Senin, 16 Desember 2019

PENGGELAPAN DALAM KUHP






PENGGELAPAN DALAM KUHP

Oleh : Sudono Al-Qudsi



Pasal 372 KUHP (penggelapan)
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapandengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“
            Dalam penipuan, dimilikinya suatu benda oleh seseorang dilakukan dengan cara melawan hukum, yaitu dengan perbuatan yang tidak sah: memakai nama palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan. Seorang yang melakukanpenipun, dengan kata-kata bohongnya itu, menyebabkan orang lain menyerahkan suatu benda kepadanya. Tanpa adanya kebohongan tersebut, belum tentu orang yang bersangkutan akan menyerahkan benda itu secara sukarela.

Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan
          Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif  meliputi perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :
1)   Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
2)   Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu bukan ternak.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.
3)   Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
4)   Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.
f. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.
           Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya. Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa. Kedudukan sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.
           Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder); Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau yayasan.
5)   Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.
Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.
         Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.
Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta suami atau harta istri.
           Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai delik aduan.[1][4] Tindak pidana  Penggelapan dalam lingkungan keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang bersengketa.
Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :
1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan
2.    Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas :
       (a)   Unsur barang siapa;
       (b)   Unsur menguasai secara melawan hukum;
       (c)   Unsur suatu benda;
(d)   Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
(e)   Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
         Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku penggelapan, Majelis Hakim Pengadilan pun harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan, apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang :
a.    “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum
b.    “mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda
c.    “mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain
d.    “mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif doktin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai berikut :
1.  Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat”.
2.   Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai pelaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah “benda bergerak”.
3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan, sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.
          Berdasarkan paparan singkat mengenai apakah hakekat perbuatan wan prestiasi, penipuan, dan pengelapan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa meskipun batas antara ketiganya dalam realitas kasus seringkali memang tipis, namun tetap dapat dibedakan berdasar doktrin-doktrin hukum terkait. Sehingga suatu kasus wan prestasi sebagaimana telah diilustasikan pada pendahuluan, yang hakekatnya merupakan masalah murni keperdataan (kontraktual indivual), semestinya tetap harus dipandang dan diletakkan secara proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan “pemaksaan rekayasa” sebagai kasus kejahatan penipuan ataupun penggelapan, terlebih lagi jika hal itu dilakukan dengan maksud atau tujuan-tujuan tertentu. Disini etika berperkara atau mendampingi perkara seorang klien yang berbasis filosofi pengungkapan dan pembelaan yang benar (bukan sekedar yang bayar), menjadi hal yang signifikan untuk direnungkan dan lebih penting lagi ialah dipraktekkan.




KISAH PERJALANAN SA'I





Sa'i dan Keteladanan Siti Hajar

Oleh : H. Sudono Al-Qudsi



Ibadah haji tak semata-mata merupakan ritual yang membanggakan. Bukan pula sekedar titel untuk menaikan derajat kita di masyarakat melainkan sebuah ibadah yang begitu sarat akan makna ketauhidan dan keikhlasan.Keikhlasan bermakna segala yang kita lakukan semata-mata mengharapkan ridha Allah akan selalu memberikan kekuatan jauh melebihi yang mampu kita bayangkan dalam batasan kita sebagai manusia. Bersabar dan selalu percaya akan datangnya pertolongan dari Allah itulah yang akan memberikan akhir yang membahagiakan dalam setiap kisah perjuangan.
Ketabahan dan kepercayaan akan datangnya pertolongan dari Allah ini pula yang terkandung dalam salah satu rukun haji yaitu Sa‘i. Mempelajari rukun haji begitu indah. Banyak kisah yang terkandung didalamnya salah satunya adalah kisah keteladanan Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah untuk meninggalkan istri dan anaknya di lembah gersang lagi sunyi yang kemudian dikenal dengan nama Mekah.Dari Syria, Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail, menyusuri padang pasir yang kering dan menyengat. Sepanjang perjalanan, tak ada pepohonan bahkan mata air sebagai syarat utama kehidupan. Tak hanya itu, Nabi Ibrahim pun sempat dilanda kecemasan bagaimana dia harus memberitahukan kepada istrinya akan perintah Allah tersebut ?
“Wahai suamiku, apakah aku akan ditinggalkan bersama anakmu di sini?”
Tanpa memandang wajah isterinya, Nabi Ibrahim hanya mampu menganggukkan kepala. “Oh… kiranya karena dosaku menyebabkan engkau bertindak begini, ampunkanlah aku. Aku tidak sanggup ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir yang kering kerontang ini.”
Nabi Ibrahim menjawab: “Tidak wahai isteriku, bukan karena dosamu…”
Siti Hajar bertanya lagi: “Kalau bukan kerana dosaku, bagaimana dengan anak ini… Anak ini tidak tahu apa-apa. Tegakah engkau meninggalkannya?”
Kepiluan dan kesedihan Nabi Ibrahim, hanya Allah yang tahu. Katanya: “Tidak, bukan itu maksudku. Tapi apa dayaku… ketahuilah, ini semua adalah perintah Allah.”
Siti Hajar terdiam. Kecintaannya dan keyakinannya akan pertolongan Allah membuat Siti Hajar akhirnya berkata kepada suaminya: “Jika benar ia adalah perintah Allah, tinggalkanlah kami di sini. Aku ridho ditinggalkan.” Suara Siti Hajar mantap sambil menyeka air matanya.
Ditabahkan hatinya dengan berkata: “Mengenai keselamatan kami, serahkanlah urusan itu kepada Allah. Pasti Dia akan membela kami. Tidak mungkin Dia menganiaya kami yang lemah ini.”
Siti Hajar menggenggam tangan suaminya. Kemudian diciumnya, minta ridho atas segala perbuatannya selama mereka bersama. “Doakanlah agar datang pembelaan Allah kepada kami,” kata Siti Hajar.
Tak sanggup menahan peri sebagai seorang suami dan ayah, Nabi Ibrahim pun berdoa “Ya Rabb, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb, yang demikian itu agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizqi dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur,” (Q.S. Ibraahiim ayat 37)
Begitulah akhirnya Nabi Ibrahim pergi meninggalkan istri dan anaknya. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya begitu lama ? Begitulah Allah menguji keimanan Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Selesai berdoa, tanpa menoleh ke arah isteri dan anaknya, Nabi Ibrahim terus meninggalkan tempat itu dengan menyerahkan mereka terus kepada Allah. Tinggallah Siti Hajar bersama anaknya yang masih merah dalam pelukannya. Diiringi kepergian suaminya dengan linangan air mata dan syukur. Ditabahkan hati untuk menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.
Tidak lama selepas kepergian Nabi Ibrahim, perbekalan makanan dan minuman pun habis. Air susunya juga kering sama sekali.
Anaknya Ismail menangis kehausan. Siti Hajar kebingungan. Di mana hendak diusahakannya air di tengah padang pasir yang kering kerontang itu?
Ketika dia mencari-cari sumber air, dilihatnya dari jauh seperti ada air di seberang bukit. Dia berlari ke arah sumber air itu. Tetapi apa yang dilihatnya hanyalah fatamorgana.
Namun Siti Hajar tidak berputus asa. Dari tempat lain, dia melihat seolah-olah di tempat di mana anaknya diletakkan memancar sumber mata air.
Dia pun segera berlari ke arah anaknya. Tetapi sungguh malang, yang dilihatnya adalah fatamorgana. Tanpa disadari dia bolak-balik sebanyak tujuh kali antara dua bukit, Safa dan Marwa untuk mencari sumber air.
Tubuhnya keletihan berlari ke sana ke mari mencari sumber air, namun tiada tanda-tanda dia akan mendapat air. Sedangkan anak yang kehausan itu terus menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya ke bumi. Tiba-tiba dengan rahmat Allah, sedang Siti Hajar mencari-cari air, terpancarlah air dari dalam bumi di ujung kaki anaknya Ismail.
Pada waktu itu gembiranya hati Siti Hajar bukan kepalang. Dia pun mengambil air itu dan terkeluar dari mulutnya, “Zam, zam, zam..” yang berarti, berkumpullah, berkumpullah. Seolah-olah dia berkata kepada air itu, “Berkumpullah untuk anakku.”
Begitulah asal usul salah satu rukun ibadah haji yang mengajarkan kita untuk selalu menyakini akan adanya pertolongan Allah. Perintah sa’i langsung diperintahkan oleh Allah sebagaimana tersurat dalam Al Baqarah 158 : “Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu adalah daripada syiar-syiar Allah jua. Maka barangsiapa yang naik haji kerumah itu atau umrah, tidaklah mengapa bahwa dia keliling pada keduanya. Dan barangsiapa yang menambah kerja kebaikan, maka sesungguhnya Allah ada­lah Pembalas terimakasih, lagi Maha Mengetahui.”
Sa’i merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun sahnya ibadah haji.  Sa’i secara bahasa bermakna: Bekerja, berusaha, berjalan, berlari. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu fiqih/hukum islam, sa’i ini sendiri bermakna: Berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah sebanyak tujuh kali. Dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah.
Sebagai salah satu dari rukun sahnya ibadah haji, sai dilakukan setelah melaksanakan thawaf, baik thawaf umroh maupun thawaf ifadhoh. Tidaklah sah Haji seseorang apabila tidak melakukan sa’i ini. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dan juga hadits Rasululloh SAW berikut ini :
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah”
Kemudian diriwayatkan dari Imam Ad-Daruquthni dan yang lainnya dalam kitab Majmu’ dengan sanad yang hasan, bahwasannya Rasululloh SAW pernah melakukan sa’i sambil menghadap kiblat lalu beliau bersabda:“Lakukanlah sa’i karena sesungguhnya sai ini telah diwajibkan kepada kalian.”
          Berdasar dalil diatas maka sa’i ini sesungguhnya merupakan ibadah yang diwajibkan kepada para jamaah Haji atau Umroh agar mereka mengingat tentang sebuah kisah yang terkandung didalamnya, agar mereka dapat mengambil pelajaran yang besar dari kisah yang terkandung dibalik perintah tersebut. Kisah Sa’i ini berawal dari kisah Nabi Ibrahim AS mengajak istrinya Siti Hajar dan anaknya Nabi Ismail AS yang saat itu masih bayi ke suatu negeri yang merupakan cikal-bakal Makkah saat ini. Makkah sendiri pada saat itu masih merupakan negeri yang sunyi tanpa penghuni dan masih gersang. Dikisahkan pula bahwa Nabi Ibrahim secara tiba-tiba meninggalkan istri dan anaknya disamping sebuah pohon yang besar untuk berteduh. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan sendiri saja dan meninggalkan istri dan anaknya dengan berbekal beberapa kurma dan bejana yang berisi air saja karena menuruti perintah dari Allah, beliau meninggalkan mereka berdua disana untuk melanjutkan perjalanan memenuhi panggilan dan perintah dari Allah SWT . Beliau kesampingkan kekhawatiran dalam hatinya meninggalkan istri dan anaknya ditempat asing tersebut sambil berdo’a: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhanku, yang demikian itu agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, agar mereka bersyukur..”
Setelah sekian lama setelah ditinggalkan, tentu saja persediaan kurma dan air dalam bejanapun habis sehingga Siti Hajar pun khawatir sebab sang suami tak kunjung kembali. Naluri seorang ibu yang begitu sayang kepada anaknya dan rasa khawatir dengan kondisi tersebut mendorong Siti Hajar untuk berusaha mencari air minum agar dapat menyusui anaknya kembali.
Siti Hajar meletakkan anaknya Nabi Ismail AS dibawah pohon tersebut dan segera berusaha mencari air, berjalan dan berlari-lari kecil ke bukit Shafa namun tak jua menemukan sumber air, kemudian berlari-lari kecil kearah bukit lainnya yaitu bukit Marwah, namun juga tak menemukan sumber air. Hal ini dilakukannya terus-menerus, bolak-balik Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali.
Akhirnya Siti Hajar mendengar suara yang menyuruhnya diam. Ternyata suara itu berasal dari Malaikat. Siti Hajar diperlihatkan keajaiban berupa air yang muncul disebabkan oleh hentakan kaki Nabi Ismail yang masih bayi itu. Inilah cikal bakal air Zam Zam yang sangat terkenal itu.
Selanjutnya ia pun turun, mengisi bejana dan memberi minum putranya, Nabi Ismail. Setelah beberapa waktu berlalu, ada sebuah rombongan dari suku Jurham datang ke tempat tersebut. Mereka tinggal di sekitar air zam-zam bersama Siti Hajar dan Nabi Ismail AS. Ini semua ini atas izin dari Siti Hajar.
Sa'i merupakan salah satu rukun haji dan umrah yang dilakukan dengan berlari-lari bolak balik tujuh kali dari Bukit Safa ke Bukit Marwah, dan sebaliknya. Dua bukit itu berjarak sekitar 405 meter (dalam literatur lain disebutkan 450 meter). 
Safa adalah bukit kecil di sebelah selatan Ka'bah. Bukit ini menjadi titik awal pelaksanaan sa'i. Sedangkan Marwah bukit kecil di sebelah utara Safa. Marwah menjadi titik akhir pelaksanaan sa'i.
Sa'i melekat erat dengan riwayat Siti Hajar, wanita mulia yang ditinggalkan di padang pasir tandus oleh Nabi Ibrahim AS, sang suami, atas perintah Allah SWT.  Saat itu Siti Hajar ditemani sang putra, Ismail AS, yang masih bayi berjuang mempertahankan hidup. Karena itu sa'i menjadi napak tilas perjuangan dan penderitaan Siti Hajar.
Dalam riwayatnya, sebelum Siti Hajar dan Ismail ditinggal di tanah gersang itu, Mekah merupakan wilayah tanpa penghuni setelah peristiwa banjir di zaman Nabi Nuh. Sedangkan Ka'bah tinggal berupa gundukan batu bulat tanpa ada seorang pun yang merawatnya.
Saat itu, Allah SWT menghendaki Ibrahim AS yang tinggal di Kanaan (Palestina) pergi jauh melintas padang pasir panas dan gersang bersama anak dan istrinya, ke wilayah bernama Hijaz. Belakangan diketahui Hijaz itulah letak Baitullah yang rusak karena banjir bah. 
Setelah tiba di tempat sesuai perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim AS segera kembali ke Palestina dan tanpa berkata apa-apa ditinggalkannya sang istri dan bayi yang sangat didambakannya selama hidupnya. Ibrahim hanya meninggalkan sekantung kurma dan air sebagai bekal Siti Hajar.
Ketika Ibrahim semakin jauh berjalan, Siti Hajar semakin cemas akan apa yang terjadi. Ia kemudian meninggalkan Ismail sebentar, berdiri, dan menyusul suaminya sambil bertanya,"Wahai suamiku, akan kemanakah engkau dan kenapa aku dan anakku kau tinggalkan di sini, tempat yang kosong tidak ada apa-apanya?"
Ibrahim tidak menghentikan perjalanannya, tidak menengok dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Kepedihan hatinya terlalu dalam. Siti Hajar masih terus mengejarnya dan kembali bertanya karena ia ditinggalkan di tempat yang asing tanpa seorang teman pun, hingga akhirnya ia bertanya, "Apakah Allah memerintahkanmu berbuat demikian?" Mendengar pertanyaan itu, Ibrahim berhenti dan mengiyakan.
Setelah mendapat jawaban dari sang suami, Siti Hajar  hanya mempunyai satu pertanyaan tambahan, "Wahai Ibrahim kepada siapa engkau menitipkan kami?" Jawaban Ibrahim jelas dan langsung kepada intinya, "Aku menitipkanmu kepada perlindungan Allah."
Ibrahim kembali melanjutkan perjalanannya, setelah sampai di perbatasan ia berhenti dan menghadap ke Ka'bah, seraya mengangkat kedua tangannya dan berdoa (QS Ibrahim; 37):
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah suci-Mu itu. Aku berbuat demikian ya Tuhan kami, demi memungkinkan mereka mendirikan salat. Karena itu, jadikanlah hati sebagian manusia gandrung mencintainya. Dan berilah mereaka rezeki dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur."
Sementara Siti Hajar kembali kepada anaknya, Ismail. Suatu ketika habislah persediaan kurma dan air yang menjadi bekalnya. Ismail yang haus dan lapar menangis. Siti Hajar tidak tinggal diam. Siti Hajar yang bingung berusaha mencari bantuan dengan berlari dari Safa ke Marwah mengharap ada musafir yang melintas. Upaya itu dilakukan hingga tujuh kali.
Pada saat habis pengharapannya, datanglah malaikat Jibril. Melalui kaki Ismail, Jibril menghentak tanah sehingga keluarlah air zamzam.
Lokasi Safa dan Marwah kini masuk dalam bangunan Masjidil Haram.  Kedua bukit dihubungkan dengan bangunan panjang berlantai dua. Dengan lebar 20 meter, jalur sa'i dibagi menjadi empat, masing-masing dua jalur untuk pejalan kaki dan dua jalur untuk orang sakit yang harus didorong dengan kursi roda. 
Perjalanan sa'i kini tidak terlalu melelahkan karena ruangan yang ber-AC. Di beberapa titik juga disediakan air zamzam bagi jemaah yang haus dan lelah. Di bangunan ini dipasang juga pilar dengan lampu neon berwarna hijau. Saat melintas jalur ini, jemaah pria disunahkan untuk berlari-lari kecil. Sedangkan jemaah wanita berjalan cepat.
Meski menyatu dengan bangunan Masjidil Haram, namun hukum kesuciannya sa'i tetap berlaku terpisah, bahwa lokasi ini berada di luar masjid sehingga wanita yang sedang menstruasi boleh melakukan sa'i.
Dalil sa’i tertuang dalam surah Al Baqarah (2): 158), di mana Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji di Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan satu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”
Langkah pertama melaksanakan sa’i adalah pergi ke lokasi masa’a, tempat antara Safa dan Marwah. Ketika mendekati Bukit Safa bacalah doa (QS Al Baqarah (2): 158). Kemudian naiklah ke safa, lalu berdirilah menghadap Ka’bah, memuji Allah, bertakbir tiga kali kemudian berdoa.
Setelah berdoa, turunlah dari Safa dan berjalan di antara dua bukit dengan kecepatan normal. Menyebut nama Allah, membaca ayat Al Quran dan berdoa sambil berjalan. Bagi jemaah laki-laki berlari-lari kecil  pada tanda hijau.
Jika sudah sampai di Marwah, menghadaplah ke kibtal dan membaca zikir seperti yang dibaca di Safa tanpa membaca ayat  (QS Al Baqarah (2): 158) dan berdoa. Berdoalah untuk diri sendiri, keluarga dan seluruh kaum muslimin.
Setelah itu turun lagi dengan berjalan. Jika sampai di tanda hijau berikutnya, berlari lagi hingga tanda hijau berikutnya. Lalu berjalan seperti biasa hingga naik ke Safa.
Ulangi hingga tujuh kali dan berakhir di Marwah. Berjalan dari Safa ke Marwah dihitung satu kali sa’i, begitu pula perjalanan dari Safa ke Marwah dihitung satu kali sa’i.
DEMIKIANLAH TULISAN INI SEMOGA BERMANFAAT AMIIN.

PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK






PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK

Oleh : Drs. H. Sudono Al-Qudsi, M.H.

Salah satu perbuatan pidana yang sering mengundang perdebatan di tengah masyarakat adalah pencemaran nama baik. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pencemaran nama baik (penghinaan) diatur dan dirumuskan dalam Pasal 310 KUHP, yang terdiri dari 3 (tiga) ayat.Menista dengan lisan (smaad) Pasal 310 ayat (1); Menista dengan surat (smaadschrift) – Pasal 310 ayat (2).
       Sedangkan perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang dilakukan “dengan sengaja” untuk melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Dengan demikian, unsur-unsur Pencemaran Nama Baik atau penghinaan (menurut Pasal 310 KUHP) adalah:
1.  Dengan sengaja;
2.  Menyerang kehormatan atau nama baik;
3.  Menuduh melakukan suatu perbuatan;
4.  Menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum.
Apabila unsur-unsur penghinaan atau Pencemaran Nama Baik ini hanya diucapkan (menista dengan lisan), maka perbuatan itu tergolong dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Namun, apabila unsur-unsur tersebut dilakukan dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan (menista dengan surat), maka pelaku dapat dijerat atau terkena sanksi hukum Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Hal-hal yang menjadikan seseorang tidak dapat dihukum dengan pasal Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan adalah :
1.  Penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum;
2.  Untuk membela diri;
3.  Untuk mengungkapkan kebenaran.
        Dengan demikian, orang yang menyampaikan informasi, secara lisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah. Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat dikemukakan bahwa pencemaran nama baik bisa dituntut dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP, apabila perbuatan tersebut harus dilakukan dengan cara sedemikian rupa, sehingga dalam perbuatannya terselip tuduhan, seolah-olah orang yang dicemarkan (dihina) itu telah melakukan perbuatan tertentu, dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu perbuatan yang menyangkut tindak pidana (menipu, menggelapkan, berzina dan sebagainya), melainkan cukup dengan perbuatan biasa seperti melacur di rumah pelacuran. Meskipun perbuatan melacur tidak merupakan tindak pidana, tetapi cukup memalukan pada orang yang bersangkutan apabila hal tersebut diumumkan. Tuduhan itu harus dilakukan dengan lisan, karena apabila dilakukan dengan tulisan atau gambar, maka perbuatan tersebut digolongkan pencemaran tertulis dan dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP. Kejahatan pencemaran nama baik ini juga tidak perlu dilakukan di muka umum, cukup apabila dapat dibuktikan bahwa terdakwa mempunyai maksud untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Pencemaran nama baik (menista) sebenarnya merupakan bagian dari bentuk penghinaan yang diatur dalam Bab XVI KUHP. Pengertian “penghinaan” dapat ditelusuri dari kata “menghina” yang berarti “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Korban penghinaan tersebut biasanya merasa malu, sedangkan kehormatan disini hanya menyangkut nama baik dan bukan kehormatan dalam pengertian seksualitas. Perbuatan yang menyinggung ranah seksualitas termasuk kejahatan kesusilaan dalam Pasal 281-303 KUHP Penghinaan dalam KUHP terdiri dari pencemaran atau pencemaran tertulis (Pasal 310), fitnah (Pasal 311), penghinaan ringan (Pasal 315), mengadu dengan cara memfitnah (Pasal 317) dan tuduhan dengan cara memfitnah (Pasal 318).
Memfitnah (Laster) Pasal 311 ayat (1) KUHP
Berbunyi:
“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

       Pasal 13  KHI
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan  memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yangbakmsesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan  dan saling menghargai.

       Penghinaan dalam KUHP diatur pada Bab XVI yang di dalamnya terdapat rumpun pencemaran nama baik. Secara umum penghinaan merupakan keadaan seseorang yang dituduh atas sesuatu hal yang benar faktanya namun bersifat memalukan karena diketahui oleh umum sebagaimana dimaksud Pasal 310 ayat (1) KUHP dan kebalikannya apabila yang dituduhkan itu tidak benar maka dia dianggap melakukan fitnah/pencemaran nama baik sebagaimana maksud Pasal 311 ayat (1) KUHP. Namun jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan” (R.Soesilo).

2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
Panitia Kerja Revisi Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) DPR RI menyepakati hukuman pidana bagi pelaku pencemaran nama baik hanya 1,5 tahun penjara.
        Sementara penghinaan khusus di luar KUHP yang kini terdapat dalam perundang-undangan kita, ialah penghinaan khusus (pencemaran nama baik) dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam Pasal 27 sampai 37. Satu diantaranya merupakan tindak pidana penghinaan khusus, dimuat dalam Pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa:
“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diakses-nya informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Tindak pidana penghinaan khusus dalam Pasal 27 ayat (3) jika dirinci terdapat unsur berikut. Unsur objektif : (1) Perbuatan: a. mendistribusikan; b. mentransmisikan; c. membuat dapat diaksesnya. (2) Melawan hukum: tanpa hak; serta (3) Objeknya: a. Informasi elektronik dan/atau; b. dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.