SENSITIFITAS HAKIM
DALAM
MENGINTERPRETASIKAN ALASAN-ALASAN PERCERAIAN
Oleh :
Drs. H. Sudono, M.H.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah, bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah .Demikian juga
disebutkan dalam pasal
1 UU. No.1/1974 bahwa , perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa , tujuan tersebut sejalan dengan maksud
firman Allah dalam surat Ar Rum ayat 21 yang artinya : Dan di antara
tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Tentu jika masing-masing pasangan
suami istri dapat mewujudkan tujuan luhur dari perkawinan tersebut maka akan
terlihat dampak positif yang dirasakan masing-masing pasangan suami istri ,anak-anak dari perkawinan orang
tuanya, bahkan dalam kehidupan
bermasyarakat , berbangsa dan bernegara .
Ternyata untuk mewujudkan tujuan
luhur perkawinan tersebut diatas
tidaklah mudah , padahal menegakkan
rumah tangga adalah sebuah keharusan bagi suami istri tatkala mereka
telah terikat dalam ikatan perkawinan yang sah
sehingga tidak sedikit pasangan suami istri yang rumah tangganya tidak
sampai ke tujuan perkawinan dan
Seharusnya sebuah rumah tangga itu dapat dibangun sampai pada tujuan perkawinan
yang sebenarnya yaitu
membentuk keluarga (
rumah tangga ) yang sakinah, mawaddah dan rahmah bahkan sampai salah satu pihak ada yang
meninggal dunia.
Namun faktanya perceraian di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama cerai gugat, lihat saja perkara masuk di Pengadilan Agama
seluruh Indonesia tahun 2016 sejumlah 497.393 ditambah sisa perkara 2015
sejumlah 85.228 sehingga semua ada
582.621 perkara, kemudian perkara putus 2016 sejumlah 426.957 perkara, cabut
28.930 perkara, sehngga sisa belum putus tahun 2016 ada 126.734 perkara.
Dari sisa perkara tahun 2016 sebanyak 126.734 perkara tersebut, sebagian adalah perkara perceraian dengan berbagai alasan yang telah
diatur dalam peraturan perundangan, juga
dengan alasan perceraian yang tidak ditemukan dalam aturan perundangan sehingga Hakim
dituntut sensitifitasnya untuk menginterpretasikan alasan-alasan perceraian
tersebut, hanya sebagai
jembatan menuju ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Undang-undang umumnya untuk melindungi
kepentingan manusia oleh karena itu harus dilaksanakan dan ditegakkan.
Undang-undang harus memenuhi asas “setiap orang harus tahu akan undang-undang” maka undang-undang harus
tersebar luas dan harus pula jelas. Kejelasan undang-undang
ini sangat penting. Oleh karena itu setiap undang-undang selalu dilengkapi
dengan penjelasan yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Sekalipun , namanya
serta maksudnya sebagai penjelasan, namun seringkali terjadi bahwa penjelasan
itu tidak juga memberi kejelasan, karena hanya diterangkan " cukup
jelas" pada hal teks undang-undangnya tidak jelas dan masih memerlukan
penjelasan. Mungkin dengan demikian maksud pembentuk undang-undang hendak
memberi kebebasan yang lebih besar kepada hakim.
Kalaupun undang-undang itu jelas,
tidak mungkin undang-undang itu
lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan
kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas, karena kegiatan kehidupan manusia
itu tidak terbilang banyaknya. Kecuali itu undang-undang adalah hasil karya
manusia yang sangat terbatas kemampuannya.
Ketentuan undang-undang tidak dapat
diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat
menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu
pada peristiwanya yang konkrit dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu
harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan
dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa
hukumnya harus dicari lebih dulu dari peristiwa konkritnya, kemudian undang-undangnya
ditafsirkan untuk dapat diterapkan.
Setiap peraturan hukum itu bersifat
abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan
menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan hukum
yang abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan
pada peristiwa yang cocok.
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk
mencari jalan terbaik bila terjadi konflik
suami istri dalam rumah tangganya
yang lazim dikenal dengan istilah terjadi “perselisihan dan pertengkaran” yang
seharusnya dapat diselesaikan melalui musyawarah untuk menuju perdamaian dan bukan membawanya
ke Pengadilan, karena hasil musyawarah yang berakhir dengan damai akan lebih
baik hasilnya. Ibarat sebuah rumah yang pintunya rusak atau gentengnya bocor maka
pintu tersebut harus diganti dengan yang baru atau diperbaikinya . Demikian
juga dengan genteng yang bocor harus diganti dengan genteng yang masih baik ,
dan bukan merobohkan atau menghancurkan bangunan rumah tersebut. Kalau yang terjadi adalah menyelessaikan masalah dengan
menghancurkan rumah maka akibatnya semua barang yang ada dalam rumah tersebut
menjadi rusak dan tidak berguna lagi, penyelesaian seperti diatas dapat diterapkan pada kasus dalam rumah tangga yang sedang dilanda
konflik , termasuk anak-anak dan masa depannya akan hancur akibat ke egoisan
orang tuanya. Itulah sebuah gambaran
penyelesaian yang salah dan ini banyak dilakukan oleh suami istri dalam
menyelesaikan masalah rumah tangganya. Semestinya dicarikan solusinya dan
diselesaikan apa yang menjadi penyebab perselisihan dan pertengkarannya . Bukan
dengan cara menghancurkan bangunan rumah tangganya dengan cara mengajukan
perkaranya ke Pengadilan Agama yang berakhir dengan perceraian.
Perceraian , kalaupun itu terjadi
adalah sebagai pintu dharurat, jalan terakhir , karena perceraian walaupun dibolehkan akan tetapi perceraian
sangat dibenci oleh Allah SWT. Bahkan langit dan arsy sangat terguncang karena ada suami istri yang
bercerai. Semestinya dapat diminimalisir bibir-bibit perselisihan dan
pertengkaran tanpa mengorbankan bangunan rumah tangga yang sudah dilaluinya
dengan susah sama susah dan senang sama senang selama bertahun- tahun , bahkan
sudah puluhan tahun. Ibarat panas setahun dihapus hujan sehari.
Sekarang faktanya sungguh banyak alasan
perceraian diluar peraturan perundangan misalnya melalui SMS, Whats App, Email, Twitter dan lain
sebagainya, semua secara diam-diam memanfaatkan fasilitas tehnologi informasi
termasuk bertengkar secara diam-diam lewat SMS,
Whats App, Email, Twitter.
Semuanya membutuhkan interpretasi terhadap alasan-alasan perceraian yang
tidak diatur dalam peraturan perundangan dalam menerapkan hukum kasuistik.
B.
Permasalahan
Berpijak dari judul diatas, maka
yang menjadi masalah adalah : Sejauh mana sensitifitas Hakim dalam
menginterpretasikan alasan-alasan
perceraian yang telah diatur dalam Peraturan Perundangan (
pasal 19 PP. No 9 tahun 1975 Jo. Pasal 116 KHI ) kaitannya dengan alasan-alasan
yang tidak diatur dalam peraturan perundangan. Dari permasalahan diatas, penulis akan berusaha menganalisa
alasan –alasan perceraian yang selengkapnya dibahas dalam bab III tulisan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Cerai Talak dan Cerai Gugat.
Di Indonesia
berdasarkan UU.No.1/1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9/1975
tentang pelaksanaan UU.No.1/1974 dan
Instruksi Presiden RI. ( Inpres
) No. 01 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ada 2 istilah dalam
perceraian yaitu cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah
inisiatif yang mengajukan perkara ke Pengadilan Agama datang dari pihak suami ,
karenanya suami disebut sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon , sedangkan cerai gugat adalah
inisiatif yang mengajukan perkara ke Pengadilan Agama datang dari pihak istri,
karenanya istri disebut sebagai
Penggugat dan suami
sebagai Tergugat dan
akibat cerai talak maupun
akibat cerai gugat menjadi pembahasan
tersendiri yang tidak mungkin termuat dalam tulisan ini.
B.
Tatacara perceraian :
Untuk cerai talak,
pasal 66 UU. No. 50 /2009 tentang perubahan kedua atas UU. No.7/1989 tentang
Peradilan Agama menyebutkan :
(1)
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
istrinya mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak.
(2)
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon , kecuali
apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan
bersama tanpa izin pemohon.
(3)
Dalam hal termhon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
pemohon.
(4)
Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri ,
maka permohonan diajukan kepda Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau
kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
(5)
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan
harta bersama dapat diajukan
bersama-sama dengan permohonan cerai
talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Permohonan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 diatas memuat :
a.
Nama, umur dan tempat kediaman pemohon yaitu suami, dan termohon
yaitu istri.
b.
Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Selama proses pemeriksaan
cerai talak sebelum sidang pembuktian ,
istri dapat mengajukan rekonpensi mengenai nafkah anak, nakah madliyah, nafkah
iddah, mut’ah, sedangkan harta bersama dan
hadlonah sebaiknya diajukan
dalam perkara tersendiri.
Untuk cerai gugat,
pasal 73 UU. No. 50 /2009 tentang perubahan kedua atas UU. No.7/1989 tentang
Peradilan Agama menyebutkan :
(1)
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali
apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
izin tergugat.
(2)
Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3)
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsugkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
C.
Suami / istri dapat mengajukan gugat provisi
Suami dalam
permohonannya dapat mengajukan permohonan provisi, demikian juga istri dalam
gugatan rekonpensinya dapat mengajukan permohonan provisi tentang hal-hal yang
diatur dalam pasal 24 P.P. No.9/1975 yaitu :
(1)
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
Pengadilan dapat mengizinkan suami istri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu
rumah.
(2)
Selama berlangsungnya gugatan perceraian , atas permohonan
penggugat atau tergugat, Pengadilan
dapat :
a. Menentukan
nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b. Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c. Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
D.
Suami / istri dapat mengkumulasikan
gugatan cerai dengan gugatan lainnya.
Pasal 66 UU.
No.50/2009 tentang perubahan kedua
atas UU.No.7/1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan : Permohonan soal penguasaan anak, nafkah
anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan , demikian juga dalam pasal
86 UU. No. 50/2009 menyebutkan : Gugatan
soal penguasaan anak, nafkah anak , nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Agar proses
perceraian tidak memakan
waktu yang lama sebaiknya
gugatan selain perceraian diajukan setelah perkara perceraian putus dan
berkekuatan hukum tetap, kemudian gugatan –gugatan lainnya
diajukan menjadi perkara tersendiri
seperti : tentang pembagian harta bersama, penguasaan anak dan lainnya
agar tidak menghambat proses perceraiannya, pemisahan perkara perceraian dengan
gugatan lainnya ini telah dibenarkan oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan
Lingkungan Peradilan Agama sebagaimana suratnya Nomor 17/TUADA-AG/IX/2009 tanggal 29 September 2009 tentang penjelasan pasal 86 ayat (I)
Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama , yang tujuannya untuk kelancaran
proses perceraian tidak dihambat oleh gugatan lainnya yang bersifat gugatan
kumulasi tersebut.
Gugatan harta
bersama, dalam praktek peradilan
ditemukan banyak kendala yang terkait dengan rahasia Bank apabila harta
bersama tersebut berupa uang dalam rekening giro, tabungan atau deposito di
Bank tertentu atas nama suami atau istri. Suami atau istri yang mendalilkan
istrinya atau suaminya mempunyai rekening
giro, tabungan atau deposito pada Bank tertentu akan mengalami kesulitan dalam pembuktian, karena yang dapat
mengakses saldo rekening giro, tabungan dan deposito tersebut hanya pihak suami
atau istri yang memiliki rekening giro, tabungan atau deposito ( Buku II Edisi
2009 Mahkamah Agung RI. 2009 hal.221 ). Selama ini perkara yang masuk ke
Pengadilan Agama terutama perceraian yang dikumulasikan dengan harta bersama
sering berlarut-larut waktu, tenaga, pikiran, biaya yang tidak sedikit dan
tidak tercapai asas peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan.
E.
Alasan Perceraian
Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b.
perceraian dan c.
atas keputusan Pengadilan ( Pasal
38 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan , untuk selanjutnya disingkat UU No.1/1974 )
.
Selanjutnya pasal 39 UU.No.1/1974 menyebutkan :
( 1 ) Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
( 2 ) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
( 3 ) Tatacara perceraian di depan siding Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
Dalam penjelasan pasal 39
UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tersebut dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian
adalah :
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat
(2) huruf a UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (a) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam) .
b.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 ( dua ) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang
lain dan tanpa ada alasan yang sah atau
karena ada hal
yang lain di
luar kemampuannya ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf b UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(b) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam).
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau
hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf c UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam).
d.
Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang
lain ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf d UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(d) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kwajibannya sebagai suami/istri ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf e UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (e) PP.No.9/1975
jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).
f.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf f
UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf
(f) Kompilasi Hukum Islam).
Alasan-alasan tersebut diatas
masih ditambah 2 lagi sebagaimana
tercantum dalam pasal 116 kompilasi hukum islam
yaitu :
g.
Suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam) .
h.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga (pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam) .
Jadi untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan yang bermuara pada terjadinya ketidakrukunan dalam
rumah tangga atau sudah
tidak ada harapan
akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga, bahkan
dalam doktrin yang dibangun oleh Mahkamah Agung RI. melalui
yurisprudensi nomor 38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991. yang harus
diterapkan dalam perkara
perceraian adalah “ pecahnya rumah tangga ( broken marriage ) “ oleh
karenanya tidaklah penting menitik beratkan dan mengetahui siapa yang bersalah
yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan pertengkaran akan tetapi yang
terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya yang terjadi dalam rumah tangga
Pemohon dan Termohon.
Demikian juga
yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang lainnya yaitu nomor 28 PK/AG/1995, tanggal 16 Oktober 1996.yang
harus diterapkan dalam perkara perceraian
bukanlah “ matri monial guilt
“ akan tetapi broken marriage (
pecahnya rumah tangga ) oleh karenanya tidaklah penting menitikberatkan dan
mengetahui siapa yang bersalah yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan
pertengkaran akan tetapi yang terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya
yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat.
Alasan a
s/d h tersebut adalah bersifat alternatif , jika
salah satu saja alasan telah terpenuhi maka Pengadilan Agama dapat mengabulkan
perceraiannya tetapi yang penting dicatat
disini bahwa alasan –alasan a s/d h sekalipun telah terjadi namun
tidak menyebabkan rumah tangganya berantakan dan masih hidup rukun maka tidak
dapat dijadikan alasan perceraian . Karena itu untuk alasan – alasan a
s/d h hanya sebagai jembatan
menuju ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga , sehingga alasan-alasan a
s/d h tersebut, baru berlaku
efektif jika pada akhirnya menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Atau dengan kata lain alasan a
s/d h merupakan alat
bantu untuk mencapai pasal 39 ayat
( 2 ) UU.No. 1/1974 dan khusus
alasan h ( Peralihan agama atau murtad ) penulis berpendapat bahwa rukun atau tidak
rukun kalau sudah murtad tidak perlu dicari ada harapan bisa rukun atau tidak
dalam rumah tangganya. Karena bertentangan dengan prinsip aqidah Islam, apalagi
kalau kawin cerai-kawin cerai dan sudah beberapa kali murtad.
BAB III
SENSITIFITAS HAKIM DALAM MENGINTERPRETASIKAN ALASAN PERCERAIAN
Dalam Undang -
Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama maupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan
Peraturan organic lainnya disebutkan
tentang beberapa alasan perceraian yang termuat dalam pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal
116 Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan dalam makalah ini penulis akan menjelaskan dan mengungkap
secara tuntas yang menjadi penyebab dari alasan perceraian serta menganalisanya, dengan demikian akan dapat
diketahui latar belakang penyebab perceraian yang terjadi selama ini dan juga
berdasar pada pengalaman penulis sebagai praktisi hukum dalam menangani
perkara-perkara perdata Islam khususnya tentang perceraian yang unik, menarik.
Unik karena terkadang dari persoalan yang sepele tapi dijadikan sebab
perceraian. Menarik karena dengan menganalisa yang menjadi penyebab perceraian
antara satu orang dengan lainnya tidak sama, kalaupun ada yang sama itupun dari
sebab yang berbeda dan alasan boleh sama tetapi dari penyebab yang berbeda.
1.
Perceraian terjadi dengan alasan pasal 19 huruf
a PP.No.9/1975 jo. Pasal 116
huruf a KHI yaitu salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (
penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a UU.No. 1/1974 , jo. Pasal 19 (a) PP. No.
9/1975, jo. Pasal 116 huruf a KHI).
Kalimat salah satu pihak berbuat
zina dapat menjadi alasan perceraian
.Zina adalah bentuk penyaluran biologis yang dilarang dalam agama Islam dan
termasuk perbuatan yang haram dimana pelakunya akan mendapat siksa jika tidak mendapatkan
ampunan dari Allah SWT. Dan Allah SWT. Akan mengampuninya setelah ia bertaubat
dengan sebenar-benarnya ( taubatan nashuha). Berbuat zina disamping perbuatan
yang hina, juga akan menurunkan martabat dan citra pelakunya ditengah
masyarakat , disamping itu jika salah satu pasangan suami istri berbuat zina akan membuat marah
salah satu pasangannya dan berlanjut pada pengungkitan perbuatan zina yang
berkepanjangan, barang kali dalam benak suami yang istrinya berzina atau istri
yang suaminya berbuat zina dengan orang lain
akan bertanya -tanya, mengapa pasangan hidup saya berbuat zina, mengapa ia sudah tidak setia lagi pada
saya apa salah saya dan apa kekurangan
saya dan banyak pertanyaan lain yang
berkecamuk dihati pasangannya , sehingga membuat hati orang yang pasangan
hidupnya berzina menjadi hancur berkeping-keping sehingga semakin
lengkaplah segala penderitaan pasangan
hidupnya .
Sedikit uraian diatas dan melihat
kenyataan yang terjadi di masyarakat dengan
sekali saja berbuat zina,
cukup menjadi alasan perceraian. Karena akibat buruk yang ditimbulkan
dari berbuat zina sangat besar dan kata
“ zina “ tidak didahului dengan kata “pe”. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun
dilakukan hanya sekali berbuat zina sudah cukup dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian.
Sedangkan alasan
atau menjadi “pemabuk, pemadat, penjudi” ,membutuhkan pengulangan
perbuatan karena kata mabuk,madat dan judi didahului oleh kata “pe” , ini
menunjukan bahwa harus ada perbuatan yang secara berulang-ulang/sering ,
sehingga berbuat mabuk, madat dan judi
yang baru satu kali dilakukan kiranya belum dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian.Jadi karena seringnya
perbuatan tersebut dilakukan maka orang yang sering mabuk disebut pemabuk,
orang yang sering madat disebut pemadat dan
orang yang sering melakukan judi
disebut penjudi.
Tentang alasan perceraian
sebagaimana tercantum dalam pasal pasal 19
huruf a PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf a KHI yaitu
salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf
a UU.No. 1/1974 , jo. Pasal 19 (a) PP. No. 9/1975, jo. Pasal 116 huruf a
KHI), diakhiri dengan kalimat yang berbunyi : dan lain sebagaimanya
yang sukar disembuhkan . dengan kalimat yang demikian ini hakim diberi
kebebasan untuk membuat penilaian tentang hal-hal lain yang dapat dijadikan
alasan perceraian selain yang telah terurai diatas yaitu diluar alasan menjadi
pemabuk, pemadat dan penjudi.
Berdasarkan dari kalimat “ dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan”, maka ada hal yang dimungkinkan untuk
perluasan alasan perceraian yang tidak kalah kejinya dibandingkan dengan
berbuat zina seperti liwath ( homo seks ), sahaq ( lesbian ), bestiality (
menyetubuhi binatang), oral seks dengan pihak lain , semua perbuatan diatas
menurut penulis juga dapat dijadikan
alasan perceraian, karena tingkat kekejiannya sama dengan berbuat zina sehingga meskipun untuk alasan perceraian
ditujukan pada hal-hal yang sukar disembuhkan , tetapi khusus untuk perluasan
alasan diatas tidak perlu dilakukan berulang-ulang /sering tetapi dengan sekali
saja perbuatan tersebut dilakukan sudah cukup untuk dapat dijadikan alasan
perceraian walaupun sekali diperbuat.
Dengan perluasan alasan seperti
diatas sebagai alasan perceraian, maka jika terdapat kasus perceraian dengan
alasan pada hal-hal diatas , tidak perlu lagi dipaksanakn menformulasikan
kearah perselisihan dan pertengkaran yang ditunjuk leh pasal 19 huruf f PP. No.
9/1975 Jo. Pasal 116 huruf f KHI
tetapi sebaliknya dapat mencukupkan dengan menunjuk pasal-pasal alasan perceraian sebagaiamana tercantum dalam angka
1 tersebut. Dan kalau memang terdapat alasan No. 1 telah terbukti serta
terbukti pula ada perselisihan dan pertengkaran sebagaimana alasan perceraian
angka 6, maka tidak ada salahnya disamping menunjuk ketentuan angka 1 juga
menunjuk ketentuan pasal tentang perselisihan dan pertengkaran yang termuat
dalam angka 6.
Sedangkan untuk perluasan ( ektensif
) dari kalimat menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, menurut penulis sangat luas
dan bahkan akibatnya lebih parah dibandingkan menjadi pemabuk, pemadat dan
penjudi, perluasan tersebut antara lain
meliputi : menjadi penipu, perampok, pencuri, pembunuh, pemeras, penodong ,
pencopet, penadah barang curian dan lain
sebagainya , tidaklah
perbuatan-perbuatan tersebut dapat dipastikan lebih baik dari pada menjadi
pemabuk, Pemadat dan penjudi, sehingga
terhalang untuk dapat dimasukkan sebagai alasan perceraian.
2.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 ( dua ) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang
lain dan tanpa ada alasan yang sah
atau karena ada
hal yang lain
di luar kemampuannya ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf b UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(b) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam).
Kalimat diatas harus ada
syatrat-syarat yang harus terpenuhi agar terjadi perbuatan meninggalkan pihak
lain yang dapat dijadikan alasan perceraian yaitu :
a.
Sekurang-kurangnya selama 2 tahun,
b. Berturut-turut. c. Tanpa izin
pihak lain , d. Tanpa alasan yang sah.
Ke empat syarat diatas bersifat
komulatif, artinya ke empat syarat tersebut harus terpenuhi agar dapat
dijadikan alasan perceraian . Adapun untuk
merinci meninggalkan pihak lain seperti :
a.
1. Kurang dari dua tahun, 2
. berturut-turut , 3 . tanpa izin pihak lain
, 4. tanpa alasan yang sah
b.
1 Kurang dari dua tahun , 2
tidak berturut-turut , 3. tanpa
izin pihak lain , 4. tanpa alasan yang sah.
c.
1 kurang dari dua
tahun, 2. tidak berturut-turut, 3 . ada izin pihak lain, 4.
tanpa alasan yang sah.
d.
1 kurang dari dua
tahun, 2. tidak berturut-turut, 3. ada izin pihak lain, 4. ada
alasan yang sah.
e.
1 Selama dua tahun, 2
tidak berturut-turut , 3 tanpa
izin pihak lain, 4 tanpa alasan yang sah.
f.
1 Selama dua tahun, 2.
tidak berturut-turut, 3. ada izin
pihak lain
4
ada alasan yang sah.
g.
1 Selama dua tahun, 2. berturut-turut, 3
tanpa izin pihak lain, 4 ada
alasan yang sah.
h.
1 Selama dua tahun, 2
tidak berturut-turut, 3 ada izin pihak lain , 4 tanpa alasan yang sah.
i.
1 Selama dua tahun, 2
berturut-turut, 3 ada izin pihak lain, 4 tanpa alasan yang sah
Alasan a s/d i
menurut penulis tidak dapat dijadikan sebagai alasan perceraian karena tidak
bersifat komulatif .
Alasan perceraian sebagaimana angka 2 diatas, diakhiri dengan
kalimat yang berbunyi : atau karena hal lain diluar kemampuannya.
Kalimat demikian ini memberi isyarat adanya kelonggaran hakim untuk memberikan
interpretasinya atau kemungkinan lain bahwa meninggalkan pihak lain dalam
keadaan terpaksa yang berada diluar kemampuan untuk menolak keadaan tersebut
dapat juga dijadikan alasan perceraian
dalam syarat komulatif sekuang-kurangnya dua tahun dan berturut-turut.
Ada sekelompok orang yang terdiri dari suami istri sedang
mengadakan study tour ke kota tertentu, ternyata saat ia terpisah dari
rombongan , ia diculik seseorang yang memang sudah/belum mengenalnya karena orang yang diculik sudah
dikenal dan dikuasainya, sehingga sebenarnya suami/istri tidak ingin
meninggalkan pihak lain tetapi karena diculik maka terpaksa meninggalkan pihak
lain. Karena itu perbuatan meninggalkan pihak
lain tersebut bukan
atas kehendaknya tetapi karena hal lain diluar kemampuannya.
Kasus lain misalnya salah satu suami/istri sedang pergi berburu ke hutan yang
belum pernah dijamahnya dan ternyata ia tersesat ditengah hutan belantara dan
semakin jauh dari rumahnya , padahal ia
telah berusaha untuk mencari tahu dengan berbagai cara secara maksimal tetapi malah
semakin tersesat dihutan tersebut. Karena itu dalam hal yanag demikian ini ia
telah meninggalkan pihak lain disebabkan sesuatu hal lain berada diluar
kemampuannya.
Termasuk menjadi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri
pada awalnya rutin memberi kabar tentang dirinya kepada pasangannya tetapi lambat laun tak ada
kabar beritanya yang mungkin akses disana sengaja di putus oleh majikannya
dengan cara disekap dan ditempatkan pada kamar khusus yang orang lain
tidak tahu sehingga ia tidak dapat memberi kabar sebagaimana pada awal ia bekerja, maka
dalam hal yang demikian ia meninggalkan pihak lain disebabkan sesuatu hal
yang berada diluar kemampuannya.
Menghadapi sesuatu hal lain diluar kemampuannya memang
disatu sisi memberikan kebebasan hakim untuk berinterpretasi sesuai dengan
keyakinannya akan tetapi interpretasi alasan perceraian tersebut harus tetap
mengacu kepada muara yang berujung pada
sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga . Kalau ternyata sesuatu hal lain diluar kemampuannya tidak
mengacu pada muara tersebut dan rumah tangganya tenang-tenang dan tentram saja
maka hakim tidak layak menggunakan interpretasinya , karena mungkin ia masih
mau menunggu suatu saat suami/istrinya akan pulang atau karena bekal yang
ditinggalkan suami masih banyak untuk persiapan beberapa tahun ke depannya
sehingga tidak menjadikan persoalan bagi
orang yang ditinggalkan oleh salah satu pasangannya dalam waktu yang lebih
lama.
3.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau
hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan
berlangsung (
penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf c
UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c)
Kompilasi Hukum Islam).
Salah satu dari suami/istri
yang telah terbukti bersalah dan
mendapatkan vonis 5 tahun penjara atau
lebih, maka dapat disimpulkan disini bahwa
begitu salah satu pihak mendapat vonis hukuman penjara 5 tahun atau
lebih dan vonis tersebut telah berkekuatan hukum tetap terbuka kemungkinan salah satu pihak menjadikannya
sebagai alasan perceraian tanpa perlu menunggu hukumannya dijalani selama lima
tahun atau lebih tersebut.
Kemudian alasan perceraian no. 3
diatas diakhiri dengan kalimat setelah perkawinan berlangsung , ini mengandung
pengertian bahwa hukuman penjara selama lima tahun atau lebih tersebut
sekalipun suami istri masih pengantin
baru dan hukuman belum dijalani tetapi ia sudah mendapatkan resmi salinan
putusan dari Pengadilan yang memutusnya maka resmi salinan putusan tersebut
dapat dijadikan alasan perceraian yang sekaligus dapat dijadikan sebagai alat
bukti di sidang pengadilan.
4.
Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang
lain ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf d UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(d) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).
Alasan perceraian nomor 4 diatas ,
untuk mencermati dan memahaminya
sepenuhnya diserahkan kepada hakim, hakim diberikan keleluasaan maupun
kebebasannya dalam menginterpretasi maupun memberikan penilaian apakah suatu
perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak termasuk katagori membahayakan
pihak lain atau tidak , bahkan hakim dalam urusan yang menyangkut rumah tangga yang
berujung pada perceraian dengan alasan nomor 4 diatas dalam hal ini hakim
dituntut sensitifitasnya dan menghubungkannya dengan ketentuan perundangan
lainnya seperti Undang-Undang Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ), Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Salah satu contoh disebutkan
dalam pasal 9 ayat (1) dan ( 2 )
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 yaitu
: setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya , padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Kata Penelantaran
sama sekali tidak disebut didalam alasan perceraian akan tetapi pengaruh dari akibat penelantaran baik dilakukan suami
atau istri akan berdampak buruk dan berujung perceraian .
Menurut R. Sugandi dalam buku KUHP dengan penjelasannya halaman 366 yang
mengutip dari yurisprudensi, penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja yang
menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Menurut pengertian ini maka
perbuatan yang dilakukan salah satu pihak suami/istri yang menimbulkan rasa
tidak enak, rasa sakit berat atau luka berat dapat dikatagorikan sebagai
penganiayaan berat, oleh karena undang –undang tidak menegaskan arti yang
sesungguhnya dari kalimat penganiayaan berat tersebut maka hakim diberi
keleluasaan untuk menilainya apakah perbuatan salah satu pihak itu termasuk
penganiayaan berat atau tidak.
Menurutnya, yurisprudensi tampaknya
membedakan rasa tidak enak dengan rasa sakit, tetapi mungkin yang dikehendaki
dengan sebutan rasa tidak enak yaitu perasaan hati atau sakit hati, sedangkan
yang dikehendaki dengan sebutan rasa sakit yaitu sakit fisik. Dari sinilah
dapat disimpulkan bahwa penganiayaan bisa berupa penganiayaan psyikis dan
penganiayaan pysik atau penganiayaan
psyikis saja atau pysik saja, atau kedua-duanya dan apalagi sakitnya
dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Menurut penulis, sebagai bahan
pertimbangan dalam menganalisa suatu kasus layak untuk menggunakan dalil qiyas
agar suatu kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak
yang lain dalam hubungannya dengan sakit
hati (psyikis ) ternyata banyak ragamnya mulai dari ejekan, hinaan, caci maki
yang sangat keterlaluan (meskipun ejekan, hinaan, caci maki sulit untuk dibuktikan
) akan tetapi mengakibatkan amat tertekan hatinya hingga mengalami stress
bahakan stroke menimpa pihak lainnya,
maka hal-hal yang demikian ini patut dikatagorikan sebagai penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain sebab stress berat dapat mengakibatkan
kematian.
Tentang sakit
pysik yang berat, seperti menendang, menempeleng, memukul , menusuk
dengan senjata tajam yang menyebabkan luka parah , menyulut badan dengan api atau menjerat dengan tali yang menyebabkan
pihak lain tidak berdaya, sehingga menimbulkan rasa sakit berat sekalipun tidak
menyebabkan luka. Jadi untuk mengukur dan menilai apakah perbuatan salah satu
pihak itu membahayakan pihak lain atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada
pertimbangan hakim.
Alasan perceraian sebagaimana
diuraikan diatas hanya sebagai alat bantu
yang harus bermuara kepada terjadinya ketidak adanya harapan untuk rukun
dalam rumah tangga.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kwajibannya sebagai suami/istri ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf e UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (e)
PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).
Kalau dicermati bunyi kalimat diatas
akan segera tampak bahwa cacat badan atau penyakit itu baru bisa dijadikan
alasan perceraian jika sudah membawa akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau istri. Sebagaimana uraian dalam angka 4 diatas,
disini juga tersirat bahwa penyakit bisa berupa penyakit jasmani dan rohani (
penyakit pysik dan mental ) yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami atau istri dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.
Seorang suami sehat jasmani tetapi punya kebiasaan buruk, malas bekerja atau
sifat buruk lainnya yang mengakibatkan beban pekerjaan beralih kepada istrinya,
ia mengandalkan penghasilan dari istrinya, sehingga suami tidak sedikitpun
menghidupi istri untuk memberi nafkah kepadanya sehingga kewajiban untuk
memberi nafkah kepada istri tidak terlaksana , maka malas dalam hal ini masuk katagori
penyakit rohani yang membawa akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
suami.
Demikian juga jika perangai atau
akhlaq istri sangat buruk yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri untuk
berbakti lahir batin terhadap suaminya, maka hal demikian juga layak
dikatagorikan sebagai penyakit rohani , karenanya dapat dijadikan sebagai
alasan perceraian .
Adapun tentang salah satu pihak mendapat cacat badan , seperti suami atau
istri yang mengalami
kecelakaan sehingga salah satu
tangan atau kakinya mengharuskan
diamputasi sehingga menjadi cacat dan
dengan diamputasi tersebut berakibat suami atau istri beakibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri, maka
dapat diajadikan sebagai alasan perceraian. Demikian juga termasuk penyakit
berat lainnya atau gangguan fungsi alat kelamin, seperti inpotensi, stroke,
gila, lumpuh, pendarahan terus menerus , kanker rahim, atau akibat de generative yang akut sehingga
ginjal, jantung, dan sebagainya tidak berfungsi normal yang berakibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau istri maka dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian .
6.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf f
UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf
(f) Kompilasi Hukum Islam).
Kalimat nomor 6 tersebut diatas kalau dijabarkan kira-kira demikian
bunyinya :
a.
Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran
yang terus menerus sehingga tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun dalam rumah tangga, dapat
dijadikan alasan perceraian.
b.
Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang
terus menerus dan masih ada harapan bagi suami istri untuk
hidup rukun lagi dalam rumah tangga , tidak dapat dijadikan alasan perceraian.
c.
Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang tidak terus
menerus baik masih ada
harapan atau tidak ada harapan lagi bagi
suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak dapat dijadikan alasan perceraian.
Dipisahkannya kata perselisihan dan pertengkaran dalam alasan
perceraian angka 6 tersebut diatas tentu mempunyai maksud yang berbeda. Dalam
Kamus Besar bahasa Indonesia , perselisihan adalah persengketaan yang harus
diputuskan lebih dahulu sebelum perkara pokok dapat diadili dan diputus (
halaman 1174 ) sedangkan pertengkaran adalah percekcokan, perdebatan , yang
menurut penulis kedua kata tersebut adalah komulatif, yang menunjukkan bahwa perselisihan
berbeda dengan pertengkaran .
Oleh karena kehendak kalimat dalam angka 6 tersebut diatas
adalah “ terus menerus “ maka pengertian
dan pengembangan maknanya diserahkan kepada hakim untuk menilainya, apakah
perselisihan dan pertengkaran suami istri dikatagorikan terus menerus atau
tidak, apakah masih ada harapan untuk hidup rukun lagi atau tidak, atau apakah
setelah terjadi perselisihan dan pertengkaran suami istri masih hidup
rukun lagi dalam rumah tangganya atau
tidak. Semua diserahkan kepada penilaian hakim karena hakimlah yang punya
otoritas untuk itu.
Adanya ketentuan yang menyatakan perselisihan dan pertengkaran dan ditambah dengan kalimat terus menerus bukanlah
harga mati sebagai alasan perceraian akan tetapi hanyalah alat bantu
bagi hakim untuk menjatuhkan penilaian apakah suami istri masih ada harapan
untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah
tangga atau tidak , sehingga
kesimpulannya kondisi tidak adanya harapan bagi suami istri untuk dapat hidup
rukun lagi dalam rumah tangga merupakan
alasan perceraian yang mendominasi ketentuan alasan perceraian angka 6 tersebut
. Kalau begitu syarat terus menerus bukan harga mati bagi alasan perceraian
karena faktanya banyak kasus suami istri yang tidak pernah terjadi perselisihan
dan pertengkaran terus menerus akan tetapi mereka tidak pernah berkumpul
sebagai suami istri , karena begitu selesai akad nikah mereka langsung berpisah
dan pulang kerumah masing-masing.perkawinan mereka karena ditangkap dan dipaksa
untuk kawin, padahal maunya sama-sama hanya pacaran saja dan tidak menghendaki
perkawinan, maka dalam hal ini penulis cenderung melihat latar belakang
masing-masing pihak yang sebenarnya dan layak hakim menjatuhkan penilaian bahwa
mereka sama-sama menghedaki perceraian dan sudah tidak ada harapan untuk dapat
hidup rukun lagi dalam rumah tangga, misalnya perkawinan baru seumur jagung ,
tidak pernah bertengkar apalagi terus menerus dan nyatanya memang tidak ada harapan
untuk hidup rukin dalam rumah tangga, maka unsur tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam
rumah tangga itulah kuncinya, kalau memang hati nurani mengatakan suami istri
sudah tidak akan dapat hidup rukun lagi dlam rumah tangga lalu apa perlunya mereka menunggu dulu untuk
menjalani perselisihan dan pertengkaran
dan syarat lainnya yaitu terus menerus , kalau ini yang terjadi maka
secara tidak langsung menyiksa hati kedua belah pihak dalam waktu yang
berkepanjangan sehingga madlorotnya lebih banyak dari pada manfaatnya. Oleh
karena itu untuk penerapan alasan perceraian angka 6 diatas diserahkan kepada
penilaian hakim apalagi hakim dapat menerapkannya secara luwes, fleksibel
adalah lebih bijaksana.
Ada perselisihan dan pertengkaran yang orang lain tidak tahu, yaitu
perselisihan dan pertengkaran secara diam-diam , tidak diperlihatkan dalam
pertengkaran mulut atau kelihatan secara adu pysik tetapi suami istri tidak
tegur sapa, tidak mau melayani suami atau istrinya dalam waktu yang lama, diam
seribu bahasa atau hanya menangis ketika ditanyakan apa masalah yang sedang
terjadi. Jadi begitu luasnya istilah perselisihan dan pertengkaran
sehingga alasan ini
mendominasi alasan perceraian di Indonesia.
7.
Suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam) .
Tentang suami yang melanggar taklik talak , disini penulis mengutip
pendapat Prof. DR. H. Abdul Manan, SH. S.IP. M.Hum.dalam Mimbah Hukum No. 23
/VI/1995 halaman 68 s/d 90 pada pokoknya adalah :
Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon
mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dlam Akta Nikah berupa janji
talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di
masa yang akan dating ( pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam ). Adapun
sighat taklik talak yang diucapkan
sesudah akad nikah sebagai berikut : ( dikutip dari buku Kutipan Akta Nikah
Kantor Urusan Agama tahun 1989 ).
Sesudah akad nikah
saya……bin……berjanji dengan sesungguh hati , bahwa saya akan menepati kewajiban
saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya
bernama……..binti…..dengan baik ( mu’asyarah bil ma’ruf ) menurut ajaran
syari’at agama Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas
istri saya itu sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
(1) Meninggalkan
istri saya tersebut dua tahun berturut-turut,
(2) Atau saya tidak
memberi nafkah wajib kepadanya tiga
bulan lamanya,
(3) Atau saya
menyakiti badan/ jasmani istri saya itu,
(4) Atau saya
membiarkan ( tidak memperdulikan ) istri saya itu enam bulan lamanya,
Kemudian istri saya tidak ridla dan
mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus
pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau
petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,-( seribu
rupiah ) sebagai ‘iwadl ( pengganti ) kepada saya, maka jatuhlah talak saya
kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas
tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwadl ( pengganti ) itu dan
kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid ( BKM ) Pusat untuk
keperluan ibadah sosial.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga (pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam) .
Alasan perceraian angka 8 diatas
sangat berlebihan ,yang seakan-akan suami atau istri atau salah satu darinya yang sudah murtad
tetapi tidak menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga
masih layak dipertahankan dan tidak
dapat dijadikan sebagai alasan perceraian karena masih rukun. Pemahaman
selanjutnya bahwa murtad yang dapat dijadikan alasan perceraian adalah murtad
yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.Oleh karena itu
jika ketentuan angka 8 dipegangi apa adanya maka akan timbul konsekuensi hukum
yaitu :
1.
Bahwa suami atau istri yang beragama Islam boleh hidup dalam ikatan
perkawinan sebagai suami istri, dengan suami atau istrinya yang murtad, jika rumah tangga mereka masih rukun.
2.
Bahwa suami atau istri yang beragama Islam boleh hidup dalam ikatan
perkawinan dikala mereka sama-sama murtad, karena mereka masih rukun.
Untuk angka
1 tersebut diatas, disini akan
penulis jelaskan bahwa jika salah satu dari suami atau istri murtad , lalu
salah salah satu suami atau istri
mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama , maka jika mereka tidak
terbukti bahwa rumah tangganya tidak rukun tetapi masih kumpul serumah dan
bahagia bersama pasangannya meskipun
alasan perceraian tentang murtad terbukti, konsekuensi hukumnya tentu
Pengadilan Agama harus menolak gugatan perceraiannya, artinya mereka masih
hidup sebagai suami istri meskipun salah satunya murtad. Sedangkan untuk angka
2 diatas penjelasannya sama dengan angka satu, yang membedakan adalah kedua belah pihak suami atau istri sama-sama
menghendaki murtad dan rumah tangganya tetap rukun.
Oleh
karena itu menurut
penulis , jika alasan nomor 8 tersebut ( pasal 116 h ) akan dipertahankan apa
adanya akan berdampak negatif bagi masyarakat Islam karena tidak tepat untuk
diterapkan dalam kasus yang salah satu suami atau istri murtad, tetapi yang
lebih tepat adalah diterapkan terhadap kasus yang suami istri yang sama-sama murtad. Akan tetapi
kalau diterapkan pada kasus yang hanya salah satu dari suami atau istri yang
murtad , maka lebih tepat kalimat yang berbunyi “ yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga,
dihilangkan saja dari pasal 116
h. tersebut. Kalau pasal 116 h tidak dihilangkan berarti akan bertentangan
dengan pasal 40 huruf c
maupun pasal 44
Kompilasi Hukum Islam . Apa isi pasal 40 h tersebut, isinya adalah
larangan bagi pria yang beragama Islam kawin dengan wanita yang tidak beragama
Islam,demikian juga isi pasal 44 bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Pemberlakuan pasal 40 huruf c dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam harus mendapat
perhatian serius terutama pejabat yang melaksanakan perkawinan
dan perceraian ( Kantor Urusan Agama dan
Pengadilan Agama) harus mampu menerapkan
pasal tersebut dalam melaksanakan tugas jabatannya.
Kompilasi Hukum Islam sangat
menekankan adanya larangan pria Islam
kawin dengan wanita yang tidak beragama Islam atau sebaliknya wanita yang beragama Islam dilarang kawin dengan
pria yang tidak beragama Islam. Sedangkan orang murtad adalah orang yang keluar
dari agama Islam , meskipun dahulunya beragama Islam, karenanya mengapa ada
kalimat “ yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga “ dicantumkan dalam pasal 116 h tersebut.
Jadi penulis berpendapat bahwa kalau salah satu dari suami atau istri murtad, maka tidak perlu lagi menunggu sampai
rumah tangganya rukun atau tidak,karena pengakuan suami atau istri yang
murtad sudah cukup menjadi alat bukti yang sempurna dan mengikat, karenanya hakim
harus mengabulkan gugatan perceraian
atas alasan peralihan agama atau murtad diantara salah satu pihak atau keduanya
tersebut.
Kehendak pasal 40 huruf c dan pasal
44 Kompilasi Hukum Islam tidak lain adalah untuk mencegah agar orang Islam
tidak hidup sebagai suami istri dengan orang yang tidak beragama Islam, yang
meskipun untuk mencegah agar orang Islam tidak hidup sebagai suami istri dengan
orang yang tidak beragama Islam dapat ditempuh melalui lembaga pembatalan
perkawinan. Dengan menafsir pasal 75 huruf
a Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang
batal karena salah satu dari suami atau istri murtad, dan ternyata murtad
sebagai alasan pembatalan perkawinan secara jelas dan tegas tidak dicantumkan
dalam pasal 70, 71, maupun pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, semestinya dapat
dicantumkan ke dalam salah satu pasal tentang pembatalan perkawinan tersebut.
Beberapa kasus yang masuk ke
Pengadilan Agama di antara alasan perceraian salah satunya adalah murtad ,
terjadinya pacaran antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama terkadang
menyebabkan salah satu pasangan menanggalkan
agamanya demi cintanya untuk berusaha
menjadikan pasangan itu sebagai istri
atau suaminya, sehingga tatkala perkawinan telah dilangsungkan dan
masing-masing telah menempuh kehidupan baru sebagai suami istri ternyata salah
satu suami atau istri kembali ke agamanya semula ( murtad ) lalu menyebabkan
salah satu pasangan itu kecewa dan mengambil langkah mengajuan perceraian
dengan alasan murtad. Begitu telah terjadi perceraian , lagi-lagi yang menjadi
korban adalah anak-anak dari perkawinan mereka yang masih kecil-kecil ada yang
ikut ibunya , ada yang ikut bapaknya menjadi korban kemurtadan orang tuanya.
Masalahnya belum selesai sampai disitu saja tetapi berlanjut hingga anak
perempuannya mau menikah dimana anak perempuannya Islam sedangkan bapaknya non
Islam. Otomatis bapak yang non Islam tak dapat menjadi wali bagi anak
perempuannya yang Islam.
Jadi menurut penulis kalau terjadi
awal perbuatan yang tidak baik, maka kelanjutannya akan menjadi tidak baik
seperti orang yang melangsungkan perkawinan yang dimulai dengan beda agama,
lalu terjadi perkawinan itu dilaksanakan , biasanya perbuatan hukum yang
demikian tidak akan bertahan lama dan biasanya salah satu pihak akan kembali ke
agamanya semula. Demikian juga setiap saat bisa saja terjadi konflik idiologis
yang sewaktu-waktu akan terungkit dan meledak bagaikan bom waktu.
Kesimpulan :
Dari tulisan yang telah penulis
uraikan diatas, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Bahwa alasan –alasan perceraian dalan pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 Jo. Pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam harus dikomulasikan dengan
Undang-Undang terkait seperti UU. No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang No.
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Peraturan Perundangan lainnya
dan segala interpretasinya , adalah hanya sebagai jembatan menuju
ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
2.
Hakim dituntut mempunyai sensitifitas tinggi dan cermat dalam menginterpretasikan alasan – alasan perceraian , dan tidak hanya berorientasi pada alasa-alasan
yang termuat dalam Peraturan perundangan semata akan tetapi alasan-alasan perceraian diluar aturan hukum
bertebaran ada dimana-mana terutama melalui media tehnologi informasi.
F.
Penutup
Demikian tulisan ini disajikan
kehadapan para pembaca, segala kritik dan saran kami harapkan demi kebaikan,
tentu masih banyak kekurangannya tetapi penulis berharap dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita, Wallahu a’lam bishawwab, terimakasih.
Laporan Tahunan tahun 2016, Dirjenbapera
Mahamah Agung RI. Jakarta , hal. 2