KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK
Oleh : Drs. H. Sudono, M.H.
Pendahuluan
Hakim dan
aparat penegak hukum lain harus tidak ragu lagi menggunakan alat bukti
elektronik sebagai bagian dari cara untuk membuktikan kasusnya di pengadilan. Jenis
bukti elektronik akan berkembang sedemikian cepat sehingga penegak hukum harus
mengikuti perkembangan alat bukti elektronik.
Penggunaan alat bukti elektronik dewasa ini memang semakin banyak digunakan masyarakat
seperti e-mail, pemeriksaan
saksi menggunakan
teleconference,
hasil rekaman tersembunyi atau hasil
rekaman penyadapan, informasi elektronik, dokumen elektronik dan sarana elektronik
lainnya yang dijadikan media penyimpanan data. Pemeriksaan
alat bukti yang menggunakan
teknologi, pertama kali
diajukan
di pengadilan tahun 2002,
yaitu
dalam
proses pemeriksaan
saksi BJ Habibie dengan menggunakan
teleconference
pada kasus
penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung. Saat itu belum ada dasar
hukum
yang mengatur
mengenai
keabsahan alat bukti
elektronik hanya perolehan izin dari Mahkamah
Agung sehingga tidak dapat dijamin
bahwa kesaksian tersebut memiliki kekuatan
pembuktian. Sedangkan, kasus pertama di Indonesia yang
menggunakan alat bukti elektronik sebagai alat bukti
yang
sah dan
telah diatur dalam undang-undang adalah kasus Prita Mulyasari dengan pidana pencemaran nama baik melalui e-mail.
Di Indonesia, alat bukti elektronik telah diatur dalam
berbagai undang-undang, namun penyelenggaraan alat bukti elektronik dalam persidangan
belum diatur aspek legalitas
formilnya sehingga menimbulkan
ketidakpastian
hukum
terkait keabsahan
alat bukti elektronik dalam hukum acara. Teknologi telah
melahirkan berbagai sarana dan alat elektronik yang digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan.
Pengakuan alat
bukti
elektronik
sebagai alat bukti yang sah
merupakan terobosan yang positif dalam
sistem peradilan di Indonesia.
Pembangunan
di bidang hukum merupakan
bagian dari pembangunan nasional karena hukum sebagai sarana
pembaharuan
masyarakat masyarakat
tidak boleh
ketinggalan
dari proses perkembangan yang terjadi di
masyarakat. Salah satu fenomena yang merupakan
implikasi dari kemajuan teknologi dan informasi
antara lain munculnya
era
internet dan berbagai alat elektronik yang memudahkan manusia dalam berkomunikasi dan menjalankan kegiatannya.
Indonesia sangat memerlukan
adanya pembaharuan hukum acara atau hukum formil dengan fungsi untuk menerapkan hukum materiil ke dalam peristiwa konkrit yang terjadi di masyarakat.
Hal ini mengingat
semakin pesatnya perkembangan dan
pembaharuan hukum materiil dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang
dibentuk secara parsial sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Peraturan
perundang-undangan yang baru juga dibentuk seiring dengan pengaturan mengenai
hukum formilnya, sekalipun pada dasarnya hukum acara pidana bersumber pada
KUHAP sebagai hukum positif. Hal ini menujukkan bahwa alat bukti elektronik
hanya diatur secara parsial dalam peraturan perundang-undangan dan tidak
terkodifikasi sehingga diperlukan suatu peraturan yang mengatur mengenai hukum
formil yang terkodifikasi dan berlaku secara nasional.
A.
Permasalahan
Dari judul
diatas akan timbul permasalahan sebagai berikut :
1.
Sejauhmana
keabsahan penyampaian alat bukti elektronik di persidangan tanpa menunjukkan
aslinya.
2.
Apakah menampilkan alat
bukti elektronik melalui teleconference di
persidangan sudah
dapat
dikatakan
disampaikan di
depan
hakim secara
langsung merupakan alat bukti elektronik yang sah.
B.
Pembahasan
Untuk memperjelas tentang judul
diatas perlu sedikit penulis jelaskan hal berikut: “alat” berarti, yang dipakai untuk mencapai
maksud, bahkan dalam istilah hukum “alat” adalah sesuatu yang dipakai untuk
menjalankan kekuasaan negara
(polisi, tentara). Sedangkan “bukti” adalah sesuatu keterangan, tanda yang
menyatakan kebenaran sesuatu peristiwa.
Sehingga “alat bukti” berarti alat yang dapat menjelaskan suatu keterangan yang menyatakan kebenaran
sesuatu peristiwa, baik di dalam
persidangan maupun diluar persidangan.
Dalam Ensiklopedi
Hukum Islam bahwa alat buti disebut Al-bayyinah dan menurut Ibnu Qayyim
al-Jauziah sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menjelaskan yang hak (benar) di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi, dan
berbagai indikasi yang dapat dijadikan pedoman oleh
majelis hakim untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya. lbnu Qayyim
al-Jauziah lebih jauh mengemukakan
bahwa ada 26 alat bukti yang dapat digunakan di hadapan majelis hakim. Namun, tidak semua alat bukti tersebut diterima oleh
ulama fikih. Oleh sebab itu, ada alat bukti yang disepakati para ahli fikih,
kendati dalam meletakkan
persyaratan dan perinciannya masing-masing ahli berbeda-beda, dan ada pula alat bukti yang diperselisihkan.
Alat bukti yang disepakati oleh ulama fikih ada-lah sebagai berikut.
(1) Kesaksian
(asy-syahadah). Jumlah saksi yang dapat diterima berbeda-beda sesuai dengan
jenis perkara yang diajukan. Ada yang cukup dua orang saksi, ada yang harus empat orang saksi, namun ada juga yang hanya
satu orang saksi dengan sumpahnya.
(2) Ikrar
(al-iqrãr), yaitu pengakuan dari pihak tergugat bahwa apa yang digugat oleh
penggugat adalah benar. Dalam kaitan dengan ikrar sebagai alat bukti, ulama
fikih menyatakan bahwa pengakuan (ikrar) itu merupakan tuan dari alat-alat
bukti. Artinya, ikrar merupakan alat bukti yang sangat meyakinkan, sangat
sahih, dan tidak diragukan sama sekali.
(3) Sumpah
(al-yamin), yaitu alat bukti yang dapat digunakan ketika pihak penggugat lemah.
(4) Nukul (penolakan pihak tergugat untuk bersumpah
dalam menguatkan haknya). Jika tergugat menolak untuk bersumpah di depan
majelis hakim, hal ini merupakan
indikasi pengakuannya atas apa yang digugat
oleh pengguqat.
(5) Qarinah,
yaitu berbagai indikasi yang menunjukkan
kebenaran atau ketidakbenaran gugatan.
(6) Qasamah,
yaitu sumpah yang dilakukan berulang kali oleh penggugat dalam kasus pembunuhan
atau sumpah yang dilakukan oleh masyarakat daerah sekitar terjadinya pembunuhan
atau kejadian perkara, yang bertujuan untuk menyatakan bahwa mereka bukan pembunuhnya. Dari ke 6 alat bukti tersebut, penulis tidak perlu
membeberkan dalam tulisan ini, akan tetapi
perlu memahami alat bukti elektronik berikut ini.
C.
Memahami
Alat Bukti Elektronik
“Elektronik” adalah alat yang dibuat
berdasarkan prinsip elektronika atau benda yang menggunakan alat-alat yang
dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika. Alat bukti
elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( selanjutnya
disingkat UU ITE ) memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat
bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat
diterima di persidangan. UU ITE menyatakan bahwa “Alat Bukti Elektronik” ialah Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan
persyaratan materil. Bahkan diperjelas dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi
Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah.
Dalam memahami alat bukti elektronik dimaksud berdasarkan pasal 1 butir 1 UU ITE,
bahwa informasi elektronik tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya. Kemudian yang
dimaksud dengan Dokumen Elektronik menurut Pasal 1 butir 4 UU ITE
adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal,
atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak
dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data
atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah
wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita
berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik
yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen
Elektronik dari file tersebut ialah mp3.
Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokan menjadi dua bagian. Pertama
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kedua, hasil cetak dari
Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. Karena itu
Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat
Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi
Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat. Bahkan dapat
diperluas lagi tentang jangkauan Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara
yang berlaku di Indonesia.
Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah
diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen
Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian
Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di
Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.
M. Yahya Harahap, S.H.,
menjelaskan bahwa alat bukti yang lama dianggap tidak komplit, karena system
itu tidak menyebut dan memasukkan alat bukti modern yang dihasilkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, misalnya alat bukti elektronik (electronic evidence) ,
meliputi data elektronik ( electronis data), berkas elektronik (electronic file
), selanjutnya dikatakan juga bahwa “tidak saja data elektronik yang muncul
belakangan ini sebagai alat bukti, tetapi juga bentuk yang lahir dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti foto, film, pita suara,
dan DNA. Berdasarkan kenyataan perkembangan dimaksud, kearah perkembangan
peradaban , layak dan beralasan
meninggalkan system pembatasan alat
bukti yang klasik, kearah perkembangan peradaban, karena dari bentuk
atau jenis alat bukti baru tersebut,
kemungkinan besar akan diperoleh
kebenaran yang lebih jelas dan utuh. Karena itu dianggap berlalasan
memberi kebebasan kepada hakim menerima segala bentuk dan jenis alat bukti yang
diajukan para pihak sepanjang hal itu tidak melanggar kepatutan dan ketertiban
umum.
D.
Alat Bukti Elektronik Harus Penuhi Syarat
Formil Dan Materiil
Yang harus diperhatikan tentang
keabsahan Alat Bukti Elektronik
dinyatakan pasal 5 ayat (4) UU ITE bahwa, Syarat formil
Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat
yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat
materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya
Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keautentikannya,
keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan
materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.
Berdasarkan uraian diatas dapat
dijadikan standart bahwa dalam menggunakan alat bukti elektronik seperti ,
email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya
dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan dalam banyak hal alat
bukti elektronik dan hasil cetaknya. Sudah ada beberapa putusan yang membahas
mengenai kedudukan alat bukti elektronik.
Alat Bukti
Saksi Melalui
Teleconference
KUHAP telah
mengatur bahwa keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti,
apabila “dinyatakan” di sidang pengadilan dan saksi wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Hal ini
sesuai Pasal 185 ayat (1) jo Pasal 160 Ayat (3) KUHAP. Permasalahannya, apakah
menampilkan saksi melalui teleconference di persidangan sudah dapat
dikatakan disampaikan di
depan hakim secara
langsung dan tranparan ? Jika
dikaji lebih dalam pemeriksaan saksi melalui teleconference pada dasarnya sama
dengan pemeriksaan saksi yang dilakukan di
muka persidangan. Saksi memberikan keterangannya secara
lisan dan pribadi
di muka persidangan. Perbedaannya
hanya saja saksi tidak hadir secara fisik di
ruang persidangan, melainkan hadir secara visual dalam layar media
elektronik.
Berkenaan dengan pemeriksaan
saksi, jika saksi tersebut berada diluar wilayah hukum Pengadilan Pemeriksa,
maka pemeriksaan saksi tersebut dapat dilakukan melalui teleconference. Untuk
melakukan pemeriksaan saksi melalui teleconference, Ketua Pengadilan harus
meminta bantuan pada Ketua Pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal saksi,
agar menunjuk Hakim dan Panitera. Kemudian Pengadilan yang mewilayahi saksi
tersebut harus menunjuk Hakim dan
Pantera yang akan mengangkat sumpah dan melihat langsung pada tempat dimana
dilakukan teleconference Kemudian hasil pemeriksaan sidang tersebut berupa
berita acara sidang dikirim kepada Pengadilan yang meminta bantuan. Berdasarkan
sistemPeradilan e-Court, pemeriksaan tetap dilakukan oleh Pengadilan semula ,
Pengadilan yang diminta bantuan hanya menyaksikan pemeriksaan tersebut. Artinya
kehadiran Hakim dan Panitera hanya sebatas memmastikan tentang
pemeriksaantersebut secara fisik
dan praktek persidangan diatas pernah dilakukan di Pengadilan Agama Surabaya.
Permasalahan berikutnya terkait dengan
rekaman. Pada prakteknya rekaman ini menjadi pro kontra, disatu sisi
mengandung kebenaran materiil guna membuat terang adanya suatu tindak pidana,
namun disisi lain merekam pembicaraan tanpa ijin atau tanpa diketahui oleh yang
bersangkutan menyebabkan privasinya terganggu. Padahal hukum pidana mencari
kebenaran materiil.
Pengaturan yang kurang mengenai
alat bukti elektronik, menunjukkan bahwa hukum di Indonesia belum mengikuti
perkembangan yang terjadi di masyarakat dan hal ini berdampak pada proses
beracara atau persidangan di pengadilan, khususnya hukum acara pidana di Indonesia.
Sidang pembuktian pada hukum acara
pidana yang menggunakan alat bukti elektronik belum
optimal. Pengakuan terhadap bukti
elektronik sebagai alat bukti
yang sah dapat digunakan di pengadilan, belumlah cukup
memenuhi kepentingan praktik peradilan,
karena baru merupakan pengaturan
dalam tataran hukum materiil. Mengingat praktek peradilan didasarkan pada hukum
acara sebagai hukum formil yang bersifat mengikat, maka pengaturan bukti
elektronik (sebagai alat bukti yang sah untuk diajukan ke pengadilan) dalam
bentuk hukum formil sangat diperlukan guna tercapainya kepastian hukum.
Dalam hukum pembuktian, suatu alat bukti
dikatakan sebagai alat bukti yang sah adalah tidak hanya alat bukti tersebut
diatur dalam suatu undang-undang (bewijsmiddelen) tetapi bagaimana alat bukti
tersebut diperoleh dan cara pengajuan alat bukti tersebut di pengadilan
(bewijsvoering), serta dan kekuatan pembuktian (bewijskracht) atas masing-
masing alat bukti yang diajukan tersebut juga sangat mempengaruhi pertimbangan
hakim dalam menilai keabsahan suatu alat bukti. Misalnya mengenai alat bukti
saksi. Dalam KUHAP, diatur bahwa pemeriksaan alat bukti saksi harus disampaikan
langsung di muka persidangan atau hakim. Yang menjadi persoalan
adalah bagaimana implementasinya
apabila aturan itu diterapkan bagi saksi yang akan memberikan keterangannya
dengan menggunakan teleconference. Apakah keterangan saksi itu
tetap dapat dikatakan sah
padahal secara teknis saksi
tersebut tidak hadir di muka persidangan.
Alat Bukti Elektronik Berupa Rekaman
Secara materiil telah terbukti
adanya unsur-unsur tindak pidana yang
terkandung di dalam rekaman, namun pada
prakteknya rekaman sering
ditolak sebagai alat bukti
yang sah di
pengadilan karena Pembuktian memegang
peranan yang penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian inilah yang menentukan bersalah atau
tidaknya seseorang yang
diajukan di muka pengadilan. Apabila hasil pembuktian
dengan alat bukti yang ditentukan dengan undang-undang tidak cukup membuktikan
kesalahan dari orang tersebut maka akan dilepaskan dari hukuman, sebaliknya
apabila kesalahan dapat dibuktikan maka dinyatakan bersalah dan dijatuhi
hukuman.
Dr. Riki Perdana Raya
Waruwu, S.H., M.H., Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA dalam pengantar
tulisannya mengutip tentang adanya pengalihan data tertulis ke dalam bentuk
data elektronik telah di akomodir dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan, pada bagian menimbang huruf F dinyatakan bahwa
"kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di
atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung
dalam media elektronik”. Selanjutnya dipertegas “dokumen perusahaan dapat
dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya dan merupakan alat bukti
yang sah" sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) Jo
Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1997. Hal ini berarti dokumen elektronik
khususnya mengenai dokumen perusahaan merupakan alat bukti yang sah jauh
sebelum diterbitkannya UU ITE. Karena itulah
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE telah mengatur dengan jelas
kedudukan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti
yang sah dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia. Frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (1) UU ITE (Putusan
MK Nomor 20/PUU-XIV/2016).
Penulis sependapat dengan masuknya pasal Pasal 6 UU ITE yakni
“informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan”. Selain itu, terdapat pula kekhususan dalam penyelenggaraan
sertifikasi elektronik dan sistem elektronik serta transaksi elektronik.
E.
Cara Menyampaikan
Alat Bukti Elektronik Di Pengadilan
Pasal
6 UU ITE menyebutkan “Dijamin keutuhannya” berarti tidak diubah-ubah bentuknya sejak
dari dokumen elektronik tersebut disahkan. Tata cara penyerahan menjadi penting
karena menyangkut sah atau tidaknya hukum acara perdata yang diterapkan dan
dalam rangka memenuhi unsur "dijamin keutuhannya".Ternyata
dalam UU ITE maupun UU lainnya tidak mengatur mengenai tata cara penyerahannya
di persidangan. Karenanya ada keharusan untuk diserahkan di persidangan dan
pihak lawan dapat melihat alat bukti elektronik yang berupa rekaman dan
lainnya, sejalan dengan maksud pasal 137
HIR bahwa “Pihak-pihak dapat menuntut
melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya, surat mana diserahkan
kepada hakim buat keperluan itu”. Dalam menjaga asas keterbukaan pembuktian
dipersidangan maka ketentuan 137 HIR juga harus dapat diterapkan pada dokumen
elektronik ketika pihak lawan meminta untuk diperlihatkan. Untuk itu,
diperlukan perangkat teknologi berupa laptop maupun proyektor agar dapat
menampilkan dokumen elektronik.
F.
Tandatangan
Elektronik Dalam Alat Bukti Elektronik
Lebih lanjut dinyatakan
dalam pasal 11 UU ITE sehingga memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang
sah yakni a. data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada
penanda tangan, b. data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan, c. segala
perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui, d. segala perubahan terhadap informasi
elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui, e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk
mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan f. terdapat cara tertentu untuk
menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap
informasi elektronik yang terkait.
Butir-butir kriteria di atas juga mengandung aspek keamanan dokumen
elektronik sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 12 ayat 1 pada UUITE,
diantaranya keaslian (authentication), keutuhan (integrity), dan anti penyangkalan
(non repudiation). Lebih lanjut keharusan adanya tanda tangan tidak lain
bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta
yang dibuat orang lain. Jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk
memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta.
Berikut pembagian kriteria dalam Pasal 11 UU ITE dan aspek
jaminan keamanan dalam Pasal 12 UU ITE menyebutkan:
1.
Data pembuatan tanda
tangan elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan (Keaslian/Authentication)
2.
Data pembuatan tanda
tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada
dalam kuasa penanda tangan (Keaslian/Authentication)
3.
Segala perubahan
terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui (Keutuhan/Integrity)
4.
Segala perubahan
terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik
tersebut setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui (Keutuhan/Integrity)
5.
Terdapat cara
tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya (Anti
Penyangkalan/Non Repudiation)
6.
Terdapat cara
tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan
terhadap informasi elektronik yang terkait (Anti Penyangkalan/Non
Repudiation).
Berpijak dari ke enam jaminan keamanan Tandatangan elektronik
yang mampu menjamin terpenuhinya angka 1 dan 6 diatas adalah tanda tangan yang
tersertifikasi dan dapat "dipertanggungjawabkan"
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU ITE. Hal ini karena berfungsi sebagai
alat autentikasi dan verifikasi atas identitas penandatangan, keutuhan dan
keautentikan informasi elektronik serta dibuat dengan menggunakan jasa
penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud Pasal 54 Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik. Dari uraian diatas penulis sependapat dengan Dr. Riki Perdana
Raya Waruwu, S.H., M.H.,yang menyimpulkan bahwa: Eksistensi dokumen elektronik telah
diakui sebagai alat bukti yang sah di persidangan perdata sesuai dengan UU
Dokumen Perusahaan dan UU ITE namun sebagai bagian dari hukum acara, dokumen
elektronik belum memiliki pengaturan tata cara penyerahannya di persidangan,
tata cara memperlihatkannya kepada pihak lawan dan sedang disusun regulasi
mengenai standarisasi jasa penyelenggara sertifikasi elektronik. Tata cara
penyerahan dan memperlihatkan dokumen elektronik dipersidangan dapat dijawab
melalui pengembangan praktik di persidangan namun untuk memberikan kepastian
hukum maka perlu diatur dalam Hukum Acara Perdata atau disusun dalam Peraturan
Mahkamah Agung.
G.
Kedudukan Bukti
Elektronik Sebagai Alat Bukti
Maksud
keabsahan terhadap alat bukti elektronik ini adalah bukti elektronik itu, baik
secara perolehan maupun isinya, dapat diperoleh dengan cara yang sah dan legal.
Kedudukan bukti elektronik sebagai alat bukti yang mandiri telah dipertegas
eksistensinya melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), yakni dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Bahkan
lebih lanjut, ketentuan Pasal 5 ayat (2) juga menyebutkan bahwa “Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”
Dalam
masalah pidana telah ada ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan: “Alat bukti yang sah dalam dalam
bentuk Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi
juga dapat diperoleh dari:
a.
Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu, dan
b.
Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 26 A huruf
a UU Tipikor menyebutkan yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik”,
misalnya data yang disimpan dalam mikrofilm, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM)
atau Write Once Read Many (WORM), sedangkan yang dimaksud dengan “alat
optik atau yang serupa dengan itu” adalah tidak terbatas pada data penghubung
elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail),
telegram, teleks, dan faksimile.” Termasuk pula CCTV sebagai penafsiran pasal 5 ayat (1) dan (2)
dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26 A UU Tipikor menyatakan bahwa khusus
bukti elektronik (informasi/dokumen elektronik) harus dimaknai sebagai alat
bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian,
kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang dan yang lebih penting bukti elektronik tersebut dapat dijaga
keasliannya.
Alat
bukti elektronik adalah hasil tehnologi tinggi seperti microfilm, microfiche,
dan facsimile ( bukan cap tanda tangan) juga dapat dikategorikan sebagai alat
bukti tertulis hal ini dapat disimpulkan dari putusa Mahkamah Agung tanggal 14
April 1976 Nomor 701 K/Sip/1974, bahkan
Mahkamah Agung dalam suratnya tanggal 14 Januari 1988 Nomor 39/TU/88/102/Pid,
yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman, Mahkamah Agung mengemukakan
pendapatnya bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat
bukti yang sah
dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana
tersebut dalam pasal 184 ayat (1) sub c
KUHAP, dengan catatan baik microfilm maupun microfiche itu sebelumnya dijamin
otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Termasuk juga untuk
perkara perdata berlaku pula pendapat yang sama, sehngga copi surat Mahkamah
Agung kepada Menteri Kehakiman kemudian disebarluaskan kepada Ketua Pengadilan
Negeri seluruh Indonesia.
Walaupun UU
No. 20/2001, UU
No.15/2002 dan UU
No. 15/2003 telah
mengakui legalitas informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi
keberlakuannya masih terbatas pada tindak pidana dalam lingkup korupsi,
pencucian uang dan terorisme saja. Di dalam UU No. 20/2001, UU No. 15/2002 dan
UU No. 15/2003 juga belum ada kejelasan mengenai legalitas print
out sebagai alat bukti dan juga
belum diatur tata cara yang dapat menjadi acuan dalam hal perolehan dan
pengajuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti ke pengadilan. Dasar
hukum penggunaan alat bukti elektronik
di pengadilan menjadi
semakin jelas setelah
diundangkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). UU ITE ini
dinilai lebih memberikan kepastian hukum dan lingkup keberlakuannya lebih luas,
tidak terbatas pada tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme saja.
Selain
mengakui informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, UU ITE juga mengakui print out (hasil cetak) sebagai alat
bukti hukum yang sah. Demikian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU
ITE yang mengatur bahwa:
(1) Informasi
Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah.
(2)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.
Pasal
5 ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa keabsahan alat bukti elektronik ini diakui
oleh hakim apabila menggunakan Sistem Elektronik yang sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU ITE, yaitu yang memenuhi persyaratan
minimum sebagai berikut:
a. Dapat
menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan;
b. Dapat
melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
c. Dapat
beroperasi sesuai dengan
prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut;
d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak
yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
e. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Sehubungan dengan adanya
syarat minimum diatas, menurut penulis yang
terpenting adalah alat bukti itu di dapat secara sah. Dan diperlukan
campurtangan seorang ahli digital
forensic akan membantu menentukan keabsahan suatu alat bukti
elektronik di persidangan. Berangkat dari prinsip bahwa every evidence
can talk, yang dapat membuat alat bukti elektronik “berbicara” adalah
seorang ahli digital forensic. Penjelasan ahli tersebut nantinya
akan dilakukan dengan cara merekonstruksi alat bukti elektronik, sehingga
membuat terang jalannya persidangan.
Kesimpulan
1.
Bahwa alat bukti elektronik dikatakan sah apabila menggunakan
sistem elektronik yang sesuai dengan UU
ITE. Pasal 16
ayat (1) UU
ITE menyatakan bahwa suatu
bukti elektronik dapat memiliki
kekuatan hukum jika informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat
dipertanggungajwabkan, dapat diakses,
dan dapat ditampilkan
sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti
elektronik harus dapat menujukkan bahwa informasi yang diimilikinya berasal
dari sistem elektronik yang terpercaya sehingga alat bukti elektronik itu
di dapat secara sah.
2.
Bahwa pemeriksaan alat bukti melalui teleconference pada
dasarnya sama dengan pemeriksaan alat bukti yang dilakukan di muka persidangan dan Informasi
Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah. Contoh Saksi memberikan keterangannya secara
lisan dan pribadi
di muka persidangan. Perbedaannya hanya saja saksi tidak
hadir secara fisik di ruang persidangan,
melainkan hadir secara visual dalam layar media elektronik. Disamping itu pihak
yang mengajukan bukti elektronik sebagai alat bukti, telah melakukan upaya
yang patut untuk
memastikan bahwa alat bukti elektronik
tersebut dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaannya, termasuk
alat bukti saksi melalui teleconference.
S a r a n
Untuk
mewujudkan kepastian hukum UU ITE belum cukup mengatur mengenai persyaratan
formil alat bukti elektronik, sehingga diperlukan kebijakan
hukum yang mengatur ulang materi hukum acara dan proses
penegakan hukumnya. Dengan dilakukannya pembaharuan hukum acara maka dapat
mengakomodasi perkembangan alat bukti elektronik seiring dengan
kemajuan teknologi dan informasi guna memenuhi kebutuhan praktik praktisi
hukum di sidang Pengadilan.
Penutup
Demikian
tulisan tentang “KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK” semoga banyak manfaatnya dan
mohon maaf atas kekurangan dan kekhilafan dalam tulisan ini , terimakasih.
Blitar, 10 Februari 2020
Penulis
Drs. H. SUDONO,
M.H.
Daftar Rujukan
-
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
2007.
-
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006.
Identitas Penulis
Nama : Drs. H. Sudono, M.H.
Jabatan : Hakim Utama Muda
Satuan Kerja : Pengadilan Agama
Blitar Kela 1 A
Nomor HP. : 081 327 088 322
Email : sudono.alqudsi@gmail.com