MENGENAL EKSEKUSI
DAN AZAS-AZASNYA
Oleh : Drs. H. Sudono, M.H.[1]
Pendahuluan
Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.
perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h.
shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah[2].
Umar
Bin Khatab RA. dalam suratnya kepada Abu Musa Al Asy’ari menyatakan bahwa suatu
kebenaran (putusan hakim) yang tidak dilaksanakan tidak ada gunanya, ini
berarti bahwa puncak serta inti dari proses berperkara adalah pelaksanaan
putusan hakim (eksekusi ) .Penggugat (istri) mengajukan gugatannya ke
Pengadilan bukan hanya mengharapkan putusan yang menguntungkan baginya akan
tetapi bahwa putusan itu akhirnya dapat dilaksanakan ( Taufiq, 1993 : V ).
Juga salah satu tugas pokok yang diserahkan
kepada Badan-Badan Peradilan, termasuk didalamnya Badan Peradilan Agama
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sebagaimana ketentuan pasal 2 UU No.
4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah mengadili dan menyelesaikan
perkara. Pengertian dari mengadili
adalah tidak dapat lain dari pada menjatuhkan putusan, sedang pengertian menyelesaikan
dalam hal ini adalah pelaksanaan dari pada putusan itu sendiri yang
lazimnya disebut eksekusi . Bukankah maksud dan tujuan
hukum itu memelihara ketertiban dan menegakkan keadilan . Tidak ada gunanya
suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan Hakim jika keputusan itu
tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya ( Hilman Hadikusuma, l983 : 130
). Oleh karena hukum eksekusi yang diterapkan , maka dalam hal ini harus
mengacu kepada ketentuan pasal 195 sampai 224 HIR atau pasal 206 sampai 258
RBg. Dan juga berlaku pasal 225 HIR atau 295 RBg.
Pengertian eksekusi
:
Prof. Subekti[3],
bahwa eksekusi adalah “pelaksanaan putusan”,demikian juga Retno Wulan Sutantio[4]
menyatakan eksekusi adalah “pelaksanaan” putusan. kedua makna eksekusi tersebut
disimpulkan sebagai “menjalanan putusan”dengan paksa kalau perlu dengan bantuan
kekuatan umum.
Dasar
Hukum
Eksekusi telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai Hukum Acara Perdata, dalam hal ini dapat ditemui dalam pasal 195 sampai
224 HIR atau pasal 206 sampai 258 RBG.
Dalam pasal 195 HIR antara lain menyebutkan
:
( I ) Hal menjalankan putusan Hakim oleh Pengadilan dalam perkara yang mula
mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri ( baca Pengadilan Agama), dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri /Agama, yang mula-mula memeriksa perkara itu menurut cara
yang diatur dalarn pasai-pasal dibawah ini.
Juga dalam pasal 196 HIR, menyebutkan :
"Jika pihak yang
dikalahkan tidak mau atau lalai mencukupi isi putusan itu dengan baik, maka
pihak yang dimenangkan memasukkan permintaan baik dengan lisan, baik dengan
surat, supaya keputusan itu dijalankan, yaitu kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama
yang tersebut pada ayat (1) pasal 195. maka Ketua itu menyuruh memanggil pihak
yang dikalahkan itu serta menasehati supaya ia mencukupi keputusan itu didalam
waktu yang ditentukan oleh Ketua itu, selama delapan hari".
Selanjutnya pasal 197
HIR menyebutkan :
"Jika sudah lalu waktu yang ditentukan itu serta orang yang
dikalahkan itu belum juga mencukupi keputusan itu, atau jika orang yang
dikalahkan itu sesudah dipanggil dengan patut tiada juga menghadap, maka Ketua
karena jabatannya memberi perintah dengan surat,
supaya disita sekian barang yang tidak tetap, dan jika tidak ada barang
demikian itu atau ternyata tiada cukup, sekian barang tetap kepunyaan orang
yang dikalahkan itu, sehingga dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang
tersebut didalam keputusan itu". (Mr. R. Tresna, 1984: 197 - 198).
(2) Pasal 225 HIR atau 295 HIR yang mengatur tentang
eksekusi untuk menjalankan perbuatan tertentu dan pasal 180 HIR atau 191 RBG yang mengatur tentang putusan yang dapat dijalankan
secara serta merta ("Uit Voerbarbijvorroad"). Selain itu untuk
memenuhi kebutuhan praktek kadang-kadang dipergunakan ketentuan dalam hukum
acara perdata barat BRV untuk menyelesaikan eksekusi perkara in concreto,
misalnya ketentuan tentang hipotik dalam BW. maupun ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (HR. Purwoto S Ganda Subrata,
1998 : 338).
M. Yahya Harahap
dalam masalah eksekusi ini mengatakan bahwa pada saat sekarang tidak semua
ketentuan pasal-pasal diatas dapat berlaku efektif, yang masih betul-betul
efektif berlaku terutama pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR atau pasal
206 sampai pasal 240 dan pasal 258 RBG. Sedang pasal 209 sampai pasal 257 RBG yang
mengatur tentang "sandera" (gijzeling), tidak lagi diperlakukan
secara efektif (M. Yahya Harahap, 1993 : 2). Lebih lanjut beliau mengatakan :
Aturan yang tidak kurang pentingnya dalam ruang lingkup eksekusi ialah Peraturan Lelang Nomor : 189 Tahun 1908 (Vendu Reglement
St.1908/No.189). semua aturan yang disebutkan secara keseluruhan merupakan
aturan yang tidak terpisahkan dari tindakan menjalankan eksekusi.
Kalau dikaitkan dengan aturan eksekusi
dalam Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 7 Tahun 1989 yang terdapat dalam pasal 70 ayat
(3), (4), (5) dan (6) yang mengatakan :
-
Setelah penetapan tersebut diperoleh
kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak
dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
tersebut.
-
Dalam
sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta
otentik untuk mengucapkan penyaksian ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang
dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
-
Jika
isteri telah mendapatkan panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat
mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya.
-
Jika
suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang
penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah
kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi
berdasarkan alasan yang sama.
Untuk mencermati pasal tersebut diatas,
penulis berpendapat bahwa aturan hukum eksekusi yang terdapat dalam Undang - undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak dapat diberlakukan terhadap kasus dalam perkara cerai talak yang direkonvensi harta bersama (
Sudono, 2007: 49). Dimana dalam pasal 70 Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 diperuntukkan terhadap aturan cerai talak yang
tidak ada rekonvensi harta bersama. Sedangkan untuk eksekusi harta bersama
tunduk pada aturan hukum eksekusi yang terdapat dalam HIR atau RBG. Sebab kalau
terjadi masalah gugatan rekonvensi dari isteri tentu akan kesulitan bila suami
tidak secara sukarela melaksanakan isi putusan Pengadilan, maka pasal 70 Undang
- undang Nomor 3 Tahun 2006 dapat berlaku efektif, hal yang demikian sejalan
dengan pasal 131 ayat (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam.
Azas - Azas Eksekusi
Menurut H. Much. Fatich : Azas merupakan
pikiran dasar yang tersirat tentang apa yang seharusnya dilakukan/tidak dan biasanya tidak dituangkan ke dalam bentuk pasal (tersirat)
tetapi ada juga yang dituangkan ke dalam bentuk pasal, juga terkadang azas itu
bersifat Historisch Bestimunt artinya bersifat dinamis mengikuti perkembangan
ruang dan waktu (Sari kuliah pada program Pasca Sarjana Magister Hukum
Universitas Islam Malang, 18-03-2006). Azas-azas eksekusi sekurang-kurangnya ada 4 hal yaitu :
1.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada prinsipnya selama
putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, putusan belum dapat dijalankan,
dengan kata lain upaya eksekusi belum berfungsi. Karena putusan telah
berkekuatan hukum tetap, maka hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah
"tetap" dan "pasti". Oleh karena itu hubungan tersebut
harus ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang kalah yaitu dengan cara melaksanakan
putusan secara sukarela oleh pihak yang kalah. Sehingga makna yuridis bahwa
"Azas putusan telah berkekuatan hukum yang tetap" menurut hukum acara
perdata adalah "menjalankan putusan" yang telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela. Akan tetapi terhadap kasus-kasus tertentu
terdapat pengecualian terhadap azas
tersebut yang menurut Undang - undang adalah :
a.
Pelaksanaan
putusan lebih dulu (uit voorbaar bij voorraad). Pada pasal 180 ayat (1) HIR
atau pasal 191 ayat (1) RBG eksekusi dapat dijalankan Pengadilan terhadap
putusan Pengadilan, sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.
b.
Pelaksanaan
putusan provisi (provisioneele eisch). Yakni "tuntutan lebih dulu"
yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim
mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat
dilaksanakan (di eksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (M. Yahya
Harahap, 1993 : 7).
c.
Akta
Perdamaian. Yaitu diatur dalam pasal 130 HIR atau 154 RBG, menurut ketentuan
pasal dimaksud adalah : selama persidangan berlangsung Penggugat dan Tergugat
dapat berdamai, baik atas anjuran damai dari hakim atau atas inisiatif kedua
belah pihak.
d. Eksekusi terhadap gross akta. Diatur dalam pasal 224 HIR atau 258 RBG, pasal
tersebut memperkenankan terhadap perjanjian asal
perjanjian itu berbentuk grose akta.
2. Putusan tidak dijalankan secara
sukarela.
Dalam melaksanakan
putusan terdapat dua cara yaitu : dengan jalan sukarela dan dengan jalan
"eksekusi". "Pada bentuk menjalankan secara sukarela pihak yang
kalah (Tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan Pengadilan. Tampil
dan berfungsinya eksekusi dalam suatu perkara apabila pihak Tergugat tidak
bersedia mentaati dan menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan
menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut
"eksekusi".
3.
Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir (condemnatoir). yakni putusan yang
amarnya mengandung unsur penghukuman terhadap diri Tergugat dan sifat yang
terkandung dalam putusan condemnatoir yaitu :
a.
Perkara
biasanya berbentuk contensioss (contentieuse rechtpraak) yaitu perkara yang
berbentuk sengketa atau bersifat partai.
b.
Ada
pihak Penggugat dan Tergugat
c.
Proses
pemeriksaannya bersifat kontradiktoir yakni Penggugat dan Tergugat mempunyai
hak untuk sanggah menyanggah.
Dalam buku pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan buku II halaman 150 disebutkan bahwa yang perlu dilaksanakan adalah
putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi hukuman pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu, maksudnya
adalah dilaksanakannya suatu amar putusan dengan jalan eksekusi. M. Yahya Harahap lebih lanjut memberikan
acuan ciri-ciri yang dapat dijadikan indikator untuk menentukan suatu putusan
bersifat condemnatoir dalam diktum amar putusan terdapat perintah yang menghukum
pihak yang kalah yang dirumuskan dalam kalimat :
-
Menghukum atau memerintahkan "menyerahkan"
suatu barang.
-
Menghukum atau memerintahkan "pengosongan"
sebidang tanah atau rumah.
-
Menghukum atau memerintahkan
"melakukan" suatu perbuatan tertentu.
-
Menghukum atau memerintahkan
"penghentian" suatu perbuatan atau keadaan.
-
Menghukum atau memerintahkan melakukan
"pembayaran" sejumlah uang.
4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.
Maksud azas
diatas adalah Ketua Pengadilan yang dahulu
memeriksa dan memutuskan perkara itu dalam tingkat pertama. Hal mana berpedoman
pada pasal 195 ayat (1) HIR atau pasal 206 ayat (1) RBG, yang berwenang menjalankan eksekusi terhadap putusan Pengadilan mutlak
hanya diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama, bukan pada tingkat
banding maupun kasasi dan tidak menjadi persoalan apakah putusan yang hendak
dieksekusi itu merupakan hasil putusan banding atau kasasi, atau peninjauan
kembali, eksekusinya tetap berada dibawah kewenangan Pengadilan yang memutus
dalam tingkat pertama dan karena eksekusi
adalah kewenangan ketua pengadilan maka sepanjang telah dinyatakan sah dan
berharga dalam amar putusan maka harus menerapkan hukum eksekusi kalau perlu dengan CONTRA
LEGEM terhadap pasal- pasal peraturan perundangan yang sudah tidak layak lagi (
Sudono, 2007 : 151).
Bahkan dalam menjalankan putusan
(eksekusi) hendaknya dilaksanakan seluruhnya sedang apabila sebagian atau
seluruhnya berada diluar daerah hukum Pengadilan Agama yang memutus, hendaknya
meminta bantuan Pengadilan Agama ditempat barang tersebut berada (Hensyah
Syahlani, 1993 : 17). Pemusatan eksekusi dibawah satu instansi merupakan
tata tertib yang sangat bermanfaat dalam penegakan dan pelayanan hukum dan juga
sangat berdaya guna menghindari saling adu kekuasaan diantara instansi
peradilan. Pengadilan Tinggi Agama maupun Mahkamah Agung tidak boleh mencampuri
eksekusi yang dilakukan Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Agama). Instansi
tingkat banding atau kasasi paling-paling hanya bertindak mengawasi dan
meluruskan jalannya eksekusi apabila terdapat penyimpangan pada saat menjalankan eksekusi.
Kewenangan yang secara formal diberikan
kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama adalah kewenangan secara ex officio,
dapat dibaca dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RBG
karenanya dari pasal tersebut dapat gambaran konstruksi hukum yaitu :
- Ketua Pengadilan tingkat pertama memerintahkan dan
memimpin jalannya eksekusi.
- Kewenangan memerintahkan dan memimpin jalannya
eksekusi yang ada pada Ketua Pengadilan Agama adalah secara ex officio.
- Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Agama berbentuk "Surat Penetapan" (beschikking).
-Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama.
Fungsi kewenangan ex officio Ketua
Pengadilan Agama memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi bukan hanya
terbatas atas pengeluaran surat penetapan yang memerintahkan eksekusi. Fungsi
ex officio tersebut meliputi :
a. Mulai dari tindakan exekutorial beslag.
b. Pelaksanaan pelelangan, termasuk segala proses dan prosedur yang disyaratkan tata cara pelelangan.
c. sampai kepada tindakan pengosongan dan penyerahan barang yang dilelang
kepada pembeli lelang atau,
d.
Sampai pada penyerahan dan penguasaan
pelaksanaan secara nyata barang yang dieksekusi pada eksekusi riil (M. Yahya
Harahap, 1993 : 19),
Demikian tulisan tentang mengenal eksekusi dan azas-azasnya ini tentu masih belum sempurna
dan memerlukan perbaikan, harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat
untuk kita amiin , terimakasih.
Blitar,
09 Juli 2018
P e
n u l i s
Drs.
H. Sudono, M.H.
[1] Hakim
Utama Muda / Pembina Utama Madya Pengadilan Agama Blitar Kelas I A.
[2] Pasal 49
UU No.3/2006 tentang perubahan atas UU nomor 7/1989 tentang Peradilan Agama.
[3] Hukum
Acara Perdata, hal. 128
[4] Hukum
Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, hal 111
Oleh : Drs. H. Sudono, M.H.[1]
Pendahuluan
Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.
perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h.
shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah[2].
Umar
Bin Khatab RA. dalam suratnya kepada Abu Musa Al Asy’ari menyatakan bahwa suatu
kebenaran (putusan hakim) yang tidak dilaksanakan tidak ada gunanya, ini
berarti bahwa puncak serta inti dari proses berperkara adalah pelaksanaan
putusan hakim (eksekusi ) .Penggugat (istri) mengajukan gugatannya ke
Pengadilan bukan hanya mengharapkan putusan yang menguntungkan baginya akan
tetapi bahwa putusan itu akhirnya dapat dilaksanakan ( Taufiq, 1993 : V ).
Juga salah satu tugas pokok yang diserahkan
kepada Badan-Badan Peradilan, termasuk didalamnya Badan Peradilan Agama
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sebagaimana ketentuan pasal 2 UU No.
4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah mengadili dan menyelesaikan
perkara. Pengertian dari mengadili
adalah tidak dapat lain dari pada menjatuhkan putusan, sedang pengertian menyelesaikan
dalam hal ini adalah pelaksanaan dari pada putusan itu sendiri yang
lazimnya disebut eksekusi . Bukankah maksud dan tujuan
hukum itu memelihara ketertiban dan menegakkan keadilan . Tidak ada gunanya
suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan Hakim jika keputusan itu
tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya ( Hilman Hadikusuma, l983 : 130
). Oleh karena hukum eksekusi yang diterapkan , maka dalam hal ini harus
mengacu kepada ketentuan pasal 195 sampai 224 HIR atau pasal 206 sampai 258
RBg. Dan juga berlaku pasal 225 HIR atau 295 RBg.
Pengertian eksekusi
:
Prof. Subekti[3],
bahwa eksekusi adalah “pelaksanaan putusan”,demikian juga Retno Wulan Sutantio[4]
menyatakan eksekusi adalah “pelaksanaan” putusan. kedua makna eksekusi tersebut
disimpulkan sebagai “menjalanan putusan”dengan paksa kalau perlu dengan bantuan
kekuatan umum.
Dasar
Hukum
Eksekusi telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai Hukum Acara Perdata, dalam hal ini dapat ditemui dalam pasal 195 sampai
224 HIR atau pasal 206 sampai 258 RBG.
Dalam pasal 195 HIR antara lain menyebutkan
:
( I ) Hal menjalankan putusan Hakim oleh Pengadilan dalam perkara yang mula
mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri ( baca Pengadilan Agama), dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri /Agama, yang mula-mula memeriksa perkara itu menurut cara
yang diatur dalarn pasai-pasal dibawah ini.
Juga dalam pasal 196 HIR, menyebutkan :
"Jika pihak yang
dikalahkan tidak mau atau lalai mencukupi isi putusan itu dengan baik, maka
pihak yang dimenangkan memasukkan permintaan baik dengan lisan, baik dengan
surat, supaya keputusan itu dijalankan, yaitu kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama
yang tersebut pada ayat (1) pasal 195. maka Ketua itu menyuruh memanggil pihak
yang dikalahkan itu serta menasehati supaya ia mencukupi keputusan itu didalam
waktu yang ditentukan oleh Ketua itu, selama delapan hari".
Selanjutnya pasal 197
HIR menyebutkan :
"Jika sudah lalu waktu yang ditentukan itu serta orang yang
dikalahkan itu belum juga mencukupi keputusan itu, atau jika orang yang
dikalahkan itu sesudah dipanggil dengan patut tiada juga menghadap, maka Ketua
karena jabatannya memberi perintah dengan surat,
supaya disita sekian barang yang tidak tetap, dan jika tidak ada barang
demikian itu atau ternyata tiada cukup, sekian barang tetap kepunyaan orang
yang dikalahkan itu, sehingga dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang
tersebut didalam keputusan itu". (Mr. R. Tresna, 1984: 197 - 198).
(2) Pasal 225 HIR atau 295 HIR yang mengatur tentang
eksekusi untuk menjalankan perbuatan tertentu dan pasal 180 HIR atau 191 RBG yang mengatur tentang putusan yang dapat dijalankan
secara serta merta ("Uit Voerbarbijvorroad"). Selain itu untuk
memenuhi kebutuhan praktek kadang-kadang dipergunakan ketentuan dalam hukum
acara perdata barat BRV untuk menyelesaikan eksekusi perkara in concreto,
misalnya ketentuan tentang hipotik dalam BW. maupun ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (HR. Purwoto S Ganda Subrata,
1998 : 338).
M. Yahya Harahap
dalam masalah eksekusi ini mengatakan bahwa pada saat sekarang tidak semua
ketentuan pasal-pasal diatas dapat berlaku efektif, yang masih betul-betul
efektif berlaku terutama pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR atau pasal
206 sampai pasal 240 dan pasal 258 RBG. Sedang pasal 209 sampai pasal 257 RBG yang
mengatur tentang "sandera" (gijzeling), tidak lagi diperlakukan
secara efektif (M. Yahya Harahap, 1993 : 2). Lebih lanjut beliau mengatakan :
Aturan yang tidak kurang pentingnya dalam ruang lingkup eksekusi ialah Peraturan Lelang Nomor : 189 Tahun 1908 (Vendu Reglement
St.1908/No.189). semua aturan yang disebutkan secara keseluruhan merupakan
aturan yang tidak terpisahkan dari tindakan menjalankan eksekusi.
Kalau dikaitkan dengan aturan eksekusi
dalam Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 7 Tahun 1989 yang terdapat dalam pasal 70 ayat
(3), (4), (5) dan (6) yang mengatakan :
-
Setelah penetapan tersebut diperoleh
kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak
dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
tersebut.
-
Dalam
sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta
otentik untuk mengucapkan penyaksian ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang
dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
-
Jika
isteri telah mendapatkan panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat
mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya.
-
Jika
suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang
penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah
kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi
berdasarkan alasan yang sama.
Untuk mencermati pasal tersebut diatas,
penulis berpendapat bahwa aturan hukum eksekusi yang terdapat dalam Undang - undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak dapat diberlakukan terhadap kasus dalam perkara cerai talak yang direkonvensi harta bersama (
Sudono, 2007: 49). Dimana dalam pasal 70 Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 diperuntukkan terhadap aturan cerai talak yang
tidak ada rekonvensi harta bersama. Sedangkan untuk eksekusi harta bersama
tunduk pada aturan hukum eksekusi yang terdapat dalam HIR atau RBG. Sebab kalau
terjadi masalah gugatan rekonvensi dari isteri tentu akan kesulitan bila suami
tidak secara sukarela melaksanakan isi putusan Pengadilan, maka pasal 70 Undang
- undang Nomor 3 Tahun 2006 dapat berlaku efektif, hal yang demikian sejalan
dengan pasal 131 ayat (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam.
Azas - Azas Eksekusi
Menurut H. Much. Fatich : Azas merupakan
pikiran dasar yang tersirat tentang apa yang seharusnya dilakukan/tidak dan biasanya tidak dituangkan ke dalam bentuk pasal (tersirat)
tetapi ada juga yang dituangkan ke dalam bentuk pasal, juga terkadang azas itu
bersifat Historisch Bestimunt artinya bersifat dinamis mengikuti perkembangan
ruang dan waktu (Sari kuliah pada program Pasca Sarjana Magister Hukum
Universitas Islam Malang, 18-03-2006). Azas-azas eksekusi sekurang-kurangnya ada 4 hal yaitu :
1.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada prinsipnya selama
putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, putusan belum dapat dijalankan,
dengan kata lain upaya eksekusi belum berfungsi. Karena putusan telah
berkekuatan hukum tetap, maka hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah
"tetap" dan "pasti". Oleh karena itu hubungan tersebut
harus ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang kalah yaitu dengan cara melaksanakan
putusan secara sukarela oleh pihak yang kalah. Sehingga makna yuridis bahwa
"Azas putusan telah berkekuatan hukum yang tetap" menurut hukum acara
perdata adalah "menjalankan putusan" yang telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela. Akan tetapi terhadap kasus-kasus tertentu
terdapat pengecualian terhadap azas
tersebut yang menurut Undang - undang adalah :
a.
Pelaksanaan
putusan lebih dulu (uit voorbaar bij voorraad). Pada pasal 180 ayat (1) HIR
atau pasal 191 ayat (1) RBG eksekusi dapat dijalankan Pengadilan terhadap
putusan Pengadilan, sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.
b.
Pelaksanaan
putusan provisi (provisioneele eisch). Yakni "tuntutan lebih dulu"
yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim
mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat
dilaksanakan (di eksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (M. Yahya
Harahap, 1993 : 7).
c.
Akta
Perdamaian. Yaitu diatur dalam pasal 130 HIR atau 154 RBG, menurut ketentuan
pasal dimaksud adalah : selama persidangan berlangsung Penggugat dan Tergugat
dapat berdamai, baik atas anjuran damai dari hakim atau atas inisiatif kedua
belah pihak.
d. Eksekusi terhadap gross akta. Diatur dalam pasal 224 HIR atau 258 RBG, pasal
tersebut memperkenankan terhadap perjanjian asal
perjanjian itu berbentuk grose akta.
2. Putusan tidak dijalankan secara
sukarela.
Dalam melaksanakan
putusan terdapat dua cara yaitu : dengan jalan sukarela dan dengan jalan
"eksekusi". "Pada bentuk menjalankan secara sukarela pihak yang
kalah (Tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan Pengadilan. Tampil
dan berfungsinya eksekusi dalam suatu perkara apabila pihak Tergugat tidak
bersedia mentaati dan menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan
menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut
"eksekusi".
3.
Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir (condemnatoir). yakni putusan yang
amarnya mengandung unsur penghukuman terhadap diri Tergugat dan sifat yang
terkandung dalam putusan condemnatoir yaitu :
a.
Perkara
biasanya berbentuk contensioss (contentieuse rechtpraak) yaitu perkara yang
berbentuk sengketa atau bersifat partai.
b.
Ada
pihak Penggugat dan Tergugat
c.
Proses
pemeriksaannya bersifat kontradiktoir yakni Penggugat dan Tergugat mempunyai
hak untuk sanggah menyanggah.
Dalam buku pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan buku II halaman 150 disebutkan bahwa yang perlu dilaksanakan adalah
putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi hukuman pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu, maksudnya
adalah dilaksanakannya suatu amar putusan dengan jalan eksekusi. M. Yahya Harahap lebih lanjut memberikan
acuan ciri-ciri yang dapat dijadikan indikator untuk menentukan suatu putusan
bersifat condemnatoir dalam diktum amar putusan terdapat perintah yang menghukum
pihak yang kalah yang dirumuskan dalam kalimat :
-
Menghukum atau memerintahkan "menyerahkan"
suatu barang.
-
Menghukum atau memerintahkan "pengosongan"
sebidang tanah atau rumah.
-
Menghukum atau memerintahkan
"melakukan" suatu perbuatan tertentu.
-
Menghukum atau memerintahkan
"penghentian" suatu perbuatan atau keadaan.
-
Menghukum atau memerintahkan melakukan
"pembayaran" sejumlah uang.
4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.
Maksud azas
diatas adalah Ketua Pengadilan yang dahulu
memeriksa dan memutuskan perkara itu dalam tingkat pertama. Hal mana berpedoman
pada pasal 195 ayat (1) HIR atau pasal 206 ayat (1) RBG, yang berwenang menjalankan eksekusi terhadap putusan Pengadilan mutlak
hanya diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama, bukan pada tingkat
banding maupun kasasi dan tidak menjadi persoalan apakah putusan yang hendak
dieksekusi itu merupakan hasil putusan banding atau kasasi, atau peninjauan
kembali, eksekusinya tetap berada dibawah kewenangan Pengadilan yang memutus
dalam tingkat pertama dan karena eksekusi
adalah kewenangan ketua pengadilan maka sepanjang telah dinyatakan sah dan
berharga dalam amar putusan maka harus menerapkan hukum eksekusi kalau perlu dengan CONTRA
LEGEM terhadap pasal- pasal peraturan perundangan yang sudah tidak layak lagi (
Sudono, 2007 : 151).
Bahkan dalam menjalankan putusan
(eksekusi) hendaknya dilaksanakan seluruhnya sedang apabila sebagian atau
seluruhnya berada diluar daerah hukum Pengadilan Agama yang memutus, hendaknya
meminta bantuan Pengadilan Agama ditempat barang tersebut berada (Hensyah
Syahlani, 1993 : 17). Pemusatan eksekusi dibawah satu instansi merupakan
tata tertib yang sangat bermanfaat dalam penegakan dan pelayanan hukum dan juga
sangat berdaya guna menghindari saling adu kekuasaan diantara instansi
peradilan. Pengadilan Tinggi Agama maupun Mahkamah Agung tidak boleh mencampuri
eksekusi yang dilakukan Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Agama). Instansi
tingkat banding atau kasasi paling-paling hanya bertindak mengawasi dan
meluruskan jalannya eksekusi apabila terdapat penyimpangan pada saat menjalankan eksekusi.
Kewenangan yang secara formal diberikan
kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama adalah kewenangan secara ex officio,
dapat dibaca dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RBG
karenanya dari pasal tersebut dapat gambaran konstruksi hukum yaitu :
- Ketua Pengadilan tingkat pertama memerintahkan dan
memimpin jalannya eksekusi.
- Kewenangan memerintahkan dan memimpin jalannya
eksekusi yang ada pada Ketua Pengadilan Agama adalah secara ex officio.
- Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Agama berbentuk "Surat Penetapan" (beschikking).
-Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama.
Fungsi kewenangan ex officio Ketua
Pengadilan Agama memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi bukan hanya
terbatas atas pengeluaran surat penetapan yang memerintahkan eksekusi. Fungsi
ex officio tersebut meliputi :
a. Mulai dari tindakan exekutorial beslag.
b. Pelaksanaan pelelangan, termasuk segala proses dan prosedur yang disyaratkan tata cara pelelangan.
c. sampai kepada tindakan pengosongan dan penyerahan barang yang dilelang
kepada pembeli lelang atau,
d.
Sampai pada penyerahan dan penguasaan
pelaksanaan secara nyata barang yang dieksekusi pada eksekusi riil (M. Yahya
Harahap, 1993 : 19),
Demikian tulisan tentang mengenal eksekusi dan azas-azasnya ini tentu masih belum sempurna
dan memerlukan perbaikan, harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat
untuk kita amiin , terimakasih.
Blitar,
09 Juli 2018
P e
n u l i s
Drs.
H. Sudono, M.H.
[1] Hakim
Utama Muda / Pembina Utama Madya Pengadilan Agama Blitar Kelas I A.
[2] Pasal 49
UU No.3/2006 tentang perubahan atas UU nomor 7/1989 tentang Peradilan Agama.
[3] Hukum
Acara Perdata, hal. 128
[4] Hukum
Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, hal 111