Materi khutbah
Idul Adha tahun 2009 di masjid Baitul Muttaqin Banyuwangi
POTRET
KELUARGA IDEAL DALAM PENTAS HAJI
Oleh : Drs. Sudono Al-Qudsi , M.H
Ummat
Islam mengetahui bahwa ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang wajib
dilaksanakan sekali seumur hidup bagi orang yang mampu, dan Allah menetapkan
hari ke sepuluh bulan Dzulhijjah sebagai hari raya haji atau Idul Adha atau
hari raya qurban, bagi seluruh ummat Islam. Bahkan menurut Dr.Wahbah Az Zuhaili
dalam kitab AlFiqhul Islami Wa Adillatuhu menyebutkan bahwa Ibadah haji
termasuk ibadah murakkabah yaitu paduan antara ibadah maliyah makhdhoh dan
ibadah badaniyah makhdhoh, dimana didalam ibadah haji diperlukan pengorbanan
harta untuk ongkos naik haji ( ONH ), disamping seluruh badan kita mulai dari
ihrom sampai tahalul semuanya bergerak dan tenagapun terkuras demi panggilan
Allah SWT.
Dalam
ibadah haji hampir semua langkah yang dilaksanakan oleh orang yang berhaji
merupakan simbul dan sejarah dan seakan-akan melakukan
napak tilas ( rekonstruksi / peragaan ulang ) terhadap
kejadian-kejadian besar yang di alami Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi
Ismail dalam menegakkan agama Allah,
ketiganya merupakan sebuah figure
keluarga ideal dalam pentas haji yang patut di jadikan teladan bagi ummat Islam
dimana saja berada dimasa kini maupun masa
mendatang , selalu relevan bagi siapa saja yang ingin membingkai ulang (
reframing ) bagi kehidupan berkeluarga.
Kisah
para Nabi dalam Al Qur’an dengan keluarga atau bersama ummatnya merupakan
sejarah yang penuturannya menyampaikan pesan-pesan moral untuk dikaji dan
dijadikan pedoman hidup bagi ummat masa kini dan masa mendatang. Dalam surat
yusuf ayat 111 difirmankan, yang artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah
mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang –orang yang mempunyai akal”. Dengan demikian menurut ayat ini suatu kisah
/ sejarah para Nabi dapat berfungsi efektif sebagai pembawa pesan moral atau
pengajaran hidup, hanya bagi mereka yang mempunyai nalar atau mau menggunakan
nalarnya menangkap pesan-pesan yang yang tersurat maupun tersirat didalamnya.
Sekian banyak ayat-ayat Allah yang memperingatkan kepada ummatNya dengan
menggunakan ungkapan “ ulil albab , ulil abshor, dan lain sebagainya, karena
hanya manusia beriman yang mampu mencapai derajat tersebut.
Khusus
tentang keluarga nabi Ibrahim perjalanan hidupnya tidak hanya tertutur dalam
ayat-ayat AlQur’an semata, tetapi tergambarkan dalam amalan ibadah haji. Dapat
dikatakan bahwa sejarah hidup keluarga nabi Ibrahim diungkap dalam bentuk
narasi yang pertama kalinya disampaikan secara oral (
saat diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW.) yang kemudian terekam dalam hafalan
para sahabat dan sebagai upaya pelestariannya pada masa kholifah Abu Bakar atas
inisiatif Umar Bin Khoththob dikolektifkan dalam bentuk tulisan yang pada
akhirnya sekarang ini tersusun dalam mashaf AlQur’an Utsmani, disamping
penghafalannya masih berlangsung hingga kini, juga dimonumentasikan dalam
bentuk semacam “Opera” yang ujudnya adalah amalan ibadah haji.
Amalan
haji disamping merupakan salah satu bentuk ibadah makhdhoh juga merupakan rekontruksi atau peragaan ulang dari yang
pernah terjadi dan dialami oleh keluarga Ibrahim, sehingga diabadikan dalam
bentuk amalan ibadah haji yang masih dan terus berlangsung hingga kini bahkan
jutaan ummat Islam sedunia melaksanakan amalan ibadah haji setiap tahunnya. Peragaan ini tentu mempunyai maksud-maksud
khusus. Ka’bah, Sa’i antara shofa dan Marwah, sumur zam-zam pelemparan jumroh,,
penyembelihan binatang ternak dan
lainnya seperti mencukur/memendekkan rambut, seolah-olah melakukan napak tilas
terhadap kejadian-kejadian besar yang di alami keluarga nabi Ibrahim dalam
menegakkan agama Allah.
Semua
simbul diatas patut direnungkan oleh orang yang berhaji maupun yang tidak. Oleh
karena itu berikut ini satu saja yang akan penulis uraikan dari sekian
banyak simbul dari amalan ibadah haji yaitu Pelemparan batu ( jumroh ).
Bahwa
salah satu amalan ibadah haji adalah pelemparan batu, pekerjaan ini
mengingatkan kita akan kejadian yang di alami nabi Ibrahim ketika melempari
iblis sehingga mata kirinya buta. Hal ini dilakukan karena sang iblis menggoda
keluarga nabi Ibrahim menghalangi mereka dalam melaksanakan perintah Allah
yakni penyembelihan Ismail. Untuk menanggalkan rencana penyembelihan yang
merupakan perintah Allah itu, pertama kali iblis mendatangi Ibrahim sebagai
pemeran utama yaitu kepala keluarga.Kata iblis : “Apakah engkau tidak melihat
ketegapan anakmu, ke elokan paras dan ketegapan berjalannya yang pantas” ? Ya itu aku tahu, tapi ini perintah Allah yang
harus aku laksanakan, tegas Ibrahim. Keteguhan dan ketegaran Ibrahim dapat
menepis godaan iblis.
Gagal
menggoda Ibrahim, iblis berupaya memanfaatkan kelembutan dan kasih sayang
keibuan Siti Hajar supaya menghalangi maksud suaminya. “ Hajar, bagaimana
engkau berpangku tangan, sementara suamimu Ibrahim membawa anakmu dengan pedang
dan tali di tangannya” ? kata iblis lembut dengan penuh iba dan harapan rasa
keibuannya tersentuh, maksudmu ? tanya Hajar : Apa ada seorang ayah yang tega
membunuh anaknya ? “ Katanya itu perintah Tuhannya saut iblis”. Kalau itu
memang perintah Tuhan, jangankan nyawa anakku, nyawa akupun siap ku korbankan,
begitu sanggah Siti hajar dengan mantab. Rencana Ibrahim sebagai suami dan
kepala rumah tangga dalam merealisasikan perintah Allah bukannya dihalangi tapi
bahkan didukungnya dengan penuh keikhlasan.
Iblis
mencoba menggoda Ismail, “ Ismail, nampaknya engkau senang betul diajak ayahmu
berjalan”. Tidakkah engkau lihat ia membawa tali dan pedang untuk menyembelihmu
“, Kenapa pula ayah menyembelihku ? Tanya Ismail. Katanya itu perintah Tuhan,
jawab iblis”. Kalau itu memang perintah Tuhan aku siap untuk itu, tegas Ismail
“. Pada saat iblis mencoba berkata lagi, Ismail mengambil batu kerikil lalu
membidikkannya ke mata kiri iblis hingga buta. Maka kandaslah makar iblis dalam
menggagalkan rencara keluarga Ibrahim dalam melaksanakan perintah Allah, ia pergi
dengan putus asa.
Dari
adegan tadi, nampak adanya keserasian sikap keagamaan Ibrahim sebagai
kepala keluarga, Siti hajar sebagai
mitranya dan Ismail selaku anak yang sholih. Hal-hal semacam inilah yang patut
di teladani dan ditanamkan dalam sebuah keluarga muslim. Kesadaran beragama
yang tuntas harus dimiliki oleh setiap anggota keluarga baik sebagai istri,
anak, lebih-lebih sebagai kepala keluarga yang merupakan nahkoda yang akan
mengarahkan tujuan hidupnya.
Sikap
keagamaan seorang suami bisa dipengaruhi oleh karakter dan sikap istrinya dan sebaliknya,
sebagaimana sikap anak dapat mempengaruhi tingkah laku hidup orang tuanya,
seperti sebaliknya. Keberadaan seorang istri dengan kadar keimanannya yang
mantab dapat membawa pengaruh yang positif terhadap suaminya dalam melaksanakan
perintah Allah dan mencegah dari hal-hal yang dilarangNya.
Suatu
ketika bisa terjadi sebaliknya, rencana suami dalam melaksanakan perintah Allah
untuk melaksanakan ibadah haji misalnya, menyembelih hewan qurban, menginfaqkan
harta untuk kepentingan Islam, memberikan santunan kepada mereka yang
membutuhkan, bisa gagal karena tidak didukung oleh istrinya. Tuntutan ekonomi istri diluar batas kemampuan suami , dapat
menyebabkan suami melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan agama ( korupsi,
kolusi, penggelapan uang ) dan lainnya . Istri tidak hanya sebagai pendamping hidup
suami, tetapi punya fungsi social control bagi suami jika suami melakukan perbuatan
salah.
Potensi
ketaatan seorang istri terhadap perintah-perintah Allah, mati karena tercemar
oleh karakter dan sikap suami yang dangkal pengetahuan dan wawasan
keagamaannya, lebih-lebih bila berbeda agamanya. Begitu pula terkadang
tuntutan-tuntutan anak yang cenderung konsumtif dapat lebih diprioritaskan pada
saat orang tua dihadapkan juga pada tuntutan-tuntutan agama, karena kecintaan
mereka kepada anaknya yang menurut pandangan syari’at Islam tidak proporsional.
Seperti halnya potensi keagamaan seorang anak dapat menjadi terkendala
perkembangannya lantaran sikap dan tingkah laku orang tuanya dirumah yang
merupakan contoh yang paling efektif bagi anak, ternyata suami tidak dapat menjadi contoh yang
baik bagi keluarganya.
Mengantisipasi
kejadian-kejadian diatas, Allah mengingatkan melalui FirmanNya: “Wahai
orang-orang yang beriman, Sungguh diantara istri-istri dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagimu, maka waspadalah”. (QS.At Taghobun ayat 14 ). Memberikan
tafsiran pada ayat tersebut, Ahmad Musthofa Al Maraghi menjelaskan bahwa,
diantara istri-istri dan anak-anak itu ada yang menjadi musuh bagi
suami/ayahnya dalam pengertian bahwa mereka dapat menghalangi suami/ayahnya
dalam melaksanakan perintah-perintah Allah, mendorong untuk berbuat keharaman
dan dosa demi memenuhi tuntutan mereka. Diriwayatkan bahwa Rasululloh SAW.
Telah memprediksi hal itu dengan sabdanya
“ Akan datang suatu zaman yang saat itu seorang laki-laki binasa karena
ulah istrinya dan anaknya. Ia dicaci oleh istri dan anaknya karena tidak
terpenuhinya kebutuhan ekonomi, sehingga terdorong untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tercela, maka binasalah ia”.
Diantara
penyebab terjadinya kerusakan pada sebuah keluarga adalah berperannya setan
atau iblis, sebagaimana pernah dialami keluarga nabi Ibrahim . Hanya saja
keluarga Ibrahim mampu bertahan dan dapat menghalau iblis. Mengingat begitu
gigihnya sang iblis dalam merusak kehidupan rumah tangga supaya para anggotanya
menentang hukum-hukum Allah, maka dalam sebuah rumag tangga diperlukan adanya
apa yang disebut “Ketahanan Rumah Tangga”. Agar tetap menjadi keluarga
yang ideal . dalam bahasa lain dikatakan menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa
rahmah (
Q.S. Ar rum ayat 21 ).
Ketahanan
rumah tangga yaitu suatu kehidupan rumah tangga yang dinamis, dapat menangkal
segala sesuatu yang menyebabkan kehidupan rumah tangga tidak serasi dengan
ajaran-ajaran Islam. Dalam suatu rumah tangga akan terwujud suatu ketahanan
rumah tangga apabila ditata dengan pola-pola yang terencana, yang diantaranya
paling tidak sebagai berikut :
1.
Sebuah
keluarga merupakan organisasi kecil yang para anggotanya dituntut untuk mau
bekerjasama dalam mencapai tujuan hidup, yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup di
dunia ini maupun tujuan jangka panjang, yaitu tercapainya suatu kehidupan yang
menyenangkan di akhirat kelak, dan ini yang paling utama. Setiap anggota
keluarga tidak mengajukan tuntutan diluar kemampuan yang ada , yang menyebabkan
anggota keluarga yang lain melakukan hal-hal yang dilarang agama.
2.
Dalam
sebuah keluarga kedudukan seorang suami/ ayah adalah sebagai pemimpin dan
Pembina keluarga. Ia tidak hanya sebagai penanggungjawab ekonomi yang harus
menjamin kebutuhan ekonomi semata, lebih dari itu ia sebagai penanggungjawab
atas keselamatan anggotanya di kehidupan akhirat kelak. Allah berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari api
neraka” (QS.At Tahrim ayat 6 ). Seorang suami/ayah harus membuat perencanaan
yang matang, dalam arti mencanangkan suatu program khusus yang berkaitan dengan kehidupan
keagamaan , terciptanya kehidupan yang serasi dengan ajaran-ajaran agama,
mengarahkan dan menggerakkan para anggotanya kearah tersebut sambil tak
bosan-bosannya mengawasi dan mengevaluasinya. Mengarahkan dan menggerakkan
disini tentunya tidak cukup hanya dengan
perintah atau anjuran, tetapi akan lebih efektif dengan contoh kongrit, yaitu
tingkah lakunya sendiri. Pengawasan dan evaluasi diperlukan mengingat
tantangan-tantangan yang dihadapi dewasa ini makin berat. Berhasil tidaknya
membina keluarga, ia akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Rasululloh
SAW. Bersabda :”Seorang laki-laki/suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia
nanti akan dimintai pertanggungjawabannya tentang bagaimana ia memimpin
keluarganya tersebut.
3.
Setiap
anggota keluarga dengan tak mengenal bosan mau membina keimanannya dengan
senantiasa meningkatkan wawasan keagamaannya, mengkaji, memperdalam pengetahuan
agama melalui media-media yang ada, baik majlis-majlis taklim, kelompok studi
maupun mendatangkan guru privat.
4.
Setiap
anggota keluarga senantiasa mau mengevaluasi diri , menerima kritik dan saling
menghargai, saling menghormati ,
mengakui adanya kekurangan dan kelebihan masing agar tercipta suasana agamis
dalam rumah tangganya.
Dengan
upaya-upaya diatas diharapkan sebuah keluarga/rumah tangga dapat berjalan
serasi dengan norma agama, mampu menangkal segala gangguan dari luar.
Itulah
sebuah potret keluarga ideal yang terekpresikan dalam bagian dari amalan-amalan
ibadah haji. Banyak tentunya pesan-pesan
Ilahiyah yang lain yang dapat disadap dan dikaji dari rangkaian amalan
ibadah haji, kemudian kita jadikan acuan dalam menjalani hidup dan kehidupan di
dunia ini. Demikian tulisan ini semoga ada guna dan manfaatnya amiin.
Banyuwangi , tahun 2009
P e n u l i s
Drs. Sudono Al-Qudsi , M.H.