk dan tertidur. Kebetulan
Shafwan bin Al-Mu’aththal, yang tertinggal oleh pasukan karena suatu halangan,
pada pagi hari itu sampai ke tempat pemberhentian ‘Aisyah. Shafwan melihat ada
bayangan hitam manusia. ia dapat mengenali ‘Aisyah karena pernah melihatnya
sebelum turun ayat hijab. ‘Aisyah terbangun karena Shafwan mengucapakan, inna
lillahi wa inna ilahi raji’un (Sesungguhnya kita semua kepunyaan
Allah, dan hanya kepada-Nya kita semua kembali). Ketika ia mendapatkannya.
Tidak sepatah katapun yang diucapakan ‘Aisyah. Ia pun tidak mendengar kalimat
apapun yang diucapkan Shafwan kecuali ucapan, Inna lillahi wa inna
ilahi raji’un tadi. Ketika itu untanya disuruh berlutut agar ‘Aisyah
dapat naik ke atasnya. Kemudian Shafwan menuntun unta itu sehingga sampai ke
tempat pasukan yang sedang berteduh di tengah hari. Hal itulah yang terjadi
pada diri ‘Aisyah. Maka celakalah orang yang menuduhnya dengan fitnah yang
dilancarkan oleh ‘Abdullah bin ‘Ubay bin Salul.
Ketika
sampai ke Madinah, ‘Aisyah menderita sakit selama satu bulan. Sementara itu
orang-orang menyebarluaskan fitnah yang dibuat oleh ‘Abdullah bin “Ubay bin
Salul, tapi ‘Aisyah sendiri tidak mengetahuinya. Setelah ‘Aisyah merasa agak
sembuh, ia memaksakan diri pergi buang air dibimbing Ummu Mitsah tergilincir,
dan dengan latah ia mengucapakan: “Celaka anakku si Misthah!” ‘Aisyah bertanya:
“Mengapa engkau berkata demikian, mencaci maki orang yang ikut serta dalam
perang Badr?” Ummu Misthah berkata: “Wahai junjunanku! Tidakkah engkau
mendengar apa yang ia katakan? ‘Aisyah berkata: “Apa yang ia katakan?” lalu
Ummu Misthah menceritakan fitnah yang sudah tersebar luas itu, sehingga
bertambahlah penyakit ‘Aisyah.
Pada
suatu hari Rasulullah datang kepadanya (beliau tidak seperti biasanya
memperlakukan ‘Aisyah)[1], dan karenanya ‘Aisyah meminta izin untuk
pergi kepada ibu-bapaknya untuk meyakinkan kabar yang tersebar itu. Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam mengizinkannya. Dan ketika sampai di rumah orang
tuanya, ‘Aisyah berkata kepada ibunya: “Wahai ibuku! Apa yang mereka katakan
tentang diriku?” Ibunya menjawab: “Wahai anakku, tabahkanlah haitmu. Demi
Allah, sangatlah sedikit wanita cantik yang dicintai suaminya serta dimadu,
melainkan akan banyak yang menghasutnya.” ‘Aisyah berkata: “Subhanallah (Maha
Suci Allah), apakah sampai sejauh itu orang-orang menggunjingkan aku. Dan
apakah hal ini juga sampai kepada Rasulullah?” ibunya mengiakannya. ‘Aisyah pun
menangis pada malam itu, hingga pada pagi harinya pun air matanya tak
henti-hentinya mengalir.
Pada
suatu hari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, memanggil ‘Ali bin
Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk membicarakan perceraian dengan istrinya,
karena wahyu tidak kunjung turun. Usamah mengemukakan pendapatnya bahwa
sepanjang pengetahuannya, keluarga Rasul itu adalah orang baik-baik. Ia
berkata: “Ya Rasulullah, mereka itu adalah keluarga tuan dan kami mengetahui
mereka itu baik.” Sedangkan Ali berkata: “Allah tidak akan menyempitkan tuan.
Disamping itu masih banyak wanita selainnya. Untuk itu sebaiknya tuan bertanya
kepada Barirah (pembantu rumah tangga ‘Aisyah), pasti ia akan menerangkan yang
benar.
Kemudian
Rasulullah memanggil Barirah, dan bertanya: “Hai Barirah, apakah engkau melihat
hal-hal yang meragukanmu tentang ‘Aisyah?” ia menjawab: “Demi Allah yang telah
mengutus tuan dengan hak, jika aku melihat darinya sesuatu hal, tentu tak akan
aku sembunyikan. ‘Aisyah itu hanyalah seorang yang masih sangat muda, masih
suka tertidur di samping tepung yang sedang diadoni, dan membiarkan ternaknya
memakan tepung itu karena tertidur.”
Maka
berdirilah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diatas mimbar
meminta bukti dari ‘Abdullah bin Ubay bin Salul dengan berkata: “Wahai kaum
muslimin, siapakah yang dapat menunjukan orang yang telah menyakiti keluargaku.
Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang istriku kecuali kebaikan.” Pada saat
itu ‘Aisyah sedang menangis seharian, tidak henti-hentinya. Demikian juga pada
malam harinya, air matanya mengalir dan tidak sekejap pun dapat tidur,
sampai-sampai ibu-bapaknya mengira bahwa tangisannya akan membelah jantungnya.
Ketika kedua orang tuanya menunggui ‘Aisyah menangis, datanglah seorang wanita
Ansar meminta izin masuk. ‘Aisyah mengizinkannya. Wanita itu pun duduk seraya
menangis bersamanya. Ketika itulah datang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam memberi salam, lalu duduk serta membaca syahadat. Dan berkata:
“Amma ba’du (adapun sesudah itu), hai ‘Aisyah! Sesungguhnya telah sampai ke
telingaku hal-hal mengenai dirimu. Sekiranya engkau bersih maka Allah akan
membersihkanmu. Dan jika engkau melakukan dosa, maka mintalah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya seseorang yang mengakui dosanya kemudian bertobat, Allah akan
menerima tobatnya.” Setelah beliau selesai berbicara, berkatalah ‘Aisyah kepada
ayahnya: “Coba jawabkan untukku, wahai ayahku.” Abu Bakr menjawab: “Apa yang
mesti aku katakan?” lalu ‘Aisyah berkata kepada ibunya: “Coba jawab perkataan Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untukku, wahai ibuku.” Ibunya pun
menjawab: “Demi Allah, apa yang mesti aku katakan?” akhirnya ‘Aisyah menjawab:
“Aku ini seorang wanita yang masih sangat muda. Demi Allah, sesungguhnya aku
mengetahui bahwa tuan telah mendengar persoalan ini hingga mempengaruhi hati
tuan, bahkan tuan mempercayainya. Sekiranya aku berkata bahwa bersih- dan Allah
mengetahui bahwa aku bersih-, tuan tidak akan mempercayainya.” Hal ini terjadi
setelah sebulan lamanya tidak turun wahyu berkenaan dengan peristiwa ‘Aisyah.
Dalam
riwayat lain dikemukakan bahwa ‘Aisyah berkata: “Sekiranya aku mengakui bahwa
aku melakukan sesuatu perbuatan, padahal Allah mengetahui aku suci dari
perbuatan itu, pasti tuan akan mempercayai aku. Demi Allah aku tidak
mendapatkan sesuatu perumpamaan yang sejalan dengan peristiwa kita ini, kecuali
apa yang diucapkan oleh ayah nabi Yusuf, …fa shabrun jamiluw wallahul
musta’anu ‘ala ma tashifun {…maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).
Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu
ceritakan.} (QS: 12 Yusuf: 18). Setelah itu ia pun pindah dan berbaring di
tempat tidurnya dan berbaring di tempat tidurnya.
Belum
juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, meninggalkan tempat
duduknya dan tak seorang pun penghuni rumah yang keluar, Allah Menurunkan Wahyu
kepada Beliau. Tampak sekali Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepayahan,
sebagaimana biasanya ia menerima wahyu. Setelah turunnya wahyu, kalimat pertama
yang diucapakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ialah:
“Bergembiralah wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah telah membersihkanmu.” Maka
berkatalah ibunya kepada ‘Aisyah: “Bangunlah dan menghadaplah kepada beliau.”
‘Aisyah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan bangun menghadap kepadanya, dan
tidak akan memuji syukur kecuali kepada Allah yang telah menurunkan ayat yang
menyatakan kesuciaanku” yaitu ayat, Innal ladzina ja-u bil ifki
‘ushbatum mingkum…(Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu juga…) hingga sepeluh ayat (QS: 24 an-Nur: 11-20)
Setelah
kejadian ini, Abu Bakr yang biasanya memberi nafkah kepada Misthah karena
kekerabatan dan kefakirannya, barkata: “Demi Allah, aku tidak akan memberi
nafkah lagi kepada Misthah karena ucapannya tentang ‘Aisyah.” Maka turunlah
ayat selanjutanya (QS: 24 an-Nur: 22) sebagai teguran kepada orang-orang yang
bersumpah tidak akan memberi nafkah kepada kerabat, fakir, dan lain-lain,
karena merasa disakiti hatinya oleh mereka. Berkatalah Abu Bakr: “Demi Allah,
sesungguhnya aku mengharapkan Ampunan dari Allah.” ia pun terus-menerus
manafkahi Misthah sebagaimana biasa. [Diriwayatkan oleh asy-Syaikhan
(Al-Bukhari dan Muslim) dan lain-lain, yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan
pula oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar.
Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar yang bersumber dari Abu Hurairah. Dan
diriwayatkan pula oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Abul Yasar.
[Syahida.com]
[1] Tafsir Ath-Thabari, juz XVIII, hal. 91