Minggu, 07 Maret 2021

OPTIMALISASI PERADILAN ELEKTRONIK DALAM MEWUJUDKAN PERADILAN YANG AGUNG

 

 

 

OPTIMALISASI PERADILAN ELEKTRONIK DALAM MEWUJUDKAN

PERADILAN YANG AGUNG

 

Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1]

Hakim Utama Muda Pengadilan Agama Blitar Kelas I A

 

Latar Belakang Masalah

 

            Dalam rangka HUT IKAHI ke-68 Tahun 2021 dengan Tema “Soliditas IKAHI Dalam Mengawal Modernisasi Peradilan di Era Pandemi Covid 19 Menuju Peradilan Yang Agung”. Dalam sambutannya Ketua Mahkamah Agung RI, Bapak Dr. H. M. SYARIFUDDIN, S.H., M.H. menyampaikan bahwa pada situasi covid-19 yang saat ini terjadi menjadi momentum yang tepat dalam memaksimalkan pemanfaatan teknologi untuk diabdikan bagi penyelenggaraan peradilan. Pondasi yang telah diletakkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2018 melalui administrasi perkara di pengadilan secara elektronik (e-Court), dilanjutkan dengan lompatan berikutnya pada tahun 2019 dengan persidangan elektronik (e-Litigation), memberikan manfaat yang sangat besar bagi lembaga peradilan dalam menghadapi masa krisis ini. Sistem yang telah dibangun membuat peradilan Indonesia lebih cepat dan efektif dalam merespons tantangan sebagai dampak dari pandemi COVID- 19.

Krisis ini harus kita jadikan sebagai kesempatan untuk meningkatkan kinerja lembaga peradilan, karena bekerja dengan teknologi pada hakekatnya adalah bekerja secara efisien dan efektif untuk mencapai hasil yang maksimal sehingga kita dapat memenuhi kebutuhan para pencari keadilan dengan cepat, transparan, akuntabel, dan adil.

 Dewasa ini, media elektronik harus dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk berbagai keperluan, termasuk oleh Pemerintah. Salah satunya sebagai media untuk akses pelayanan publik, yang melingkupi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif. Pelayanan publik merupakan suatu kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara negara pelayanan publik yaitu institusi penyelenggara negara, korporasi, dan lembaga independen.

 Penyelenggaraan pelayanan publik telah diatur dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menandai adanya kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan publik. Undang-Undang Pelayanan Publik menyatakan bahwa pelayanan publik harus dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan demi menciptakan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik yang harus dijunjung tinggi.

Namun pada implementasinya, pelayanan publik oleh aparatur pemerintah dalam hal ini aparat peradilan masih banyak dijumpai kelemahan dan belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan banyaknya keluhan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap penyelenggara pelayanan publik. Hal ini dapat dilihat dalam masa pandemi Covid 19 terutama di Pengadilan Agama di Jawa Timur terutama Pengadilan Agama Bitar bisa berimbas lock down yang rata-rata selama  6 hari kerja[2], berakibat pada aparatur peradilan yang terpapar covid 19, khususnya hakim yang tidak bersidang sesuai hari yang telah ditetapkan sebelumnya,  belum lagi masalah panggilan yang seharusnya dilasanakan oleh  Jurusita, Jurusita Pengganti, menjadi terhambat sehingga penundaan sidang menumpuk.

Bahwa untuk mengoptimalisasikan  PERADILAN ELEKTRONIK DALAM MEWUJUDKAN PERADILAN YANG AGUNG sampai hari ini masih ada hambatan sepanjang masa-masa pandemi ini belum berakhir. Dalam rangka menciptakan sistem layanan pengadilan berbasis elektronik yang berdayaguna dan berkemanfaatan, maka perlu dilakukan pengkajian serta penelaahan terkait sistem hukum yang mendasari pembentukannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman mengenai pembaharuan sistem hukum, dibutuhkan keseimbangan pada ketiga unsur hukum untuk menciptakan sistem hukum yang berjalan efektif, yang meliputi:

1.     Substansi hukum (sistem substansial), meliputi pembaharuan bidang hukum materiil, hukum formal, serta hukum pelaksanaan.

2.     Struktur hukum (sistem struktural), tercakup di dalamnya pembaharuan badan penyidik, badan penuntut, badan pengadilan, serta badan pelaksana pelayanan publik.

3.     Budaya hukum (sistem kultural), meliputi pembaharuan bidang moral pelaku, serta pendidikan hukum mengenai pelayanan publik.

 Pertama, faktor substansi hukum mensyaratkan peraturan hukum yang akan ditegakkan dengan pengkaidahannya harus jelas dan tegas serta tidak mengandung multi-interpretasi. Dalam hal ini, adanya sistem layanan pengadilan berbasis elektronik telah sesuai dengan amanat Pasal 28 F UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan, seperti Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, UndangUndang tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan aturan organik  lainnya yang mengatur lebih khusus terhadap sistem layanan pengadilan tersebut.

Kedua, faktor struktur hukum sangat ditentukan oleh aparat penegak hukum, yaitu orang-orang atau pejabat-pejabat yang secara langsung berhubungan dengan pelaksanaan, pemeliharaan, dan usaha mempertahankan hukum. Seorang penegak hukum harus menguasai makna kaidah-kaidah hukum yang ada, baik tertulis maupun tidak tertulis, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, dapat mengikuti perkembangan masyarakat dan kebutuhannya, harus mengetahui batas wewenangnya, mempunyai keterampilan dalam melaksanakan tugasnya, serta memiliki integritas[3].

Ketiga, faktor kultural masyarakat atau budaya hukum, yang berupa suatu jaringan nilai-nilai dan sikap yang berhubungan dengan hukum, sehingga menentukan kapan dan mengapa orang-orang berpaling kepada hukum, atau kepada pemerintah, atau meninggalkannya sama sekali. Tentunya, dalam pelaksanaan setiap kebijakan dan tindakan, pemerintah hendaknya melibatkan partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan dalam rangka penegakan hukum di pelayanan publik[4]. selanjutnya, Lawrence M. Friedman menjelaskan lebih lanjut mengenai budaya masyarakat, bahwa budaya hukum merupakan ide-ide, sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum[5].

Adanya Perma 1/2019 selain melayani administrasi secara elektronik (e-court), juga melayani persidangan secara elektronik (e-litigasi) dalam pasal 1 poin 7 dijelaskan bahwa persidangan elektronik merupakan serangkaian proses memeriksa dan mengadili perkara oleh pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi[6]. Berdasarkan pengalaman penulis sejak masa-masa pandemi covid-19, Pengadilan Agama menerima pendaftaran perkara secara elektronik (e-court) namun proses persidangan masih belum dapat dilakukan secara elektronik (e-litigasi) hal tersebut disebabkan harus mendapat persetujuan dari pihak Tergugat/Termohon yang panggilannya dilakukan secara manual, dan harus menghadap ke persidangan, baru setelah mediasi gagal hakim wajib memberitahukan hal tersebut, meskipun bisa melakukan proses pendaftaran secara elektronik (e-court) namun sidang harus tetap manual seperti biasa. Jika merujuk pada Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Hakim dan Aparatur Peradilan dalam Upaya Mencegah Covid-19 di Lingkungan Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan di bawahnya, yang berkaitan dengan persidangan seperti penundaan persidangan dan pembatasan pengunjung merupakan kewenangan majelis hakim perkara tersebut, majelis hakim bisa membatasi jarak aman para pihak (social distancing), dan persidangan perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara pencari keadilan disarankan untuk memanfaatkan e-litigasi.

 

Rumusan Masalah

           Setelah Penulis mengemukakan latar belakang masalah, maka rumusan masalahnya  adalah sebagai berikut: 

1.     Dengan situasi pandemi covid-19 sekarang ini berakibat banyak kantor Pengadilan Agama yang loucdown maka  strategi apa saja agar Pengadilan Agama secara optimal mendayagunakan  aparatnya semaksimal mungkin dalam melaksanakan peradilan elektronik.

2.     Dalam asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan peradilan elektronik sangat diperlukan dan menjadi kebutuhan masyarakat modern karenanya bagaimana peradilan elektronik tersebut dapat menjangkau ke masyarakat lapisan bawah  yang belum mengenal e-court.

 

Pembahasan

 

a.    Mengenal  e-Court

E-Court adalah layanan bagi Pengguna Terdaftar untuk Pendaftaran Perkara, Mendapatkan Taksiran Panjar Biaya Perkara , Pembayaran dan Pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik dan secara daring. Adapun layanan-layanan yang ada pada aplikasi e-Court ialah e-Filing (Pendaftaran Perkara Online di Pengadilan), e-Payment (Pembayaran Panjar Biaya Perkara Online) dan e-Summons (Pemanggilan Pihak secara daring).

E-court sendiri telah memiliki payung hukum yang tertuang pada Peraturan Mahkamah Agung Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Di Pengadilan Secara Elektronik. Peraturan tersebut diketahui bahwa Aplikasi tersebut dibentuk dengan beberapa pertimbangan, diantaranya dilatar belakangi oleh Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa  “Pengadilan membantu mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.”demikkin juga dalam ayat Al-Qur’an yang menjelaskan kewajiban bagi para penegak hukum untuk berlaku adil dalam menetapkan atau memutuskan perkara diantara manusia sebagai pencari keadilan[7].

Tentang optimalisasi dijelaskan dalam kamus Umum Bahasa Indonesia yaitu menjadikan paling baik[8], paling tinggi dalam segala hal. Sedangkan peradilan elekronik adalah E-Court atau yang lebih akrab dengan istilah peradilan secara elektronik merupakan terobosan yang diluncurkan oleh Mahkamah Agung dibidang administrasi pelayanan peradilan berbasis elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi (TI) dengan berlandaskan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik. Hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan pelayanan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan serta untuk mengikuti tuntutan dan perkembangan zaman serta pelayanan administrasi peradilan yang cepat dan efisien.

E-court merupakan salah satu bentuk implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (“SPBE”). SPBE telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (Perpres 95/2018).

PERMA Nomor 3 Tahun 2018 sendiri mengatur mengenai pengguna, pendaftaran perkara, pembayaran panjar biaya perkara, pemanggilan para pihak yang semuanya dilakukan secara elektronik. Menurut PERMA Nomor 3 Tahun 2018, pengguna yang dapat beracara menggunakan e-Court hanya pengguna terdaftar. Pengguna terdaftar yaitu advokat yang telah diverifikasi di Pengadilan Tinggi. Dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2018 pun belum mengatur mengenai persidangan secara elektronik. Maka dari itu, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tanggal 9 Agustus 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik. Dampak dari keluarnya peraturan terbaru tersebut, Mahkamah Agung melakukan terobosan baru dalam aplikasi e-Court dengan menambahkan menu e-litigation (persidangan secara elektronik).

Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga yang berhubungan erat dengan Kementerian Keuangan khususnya pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Seksi Hukum dan Informasi (HI) pada unit Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Salah satu tugas pokok jabatan pada seksi HI ialah penanganan perkara tepat waktu. Pelaksana seksi Hukum dan Informasi ditugaskan untuk melaksanakan hal-hal yang terkait dengan persidangan, seperti melakukan permohonan Surat Kuasa Khusus (SKU), menghadiri sidang, menyusun jawaban, duplik, pembuktian, dan kesimpulan. Dengan keterkaitan tersebut, seringkali kebijakan-kebijakan pada lembaga peradilan memberikan dampak tersendiri pada unit HI KPKNL.

Dalam mewujudkan tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan perlu dilakukan pembaruan guna mengatasi kendala dan hambatan dalam proses penyelenggaraan peradilan. Selain itu, tuntutan perkembangan zaman yang mengharuskan adanya pelayanan administrasi perkara di pengadilan secara lebih efektif dan efisien menjadi latar belakang dibentuknya e-court. Seperti yang kita ketahui, kemajuan perkembangan teknologi informasi menjadikan kemudahan sebagai sebuah tuntutan. Efisiensi dan efektifitas hal-hal yang dapat diakses secara daring sudah tidak diragukan lagi.

Untuk menjawab 2 rumusan masalah tersebut, terlebih dahulu Penulis dalam hal ini menawarkan  bahwa untuk melakukan optimalisasi sistem E-Court, yakni dengan upaya-upaya berikut:

1.  Penguatan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan pelatihan atau bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas menjadi hal yang utama, mengingat keberhasilan layanan SIPP dan ECourt tidak terlepas dari peran penegak hukum sebagai pelaksana. Selain itu, penguatan kualitas SDM juga harus dilakukan terhadap pihak berperkara sebagai user atau pengguna. Maka sosialisasi yang intensif merupakan cara yang solutif agar masyarakat memahami perkambangan yang terjadi dalam proses peradilan di Indonesia.

 2.  Pemberian Fasilitas Coaching bagi Pihak Berperkara Sistem layanan pengadilan berbasis elektronik dapat dikatakan hal yang baru dalam sistem peradilan Indonesia. Oleh karena itu, penjelasan mengenai mekanisme E-Court tidak cukup sebatas melalui website terkait, namun pihak pengadilan wajib memberikan penjelasan lebih lanjut (Coaching) kepada pihak berperkara baik penasihat hukum maupun tergugat dan penggugat. Sebab pengguna user yang dapat terdaftar pada E-Court hanya penasihat hukum yang telah mendapat validasi dari MA.

3.  Pengintegrasian SIPP dan E-Court menjadi Satu Pintu Pada dasarnya, salah satu menu pada layanan SIPP dan E-Court memiliki fungsi yang sama, yaitu memberikan informasi proses perkara di pengadilan.

Karenanya untuk menghindari in-efisiensi kerja, maka SIPP dan E-Court dapat diintegrasikan dan bergerak menjadi satu fungsi melaui E-Letigation. E-Letigation ini akan memberikan kemudahan dalam proses berperkara, mulai dari pendaftaran perkara, pertukaran dokumen (jawaban, replik, duplik, kesimpulan) hingga  putusan pengadilan secara elektronik[9]. Dengan penyatuan fungsi tersebut, maka sistem layanan pengadilan dapat berjalan lebih efektif dan efisien menuju peradilan yang modern. Mekanisme Peradilan Elektronik atau E-court

Mengenai  administrasi  panggilan  secara  elektronik,  para   pihak yang akan menghadiri sidangpun juga akan dipanggil dalam   menyampaikan  secara  elektronik.  Kemudian  penggugat  atau  pemohon  akan  melakukan  pendaftaran  secara  elektronik  dan memberikan  persetujuan  secara  tertulis.  Lalu  tergugat  atau  termohon  setelah  menyatakan  persetujuannya  kemudian  akan  dipanggil  secara  elektronik,  dan  kuasa  hukum wajib  mendapatkan persetujuan tertulis dari prinsipal untuk beracara secara elektronik[10].  Selanjutnya  juru  sita  atau  juru  sita  pengganti  akan  mengirimkan surat panggilan persidangan kepada para pihak secara elektronik  melalui  sistem  informasi  pengaduan  (SIP).  Panggilan tersebut akan dikirim secara elektronik ditujukan ke daerah domisili elektronik  para  pihak.  Bagi  yang  berada  di  luar  wilayah  hukum,  maka  pengadilan  akan  mengirimkan  surat  dan  tembusan  kepada pengadilan  di  wilayah  hukum  tempat  pihak  tersebut  berdomisili.

Perlu ditegaskan juga  bahwa  panggilan secara elektronik ini adalah sah  dan  patut,  sepanjang  panggilan  tersebut  terkirim  ke  domisili elektronik  dalam  tenggang  waktu  yang  ditentukan  oleh  undang-undang. Terkait  salinan putusan  atau  penetapan pengadilan  yang diterbitkan  secara elektronik  kemudian dikirimkan  kepada  para pihak  paling  lambat  14 hari  sejak  putusan  atau penetapan  diucapkan. Sedangkan untuk perkara kepailitan  atau  PKPU, maka salinan putusan atau penetapan pengadilan dikirimkan paling lambat selama 7 hari  sejak putusan atau penetapan diucapkan.

Dalam  PERMA  Nomor  1  tahun  2019  juga  dengan  jelas menyebutkan  bahwa  Informasi  perkara  yang  ada  dalam  Sistem Informasi  Pengadilan  (SIP)  memiliki  kekuatan  hukum  yang  sama dengan  buku  register  perkara  sebagaimana  dimaksud  dalam perundang-undangan.

Selain itu, masyarakat dapat menggunakan aplikasi pelayanan publik ini dengan lebih mudah karena hanya membutuhkan satu pintu saja (PTSP). Dengan adanya keterbukaan dan jaminan hak untuk memperoleh informasi pengadilan, maka pencari keadilan, publik, dan media massa dapat mengamati, memantau, dan mengkritisi proses peradilan. Kontrol publik terhadap pengadilan tidak akan terjadi jika keterbukaan dan jaminan untuk memperoleh informasi tidak ada. Maka, optimalisasi sistem layanan pengadilan berbasis elektronik yang mengakomodasi keterbukaan informasi pengadilan menjadi kunci dan sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Dengan demikian, cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang modern dapat segera diterapkan di Indonesia.

Oleh karena itu, melalui penggunaan sistem layanan pengadilan berbasis elektronik yang optimal, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berkontribusi menggunakan sistem layanan yang tersedia, serta digunakan sebagai media untuk memberikan pengawasan dalam pelaksanaan sistem peradilan. Sehigga pengawasan pejabat publik di lembaga peradilan tidak hanya dilakukan oleh lembaga berwenang, namun juga dilakukan secara langsung oleh masyarakat, untuk menjamin keterbukaan informasi di lembaga peradilan dan mengantarkan badan peradilan Indonesia menuju peradilan yang modern.

Mahkamah Agung telah melakukan terobosan baru dengan meluncurkan aplikasi pengadilan elektronik (e-court). Aplikasi ini merupakan implementasi peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara elektronik. Di dalamnya terdiri dari 26 pasal yang mengatur mulai dari penggunaan layanan adminitrasi perkara secara elektronik, pendaftaran administrasi  perkara, pemanggilan para pihak, penerbitan salinan putusan, dan tata kelola administrasi dilakukan secara online. Perma ini merupakan bentuk modernisasi penyelenggaraan peradilan dan reformasi hukum acara yang memanfaatkan teknologi informasi untuk kemudahan bagi para pencari keadilan.

 Sampai dengan saat ini administrasi perkara secara elektronik hanya dapat digunakan oleh advokat, sayangnya utuk  masyarakat awam belum menjangkaunya masih dilakukan mulai dari pembayaran biaya perkara, pemangilan, jawaban, replik, duplik dan kesimpulan, dan hanya pembuatan gugatan / permohonan dapat melalui posbakum yang disediakan oleh Pengadilan Agama bekerjasama dengan Perguruan Tinggi setempat.

Tentunya  dimasyarakat ada plus minus dalam e-court karena dengan  e-court panjar biaya perkara menjadi lebih murah dan pemanggilan  menjadi lebih cepat karena dilakukan secara elektronik melalui domisili elektronik yang telah terverifikasi ketika melakukan pendaftaran. Panggilan yang disampaikan secara elektronik merupakan panggilan yang sah dan patut, sepanjang panggil tersebut terkirim ke domisili elektronik dalam waktu yang ditentukan sesuai UU dalam hukum acara.

  Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa keuntungan pendaftaran  perkara secara online melalui aplikasi e-court, antara lain :

1)  menghemat waktu dan biaya dalam proses pendaftaran perkara;

2) pembayaran panjar biaya perkara dapat dilakukan dengan berbagai metode pembayaran dan bank;

3) dokumen terarsip secara baik dan dapat diakses dari berbagai lokasi dan media;

4) proses temu kembali (searching) data lebih cepat.

Sebagaimana pernyataan Dr. Drs. H. Aco Nur, S.H., M.H Direktur Badan Peradilan Agama bahwa kita harus berlari merespon modernisasi. Maka dari itu diharapakan dengan berlakunya Perma No. 3 Tahun 2018 ini memberikan banyak kebermanfaatan bagi manfaat kepada masyarakat dengan proses peradilan menjadi mudah, cepat dan biaya ringan. Hal ini juga dapat menjadi pembelajaran bagi aparatur peradilan dan masyarakat untuk mulai mengubah pola berfikir /mindset sesuai dengan perkembangan jaman dan teknologi yang ada. Selain itu dengan diterapkannya e-Court dapat mempersempit dan meniadakan kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku korupsi.

Untuk merespon perkembangan dunia teknologi ini, maka Pemerintah segera  merespon dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No.95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. Hal ini direspon pula oleh Perangkat Penegak Hukum (Yudikatif) dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik. Namun isi PERMA ini masih sebatas mengatur mengenai jenis perkara Perdata, Perdata Agama, Tata Usaha Negara (TUN), Tata Usaha Militer.

Belum terpikirkan saat itu bagi Mahkamah Agung untuk membuat suatu aturan secara online bagi penanganan perkara-perkara Pidana. Hingga suatu peristiwa/keadaan luar biasa yang terjadi yakni wabah Covid-19 (Corona) yang mewabah di seantero penjuru dunia, termasuk Indonesia. Tingkat penularan yang cukup tinggi di Indonesia, direspon Pemerintah dengan berbagai aturan dan kebijakan yang melarang adanya kerumunan bahkan kegiatan pekerjaan di perkantoran sudah beberapa kali ditutup. Hanya beberapa bidang usaha saja yang diperbolehkan tetap beroperasi.

Merespon hal di atas, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama masa pencegahan penyebaran corona virus disease (Covid-19) di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya. SEMA ini pun sudah beberapa kali diubah dengan isi relatif kurang lebih sama, namun memperpanjang pemberlakuan Pedoman di atas. Karena SEMA Nomor 01/2020 di atas, awalnya dibuat dari bulan Maret 2020 hingga Mei 2020, dan akan dilakukan evaluasi melihat perkembangan situasi wabah Covid yang terjadi.

Yang ternyata hingga kini, bulan maret 2021 wabah masih terus berlangsung, hingga SEMA telah diubah dengan SEMA No.02/2020, SEMA 03/2020. Bahkan, pada bulan April 2020 Mahkamah Agung juga telah membuat Perjanjian Kerjasama dengan Kejaksaan Agung dan Kementrian Hukum dan Ham tentang Pelaksanaan Persidangan melalui Teleconference (Online). Isi pelaksanaan Persidangan melalui Teleconference, terdapat 6 hal yang diatur pada pasal 5, antara lain: Para Pihak melakukan Sosialisasi, Menyiapkan perlengkapan persidangan di tempat/kantor masing-masing, saling berkoordinasi dengan tetap memperhatikan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, biaya ringan dan Terbuka untuk umum, dalam perkara tertentu persidangan tertutup untuk umum (Perkara Asusila, Anak), tetap memperhatikan hak-hak Terdakwa, saksi korban dan terakhir memperhatikan Situasi dan Kondisi tempat termasuk waktu jika dilakukan diwilayah yang berbeda.

Perangkat ketentuan terbaru dikeluarkan Mahkamah Agung pada tanggal 25 September 2020 yaitu PERMA No.04/2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik (Online) yang telah diundangkan pada Berita Negara Republik Indonesia tanggal 29 September 2020. Dalam PERMA No.04/2020 ini, telah mengatur secara spesifik mengenai Pedoman dalam Penanganan Perkara Pidana secara elektonik (online). Dalam PERMA N0.04/2020, terdapat aturan yang menjadi landasan dapat diberlakukannya Sidang secara Elektronik[11].

Untuk memenuhi tuntutan proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, Mahkamah Agung kini mengembangkan aplikasi e-Court ini dengan fitur e-litigasi, sehingga semua proses penyelesaian perkara dapat dilakukan secara elektronik tanpa hadirnya para didepan pengadilan[12]. Tanggal 19 Agustus 2019 merupakan momen penting dengan adanya perubahan paradigma penyelesaian perkara secara manual berubah secara keseluruhan berbasis teknologi informasi, hal ini merupakan batu loncatan sangat signifikan bagi Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya dalam penyelesaian perkara perdata dengan di launchingnya aplikasi elitigasi, aplikasi e-litigasi adalah kelanjutan dari e-court yang diberlakukan untuk perkara perdata, perdata agama, tatausaha militer, dan tata usaha negara sejak tahun lalu.

Aplikasi e-litigasi migrasi dari sistem manual ke sistem elektronik tidak hanya dilakukan pada tataran administrasi perkara saja, namun dalam praktek persidangan. Sistem elektronik tidak hanya diberlakukan dalam pendaftaran perkara, pembayaran panjar dan panggilan para pihak, tetapi diberlakukan juga dalam pertukaran dokumen jawab-jinawab, pembuktian, dan penyampaian putusan secara elektronik. Aplikasi e-litigasi selain memperluas cakupan aplikasi sistem elektronik, kehadiran e-litigasi juga membuka lebar praktek peradilan elektronik di Indonesia. Hal ini tergambar dengan setidak-tidaknya dua indikator selain yang disebutkan sebelumnya. RENCANA STRATEGIS MAHKAMAH AGUNG RI 2020 – 2024.

Pertama, e-litigasi memperluas cakupan subyek hukum yang dapat memanfaatkan sistem peradilan elektronik. Semula hanya untuk para advokat sebagai Pengguna Terdaftar, hingga mencakup juga Pengguna Lain yang meliputi Jaksa selaku Pengacara Negara, Biro Hukum Pemerintah/TNI, Polri, Kejaksaan RI, Direksi/Pengurus atau karyawan yang ditunjuk badan hukum, dan kuasa insidentil yang memenuhi syarat sebagai pengguna Sistem Informasi Peradilan.

Kedua, pemanfaatan e-litigasi tidak hanya untuk persidangan di tingkat pertama, tetapi juga bisa dilakukan untuk upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali terhadap perkara yang menggunakan e-litigasi pada tingkat pertama, berbagai manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat pencari keadilan jika menggunakan e-litigasi yaitu :

a. Menjadikan sistem peradilan lebih sederhana dan lebih cepat. Para pihak berperkara juga tidak perlu berlama-lama antri menunggu persidangan yang selama ini sering dikeluhkan, sehingga proses persidangan juga menjadi lebih cepat.

b. Sistem ini dapat menjembatani kendala geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari bentangan ribuan pulau.

c. Jumlah layanan dukungan manajemen eselon I, layanan perkantoran, dan layanan sarana dan prasarana menekan biaya perkara karena proses peradilan dilaksanakan secara elektronik, seperti biaya pemanggilan, kehadiran di persidangan untuk jawab menjawab, pembuktian maupun mendengarkan pembacaan putusan.

d. Sistem elektronik meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Sistem e-litigasi membatasi interaksi langsung antara pengguna layanan peradilan dengan hakim dan aparatur peradilan, dengan mengurangi kedatangan pengguna layanan ke pengadilan serta mengkanalisasi cara berinteraksi, sehingga meminimalisir kemungkinan penyimpangan etik maupun pelanggaran hukum.

e. Mahkamah Agung menyatakan bahwa kehadiran e-litigasi meredesain praktek peradilan Indonesia setara dengan praktik peradilan di negara-negara maju. Perubahan sistem peradilan dengan menu e-litigasi ini disadari membutuhkan proses dan menghadapkan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya pada tantangan yang tidak mudah.

           Selanjutnya menurut  Sofyan ketua I PP IKAHI menyatakan bahwa nantinya, sistem persidangan perkara pidana secara daring ini akan dituangkan dalam bentuk Peraturan MA (Perma) tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik. “Sampai saat ini sudah tersusun 28 pasal yang akan menjadi pedoman bagaimana pelaksanaan persidangan perkara pidana elektronik di pengadilan  Sehinga menurut beliau tantangan yang dihadapi Mahkamah Agung RI dalam menyelenggarakan persidangan secara daring harus tetap memenuhi berbagai asas hukum layaknya persidangan biasa, seperti terbuka untuk umum, peradilan yang jujur, imparsial, dan berbagai norma yang diatur dalam KUHAP. “Paling penting dalam persidangan elektronik ini hak para pihak untuk mendapatkan keadilan tidak boleh dikurangi[13]

Dalam masalah mengoptimalkan  e-court secara online menurut penulis ada hal yang paling utama dan menjadi kunci keberhasilan peradilan secara online adalah adanya dukungan sarana dan prasarana. Jangan sampai  persidangan di Pengadilan tidak bisa tepat waktu karena kesiapan masing-masing pihak belum seragam untuk melaksanakan persidangan secara daring ini. Begitu juga kualitas koneksi yang berbeda-beda dan bahkan ada yang terputus ketika persidangan berlangsung, sehingga menghambat jalannya proses persidangan, kartenanya  “Pemerintah perlu menerbitkan regulasi anggaran yang mendukung sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk persidangan pidana maupun perdata secara daring.

 

b.     Mendayagunakan  aparatnya semaksimal mungkin

         Jurusita, hakim, dan aparatur Pengadilan Agama  terpapar covid-19 dengan cara masuk dinas WFH sedangkan yang WFO harus dibatasi agar tujuan pemberantasan covid-19. Berdasarkan surat ketua Pengadilan Agama Blitar nomor Keputusan Ketua Pengadilan Agama Blitar  Nomor W13-A10/079/HM.00/2/2021 tentang  Pemberlakuan  Pembatasan pelayanan dan Pengaturan Sistem Kerja Aparatur Pengadilan Agama Blitar tanggal 19 Pebruari 2021, ternyata  dapat mengatasi hambatan dan sekaligus sebagai strategi untuk menghambat penyebaran covid-19 terutama dilingkungan Pengadilan Agama Blitar.  Berdasarkan surat keputusan KPA Blitar tersebut tentu jadwal persidangan yang sudah ditentukan menjadi tundaan seminggu berikutnya.

Imbas dari pemberlakuan loucdown dan karena jurusita banyak yang terpapar covid-19 atau OTG dengan hasil swab positif diteruskan dengan isolasi maka beberapa perkara baru yang telah ditentukan hari persidangannya banyak yang belum terpanggil. Belum lagi panggilan untuk perkara baru yang membutuhkan tabayun, padahal panggilan itu menyampaikan secara resmi (official) dan patut (proferly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan[14] dan karena kondisi pandemi covid-19 maka panggilan cukup melalui Pengumuman di Pengadilan Agama.

Demikian juga perkara-perkara yang sudah dikonsep oleh Majelis hakim untuk dibacakan pada hari sidang yang telah ditentukan  juga mengikuti surat keputusan tersebut yang pada pokoknya pembacaan putusan mengalami penundaan. Sehubungan dengan kondisi pandemi covid -19 dan adanya optimalisasi persidangan ternyata mareka (para pihak, termasuk Pengacara ) sangat memahami kondisi saat pandemi ini dan tidak mempersoalkan tentang penundaan sidang.

Oleh karena setiap petugas biasanya telah siap memberikan pelayanan yang prima kepada pencari keadilan yang bertugas di (pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) juga banyak yang positif covid-19 sehingga sedikit banyak menjadi hambatan pelayanan prima, akan tetapi pimpinan Pengadian Agama Blitar selalu merespon hal-hal yang menghambat pelayanan dengan menunjuk petugas lainnya agar para pencari keadilan tetap merasa terlayani dengan puas dan mempu menerima kondisi pandemi sekarang ini, seperti kapan menerima akta cerai (AC), kapan menerima salinan putusan / penetapan.

 

Kesimpulan

 Berdasarkan yang penulis uraikan diatas, maka dapat merumuskan kesimpulan sebagai berikut :

1.     Bahwa optimalisasi  peradilan elektronik (e-court) dalam mewujudkan peradilan yang agung di Pengadilan Agama saat pandemi Covid-19 belum berjalan maksimal, karena unsur jurusita, hakim baik sebagai ketua majelis maupun anggota majelis, ASN,  ada yang terpapar covid -19, tentu akan berpengaruh terhadap kelancaran persidangan, karenanya sidang ditunda selama satu minggu, oleh karenanya salah satu terobosan untuk optimalisasi peradilan elektronk yang berhubungan dengan pelaksanaan persidangan pimpinan Pengadilan mengambil sikap loucdown agar aparatur Pengadilan tidak terpapar covid-19 lagi.

2.     Bahwa peradilan elektronik  sampai  saat ini belum menjangkau masyarakat awam  karena beberapa  hambatan  antara lain:

- Struktur hukum, dimana Pengadilan Agama kurang memberikan sosialisasi layanan secara elektronik (e-court) kepada masyarakat secara maksimal, petunjuk teknis yang masih minim, dan ada keharusan masyarakat harus tetap ke Pengadilan Agama untuk membuat akun. Substansi hukum. Dimana dari aspek ini perlu persetujuan dari pihak Tergugat/Termohon jika ingin menggunakan e-litigasi.

-   Budaya hukum, dimana masyarakat masih minim pengetahuan akan e-court, minim penguasaan teknologi, dan ada kecendrungan masyarakat yang berperkara di Pengadilan Agama tidak berbelit dan tidak ingin sulit.

-  Perspektif hukum terhadap pemanfaatan sistem layanan pengadilan berbasis elektronik, layanan SIPP dan E-Court belum sepenuhnya berjalan dengan optimal.

-  Kurang kesiapan infrastruktur pendukung yakni SDM, baik pihak pelaksana (penegak hukum) maupun pihak berperkara. Maka perlu dilakukan optimalisasi pada sistem layanan pengadilan berbasis elektronik untuk memberikan keterbukaan informasi yang maksimal.

Saran-saran

1.     Bahwa Untuk menciptakan strategi dalam melakukan optimalisasi peradilan elektronik perlu dikaji dan ditelaah terkait keseimbangan pada ketiga unsur hukum demi menciptakan sistem hukum yang berjalan efektif yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

2.     Bahhwa beberapa kelemahan pada layanan SIPP dan E-Court disebabkan oleh ketidakseimbangan antara substansi hukum dengan struktur dan budaya hukum. Dalam hal ini, SDM (penegak hukum dan pihak berperkara) belum sepenuhnya siap untuk menerima perubahan yang begitu masif pada sistem peradilan Indonesia. Maka penguatan peran struktur hukum, budaya hukum, serta kesadaran hukum masyarakat merupakan jembatan yang sangat efektif dalam rangka melakukan penegakan hukum dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.

3.     Bahwa untuk menciptakan sistem hukum yang berjalan efektif, perlu adanya keseimbangan antara ketiga unsur hukum. Substansi hukum yang sempurna tidak ada artinya jika tak sejalan dengan peran SDM sebagai infrastruktur pendukung utama dalam melaksanakan sistem layanan pengadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan strategi dalam optimalisasi sistem pengadilan, dengan melakukan upaya-upaya berikut: (1) penguatan sumber daya manusia; (2) pemberian fasilitas coaching bagi pihak berperkara dan (3) pengintegrasian SIPP dan E-Court menjadi satu pintu. Melalui melakukan upaya-upaya tersebut, maka dapat mengantarkan Indonesia mewujudkan keterbukaan informasi peradilan menuju peradilan yang modern.

 

Penutup

Demikian tulisan ini semoga ada manfaatnya, segala kekeliruan dan salah, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, terimakasih.

 

Daftar Rujukan

-        Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

-        Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009  tentang Kekuasaan Kehakiman

-        Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989  tentang Peradilan Agama

-        Peraturan Mahkamah Agung Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Di Pengadilan Secara Elektronik.

-        PERMA No.04/2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik (Online)

-        Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.

-        Surat Edaran No. 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama masa pencegahan penyebaran corona virus disease (Covid-19) di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya.

-        Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama Blitar  Nomor W13-A10/079/HM.00/2/2021 tentang  Pemberlakuan  Pembatasan pelayanan dan Pengaturan Sistem Kerja Aparatur Pengadilan Agama Blitar tanggal 19 Pebruari 2021.

-        Ensiklopedi Hukum Islam , jilid 1, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006, Hal. 26

-        Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa,  Departemen Pendidikan Nasional , Balai Pustaka, Jakarta,, 2007, Hal. 800

 

 

 

 



[1]Adalah Hakim Utama Muda Pengadilan Agama Blitar Kelas 1 A

[2]Keputusan Ketua Pengadilan Agama Blitar  Nomor W13-A10/079/HM.00/2/2021 TENTANG Pemberlakuan  Pembatasan pelayanan dan Pengaturan Sistem Kerja Aparatur Pengadilan Agama Blitar tanggal 19 Pebruari 2021.

 [3] Rahardjo, S. (2009). Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis , Yogyakarta: Gentra Publishing, hal. 13

 [4] Suparman, H. A. (2014). Penegakan Hukum Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Jurnal Wawasan Hukum, 31(2), hal.102 

[5] Friedman, L. M. (1984). hat is a Legal System dalam American Law, New York: W.W Norton and Company, hal. 48

[6] http://digilib.uinsgd.ac.id/30922/1/KTI%202020_Burhan_Layanan%20Perkara%20E-Court%20saat%20Pandemi%20Covid19_Fix.pdf

[7] Ensiklopedi Hukum Islam , jilid 1, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006, Hal. 26

[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional , Balai Pustaka, Jakarta,, 2007, Hal. 800

[9]Friedman, L. M. (2013). Hukum Konstitusi Dan Konsep Otonomi, Malang: Setara Press. 112, hal.46

[10]https://www.researchgate.net/publication/340539725_Wabah_Pandemi_Covid-19_Urgensi_Pelaksanaan_Sidang_Secara_Elektronik

[11]https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f7fdb2f5133d/penggunaan-teknologi-dalam-mengakses-keadilan-perkara-pidana-online-oleh--eric-manurung/

[12]https://www.mahkamahagung.go.id/media/7522.

 

[13] https://ikahi.or.id/berita/optimalisasi-peradilan-di-era-kebiasaan-baru-melalui-peradilan-elektronik

[14] M.Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2008,Hal. 213