Kamis, 20 Juli 2017

ENAM PENYAKIT APARAT PERADILAN






ENAM PENYAKIT APARAT PERADILAN

Oleh :  Drs. H. Sudono Al-Qudsi, M.H.

Menurut para pakar
1.      Dho’ful iman- Lemah iman -tidak punyan motifasi & tidakm punya nilai plus
2.      Dho’ful ilmi, lemah ilmu-tdk manfaat
3.      Dho’ful iktisab, tidak berkah
4.      Dho’ful khuluq, dekadensi moral
5.       Dho’ful jihad, tidakm ada semangat
6.       Dho’funnidhom wal ijtima’-lemah berorganisasi.

Ÿwur È@s?ù'tƒ (#qä9'ré& È@ôÒxÿø9$# óOä3ZÏB Ïpyè¡¡9$#ur br& (#þqè?÷sムÍ<'ré& 4n1öà)ø9$# tûüÅ3»|¡yJø9$#ur šúï̍Éf»ygßJø9$#ur Îû È@Î6y «!$# ( (#qàÿ÷èuø9ur (#þqßsxÿóÁuø9ur 3 Ÿwr& tbq7ÏtéB br& tÏÿøótƒ ª!$# óOä3s9 3 ª!$#ur Öqàÿxî îLìÏm§ ÇËËÈ  
22. dan janganlah orang-orang Yang berharta serta lapang hidupnya dari kalangan kamu, bersumpah tidak mahu lagi memberi bantuan kepada kaum kerabat dan orang-orang miskin serta orang-orang Yang berhijrah pada jalan Allah; dan (sebaliknya) hendaklah mereka memaafkan serta melupakan kesalahan orang-orang itu; tidakkah kamu suka supaya Allah mengampunkan dosa kamu? dan (ingatlah) Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihani.
ال – اءتلي- ياءتل -   - ala- I’tala- ya’tali = bersumpah-
Dalam riwayat Rasul- membaca ayat : Ÿ È@s?ù'tƒ wur Èlalu Abu bakar meneruskan :
 Oä3s9!$#Ïÿøótƒ br&Ÿ tbq7ÏtéB wr&  lalu Abu bakar membatalkan sumpahnya.dalam riwayat MISTHAH- sering dibantu Abu Bakar,
-          Malah sering lakukan kesalahan ?
-          Karena ada ketersinggungan pribadi.
OKI- hendaklah Abu Bakar memaafkannya
-          Kepada siapayang pernah melukai hatinya
-          Berlapang dada membuka hatinya.
OKI-  Memaafkan-
-          Meninggalan sangsi thd.yg bersalah
عفو – menutupi(ketertutupan)- terhapus- habis tiada bekas- kelebihan.
عفو-KBBI- menghapus-membinasakan -mencabut akar  sesuatu.
ALGHOZALI-عفو/maghfiroh=menutup. sesuatu yang ditutup hakikatnya tetap wujud.
(#þqßsxÿóÁuø9ur 3asshofhu, lembaran yang terhampar.
Ayat ini sekaligus memberi pelajaran kepada umat Islam untuk memaafkan dan tetap bersedekah dan memberi bantuan kepada kerabatnya, orang-orang miskin sekalipun mereka telah menyakitinya.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam akan berpergian, beliau mengundi dahulu siapa diantara istrinya yang akan dibawa ikut serta dalam perjalanan itu. Demikian juga Rasulullah mengundi istri-istrinya yang akan dibawa ke medan perang. Pada suatu hari-kejadiannya setelah turun ayat hijab-kebetulan ‘Aisyah terundi untuk dibawa. ‘Aisyah digotong diatas tandu, dan tandu itu ditaruh diatas unta untuk kemudian berangkat. Setelah peperangan selesai, waktu pulang hampir mendekati Madinah, Rasulullah memberi izin untuk berhenti sebentar pada waktu malam. ‘Aisyah turun dan pergi buang air. Ketika kembali ke tempatnya, ‘Aisyah meraba dadanya, ternyata kalungnya hilang, sehingga ia kembali ke tempat tadi untuk mencari kalung itu. Lama ia mencarinya. Orang-orang yang memikul tandunya mengangkat kembali tandu itu ke atas unta yang dinaikinya. Mereka mengira ‘Aisyah ada didalamnya, karena wanita-wanita pada waktu itu badannya enteng dan langsing-langsing , sehingga tidak begitu terasa bedanya antara tandu kosong dengan yang berisi.
Kalung itu ditemukannya setelah kembali setelah pasukan Rasulullah berangkat, dan tak seorang pun yang masih ada disitu. ‘Aisyah duduk kembali di tempat berhenti tadi, dengan harapan orang-orang akan menjemputnya atau mencarinya. Ketika duduk di tempat istirahat tadi, ‘Aisyah mengantuk dan tertidur. Kebetulan Shafwan bin Al-Mu’aththal, yang tertinggal oleh pasukan karena suatu halangan, pada pagi hari itu sampai ke tempat pemberhentian ‘Aisyah. Shafwan melihat ada bayangan hitam manusia. ia dapat mengenali ‘Aisyah karena pernah melihatnya sebelum turun ayat hijab. ‘Aisyah terbangun karena Shafwan mengucapakan,  inna lillahi wa inna ilahi raji’un  (Sesungguhnya kita semua kepunyaan Allah, dan hanya kepada-Nya kita semua kembali). Ketika ia mendapatkannya. Tidak sepatah katapun yang diucapakan ‘Aisyah. Ia pun tidak mendengar kalimat apapun yang diucapkan Shafwan kecuali ucapan, Inna lillahi wa inna ilahi raji’un tadi. Ketika itu untanya disuruh berlutut agar ‘Aisyah dapat naik ke atasnya. Kemudian Shafwan menuntun unta itu sehingga sampai ke tempat pasukan yang sedang berteduh di tengah hari. Hal itulah yang terjadi pada diri ‘Aisyah. Maka celakalah orang yang menuduhnya dengan fitnah yang dilancarkan oleh ‘Abdullah bin ‘Ubay bin Salul.
Ketika sampai ke Madinah, ‘Aisyah menderita sakit selama satu bulan. Sementara itu orang-orang menyebarluaskan fitnah yang dibuat oleh ‘Abdullah bin “Ubay bin Salul, tapi ‘Aisyah sendiri tidak mengetahuinya. Setelah ‘Aisyah merasa agak sembuh, ia memaksakan diri pergi buang air dibimbing Ummu Mitsah tergilincir, dan dengan latah ia mengucapakan: “Celaka anakku si Misthah!” ‘Aisyah bertanya: “Mengapa engkau berkata demikian, mencaci maki orang yang ikut serta dalam perang Badr?” Ummu Misthah berkata: “Wahai junjunanku! Tidakkah engkau mendengar apa yang ia katakan? ‘Aisyah berkata: “Apa yang ia katakan?” lalu Ummu Misthah menceritakan fitnah yang sudah tersebar luas itu, sehingga bertambahlah penyakit ‘Aisyah.
Pada suatu hari Rasulullah datang kepadanya (beliau tidak seperti biasanya memperlakukan ‘Aisyah)[1], dan karenanya ‘Aisyah meminta izin untuk pergi kepada ibu-bapaknya untuk meyakinkan kabar yang tersebar itu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam  mengizinkannya. Dan ketika sampai di rumah orang tuanya, ‘Aisyah berkata kepada ibunya: “Wahai ibuku! Apa yang mereka katakan tentang diriku?” Ibunya menjawab: “Wahai anakku, tabahkanlah haitmu. Demi Allah, sangatlah sedikit wanita cantik yang dicintai suaminya serta dimadu, melainkan akan banyak yang menghasutnya.” ‘Aisyah berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah), apakah sampai sejauh itu orang-orang menggunjingkan aku. Dan apakah hal ini juga sampai kepada Rasulullah?” ibunya mengiakannya. ‘Aisyah pun menangis pada malam itu, hingga pada pagi harinya pun air matanya tak henti-hentinya mengalir.
Pada suatu hari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, memanggil ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk membicarakan perceraian dengan istrinya, karena wahyu tidak kunjung turun. Usamah mengemukakan pendapatnya bahwa sepanjang pengetahuannya, keluarga Rasul itu adalah orang baik-baik. Ia berkata: “Ya Rasulullah, mereka itu adalah keluarga tuan dan kami mengetahui mereka itu baik.” Sedangkan Ali berkata: “Allah tidak akan menyempitkan tuan. Disamping itu masih banyak wanita selainnya. Untuk itu sebaiknya tuan bertanya kepada Barirah (pembantu rumah tangga ‘Aisyah), pasti ia akan menerangkan yang benar.
Kemudian Rasulullah memanggil Barirah, dan bertanya: “Hai Barirah, apakah engkau melihat hal-hal yang meragukanmu tentang ‘Aisyah?” ia menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus tuan dengan hak, jika aku melihat darinya sesuatu hal, tentu tak akan aku sembunyikan. ‘Aisyah itu hanyalah seorang yang masih sangat muda, masih suka tertidur di samping tepung yang sedang diadoni, dan membiarkan ternaknya memakan tepung  itu karena tertidur.”
Maka berdirilah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diatas mimbar meminta bukti dari ‘Abdullah bin Ubay bin Salul dengan berkata: “Wahai kaum muslimin, siapakah yang dapat menunjukan orang yang telah menyakiti keluargaku. Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang istriku kecuali kebaikan.” Pada saat itu ‘Aisyah sedang menangis seharian, tidak henti-hentinya. Demikian juga pada malam harinya, air matanya mengalir dan tidak sekejap pun dapat tidur, sampai-sampai ibu-bapaknya mengira bahwa tangisannya akan membelah jantungnya. Ketika kedua orang tuanya menunggui ‘Aisyah menangis, datanglah seorang wanita Ansar meminta izin masuk. ‘Aisyah mengizinkannya. Wanita itu pun duduk seraya menangis bersamanya. Ketika itulah datang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi salam, lalu duduk serta membaca syahadat. Dan berkata: “Amma ba’du (adapun sesudah itu), hai ‘Aisyah! Sesungguhnya telah sampai ke telingaku hal-hal mengenai dirimu. Sekiranya engkau bersih maka Allah akan membersihkanmu. Dan jika engkau melakukan dosa, maka mintalah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya seseorang yang mengakui dosanya kemudian bertobat, Allah akan menerima tobatnya.” Setelah beliau selesai berbicara, berkatalah ‘Aisyah kepada ayahnya: “Coba jawabkan untukku, wahai ayahku.” Abu Bakr menjawab: “Apa yang mesti aku katakan?” lalu ‘Aisyah berkata kepada ibunya: “Coba jawab perkataan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untukku, wahai ibuku.” Ibunya pun menjawab: “Demi Allah, apa yang mesti aku katakan?” akhirnya ‘Aisyah menjawab: “Aku ini seorang wanita yang masih sangat muda. Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahwa tuan telah mendengar persoalan ini hingga mempengaruhi hati tuan, bahkan tuan mempercayainya. Sekiranya aku berkata bahwa bersih- dan Allah mengetahui bahwa aku bersih-, tuan tidak akan mempercayainya.” Hal ini terjadi setelah sebulan lamanya tidak turun wahyu berkenaan dengan peristiwa ‘Aisyah.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ‘Aisyah berkata: “Sekiranya aku mengakui bahwa aku melakukan sesuatu perbuatan, padahal Allah mengetahui aku suci dari perbuatan itu, pasti tuan akan mempercayai aku. Demi Allah aku tidak mendapatkan sesuatu perumpamaan yang sejalan dengan peristiwa kita ini, kecuali apa yang diucapkan oleh ayah nabi Yusuf, …fa shabrun jamiluw wallahul musta’anu ‘ala ma tashifun {…maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.} (QS: 12 Yusuf: 18). Setelah itu ia pun pindah dan berbaring di tempat tidurnya dan berbaring di tempat tidurnya.
Belum juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, meninggalkan tempat duduknya dan tak seorang pun penghuni rumah yang keluar, Allah Menurunkan Wahyu kepada Beliau. Tampak sekali Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepayahan, sebagaimana biasanya ia menerima wahyu. Setelah turunnya wahyu, kalimat pertama yang diucapakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ialah: “Bergembiralah wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah telah membersihkanmu.” Maka berkatalah ibunya kepada ‘Aisyah: “Bangunlah dan menghadaplah kepada beliau.” ‘Aisyah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan bangun menghadap kepadanya, dan tidak akan memuji syukur kecuali kepada Allah yang telah menurunkan ayat yang menyatakan kesuciaanku” yaitu ayat, Innal ladzina ja-u bil ifki ‘ushbatum mingkum…(Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…) hingga sepeluh ayat (QS: 24 an-Nur: 11-20)
Setelah kejadian ini, Abu Bakr yang biasanya memberi nafkah kepada Misthah karena kekerabatan dan kefakirannya, barkata: “Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah lagi kepada Misthah karena ucapannya tentang ‘Aisyah.” Maka turunlah ayat selanjutanya (QS: 24 an-Nur: 22) sebagai teguran kepada orang-orang yang bersumpah tidak akan memberi nafkah kepada kerabat, fakir, dan lain-lain, karena merasa disakiti hatinya oleh mereka. Berkatalah Abu Bakr: “Demi Allah, sesungguhnya aku mengharapkan Ampunan dari Allah.” ia pun terus-menerus manafkahi Misthah sebagaimana biasa. [Diriwayatkan oleh asy-Syaikhan (Al-Bukhari dan Muslim) dan lain-lain, yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar. Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar yang bersumber dari Abu Hurairah. Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Abul Yasar. [Syahida.com]
[1] Tafsir Ath-Thabari, juz XVIII, hal. 91