Kamis, 22 Maret 2018





MENGAMBIL  APA SAJA DARI TANAH HARAM

Oleh : Drs. H. Sudono Al-Qudsi, M.H.



1.     Tidak diperbolehkan mengambil apa saja seperti membawa tanah atau batu, yang ada di tanah haram untuk dibawa pulang ke kampung halaman maupun ke kawasan tanah halal dimanapun.
2.     Tidak boleh mengambil sedikitpun wewangian Ka’bah , baik untuk mendapatkan berkahnya maupun untuk tujuan-tujuan tertentu, karena itu barang siapa mengambil barang-barang tersebut , dia harus mengembalikannya ke sana lagi.
3.     Tidak boleh memotong kain penutup Ka’bah (kiswah) sedikitpun, juga tidak boleh memindahkannya, menjualnya, membelinya, maupun meletakkannya diantara lembaran mushaf, karena itu barang siapa membawa kain penuutup Ka’bah (kiswah) meskiun hanya sedikit, maka dia harus mengembalikannya [1].
Bagaimana kalau mengambil air zam-zam dari seluruh air di tanah haram kemudian seseorang membawa ke negeri manapun maka hal tersebut dibolehkan karena air zam-zam bisa langsung bersumber lagi penggantinya, dan berbeda dengan masalah membawa tanah dan batu tadi.


CARA PAMIT MENINGGALKAN MASJIDIL HARAM

         Pendapat yang shohih dalam madzhab Syafi’i  dan pendapat madzhab lainnya bahwa setelah menunaikan thowaf wada’ seseorang keluar sambil berjalan membelakangi Ka’bah dan bukan berjalan mundur sebagaimana yang dilakukan banyak orang. Para fuqoha’ mengatakan bahwa :  berjalan mundur itu makruh , karana tidak ada hadis maupun atsar yang mengajarkannya dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam agama tidak boleh dikerjakan. Karena itu Mujahid menyatakan bahwa ketika engkau sudah hampir keluar dari pintu masjid , menengoklah dan pandanglah Ka’bah , kemudian berdoalah : Ya Alloh jangan jadikan kali ini  kesempatan terakhirku mengunjungi Ka’bah. Apabila berangkat pulang dari haji, umroh atau peperangan,  bisasanya Nabi SAW berdo’a begini : “Aayibuuna taa’ibuuna  ‘aabiduuna lirobbina hamiduuna shodaqollohu wa’dah wa nashooro abdah wa hazamal akhzaba wahdah.”(Kami pulang , bertobat, beribadah, dan memuji Tuhan kami , Alloh elah menetapi janjiNya dan mengalahkan perseutuan kaum kafir sendirian).



[1] Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu,  juz 3, Darl fikr,2008, hal. 200

Rabu, 21 Maret 2018

UPAYA INTERVENSI DI PENGADILAN AGAMA HAKIM WAJIB MENGISI KEKOSONGAN HUKUM MATERIIL MAUPUN HUKUM FORMIL






UPAYA INTERVENSI DI PENGADILAN AGAMA
HAKIM WAJIB MENGISI KEKOSONGAN HUKUM MATERIIL
MAUPUN HUKUM FORMIL

Oleh : Drs. H. Sudono, M.H.[1]


PENDAHULUAN
Sudah terlalu lama para penegak hukum Indonesia mendambakan aturan hukum yang lengkap untuk mengatasi dan menyelesaikan segala permasalahan hukum di masyarakat yang diajukannya ke Pengadian akan tetapi ternyata tidak mudah untuk menciptakan hukum melalui peraturan perundang-undangan baru yang mampu menyelesaikan permasahan hukum dimaksud. Kalaupun hari ini telah diundangkan peraturan perundang-undangan yang baru,  hari berikutnya akan timbul permasalahan hukum baru yang lebih rumit lagi bahkan peraturan perundangan yang telah disahkan menjadi undang-undang belum sampai dilaksanakan peraturan perunndangannya sudah usang. Itulah sebabnya sebagai penegak hukum (hakim) di semua lingkungan badan peradilan harus melengkapinya dengan mengisi kekosongan hukum materiil maupun hukum formil (judges are required to fill the void of material law and formal  law) dalam mengadili dan menyelesaikan perkara terutama kalau ada upaya intervensi di pengadilan agama  dan jangan sampai ada kekosongan hukum di Indonesia ini.
Untuk  mengatasinya  sudah ada signal dalam pasal 10 (1) UU Nomr 48 tahun 2009 menyatakaan : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya[2]. Demikian juga telah tersirat dalam Pasal 5 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan : Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diubah dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”[3].
Sesuai dengan tugas pokok Badan Peradilan adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Setiap perkara yang diajukan kepada Badan Peradilan dimaksud terdiri dari pihak-pihak (Penggugat/Pemohon dengan Tergugat/Termohon) dan dimungkinkan ada pihak ketiga / orang lain yang merasa berkepentingan terhadap hak-­haknya yang berhubungan dengan hak-hak para pihak yang sedang dalam proses peradilan, karena pada asasnya, setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin mempertahankannya atau ingin membela haknya, berwenang untuk bertindak selaku pihak Penggugat maupun selaku Tergugat (legitima persona standi in yudicio)[4].
Di Indonesia sedikit sekali ketentuan hukum yang mengatur upaya intervensi padahal dalam proses persidangan di Pengadilan Agama  faktanya perkara semakin banyak terkait dengan gugatan intervensi.
Gugatan intervensi adalah tidak diatur dalam HIR dan RBg, maupun dalam Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, masuknya pihak ketiga dalam proses perkara diatur dalam RV (  pasal 279 sampai dengan pasal 282)  dan pasal 70 RV, sehingga dengan demikian pasal dalam Reglement op de burgerlijke rechtsvordering (RV) tersebut berlaku juga dalam proses persidangan  di Pengadilan Agama. Berpijak dari aturan hukum dalam RV ternyata sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum formil[5].
Mahkamah Agung dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan buku  II halaman 126 dikatakan :
§  Apabila benar-benar dibutuhkan dalam praktek sedangkan belum terdapat kaidah hukum yang mengaturnya, maka Hakim wajib mengisi kekosongan ini, baik dalam bidang hukum materiil maupun dalam bidang hukum formil atau Hukum Acara Perdata (Pasal 393 H1R/721 RBg,  pasal yang terpenting untuk hukum acara perdata) .
§ Putusan Hakim bertujuan untuk memberi penyelesaian terhadap perkara yang sedang diadilinya sedemikian, sehingga apabila perkara tersebut menyangkut pihak yang lain dari pada penggugat dan tergugat, maka Hakim atas permintaan, dapat mengabulkan permintaan pihak ketiga untuk ikut serta dalam proses, sehingga Hakim  dapat  memberi  putusan bagi semua orang yang berkepentingan[6].karenanya hakim dapat berpedoman pada pasal 279 Rv dan seterusnya, dan pasal 70 Rv.
Selanjutnya dalam Pasal 86 ayat (2) juga dikatakan : jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu,. Berpedoman pada Pasal 86 ayat (2) dan Pasal 54 UU nomor 7 tahun 1989 ini berarti upaya intervensi bisa saja terjadi di Pengadilan Agama, sekalipun HIR /Rbg, tidak mengenal intervensi tetapi karena adanya kebutuhan dalam praktek sehingga lembaga intervensi ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada RV (Reglemen of de rechtsvoordering) yaitu Pasal 279 dan Pasal 70 berdasar asas proces doelmatig Heid.
A.   PERMASALAHAN
Setelah ada sedikit gambaran tentang hakim harus mengisi kekosongan hukum materiil maupun hukum formil (Judges Are Required To Fill The Void Of Material Law And Formal  Law atas perkara gugatan intervensi di Pengadilan Agama, maka dalam tulisan ini permasalahannya adalah :
1.     Sejauh mana pihak ketiga dapat memanfaatkan adanya lembaga intervensi di Pengadilan  Agama secara sederhana cepat dan biaya ringan.
2.     Perkara apa  saja yang dapat diterima oleh Pengadilan  Agama yang dapat diintervensi oleh pihak-pihak menurut peraturan perundangan.
3.     Bagaimana bentuk putusan adanya gugatan intervensi di Pengadilan Agama.

B.   PENGERTIAN INTERVENSI
Intervensi (latin) aslinya intervenire yaitu memberi kesempatan kepada siapapun yang berkepentingan untuk melibatkan diri dalam suatu proses perdata yang sedang berjalan antara
23
 pihak, yang dapat diajukan sebelum  atau  pada saat   antara pihak berakhir[7].             M. Yahya Harahap, SH., dalam bukunya : "Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama", menyatakan bahwa : upaya intervensi yaitu pihak ketiga yang semula tidak turut sebagai pihak dalam suatu perkara yang sedang berjalan pada proses pemeriksaannya di sidang peradilan, menerjunkan diri sebagai pihak, terutama untuk membela hak dan kepentingannya sendiri berhadapan dengan penggugat dan tergugat semula[8]. Berbeda dengan istilah di atas Dr. Wirjono Projodikoro, SH, menyebutkan istilah lain dari intervensi yaitu "percampuran tangan " yaitu tussenkomst (menempatkan diri ditengah-tengah antara kedua belah pihak) dan voeging (menempatkan diri disamping salah satu pihak untuk bersama-sama dengan pihak itu menghadapi pihak lain.
Secara lengkap upaya intervensi ini telah disebutkan oleh Pasal 279 RV, yaitu: Barang siapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-­pihak lain dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan[9].
Dari beberapa pendapat di atas dan juga berpedoman pada Pasal 279 RV, akan menjadi jelas bahwa intervensi dapat terjadi di Pengadilan Agama dalam tingkat selama proses perkara, sehingga dalam kasus yang demikian kedudukan para pihak-pihak menjadi sebagai berikut :
-     pihak ketiga disebut "Penggugat Intervensi"
-     para pihak semula (penggugat /pemohon dengan tergugat/termohon) disebut sebagai "Tergugat Intervensi".
Dari uraian diatas kiranya  penulis ikut menuangkan pendapat bahwa yang dimaksud dengan intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung antara kedua pihak yang berperkara dengan mengajukan gugatan intervensi.

C.   BENTUK-BENTUK INTERVENSI
Dalam praktek, apabila Hakim menganggap perlu dan benar-benar dibutuhkan, dapat mengambil alih bentuk-bentuk acara yang tidak diatur dalam HIR, juga dalam Rbg, misalnya mengenai intervensi, yaitu ikut sertanya pihak ketiga kedalam suatu proses perkara yang sedang diperiksa pengadilan,  adapun betuk-bentuk intervensi tersebut antara lain :
  1. Tussenkomst (menengahi) :
Yang disebut dengan menengahi (tussenkomst) adalah aksi hukum pihak ketiga dalam perkara perdata yang sedang berlangsung dan membela kepentingannya sendiri untuk melawan kedua pihak yang sedang berperkara. Dengan keterlibatannya pihak ketiga sebagai pihak yang berdiri sendiri dan membela kepentingannya, maka pihak ketiga ini melawan kepentingan penggugat dan tergugat yang sedang berperkara, pihak ketiga tersebut disebut intervenent. Apabila intervensi dikabulkan maka perdebatan menjadi perdebatan segi tiga. Intervensi dalam bentuk tussenkomst bisa terkabulkan dan bisa  juga ditolak, pengabulan atau penolakan tersebut dalam bentuk putusan sela, dalam hal ini putusan insidentil.
Dikabulkannya intervensi tussenkomst, putusannya dijatuhkan sekaligus dalam satu putusan, apakah penggugat atau tergugat yang menang atau ataukah intervenent yang menang, yang pasti adalah bahwa salah satu dari kedua gugatan itu yang dikabulkan atau mungkin juga kedua-duanya ditolak.

Ciri-ciri tussenkomst:
1.       Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berdiri sendiri. 
2.       Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian, atau kehilangan haknya yang mungkin terancam.
3.       Melawan kepentingan kedua belah pihak yang berperkara. 
4.       Dengan memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara (Penggabungan tuntutan). 

Syarat-syarat mengajukan tussenkomst adalah : 
1.       Merupakan tuntutan hak. 
2.       Adanya kepentingan hukum dalam sengketa yang sedang berlangsung. 
3.       Kepentingan tersebut harus ada hubungannya dengan pokok perkara yang sedang berlangsung. 
4.       Kepentingan mana untuk mencegah kerugian atau mempertahankan hak pihak ketiga. 

Keuntungan tussenkomst:
1.       Prosedur  beracara dipermudah dan disederhanakan. 
2.       Proses berperkara dipersingkat.
3.       Terjadi penggabungan tuntutan. 
4.       Mencegah timbulnya putusan yang saling bertentangan. 
5.       Tercapainya azas peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan
Tatacara mengajukan Tussenkomst :

Mengenai Prosedur acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan melawan pihak yang sedang bersengketa (Penggugat dan Tergugat) dengan menunjuk nomor dan tanggal perkara yang dilawan tersebut. Surat gugatan disusun seperti gugatan biasa dengan memuat identitas, posita dan petitum. Surat gugatan tersebut diserahkan ke meja I yang selanjutnya diproses seperti gugatan biasa , dengan membayar biaya tambahan panjar perkara tetapi tidak diberi nomor perkara baru melainkan memakai nomor perkara yang dilawan tersebut dan dicatat dalam regester, nomor dan kolom yang sama.
Selanjutnya  Ketua Pengadilan Agama adalah mendisposisikan kepada majlis hakim yang menangani perkara itu. Kemudian ketua majlis mempelajari gugatan intervensi tersebut dan membuat “penetapan hari sidang” yang isinya memerintahkan kepada juru sita agar pihak ketiga tersebut dipanggil dalam sidang yang akan datang untuk pemeriksaan gugatan intervensi tersebut pada hari dan tanggal yang sama sidangnya dengan   hari dan sidangnya pihak lawan. Terhadap intervensi tersebut hakim akan menjatuhkan putusan “sela” untuk mengabulkan atau menolak intervensi tersebut. Apabila dikabulkan maka intervenient ditarik sebagai pihak dalam sengketa yang sedang berlangsung.

Jika gugatan intervensi diterima oleh Pengadilan Agama
Sebagai contoh :
Seseorang yang menjadi pemilik suatu barang, tetapi barang itu sedang diperkarakan sebagai barang warisan oleh penggugat dan tergugat. Atau dalam perkara harta bersama dalam perkawinan oleh suami isteri yang sedang dalam proses perkara perceraian, masuk pihak ketiga yang mempertahankan barang itu adalah miliknya, bukan harta bersama antara suami istri yang sedang berperkara itu[10].

   2. Voeging (menengahi).
                Yang disebut dengan voeging yaitu suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan memasuki perkara perdata yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat untuk bersama-sama tergugat untuk menghadapi penggugat. Perbedaannya dengan tussenkomst adalah keberpihakannya ditujukan langsung kepada pihak tergugat, misalnya : Misalnya seorang debitur (berhutang) masuk ke dalam proses yang diajukan kontra borg. Debitur itu dapat menolong penjaminnya karena ia berkepentingan agar penjamin itu tidak dihukum.


Ciri-ciri voeging:
1.       Sebagai pihak yang berkepentingan dan berpihak kepada salah satu pihak dari penggugat atau tergugat. 
2.       Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya sendiri dengan jalan membela salah satu yang bersengketa. 
3.       Memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara. 

 Syarat-syarat untuk mengajukan voeging adalah 
1.      Merupakan tuntutan hak
2.     Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya dengan jalan berpihak kepada tergugat.
3.      Kepentingan tersebut haruslah ada hubungannya dengan pokok perkara yang sedang berlangsung.

Keuntungan voeging adalah : 
1.       Prosedur beracara dipermudah dan disederhanakan. 
2.       Proses berperkara dipersingkat.
3.       terjadinya penggabunga tuntutan
4.       Mencegah timbulnya putusan yang saling bertentangan.
5.       Tercapainya azas peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan
Tatacara mengajukan  Voeging :                   
Prosedur acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan mencampuri yang sedang bersengketa, yaitu penggugat dan tergugat untuk bersama-sama salah satu pihak menghadapi pihak lain guna kepentingan hukumnya. Permohonan dibuat seperti gugatan biasa dengan menunjuk nomor dan tanggal perkara yang akan diikutinya itu.

Selanjutnya  Permohonan voeging dimasukkan pada meja pertama dan diproses oleh kasir dan meja II sampai pada ketua, kemudian ketua Pengadilan Agama menyerahkan berkas tuntutan itu lewat panitera kepada majlis hakim yang menangani perkara itu, kemudian majlis hakim memberikan penetapan , dengan isi penetapan menolak atau menerima pihak ketiga untuk turut campur dalam sengketa tersebut, apabila dikabulkan maka permohonan ditarik sebagai pihak dalam sengketa yang sedang berlangsung. 

 3.      Vrijwaring (penarikan)
Vrijwaring atau penarikan pihak ketiga dalam perkara adalah suatu aksi hukum yang dilakukan oleh tergugat untuk menarik pihak ketiga dalam perkara guna menjamin kepentingan tergugat menghadapi gugatan penggugat.

Adapun ciri-ciri Vrijwaring adalah :
1.       Merupakan penggabungan tuntutan. 
2.       Salah satu pihak yang bersengketa menarik pihak ketiga didalam sengketa. 
3.       Keikut sertaan pihak ketiga timbul karena dipaksa dan bukan karena kehendaknya. 
          Tujuan salah satu pihak (tergugat) menarik pihak ketiga adalah agar pihak ketiga yang ditarik dalam sengketa yang sedang berlangsung akan membebaskan pihak yang memanggilnya (tergugat) dari kemungkinan akibat putusan tentang pokok perkara.
Prosedur Vrijwaring tergugat dalam jawabannya atau dupliknya memohon kepada majlis hakim yang memeriksa perkaranya agar pihak ketiga yang dimaksudkan oleh tergugat sebagai penjamin ditarik masuk kedalam proses perkara untuk menjamin tergugat. Majlis hakim dengan penetapan yang dimuat dalam berita acara persidangan memerintahkan memanggil pihak ketiga tersebut dalam persidangan yang akan datanguntuk pemeriksaan vrijwaring bersama-sama penggugat dan tergugat . Dari hasil pemeriksaan itu hakim menjatuhkan “putusan sela” untuk menolak atau mengabulkan permohonan vrijwaring tersebut. Apabila dikabulkan maka pihak pihak ketiga ditarik masuk dalam proses perkara tersebut.
 Dari tiga bentuk intervensi di atas, yang paling tepat dan banyak di Pengadilan Agama adalah bentuk yang pertama. Sebab pihak ketiga itu harus berkepentingan , artinya kepentingannya akan terganggu jikalau ia tidak mencampuri proses, atau dengan mencampuri proses itu ia dapat mempertahankan hak-haknya[11].
Memang benar jikalau pihak ketiga yang berkepentingan itu tidak "intervenieren" tidak bercampur tangan dalam proses yang bersangkutan, maka ia masih dapat mempertahankan hak-­haknya dalam suatu proses tersendiri, akan tetapi segala sesuatu akan berjalan lebih mudah dan akan menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan, jikalau ia ikut serta secara intervensi tersebut. Lebih lanjut Prof. Dr. R Supomo, SH menguraikan bahwa intervensi itu tidak harus atas inisiatif pihak ketiga melainkan masyarakat indonesia memang membutuhkan supaya suatu perkara dapat diselesaikan seluruhnya antar segala pihak yang bersangkutan, sehingga bukan saja pihak ketiga harus diperbolehkan ikut berperkara (intervensi) akan tetapi Hakim pula harus diberi kekuasaan atas inisiatifnya sendiri memanggil seorang pihak ketiga supaya ikut berperkara jika ia memang sungguh-sungguh langsung berkepentingan terhadap soal yang menjadi perkara itu.
Sehubungan dengan intervensi ini menurut aliran pikiran adat, Hakim wajib menyelesaikan perkara yang diadili sehingga perkara itu tidak akan timbul kembali. Dengan tepat Van Vollen hoven menulis bahwa perkara harus diakhiri "Uitgemaaht" sesuatu perkara belum dianggap fit  jikalau putusan Hakim hanya mengenai penggugat dan tergugat saja dan tidak mengenai orang-­orang lainnya yang tersangkut juga[12]. Aliran fikiran adat tersebut dibenarkan oleh Ter Haar dengan pendapatnya bahwa Hakim harus diberi hak untuk memanggil seorang pihak ketiga untuk ikut serta didalam proses (ikut berperkara) sehingga hakim dapat memberi putusan terhadap segala orang yang berkepentingan.

D.   UPAYA INTERVENSI DI PENGADILAN AGAMA

Ketentuan  Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama  menyebutkan bahwa : Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini. Jika Pasal di atas dihubungkan dengan kekuasaan pengadilan agama yang tercantum dalam Pasal 49 Undang-undang 03 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang nomor7 tahun 1989 tentang peradilan agama mengatakan : Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris;c. wasiat; d. hibah;e. wakaf;f. zakat;g. infaq;h. shadaqah; dan  i. ekonomi syari'ah.
Dapat ditegaskan bahwa yurisdiksi Pengadilan Agama yaitu tidak meliputi Sengketa milik sebagaimana tersebut dalam Pasal 50 UU nomor 7 tahun 1989, yaitu dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
25
Berarti dalam perkara harta warisan, wasiat, hibah, wakaf dan shodaqoh sebagaimana Pasal 49 ayat (1) huruf h dan c dan juga mengenai harta bersama seperti dalam Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam, ada tersangkut sengketa milik apakah itu diantara sesama para pihak (penggugat /pemohon dengan tergugat/termohon) atau dengan pihak ketiga/penggugat intervensi, maka penyelesaiannya merujuk pada Pasal 50 UU Nomor 7 tahun 1989 yaitu khusus mengenai objek yang menjadi sengketa milik jatuh menjadi yurisdiksi Pengadilan Umum untuk memutus status pemilikan. Oleh karena itu menurut M. Yahya Harahap, SH. bahwa bertitik tolak dari pembatasan yurisdiksi tersebut, penerapan upaya intervensi di Pengadilan Agama tidak meliputi semua sengketa sebagaimana yang terdapat dilingkungan Pengadilan Umum . Bahkan dalam perkara di Pengadilan Agama maka intervensi dapat menyebabkan suatu perkara terhenti karena tidak masuk dalam kewenangan Pengadilan Agama, misalnya mengenai pemilikan atau keperdataan lain seperti yang dimaksud dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989[13].
Pendapat di atas jika dihubungkan dengan Pasal  86 ayat (2) Undang-undang Nomor 7/ 1989 mengenai tuntutan pihak ketiga (penggugat intervensi ) terhadap harta bersama, maka Pengadilan Agama menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Intervensi terjadi Dalam  Sengkketa Perceraian :
Di muka sudah dikatakan bahwa kedudukan pihak ketiga disebut sebagai penggugat intervensi sedangkan para pihak semula berkedudukan sebagai tergugat intervensi, gugatan intervensi dimungkinkan dalam sengketa perceraian apabila : Kalau gugat intervensi berdasar dalil hak milik, maka Pengadilan Agama tidak  berwenang menerima dan memeriksanya, intervensi tersebut jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Karenanya jika yang digugat intervensi seluruh harta yang disengketakan, pemeriksaan Pengadilan Agama dihentikan atau tergantung (aanhanging) atau "sub yudice" , menunggu penyelesaian Pengadilan Umum. Dan jika gugat intervensi sebagian,  Pengadilan Agama berhak meneruskan pemeriksaan sebagiannya yang bukan tersangkut sengketa milik. M. Yahya Harahap. SH.  berpendapat bahwa : kalau gugat intervensi didasarkan atas dalil :
-           Harta yang disengketakan adalah harta warisan orang tua penggugat intervensi bukan harta warisan para tergugat intervensi atau selain para pihak yang sedang berperkara, penggugat intervensi termasuk seorang ahli waris yang berhak mendapatkan bagian[14],  maka dalam kasus ini dapat diterapkan intervensi.
-           Lebih lanjut beliau mencontohkan jika para ahli waris bersengketa mengenai pembagian harta warisan peninggalan orang tua mereka, kemudian pihak ketiga mengajukan gugat intervensi dengan dalil harta yang disengketakan para ahli waris adalah miliknya, maka dalam hal di atas Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili sepanjang harta yang didalilkan penggugat intervensi sebagai miliknya.
-           Lain halnya jika orang masuk sebagai pihak ketiga yang melakukan intervensi, misalnya berkepentingan mempertahankan hak miliknya yang akan dibagi sebagai barang warisan. sungguh pun ia tidak beragama Islam, tetapi hal ini mengenai ketentuan dalam Pasal 50 Undang­-Undang nomor 7 tahun 1989 (termasuk keperdataan lain), maka syarat "orang yang beragama islam tidak perlu diperhatikan sebab dengan masuknya pihak ketiga itu, maka Pengadilan Agama akan menghentikan pemeriksaannya mengenai barang dimaksud tetapi tetap. meneruskan proses perkara sepanjang yang menyangkut barang-barang yang di intervensi .

Intervensi Terjadi Dalam  Sengkketa Hibah :
Sesuai dengan batasan kompetensi absolut yang digariskan oleh Pasal 50 Undang-undang nomor 7 tahun 1989, dalam sengketa hibah gugatan intervensi bersifat terbatas, keterbatasannya jika dalil gugat intervensi terdapat sengketa milik, maka Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan gugat intervensi dimaksud. Jadi, kebolehan gugat intervensi itu jika harta hibah yang disengketakan adalah milik penggugat intervensi, bukan milik penghibah. Ketentuan Pasal 213 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan : hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Hal ini dapat dipahami bahwa terbuka kebolehan mengajukan gugatan intervensi di Pengadilan Agama hanya terbatas jika penghibahan tidak sah kepada salah satu pihak berperkara. Padahal penggugat intervensi adalah termasuk salah satu ahli warisnya karena jelas bertentangan dengan Pasal 213 Kompilasi Hukum Islam. Atau hibah bertentangan dengan Pasal 214 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan : Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah dihadapan konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal ini. Jadi hibah yang dilakukan di luar negeri tanpa pengesahan konsulat atau kedutaan Republik Indonesia setempat boleh terbuka kemungkinan ada gugat intervensi di Pengadilan Agama.
Atau barangkali hibah telah lebih dahulu dihibahkan kepada penggugat intervensi, sehingga penghibahan yang dilakukan penghibah pada salah seorang yang sedang berperkara tidak sah[15]. Atau tidak sesuai dengan Pasal 210 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, yaitu orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga, dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Jadi hibah yang melebihi batas 1/3 bagian dapat dimungkinlcanterjadi gugat intervensi di Pengadilan Agama. Selanjutnya pada Pasal 210 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dikatakan : Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Dari pasal ini dapat dimengerti bahwa jika harta benda yang dihibahkan itu bukan mil ik si-penghibah maka kemungkinan saja dapat terjadi gugat intervensi di Pengadilan Agama. Karena mungkin saja terjadi hak-hak penggugat intervensi terlanjur ikut dihibahkan oleh si penghibah.


Intervensi Terjadi Dalam Sengketa Harta Bersama
Pasal 86 ayat (2) Undang-undang nomor 7 tahun 1989: Jika ada tuntutan pihak ketiga maka pengadilan menunda lebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu. Jadi tidak berbeda dengan sengketa warisan dan hibah, jika harta bersama yang disengketakan sebagian atau selumhnya adalah milik penggugat intervensi, sebagian atau seluruhnya harta bersama telah dibeli penggugat intervensi, sebagian atau seluruhnya telah diagunkan atau di hipotikkan penggugat intervensi. Dan gambaran diatas pihak ketiga tidak dapat mempergunakan upaya intervensi di Pengadilan Agama, karena tersangkut dengan sengketa milik. Demikian ini dapat di pahami dari Pasal 86 ayat (2) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 yang menurut M Yahya Harahap, SH terdapat tiga patokan dalam memahami Pasal diatas yaitu :
1.    Penundaan pemeriksaan harta bersama oleh Pengadilan Agama didasarkan apabila ada tuntutan pihak ketiga.
2.    Dalil bantahan yang dikemukakan para tergugat bahwa harta yang digugat adalah milik pribadi, jika dalil bantahan yang seperti itu diajukan dalam perkara sengketa
27
 harta bersama dan warisan, hal itu tidak dianggap sengketa milik atau keperdataan secara murni masih dalam rangkaian proses pemeriksaan yang berkenaan dengan tahap upaya pembuktian.
3. Dalam hal pihak tergugat mengajukan dalil bantahan bahwabarang terperkara adalah milik pihak ketiga, misalnya dikatakannya dipinjam, disewa, sebagai barang gadai atau agunan dari pihak ketiga, bantahan itu tidak dianggap sengketa milik atau sengketa perdata tetapi masih dalam rangkain proses tahap upaya pembuktian. Kecuali pihak ketiga menyampaikan gugat intervensi atau derden verzet [16].
Jadi dimungkinkan menerapkan upaya intervensi dilingkungan Pengadilan Agama sepanjang sengketa harta bersama adalah jika gugat intervensi didalilkan atau alasan harta yang di sengketakan sebagian atau seluruhnya bukan harta bersama para pihak, tetapi harta bersama penggugat intervensi dengan salah seorang pihak penggugat intervensi,. Kasus yang seperti ini biasa terjadi dalam perkawinan poligami.

Intervensi Terjadi  Dalam Sengketa Wakaf :
Pasal 218 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
1 Pihak yang rnewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian menerangkannya dalam bentuk ikrar wakafdengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi.
2. Dalam keadaan tertentu penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal di atas dapat dipahami bahwa penghibah (pewakaf) harus mengikrarkan wakafnya dihadapan Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf (PPAIW) dan disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi, jika tidak ada ikrar didepan PPAIW, maka terbuka kemungkinan penggugat intervensi mengajukan gugatan intervensi karena tidak ada ikrar didepan PPAIW. Sehubungan dengan masalah di atas Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
1. Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a.         Warga Negara Indonesia
b.        Beragama Islam
c.         Sehat jasmani dan rohani
d.        Sudah Dewasa
e.         Tidak dibawah pengampuan
f.         Bertempat tinggal dikecamatan letak benda yang diwakafkan
2. Jika berbentuk Badan Hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai herikut
a.          Bagian Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
b.        Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
3. Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
Dari Pasal di atas maka bahwa syarat-syarat untuk menjadi Nadzir harus dipenuhi agar dapat melaksanakan tugas sesuai hukum dan peraturan yang berlaku seperti juga dalam Pasal 6,7 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor.28 Tahun 1977 dan Pasal 8,9,10 dan 11 Peraturan Menteri Agama R.I. nomor 1 tahun 1978. Jika Nadzir tidak memenuhi syarat sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 219 Kompilasi Hukum Islam , Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 ,jo. Peraturan Menteri Agama R.I. nomor 1 Tahun 1978, maka dimungkinkan penggugat intervensi dapat mengajukan gugatan intervensi di Pengadilan Agama menolak atau mengabulkan gugat intervensi dengan putusan sela :
Setelah penggugat intervensi mengajukan permohonan/gugatan kepada Pengadilan Agama yang sedang memproses para pihak, maka Pengadilan Agama kemudian memberitahukan pemanggilan mereka untuk menghadap di Sidang pengadilan (Pasal 280RV). Permohonan dengan ii encantun ikan identitas (Pasal 281 RV). selanjutnya, jika Hakim yang memutus permohonan lit' memerintahkan para pihak untuk melanjutkan perkaranya, maka dalam putusan yang sama itu ditentukan pula hari mereka hams menghadap di muka persidangan untuk melanjutkan perkaranya itu (Pasal 282 RV). Pada Pasal terakhir ini dapat disimpulkan bahwa untuk mengabulkan atau menolak gugatan intervensi yaitu dengan menjatuhkan putusan sela, hal ini dibenarkan oleh Malikamalt Agung dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan Buku II halaman 126-128. Putusan demikian ini fungsi sebenarnya adalah untuk memperlancar pemeriksaan perkara sebelum putusan akhir yang mengakhiri sengketa. Sekalipun diucapkan dalam persidangan, namun hanya ditulis dalam Berita Acara .Dan putusan itu hanya dapat dim iittakan Banding bersama putusan akhir.
Dalam masalah yang tersangkut dengan Pasal 86 ayat 2 Undang-undang nomor 7 tahun 1989, maka Pasal itu harus terkait dengan ayat (1) sehingga jika ada tuntutan pihak ketiga intervensi ,maka Pengadilan Agama menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap tentang hal itu.

E.   KESIMPULAN :
Dari uraian tersebut diatas, maka penulis berkesimpulan :
1.    Upaya intervensi adalah pihak ketiga yang semula tidak turut sebagai pihak dalam suatu perkara yang sedang berjalan pada proses pemeriksaannya disidang Pengadilan, menerjunkan diri sebagai pihak (penggugat intervensi) terutama untuk membela hak dan kepentingannya sendiri, berhadapan penggugat dan tergugat semula.
2.    Dalam intervensi telah dikenal 3 bentuk yaitu Tussenkomst, Voeging dan Vrijwaring, Ketiga bentuk ini dimungkinkan yang paling banyak terjadi di Pengadilan Agama adalah bentuk yang pertama. Ketiganya tidak dikenal baik dalam HIR maupun RBg. Akan tetapi berdasar Pasal 279 dan 70 RV (Reglement of de Rechtvoordering) dan juga adanya kebutuhan praktek yang berlaku di Pengadilan.
3.    Penggugat intervensi mengajukan gugatan intervensi kepada ketua Pengadilan Agama yang  memuat secara lengkap  identitas penggugat intervensi, melawan penggugat dan tergugat semula, mencantumkan nomor perkara dan tanggal gugatan semula, menguraikan posita dan petitum gugatan intervensi  dan penggugat intervensi membayar panjar biaya perkaranya. Selanjutnya akan diproses melalui Penetapan majelis hakim, penetapan hari sidang, dipanggil untuk sidang dan seterusnya.
4.    Upaya Intervensi di Pengadilan Agama terbatas pada hal-hal yang bukan termasuk sengketa milik , pembatasannya dapat dilihat dari Pasal 50 Undang-undang nomor 7 tahun 1989, sehinga upaya intervensi di Pengadilan Agama dimungkinkan jika penggugat intervensi mempunyai hak dan membela kepentingannya sendiri berhadapan dengan para pihak baik dalam masalah warisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqoh dan ekonomi syari’ah atau masalah harta bersama yang tidak tersangkut sengketa milik atau keperdataan lain.
5.         Gugatan intervensi dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan (Hakim) dengan putusan Sela.
Penutup
         Demikian tulisan  ini  semoga ada  manfaatnya, sekian dan terimakasih.
                                                                     Blitar,   22 Maret 2018
                                                                                 Penulis

                                                                     Drs. H.  Sudono,  M.H.







C.      Komulasi Gugatan.
Komulasi gugatan tidak diatur dalam HIR atau BW, bahwa yang disebut dengan gugatan adalah diajukan oleh seorang, karena ia merasa haknya dilanggar. Jadi dalam hal ini ada kepentingan dari yang bersangkutan sehubungan dengan pe3ngajuan gugatan tersebut, yaitu adanya suatu fakta hukum yang menjadi dasar gugatan. Komulasi yang tidak ada hubungannya sama sekali adalah tidak benar.

Pada umumnya gugatan harus berdiri sendiri , penggabungan gugatan yang diperkenankan sepanjang masih dalam batas-batas tertentu, yaitu apabila pihak penggugat atau pihak tergugat  adalah mereka yang secara nyata telah bersengketa yang diajukan dimuka persidangan dan dalam penggabungan gugatan itu memang sudah diatur dalam undang-undang, sebagai contoh gugatan perceraian, didalamnya terdapat masalah lain yang melekat pada gugatan perceraian tersebut, seperti pembagian harta bersama, nafkah anak, nafkah istri dan penguasaan anak.

Contoh lain dalam hal gugatan hak waris, apabila suatu warisan diperebutkan oleh beberapa ahli waris, maka hal tersebut adalah diperbolehkan karena yang menjadi persengketaan pada hakekatnya adalah satu persoalan tentang kewarisan, bahkan hal ini sudah menjadi yurisprodensi Mahkamah Agung, bahwa dalam hal gugatan mengenai warisan, penggugat harus menggugat semua ahli waris sebagai pihak dalam perkara waris tersebut.

Permohonan penggabungan gugatan itu apabila diajukan oleh penggugat harus diajukan dalam surat gugatan kedua atau gugatan yang berikutnya, sedangkan apabila diajukan oleh pihak tergugat, maka hal itu harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama, apabila permohonan dikabulkan , maka perkara yang baru itu akan diserahkan kepada majlis hakim yang memeriksa perkara yang pertama untuk digabungkan, penggabungan dan komulasi gugatan diatur dalam pasal 134 dan 135 RV. Dalam bahasa Belanda disebut dengan voeging van zaken, untuk menggabungkan perkara tersebut dijatuhkan dengan putusan sela yang disebut dengan putusan insidentil.

Komulasi gugatan kemungkinan terjadi dalam 3 (tiga) bentuk yakni :
1.        Objective comulatie (Penggabungan obyektif).
Pengertian obyective comulatie (penggabungan obyektif) adalah apabila pihak penggugat mengajukan beberapa obyek gugatan dalam satu perkara sekaligus. Meskipun penggabungan obyektif gugatan secara khusus tidak ditemukan dalam Undang-undang, namun penggabungan obyektif seperti ini diperbolehkan dalam praktik acara peradilan Agama selama permasalahannya terkait erat dengan perkara pokoknya, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan proses berperkara dan tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Beberapa hal tidak diperbolehkan dalam komulasi obyektif yaitu :
a.     Penggabungan antara gugatan yang diperiksa dengan acara khusus seperti perceraian digabung dengan perkara perdata biasa (misalkan mengenai pelaksanaan perjanjian) 
b.    Penggabungan anatara dua atau lebih tuntutan yang salah satu diantaranya pengadilan tidak berwenang secara absolut untuk memeriksanya. 
c.     Penggabaungan antara tuntutan mengenai bezit dengan tuntutan mengenai eigendom.260. 

Komulasi obyektif dalam praktik di Pengadilan Agama kemungkinan terjadi dalam perkara perceraian yang digabungkan dengan tuntutan nafkah madhiyah, nafkah anak, pemeliharaan anak , dan nafkah iddah, Hal ini dimungkinkan karena masih terkait dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama.

2.        Subyective Comulatie (penggabungan subyektif).
Bentuk penggabungan subyektif bias terjadi apabila penggugat lebih dari satu orang melawantergugat yang lebih dari satu orang juga, Hal ini diperbolehkan menurut hukumacara perdata, dengan catatan tuntutan penggugat tersebut harus ada hubungan erat satu sama lain.261

3.        Concursus (kebersamaan)
Komulasi kebersamaan yang dimaksud adalah apabila seseorang penggugat mempunyai beberapa tuntutan yang meneju pada suatu akibat hukum saja.  Dimana apabila satu tuntutan sudah terpenuhi, maka tuntutan yang lain dengan sendirinya terpenuhi juga. Contoh permonan pemohon dalam hal terlaksanya pernikahan yang terhambat karena masalah wali adhal, dispensasi nikah, dan ijin kawin. Ketiga hal tersebut hamper serupa dalam persoalannya dan memiliki tujuan yang sama pula yakni terlaksanya pernikahan, maka ketiga hal tersebitdapat digabung menjadi satu, sehingga apabila ijin kawin dikabulkan maka dengan sendirinya kedua hal yang lain tersebut mengikutinya.     [17] 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”[18]
Masuknya Pihak Ketiga Dalam Proses Perkara
Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst, dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg, tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv (Pasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv), sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum formil
Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat
Dalam hal ada permohonan voeging, hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, selanjutnya dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.
Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut bertanggung jawab atas cacat itu
Setelah ada permohonan vrijwaring, hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut.
Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke PT harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri
Apabila permohonan dapat dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabung gugatan intervensi ke dalam perkara pokok.
(diambil dari Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum Edisi 2007 yang dikeluarkan oleh Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007)[19]



[1] Adalah Hakim Madya Utama Pengadilan  Agama Blitar Kelas 1 A.
[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[3] https://vjkeybot.wordpress.com/2012/03/25/hukum-acara-peradilan-agama/
[4] H.Zein Badjeber , Abd Rahman Saleh S.H.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Komentar Pustaka Amani jakarta, tt hal. 97
[5] Mahkamah  Agung RI, Dirjenbapera , Pedoman Pelaksanaan Tugas dan  Administrasi Peradilan Agama Buku II, Jakarta, 2013, hal. 80.
[6] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan  Administrasi Peradilan Agama Buku I, Jakarta, Agustus, 1993, hal. 126..

[7] Dr. Andi Hamzah, SH., Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal.726.
[8] M . Yahya Harahap, SH., Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Yayasan Al hikmah, Jakarta, 1993, hal. 40.
[9] Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI ,PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1989, hal. 634.
[10] H.Zein Badjeber, Abd. Rahman Saleh,  S.H., Op.cit. hal.  64.
[11] Prof. Dr.R. Supomo,S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta,1980, hal. 29.
[12] Ibid., Hal. 30.
[13] H.Zein Badjeber, Abd. Rahman Saleh,  S.H., Op.cit. hal. 85.

[14] M.Yahya Harahap, S.H.,Loc.cit. hal. 41.
[15] H.Zein Badjeber, Abd. Rahman Saleh,  S.H., Op.cit. hal.69.
[16] M.Yahya Harahap, S.H., Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Pustaka kartini, Jakarta, 1993, hal. 180-181.
[17] http://legalstudi.blogspot.co.id/2016/12/gugatan-intervensi-dalam-hukum-acara.html
[18] https://vjkeybot.wordpress.com/2012/03/25/hukum-acara-peradilan-agama/
[19] https://anggara.org/2008/08/27/masuknya-pihak-ketiga-dalam-proses-perkara/