S
Y I R K A H
0leh
: Drs. Sudono, M.H.
Pengertian
syirkah :
Secara
etimologis syirkah atau syarikah adalah percampuran atau kemitraan antara
beberapa mitra, atau perseroan. Sedangakan secara terminologis syirkah atau
syarikah adalah perserikatan dalam kepemilikan hak untuk melakukan tasharruf (
pendayagunaan harta ).Kalimat perserikatan dalam kepemilikan hak dapat mencakup
semua macam syirkah kepemilikan, baik sebab warisan, wasiat, hibah, harta
rampasan perang dan lain sebagainya.
Macam-macam syirkah :
1. Syirkah
ibahah, yaitu orang pada umumnya berserikat dalam hak milik untuk mengambil
atau menjaga sesuatu yang mubah yang pada asalnya tidak dimiliki oleh
seorangpun.
2. Syirkah
milk, yaitu jika dua orang atau lebih memiliki suatu barang atau hutang secara
bersama-sama karena suatu sebab kepemilikan, seperti membeli, hibah dan
menerima wasiat.
3. Syirkah
al aqd (transaksi ) yaitu suatu istilah
mengenai transaksi antara dua orang atau lebih untuk bekerja secara komersial melalui
modal atau pekerjaan atau jaminan nama baik ( al wujuh ) agar keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama.
Dalam
pasal 134 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
KHES ) bahwa syirkan dapat dilakukan dalam bentuk syirkah amwal. Syirkah
abdan dan syirkah wujuh. Syirkah amwal dan syirkah abdan dapat dilakukan dalam
bentuk, syirkan ‘inan, syirkah mufawwadhah dan syirkah mudharabah (pasal 135
).ternyata baik dalam kitab-kitab fiqih maupun dalam KHES ada kesamaan makna
maupun tujuannya yang antara lain adalah untuk
mendapatkan keuntungan.
Dasar
Hukum Syirkah :
Yaitu
berdasarkan Al qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
Al
Qur’an surat al Kahfi ayat 19
menyebutkan :
فا بعثوا احد كم بو رقكم هذه الي
المد ينة فلينظر ايها ازكي طعا ما فليا ْ تكم برزق منه
Maka
suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, lalu
hendaklah dia membawa makanan itu untukmu .
Yang
dimaksud uang perak berdasarkan ayat diatas adalah uang milik bersama bagi Ash
Habul Kahfi.
Dasar
Hadis , antara
lain bersumber dari as Sa’ib ibnu Abi Sa’ib bahwa ia berkata kepada Nabi SAW.
كنت شريكي في الجاهلية فكنت خير
شريكي لا تداريني ولا تماريني
Dulu
pada jaman jahiliyah engkau menjadi mitraku. engkau mitra yang paling baik,
engkau tidak menghianatiku dan tidak membantahku ( Riwayat Abu Dawud, An Nasa’I
dan Al Hakim ).
Dasar
Ijma’ :
Bahwa
kita telah melihat kaum muslimin mempraktekkan syirkah dalam perdagangan sejak
abad pertama sampai saat ini, tanpa ada seorangpun yang menyangkalnya.
Dasar
Qiyas :
Bahwa
manusia membutuhkan kerjasama ( syirkah ), karenanya Islam melegalkannya,
disamping itu karena melarang syirkah akan menyebabkan kesulitan bagi manusia.
Islam tidak hanya membolehkan syirkah, tetapi lebih dari itu Islam
menganjurkannya, sebagaimana disebut dalam surat al Jumu’ah ayat 10, … dan
carilah karunia Allah.
Rukun
Syirkah :
Hanafiyah
berpendapat bahwa rukun syirkah hanya satu, yaitu shighat ( ijab dan qabul ),
karena shighat lah yang mewujudkan adanya transaksi syirkah.
Sedangkan
mayoritas ulama berpendapat bahwa rukun syirkah ada empat yaitu : shighat,
‘aqidain ( dua orang yang melakukan transaksi ) dan al ma’qud alaih ( obyek
yang ditransaksikan ).
Syarat
syirkah :
Ada
syarat yang disepakati ulama madzhab fiqh yaitu :
1. Dua
pihak yang melakukan transaksi mempunyai kecakapan/keahlian untuk mewakilkan
dan menerima perwakilan, karena masing –masing pihak sebagai wakil mitranya
dalam membelanjakan harta.
2. Modal
syirkah diketahui
3. Modal
syirkah ada pada saat transaksi.
4. Besarnya
keuntungan diketahui dengan penjumlahan yang berlaku.
Adapun
syarat syirkah yang diperselisihkan yaitu :
1. Menurut
Syafi’iyah, modal syirkah berasal dari barang yang ada padanannya, yakni barang
yang dapat ditakar atau ditimbang. Selain itu juga harus berupa barang yang
boleh diperjualbelikan dengan salam, seperti emas dan perak. Madzhab lain tidak
menyebutkan demikian, Bahkan Hanafiyah dan salah satu riwayat dari hanabilah
menyebutkan bahwa modal syirkah harus berupa nilai ( harga ), bukan barang,
meskipun dapat ditakart dan ditimbang, adapun Malikiyah dan riwayat lain dari
Hanabilah berpendapat bahwa modal syirkah tidak disyaratkan berupa barang mitsl
( yang dapat ditakar dan ditimbang ), tetapi boleh selain barang mitsl.
2. Syafi’iyah
mensyaratkan bahwa untuk keabsahan syirkah, dua harta harus bercampur, tetapi
fuqoha’ tidak mensyaratkan hal itu.
3. Malikiyah
dan Syafi’iyah mensyaratkan bahwa dalam pembagian keuntungan ditentukan
persentase modal seorang mitra yang diinvestasikan dari keseluruhan modal
syirkah. Berbeda dengan Hanafiyah dan Hanabilah yang berpendapat bahwa
pembagian keuntungan boleh didasarkan pada kesepakatan para mitra.
Hukum
Transaksi syirkah :
Mayoritas
fuqoha berpendapat bahwa transaksi syirkah adalah transaksi yang boleh, tidak
wajib ( mengikat ). Ibnu Yunus dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa
syirkah wajib setelah terjadi transaksi dan masing-masing dari dua belah pigak
tidak boleh menarik diri, seperti pada transaksi jual beli. Maksud tidak wajib
( tidak mengikat ) bahwa masing-masing
mitra syirkah boleh membatalkan kemitraannya kapanpun ia menghendaki meskipun
tanpa kerelaan mitra yang lain. Hal ini karena transaksi syirkah merupakan
wakalah ( pemberian kuasa ) masing-masing mitra kepada mitra lainnya, sedangkan
wakalah adalah transaksi yang tidak wajib.
Hanafiyah
berpendapat bahwa pembatalan dari kemitraan harus diketahui oleh mitra lainnya karena dapat merugikan mitra lainnya,
sedangkan tindakan merugikan itu
dilarang.
Pencatatan
transaksi syirkah :
Ada
anjuran bahkan keharusan untuk mencatatkan transaksi syirkah karena sebagai
dokumentasi, tindakan preventif dan upaya untuk menghindari pertikaian dan
perpecahan diantara anggota-anggota syirkah. Bahkan dalam Undang-Undang modern
pencataan transaksi syirkah menjadi keharusan formal.
Ketika
control agama terhadap pribadi semakin melemah, dan para penjahat semakin kaya
strategi, pendapat yang mewajiban adanya dokumentasi tercatat dalam transaksi
syirkah merupakan hal yang relevan dalam upaya merealisasikan kemaslahatan dan
sebagai bentuk antisipasi terhadap timbulnya kejahatan.
Konsekuensi logis dari legalitas anggota syirkah :
1. Syirkah
mempunyai tanggungan modal tersendiri yang terpisah dari tanggungan modal bagi
anggota-anggota syirkah sehingga bagi para kreditor dalam syirkah mempunyai
jaminan umum terhadap kekayaan syirkah. Jika anggotanya mempunyai hutang, tidak
boleh membayarnya dengan uang perusahaan.
2. Harus ada
orang yang mempunyai otoritas terhadap syirkah ketika melakukan
transaksi dan pembayaran dengan pihak lain, yaitu seorang direktur, sehingga
semua kegiatan berjalan atas namanya.
3. Syirkah
harus mempunyai eksistensi yang independen, lokasi yang independen, nama ,
alamat dan bangsa sesuai dengan Negara tempat perusahaan.
Menurut
buku Enslikopedi Fiqh Muamalah, oleh Prof. Dr. Abdullah Bin Muhammad Ath
Thayyar dkk. Halaman 274, setelah beliau membandingkan beberapa kajian Imam
Madzhab dapat ditarik kesimpulan bahwa yang paling baik syirkah itu dibagi
menjadi 4 macam yaitu :
1. Syirkah
amwal ( harta ) yaitu syirkah yang didirikan berdasarkan asas kepemilikan
bersama di antara para anggota dalam hal modal.
2. Syirkah
a’mal atau abdan (pekerjaan), yaitu syirkah yang didirikan berdasarkan asas
tenaga fisik untuk melaksanakan suatu pekerjaan, produksi, atau yang lainnya.
3. Syirkah
wujuh ( nama baik ), yaitu syirkah yang didirikan dengan mengandalkan
kepercayaan ( nama baik ) para anggota syirkah. Mereka tidak mempunyai modal
ataupun keperjaan. Ketiga pembagian diatas masih dibagi lagi menjadi dua macam
yaitu mufawadhah dan ‘inan.
4. Syirkah
mudharabah ( bagi hasil ), yaitu syirkah yang didirikan berdasarkan asas kepemilikan modal dan tenaga untuk
melaksanakan pekerjaan secara bersamaan.
Di
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pasal
134 pembagian syirkah ada 3 macam yaitu syirkah amwal, syirkah abdan dan
syirkah wujuh.
Syirkah
Amwal :
Dalam
kerjasama modal, setiap anggota syirkah harus menyertakan modal berupa uang
tunai atau barang berharga ( pasal 146 KHES )
Syirkah
amwal masih dibagi dua lagi yaitu : syirkah ‘inan dan syirkah
mufawadhah.sedangkan menurut pasal 135 KHES syirkah amwal dan syirkah abdan
dapat dilakukan dalam bentuk syirkah ‘inan, syirkah mufawadhah, dan syirkah
mudharabah.
a. Syirkah
‘Inan
Menurut etimologis kata ‘inan berasal dari ya’innu, jika tampak
dihadapanmu. Demikian ini karena jelasnya harta (modal ) masing-masing anggota
syirkah , atau karena ia merupakan syirkah yang paling jelas diantara
macam-macam syirkah yang lain. Sedangkan ‘inan secara terminologis adalah
transaksi yang mengikat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang
masing-masing anggota mempunyai saham dengan memberikan sejumlah persentase
modal untuk berdagang dan mereka mendapatkan bagian dari keuntungannya. Oleh
karenanya hukum syirkah ‘inan ini dibolehkan.
b. Syirkah
Mufawwadhah
Disebut mufawwadhah
karena masing-masing dari dua orang yang
berserikat menyerahkan urusan urusan pembelanjaan modal syirkah kepada mitranya.
-
Hanafiyah,
mendefinisikan syirkah mufawwadhah : dua
orang berserikat yang keduanya sama dalam hal modal, hak membelanjakan modal,
dan hutang karena ia merupakan syirkah umum yang mencakup semua jenis
perdagangan , dan masing-masing menyerahkan urusan syirkah kepada mitranya
secara total.
- Malikiyah, dalam
menginterpretasikan syirkah mufawwadhah,
berpendapat bahwa masing-masing dari dua orang yang berserikat menyerahkan
pendayagunaan modal kepada mitranya saat berada ditempat yang jauh maupun ada
ditempat, menjual, membeli, menyewakan, dan menerima sewaan untuk semua jenis
usaha maupun sebagian usaha tertentu saja.
- Syafi’iyah dan
Hanabilah, dalam salah satu dari dua intrepretasinya terhadap mufawwadhah,
menyatakan bahwa perserikatan dalam usaha komersial yang dapat menguntungkan
dua anggota syirkah yang keduanya menanggung kerugian, baik akibat tindakan ghashab, kerusakan, atau jual beli
yang rusak, dan lain sebagainya.karena itu syirkah mufawwadhah hukumnya boleh.
Syarat-syarat
syirkah mufawwadhah :
1. Semua
anggota syirkah mempunyai kecakapan melakukan transaksi
kafalah ( jaminan ).
2. Persamaan
dalam jumlah modal
3. Anggota
syirkah mufawwadhah tidak boleh memiliki harta selain harta syirkah.
4. Syirkah
bergerak dalam bidang perdagangan pada umumnya
5. Dilakukan
dengan lafad mufawwadhah atau sesuatu yang dapat menggantikannya sesuai dengan
maksud.
c. Syirkah
mudharabah
Secata Etimologis,
Penduduk Hijaz menyebutnya dengan qiradh yang terambil dari kata qardh yang
berarti potongan. Demikian ini karena pemilik modal memotong sebagian hartanya
untuk diberikan kepada pekerja agar menggunakannya untuk berdagang.
Lain lagi dengan
penduduk Irak mereka menyebutnya dengan
mudharabah yang berasal dari kata dharaba-dharban/madhraban, artinya berjalan
dimuka bumi dan keluar untuk berniaga atau berperang, jadi qardh maupun
mudharabah adalah semakna meskipun kata-katanya berbeda.
Sedangkan secara
Terminologis, syirkah mudharabah adalah transaksi perserikatan antara dua orang
atau lebih yang salah satu pihak memberikan modal dan pihak lainnya melakukan
pekerjaan dan keuntungan dibagi berdua sesuai dengan kesepakatan.
Syirkah mudharabah
hukumnya diperbolehkan, karena berdasarkan ijma’ yang disandarkan kepada
ayat-ayat Alqur’an dan hadis., disamping itu umat Islam membutuhkan karena
tidak semua orang yang mempunyai harta memiliki keahlian dalam mendayagunakan
dan mengembangkan hartanya, begitu pula sebaliknya, tidak semua orang yang
mampu mengembangkan harta dan melakukan pekerjaan mempunyai modal. Dengan
demikian, eksistensi syirkah mudharabah dapat merealisasikan kemaslahatan kedua
belah pihak.
Mayoritas Fuqoha’
berpendapat bahwa al mudharabah disyari’atkan dengan tidak sejalan dengan
qiyas, tetapi merupakan pengecualian. Hal ini karena qiyas yang berlaku adalah
tidak boleh mempekerjakan dengan upah yang tidak diketahui atau dengan upah
yang tidak ada, dan pekerjaanpun juga tidak diketahui.
Sebagian Fuqoha’
terutama Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al Qayyim berpendapat bahwa mudharabah diyari’atkan sesuai dengan qiyas
karena mudharabah termasuk kategori perserikatan, bukan tukar menukar. Pendapat
inilah yang rajah (valid) karena pemilik modal berserikat dengan pekerja untuk
melakukan aktivitas komersial dengan konsekwensi yang sama, baik untung maupun
rugi, sebagaimana yang dituntut dalam mudharabah adalah modal, bukan pekerjaan
seorang pelaksana. Oleh karena itu, mudharabah berbeda dengan ijarah.
Dasar Hukumnya :
a. Alqur’an
surat Al Muzammil ayat 20,
“……Dia mengetahui,
bahwa aka nada diantara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang
berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah …”.
Al Baqoroh ayat 198 :
“Tidak ada dosa bagimu
untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan ) dari Tuhanmu…”.
b. Hadis
Rasul :
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwasanya Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke
mitra usahanya secara mudharabah ia menyaratkan agar dananya tidak dibawa
mengarungi lautan, menuruni lembah berbahaya, atau membeli ternak. Jika
menyalahi peraturan tersebut, maka yang bersangkutan bertanggungjawab atas dana
tersebut, Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah dan
Rasulullah membolehkannya. H.R. Thabrani.
Dari Shalih bin Suhaib
ra. Bahwa Rasulullah bersabda : tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan :
jual beli secara tangguh, muqaradhah ( mudharabah ), dan mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual, H.R. Ibnu Majah.
Bentuk kerja sama
boleh dilakukan sesama muslim , atau antara sesama non muslim,
termasuk antara muslim dengan non muslim. Melakukan muamalah dengan mereka
diperbolehkan, namun orang non muslim tidak boleh menjual yang haram ( seperti
minuman keras, babi ) ketika mereka melakukan kerjasama dengan orang muslim.
Imam Muslim pernah
meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan : Rasulullah SAW. Telah mempekerjakan penduduk Khaibar (
padahal mereka orang-orang yahudi ) dengan mendapat bagian dari hasil panen
buah dan tanaman.
Hadis dari Bukhari,
dengan sanad dari Aisyah :
“…. Rasulullah SAW.
pernah membeli makanan dari orang Yahudi lalu menggadaikan baju besi kepada
orang Yahudi tersebut.
Imam at Tirmidzi juga
meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, Nabi SAW. telah wafat , sedangkan
baju besi beliau tergadaikan dengan dua puluh sha’ makanan ( sama dengan 43,52
kg. gandum) yang beliau ambil untuk menghidupi keluarga beliau “.
Iman at Tirmidzi pernah
meriwayatkan hadis dengan sanad dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW. telah
mengutus kepada seorang Yahudi untuk meminta dua baju ( untuk diserahkan )
kepada Maisaroh.’
c. Ijtihad
:
Para ulama beralasan
bahwa praktek mudharabah dilakukan sebagian sahabat, sedangkan sahabat lain
tidak membantah. Bahkan harta yang dilakukan secara mudharabah itu di zaman
mereka kebanyakan adalah harta anak yatim, oleh sebab itu, berdasarkan ayat,
hadis, dan praktek para sahabat, para ulama fiqh menetapkan, bahwa akad
mudharabah bila telah memenuhi rukun dan syaratnya, hukumnya adalah boleh.
Rukun dan syarat
mudharabah :
Didalam pasal 188
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah , disebutkan bahwa rukun kerjasama dalam modal
dan usaha adalah :
a. Shahibul
mal/ pemilik modal
b. Mudharib/pelaku
usaha dan
c. Akad.
Pemilik
modal dan pengelola , syaratnya harus
mampu melakukan transaksi dan sah menurut hukum, keduanya harus mampu
bertindak sebagai wakil dan kafil dari masing-masing pihak, sehingga diperlukan
3 tindakan bagi mudharib yaitu :
a) Tindakan
yang berhak dilakukan mudharib berdasarkan kontrak, yaitu menyangkut seluruh
pekerjaan utama dan sekunder yang diperlukan dalam pengelolaan usaha
berdasarkan kontrak.
b) Tindakan
yang berhak dilakukan mudharib berdasarkan kekuasaan perwakilan secara umum,
yaitu tindakan yang tidak ada hubungannya
dengan aktivitas utama tapi membantu melancarkan jalannya usaha.
c) Tindakan
yang tidak berhak dilakukan mudharib tanpa izin eksplisit dari penyedia dana,
misalnya meminjam atau menggunakan dana mudharabah untuk keperluan pribadi.
Tindakan
yang dilakukan shahibul mal dalam mudharabah antara lain adalah tindakan yang
berhubungan dengan pengambilan kebijakan teknis operasional, seperti membeli
dan menjual.
Disamping
ketiga hal diatas, sebagaimana pasal 188 KHES ,disyaratkan pula adanya sighat ,
modal dan nisbah keuntungan .
Tentang
sighat yaitu :
1) Sighat
dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang diajukan
dalam penawaran, atau salah satu pihak meninggalkan tempat berlangsungnya
negosiasi kontrak tersebut, sebelum kesepakatan disempurnakan.
2) Kontrak
boleh dilakukan secara lisan atau secara tertulis dan ditandatangani atau dapat
juga melalui korenpondensi dan cara-cara komunikasi modern, seperti facsimile
dan computer ( e-mail ) menurut akademi fiqh Islam dari Organisasi Konferensi
Islam ( OKI ).
Tentang modal yaitu :
1) Harus
diketahui jumlah dan jenisnya ( yaitu mata uang )
2) Harus
tunai.
Beberapa ulama membolehkan modal
mudharabah berbentuk asset perdagangan, misalnya inventaris. Pada waktu akad,
nilai asettersebut serta biaya yang telah terkandung di dalamnya (
historical cost ) harus dianggap sebagai modal mudharabah. Madzhab Hambali
membolehkan penyediaan asset-asset non moneter seperti pesawat, kapal, dan
lain-lain untuk modal mudharabah. Pengelola memanfaatkan aset-aset ini dalam
suatu usaha dan berbagai hasil dari usahanya dengan penyedia asset dan pada
akhir masa kontrak pengelola harus mengembalikan asset-aset tersebut.
Tentang Nisbah Keuntungan :
1) Harus
dibagi untuk kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan mengambil
seluruh keuntungan tanpa membagi pada pihak
yang lain.
2) Proporsi
keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan
proposrsi tersebut harus dari keuntungan. Misalnya, 60 % dari keuntungan untuk pemodal dan 40 % dari
keuntungan untuk pengelola.
3) Bila
jangka waktu mudharabah relative lama ( tiga tahun keatas ), maka nisbah
keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu.
4) Kedua
belah pihak harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang ditanggung pemodal dan
biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola. Kesepakatan ini penting, karena
biaya akan mempengaruhi nilai keuntungan.
5) Untuk
pengakuan keuntungan harus ditentukan suatu waktu untuk menilai keuntungan yang
dicapai dalam suatu mudharabah. Menurut fiqh Islam OKI, keuntungan dapat
dibayarkan ketika diakui, dan dimiliki dengan pernyataan atau revaluasi dan
hanya dapat dibayarkan pada waktu dibagikan.
6) Menurut
madzhab Hanafi dan sebagian madzhab Syafi’I, keuntungan harus diakui seandainya
keuntungan usaha sudah diperoleh (
walaupun belum dibagikan ) . Sedangkan madzhab Maliki dan sebagian madzhab
Hambali menyebut, bahwa keuntungan hanya dapat diakui hanya ketika dibagikan
secara tunai kepada kedua pihak.
7) Pembagian
keuntungan umumnya dilakukan dengan mengembalikan lebih dahulu modal yang
ditanamkan shahibul mal, namun kebanyakan ulama menyetujui bila kedua belah
pihak sepakat membagi keuntungan tanpa mengembalikan modal. Hal ini berlaku
sepanjang kerja sama masih berlangsung. Para ulama berbeda pendapat tentang
keabsahan menahan untung, bila keuntungan telah dibagikan, setelah itu usaha
mengalami kerugian, sebagian ulama berpendapat , bahwa pengelola akan diminta
menutupi kerugian tersebut dari
keuntungan yang telah dibagikan kepadanya.
Untuk menambah
penjelasan secara formal tentang pasal-pasal muharabah ini dapat dibaca dari
pasal 187 s/d 210 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Batal dan berakhirnya syirkah :
Fuqoha’ mengemukakan
sebab-sebab berakhirnya syirkah, diantaranya salah satu anggota syirkah
meninggal dunia, gila, terkena cekal untuk membelanjakan hartanya karena jatuh
pailit atau kemunduran pikiran, menarik diri dari keanggotaan dalam waktu yang
tidak ditentukan, dan keluar dari keanggotaan syirkah.
Disamping itu ada
sebab-sebab berakhirnya perseroan modern sebagaimana berikut ini :
-
Berakhirnya masa
yang ditetapkan dalam perseroan
- Pekerjaan
perseroan telah selesai atau perseroan tidak mungkin menjalankannya.
-
Rusaknya harta
perseroan
-
Kesepakatan
mengakhiri perseroan sebelum habis masa yang ditetapkan,
-
Merger perseroan
ke dalam perseroan lain dan
-
Go public.
Jika perseroan telah berakhir karena satu sebab, apapun jenis sebabnya,
hendaknya segera dilakukan likuwidasi dilakukan oleh orang yang disepakati oleh
para anggota. Jika mereka tidak melakukannya, Pengadilanlah yang menetapkannya.
Orang yang ditunjuk untuk melikuidasi harus memenuhi hak-hak perseroan,
membayarkan kriditnya, dan melaksanakan pekerjaan perseroan yang sedang
berjalan. Dia juga berhak menjual harta perseroan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Dia juga mengaudit kekayaan perseroan dan membaginya kepada para anggota sesuai
dengan persentase sahamnya. Jika harta perseroan tidak mencukupi untuk membayar
kridit, kerugian dibebankan kepada para anggota sesuai dengan persentase
sahamnya.
Demikian
tulisan hari ini semoga berguna bagi para pembaca dan terimakasih.