Rabu, 06 Maret 2019

PERKAWINAN USIA DINI






 PERKAWINAN USIA DINI

Oleh :  Drs.  H.  Sudono, M.H.
Hakim Utama Muda  Pengadilan Agama Blitar Kelas 1 A


           Perkawinan usia ideal
           Sampai saat ini pembicaraan masalah usia ideal masih actual , akan tetapi demi kepastian hukum di Indonesia  sudah ada batasan minimal usia perkawinan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita[1] . Batas  umur ideal (kedewasaan) baik di dalam BW maupun dalam UUP no.1/l974 mengalami konsistensi , yaitu sama-sama dewasa  adalah 21 tahun , namun untuk ijin menikah mengalami peningkatan dari semula 18 tahun menjadi 19 tahun untuk laki-laki  dan dari semula 15 tahun menjadi 16 untuk perempuan[2].   Permasalahannya sekarang  umur  berapa  memasuki usia ideal perkawinan ? para pakar maupun organisasi wanita banyak yang mengusulkan UUP no.1 tahun 1974 diamandemen bahkan mulai tahun 2001 s/d sekarang belum terwujud masih dalam pembahasan di DPR entah sampai kapan.       
         Setiap suami istri  dalam berkeluarga harus punya tujuan yaitu  membentuk keluarga /  rumah tangga yang bahagia kekal, sakinah, mawaddah  wa rahmah[3]. Oleh karena itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam perkawinan yaitu :
1.      Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan dengan cara di adakan peminangan ( khitbah) terlebih dahulu.
2.      Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria  sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan (mahram) antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3.      Perkawinan harus   dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu , baik yang menyangkut kedua belah pihak  maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan itu sendiri.
4.      Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga.
5.      Harus kafaah (serasi) terutama seagama.
Dalam konteks prinsi-prinsip tersebut , usia ideal perkawinan menjadi bagian yang signifikan. Dasarnya adalah disamping wahyu, juga aspek konsepsional yang bersifat ijtihadi[4]. Oleh karena itu usia perkawinan dalam pengertian umum akan sangat relevan  dengan hukum nikah yang difahami dari ayat Al-Qur’an surat An Nisa (4) ayat 19, 24.
           Ternyata prinsip-prinsip tersebut telah direspon dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 yaitu : asas sukarela,  partisipasi keluarga, perceraian dipersulit, poligami dibatasi secara ketat, kematangan calon mempelai, memperbaiki derajat kaum wanita[5].
           Secata teoritis bila masing-masing pihak sudah memahami prinsip-prinsip dalam hukum perkawinan, setidak-tidaknya dapat mengurangi resiko keretakan rumah tangga atau bahkan tercipta perkawinan yang harmonis karena perkawinan juga ibadah terlama, kebersamaan terlama dan pendidikan dalam keluarga terlama[6]. Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) , Rasulullah SAW bersabda : Wahai para pemuda, siapa yang telah sanggup (lahir dan batin untuk kawin), maka kawinlah kamu, karena perkawinan itu akan dapat membatasi pandangan (dari maksiat) dan memelihara kehormatan (kemaluan). Dan siapa yang belum sanggup (untuk kawin), maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa baginya adalah obat (dapat mengurangi syahwat)(HR al-Bukhari, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hambal[7].
         Dalam  perkawinan usia ideal itulah ada hal yang harus dipertahankan dan dipelihara meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl)[8]. Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam kitab al Bajuri menuturkan bahwa  agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.  


Perkawinan Usia Dini
          Untuk disebut sebagai usia dini sangatlah relatif, mulai dari mumayyiz 12 tahun (KHI), kurang dari 16 tahun bagi wanita dan kurang dari 19 tahun bagi pria (UUP), termasuk kemampuan untuk bertindak (kecakapan) 18 tahun belum dewasa[9] , bahkan ada lagi  di usia dini 13-15 tahun sudah dapat bekerja , dengan pembatasan /syarat[10] ,  sehingga berbagai disiplin ilmu memandang usia dini benar-benar relatif perlu ijtihad dengan pertimbangan kemaslahatan.
           Masalah perkawinan  usia dini terus actual dibicarakan bahkan menjadi masalah social, dampaknya sangat kompleks mencakup social, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun psikis, kependudukan dan lainnya termasuk perceraian.
Beberapa faktor  penyebab terjadinya perkawinan usia dini antara lain :
1.    Masalah ekonomi lemah dan kemiskinan menyebabkan orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan anaknya dan tidak mampu membiayai sekolah sehingga mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan harapan sudah lepas tanggung jawab untuk membiayai kehidupan anaknya ataupun dengan harapan anaknya bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik.
2.    Terjadi hamil diluar nikah sehingga orang tuanya mendorong anaknya untuk menikah dan  atau dipaksa menikah  di usia dini.
3.    Masalah social-budaya atau adat istiadat yang diyakini masyarakat tertentu. Misalnya keyakinan bahwa tidak boleh menolak pinangan seseorang pada putrinya walaupun masih dibawah usia perkawinan  terkadang dianggap menyepelekan dan menghina menyebabkan orang tua menikahkan putrinya.
4.    Penolakan perkawinan oleh Kantor Urusan Agama.
5.    Banyaknya kasus dispensasi kawin di Pengadilan Agama, tahun 2015 di Pengadilan Agama Blitar ada 216 perkara[11], dan sampai April 2016 ada 66 perkara [12] dan dimungkinkan terjadi peningkatan setiap tahunnya.
6.    Yang penting ijab qobul dulu nanti pada waktunya akan mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama, untuk tahun 2015 ada 33 perkara isbat nikah, dan sampai April 2016 ada 24 perkara, akan tetapi tidak semua perkara isbat nikah bermula dari perkawinan usia dini saja bahkan terjadi lonjakan perkara setiap tahunnya.
7.    Banjir vidio Pornografi dan porno aksi.
8.    Di Indonesia masih banyak anak –anak usia dini yang tidak tamat Sekolah Dasar/sederajat atau tidak tamat SMP/MTs. Dan masih banyak factor lainnya.
Dampak negative perkawinan usia dini  diantaranya adalah :
-         Pendidikan anak terputus : perkawinan dini menyebabkan anak putus sekolah hal ini berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan dan akses informasi pada anak.
-         Kemiskinan : dua orang anak yang menikah dini cenderung belum memiliki penghasilan yang cukup atau bahkan belum bekerja. Hal inilah yang menyebabkan pernikahan dini rentan dengan kemiskinan.
-         Kekerasan dalam rumah tangga: dominasi pasangan akibat kondisi psikis yang masih labil menyebabkan emosi sehingga  berdampak pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
-         Kesehatan psikologi anak: ibu yang mengandung di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, kurang sosialisasi dan juga mengalami krisis percaya diri
-         Anak yang dilahirkan : Saat anak yang masih bertumbuh mengalami proses kehamilan, terjadi persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu hamil seringkali sulit naik, dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi, serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Didapatkan bahwa sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 16 tahun adalah prematur. Anak berisiko mengalami perlakuan salah dan atau penelantaran. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan usia dini berisiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orangtua pula di usia dini
-         Kesehatan Reproduksi : kehamilan pada usia kurang dari 16 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Hal ini disebabkan organ reproduksi anak belum berkembang dengan baik dan panggul juga belum siap untuk melahirkan. Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Selain itu, juga meningkatkan risiko kanker service dan penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV.
-         Dalam masa reproduksi , usia yang diajurkan utuk kehamilan yang pertama adalah diatas umur 21 tahun. Oleh karena itu dianjurkan perempuan menikah pada usia minimal 21 tahun dan laki-laki pada usia 25 tahun. Perempuan yang menikah pada usia muda  dapat berpengaruh tingginya  angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi, serta rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian  yang menunjukkan bahwa anak perempuan berusia 10 – 14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar selama kehamilan atau melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20 - 25 tahun. Selanjutnya perempuan usia 15 – 19 tahun kemungkinannya dua kali lebih besar (Bappenas, 2008). Resiko kesakitan dan kematian yang timbul selama proses kehamilan dan persalinan antara lain :
a.      Keguguran (aborsi), yaitu berakhirnya proses kehamilan pada usia kurang dari 20 minggu.
b.     Pre-eklampsia, yaitu ketidakteraturan tekanan darah selama kehamilan  dan ek-lampsia, yaitu keracunan pada kehamilan  dengan gejala kejang  pada kehamilan.
c.       Infeksi, yaitu peradangan yang terjadi pada kehamilan.
d.     Anemia, yaitu kurangnya kadar hemoglobin ( sel darah merah) dalam tubuh sehingga mengakibatkan bayi dapat meninggal dalam kandungan.
e.      Resiko kanker rahim, hubungan sexsual pada usia terlalu dini meningkatkan resiko terserang kanker leher rahim sebesar dua kali dibandingkan perempuan yang melakukan hubungan  sexsual setelah usia 20 tahun[13].
-          Resiko pada proses persalinan bagi perempuan  yang melahirkan di usia kurang dari 21 tahun:
a.      Prematur, yaitu kelahiran bayi sebelum usia kehamilan 37 minggu.
b.      Timbulnya kesulitan persalinan yang dapat disebabkan karena faktor dari ibu, bayi, dan proses persalinan.
c.       Berat bayi lahir rendah, yaitu lahir berat badan dibawah 2.500 gram.
d.     Kematian bayi, yaitu bayi  yang meninggal dalam usia kurang dari 1 tahun.
e.      Kelainan bawaan, yaitu kelainan atau cacat yang terjadi sejak dalam proses kehamilan.
f.        Kematian ibu akibat pendarahan.
-       Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat  mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

-  Aspek kependudukan
Pendewasaan usia perkawinan diharapkan dapat berdampakpositiif pada terkendalinya jumlah atau kwantitas sekaligus peningkatan kwalitas      penduduk penduduk Indonesia. Semakin muda umur perkawinan seseorang, maka potensi masa reproduksinya akan lebih panjang karena lebih lama masa yang dilewatkan dalam ikatan perkawinan. Semakin panjang masa reproduksi seseorang perempuan berdampak pada tingginya potensi fetilitas diharapkan remaja sebagaibagian dari penduduk usia pproduktif yang tinggi jumahnya berkesempatan menjadikan diri berprestasi dan berkwalitas.
          Menurut penulis, UU. no. 1 tahun 1974 bahwa usia minimal  16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki sudah waktunya diamandemen karena dulu masyarakat Indonesia masih menargetkan anak untuk bekerja. Anak sudah dianggap matang pada usia 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria karena sudah mengalami pubertas. Akan tetapi, zaman sekarang, standar usia itu tak relevan karena terbukti secara psikologis remaja belum bisa berpikir jernih dan mengambil keputusan bertanggung jawab  apalagi punya hak dan tanggungjawab sebagai suami istri  karena sebuah hukum yang baik harus bersifat progresif, yakni disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan sosial masyarakat.
           Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Surya Chandra Surapaty menjelaskan dari sisi kesehatan. Dia mengatakan, leher rahim remaja perempuan masih sensitif sehingga jika dipaksakan hamil, berisiko menimbulkan kanker leher rahim di kemudian hari. Risiko kematian saat melahirkan juga besar pada usia muda. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan, 48 orang dari 1.000 remaja putri usia 15-19 tahun sudah melahirkan.
           Mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Inang Winarso menambahkan, perkawinan di usia anak memperpanjang usia reproduksi perempuan dan meningkatkan peluang perempuan untuk lebih sering hamil. Jika tidak dikendalikan, jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur Indonesia yang pada 2002-2012 stagnan di 2,6 anak sulit diturunkan. Tingginya jumlah kelahiran mempersulit negara meningkatkan kualitas penduduk.
            Kondisi itu mengancam peluang Indonesia yang saat ini memasuki bonus demografi untuk melompat menjadi negara maju. Syarat meraih bonus demografi itu antara lain penduduk berkualitas dan masuknya perempuan dalam pasar kerja. Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
           Perkawinan usia  dini sedikit  mempunyai sisi positif, saat ini pacaran yang dilakukan muda-mudi tidak mengindahkan norma-norma agama, kebebasan  sudah melampui batas, akibat kebebasan itu kerap terjadi tindakan-tindakan asusila di masyarakat.  Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah   memprihatinkan.
Kesimpulan
1.      Perkawinan usia dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut sekaligus sebagai solusi legal yang salah satunya melalui dispensasi kawin di Pengadilan Agama dan sesuai pertimbangannya Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolaknya.
2.      Negara  melarang pernikahan usia dini adalah dengan berbagai  pertimbangan terutama untuk mencapai kemaslahatan sesuai  kaidah “tasharruful Imami alarra’iyati Manuthun Bilmashlahah   , artinya, kebijakan pemimpin dalam urusan  public harus berorientasi pada kemaslahatan
3.      Pernikahan usia dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ideal ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama.

                   Saran dan Penutup
          Setiap perbuatan hukum yang dilakukan menurut hukum, berakibat mendapat perlindungan hukum, khususnya masalah hukum perkawinan di Indonesia. Perkawinan usia dini harus dihindari sejak dini dan jangan berurusan dengan Pengadilan Agama kalau sudah sekali pernah bercerai, maka ada kecenderungan  ingin kedua kali, ketiga kali dan seterusnya.

                             Demikian tulisan yang belum sempurna ini semoga ada manfaatnya dan  terimakasih.
    
Blitar, 08 Maret  2019.
Penulis

Drs. H. Sudono, M.H.

Tentang Penulis :

Nama                             :  Drs. H. Sudono,  M.H.
Tempat/tanggal lahir  :  Kudus/ 12 Agustus 1962
N I P                              :  1962 08 12 1990 03 1 005
Pangkat/Jabatan          :  Pembina Utama Madya  IV / d   / Hakim  Utama Muda
Instansi                         :  Pengadilan Agama Blitar Kelas 1 A.

Pendidikan Formal : 
-       Madrasah Ibtidaiyah di Kudus 1974
-       Madrasah Tsanawiyah Negeri Jember 1981
-       Madrasah Aliyah Negeri Jember 1984
-       Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Ponorogo 1989 ( S 1 )
-       Pendidikan Calon Hakim Pengadilan Agama IAIN SGD Bandung  1994/ 1995
-       Ilmu Hukum Pascasarjana UNISMA Malang 2007 ( S 2 )

Penddikan non formal :
-       Pondok Pesantren Mabda’ul Ma’arif, Jombang Jember, Jawa Timur 1978 – 1984
-       Pondok Pesantren  Assuniyah Kencong, Jember jawa Timur 1981- 1984
-       Pondok Pesantren Manbaul Hikmah, Kauman Kotalama Ponorogo Jawa Timur 1984 – 1989.

Pengalaman Kerja/Jabatan :
-       Calon Pegawai Negeri Sipil di PA. Dabo Singkep Riau 1990
-       Pegawai Negeri Sipil  di PA Dabo Sngkep Riau 1991
-       Wakil Sekretaris PA Dabo Singkep Riau 1993- 1995
-       Panitera Pengganti PA Dabo Singkep Riau 1993 - 1995
-       Hakim Pengadilan Agama Dabo Singkep Riau 1995 s/d 2001
-       Hakim Pengadilan Agama Purbalingga  2001 s/d 2004
-       Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi 2004 s/d 2010
-       Hakim Pengadilan Agama Lumajang 2010 s/d 2013
-       Hakim Pengadilan Agama Blitar 2013 s/d sekarang.










[1] Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
[2] Ade Manan Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur, PT.Gramedia Jakarta, 2010, hal.110
[3] Q.S. Arrum ayat 21.
[4] H. Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan , Kencana Mas,        Jakarta, 2005, hal. 46
[5] H. Arso Sosroatmodjo, SH.,  H.A. Wasit Aulawi,SH., Hukum Perkawinan di Indonesi, Bulan Bintang, jakarta,  hal. 35
[6] Blitar, 04 April 2016 , http:/sudonoalqudsi.blogspot.co.id,
[7] Ensiklopedi hukum Islam, PT.Ictiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006, hal. 1330
[8] Syeh Ibrahim, al Bajuri, Juz 2 , Syirkah Al Maarif, Bandung, tt. hal. 90
[9] Pasal 1 angka 5 UU No.39 tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia, pasal 1 ayat (1) UU.No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hanya menyebut usia dewasa minimal 18 tahun.
[10] Pasal 69 UU.No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[11] Laporan tahunan tahun 2015 Pengadilan Agama Blitar
          [12]Laporan Perkara yang diterima Pengadilan Agama Blitar bulan Januari s/d April 2016. 
[13] Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN) Provinsi Jawa Timur, Modul Orientasi Diseminasi Program KKBPK Bagi Petugas pernikahan Dalam Memberikan Nnasehat Kepada Calon  Pengantin, 2017, Hal. 35-36.