Selasa, 10 Juli 2018

MENGENAL EKSEKUSI DAN AZAS-AZASNYA





MENGENAL EKSEKUSI DAN AZAS-AZASNYA


Oleh : Drs. H. Sudono, M.H.[1]


Pendahuluan
         Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah[2].
         Umar Bin Khatab RA. dalam suratnya kepada Abu Musa Al Asy’ari menyatakan bahwa suatu kebenaran (putusan hakim) yang tidak dilaksanakan tidak ada gunanya, ini berarti bahwa puncak serta inti dari proses berperkara adalah pelaksanaan putusan hakim (eksekusi ) .Penggugat (istri) mengajukan gugatannya ke Pengadilan bukan hanya mengharapkan putusan yang menguntungkan baginya akan tetapi bahwa putusan itu akhirnya dapat dilaksanakan ( Taufiq, 1993 : V ).
       Juga salah satu tugas pokok yang diserahkan kepada  Badan-Badan Peradilan, termasuk didalamnya Badan Peradilan Agama dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sebagaimana ketentuan pasal 2 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah mengadili dan menyelesaikan perkara.  Pengertian dari mengadili adalah tidak dapat lain dari pada menjatuhkan putusan, sedang pengertian menyelesaikan dalam hal ini adalah pelaksanaan dari pada putusan itu sendiri  yang lazimnya disebut eksekusi . Bukankah maksud dan tujuan hukum itu memelihara ketertiban dan menegakkan keadilan . Tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan Hakim jika keputusan itu tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya ( Hilman Hadikusuma, l983 : 130 ). Oleh karena hukum eksekusi yang diterapkan , maka dalam hal ini harus mengacu kepada ketentuan pasal 195 sampai 224 HIR atau pasal 206 sampai 258 RBg. Dan juga berlaku pasal 225 HIR atau 295 RBg.
   
    Pengertian eksekusi :
      Prof. Subekti[3], bahwa eksekusi adalah “pelaksanaan putusan”,demikian juga Retno Wulan Sutantio[4] menyatakan eksekusi adalah “pelaksanaan” putusan. kedua makna eksekusi tersebut disimpulkan sebagai “menjalanan putusan”dengan paksa kalau perlu dengan bantuan kekuatan umum.

Dasar Hukum
      Eksekusi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Hukum Acara Perdata, dalam hal ini dapat ditemui dalam pasal 195 sampai 224 HIR atau pasal 206 sampai 258 RBG.

     Dalam pasal 195 HIR antara lain menyebutkan :
( I ) Hal menjalankan putusan Hakim oleh Pengadilan dalam perkara yang mula mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri ( baca Pengadilan Agama), dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri /Agama, yang mula-­mula memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalarn pasai-­pasal dibawah ini.

       Juga dalam pasal 196 HIR, menyebutkan :
      "Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai mencukupi isi putusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan memasukkan permintaan baik dengan lisan, baik dengan surat, supaya keputusan itu dijalankan, yaitu kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama yang tersebut pada ayat (1) pasal 195. maka Ketua itu menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta menasehati supaya ia mencukupi keputusan itu didalam waktu yang ditentukan oleh Ketua itu, selama delapan hari".

        Selanjutnya pasal 197 HIR menyebutkan :
"Jika sudah lalu waktu yang ditentukan itu serta orang yang dikalahkan itu belum juga mencukupi keputusan itu, atau jika orang yang dikalahkan itu sesudah dipanggil dengan patut tiada juga menghadap, maka Ketua karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekian barang yang tidak tetap, dan jika tidak ada barang demikian itu atau ternyata tiada cukup, sekian barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu, sehingga dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut didalam keputusan itu". (Mr. R. Tresna, 1984: 197 - 198).
(2)  Pasal 225 HIR atau 295 HIR yang mengatur tentang eksekusi untuk menjalankan perbuatan tertentu dan pasal 180 HIR atau 191 RBG yang mengatur tentang putusan yang dapat dijalankan secara serta merta ("Uit Voerbarbijvorroad"). Selain itu untuk memenuhi kebutuhan praktek kadang-kadang dipergunakan ketentuan dalam hukum acara perdata barat BRV untuk menyelesaikan eksekusi perkara in concreto, misalnya ketentuan tentang hipotik dalam BW. maupun ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (HR. Purwoto S Ganda Subrata, 1998 : 338).
         M. Yahya Harahap dalam masalah eksekusi ini mengatakan bahwa pada saat sekarang tidak semua ketentuan pasal-pasal diatas dapat berlaku efektif, yang masih betul-betul efektif berlaku terutama pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR atau pasal 206 sampai pasal 240 dan pasal 258 RBG. Sedang pasal 209 sampai pasal 257 RBG yang mengatur tentang "sandera" (gijzeling), tidak lagi diperlakukan secara efektif (M. Yahya Harahap, 1993 : 2). Lebih lanjut beliau mengatakan : Aturan yang tidak kurang pentingnya dalam ruang lingkup eksekusi ialah Peraturan Lelang Nomor : 189 Tahun 1908 (Vendu Reglement St.1908/No.189). semua aturan yang disebutkan secara keseluruhan merupakan aturan yang tidak terpisahkan dari tindakan menjalankan eksekusi.
         Kalau dikaitkan dengan aturan eksekusi dalam Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 7 Tahun 1989 yang terdapat dalam pasal 70 ayat (3), (4), (5) dan (6) yang mengatakan :
-          Setelah penetapan tersebut diperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
-          Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan penyaksian ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
-          Jika isteri telah mendapatkan panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya.
-          Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
         Untuk mencermati pasal tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa aturan hukum eksekusi yang terdapat dalam Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak dapat diberlakukan terhadap kasus dalam perkara cerai talak yang direkonvensi harta bersama ( Sudono, 2007: 49). Dimana dalam pasal 70 Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 diperuntukkan terhadap aturan cerai talak yang tidak ada rekonvensi harta bersama. Sedangkan untuk eksekusi harta bersama tunduk pada aturan hukum eksekusi yang terdapat dalam HIR atau RBG. Sebab kalau terjadi masalah gugatan rekonvensi dari isteri tentu akan kesulitan bila suami tidak secara sukarela melaksanakan isi putusan Pengadilan, maka pasal 70 Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 dapat berlaku efektif, hal yang demikian sejalan dengan pasal 131 ayat (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam.

Azas - Azas Eksekusi
         Menurut H. Much. Fatich : Azas merupakan pikiran dasar yang tersirat tentang apa yang seharusnya dilakukan/tidak dan biasanya tidak dituangkan ke dalam bentuk pasal (tersirat) tetapi ada juga yang dituangkan ke dalam bentuk pasal, juga terkadang azas itu bersifat Historisch Bestimunt artinya bersifat dinamis mengikuti perkembangan ruang dan waktu (Sari kuliah pada program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang, 18-03-2006). Azas-azas eksekusi sekurang-kurangnya ada  4 hal yaitu :
1.      Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.  Pada prinsipnya selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, putusan belum dapat dijalankan, dengan kata lain upaya eksekusi belum berfungsi. Karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, maka hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah "tetap" dan "pasti". Oleh karena itu hubungan tersebut harus ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang kalah yaitu dengan cara melaksanakan putusan secara sukarela oleh pihak yang kalah. Sehingga makna yuridis bahwa "Azas putusan telah berkekuatan hukum yang tetap" menurut hukum acara perdata adalah "menjalankan putusan" yang telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela. Akan tetapi terhadap kasus-kasus tertentu terdapat  pengecualian terhadap azas tersebut yang menurut Undang - undang adalah :
a.       Pelaksanaan putusan lebih dulu (uit voorbaar bij voorraad). Pada pasal 180 ayat (1) HIR atau pasal 191 ayat (1) RBG eksekusi dapat dijalankan Pengadilan terhadap putusan Pengadilan, sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
b.      Pelaksanaan putusan provisi (provisioneele eisch). Yakni "tuntutan lebih dulu" yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (di eksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (M. Yahya Harahap, 1993 : 7).
c.       Akta Perdamaian. Yaitu diatur dalam pasal 130 HIR atau 154 RBG, menurut ketentuan pasal dimaksud adalah : selama persidangan berlangsung Penggugat dan Tergugat dapat berdamai, baik atas anjuran damai dari hakim atau atas inisiatif kedua belah pihak.
d.      Eksekusi terhadap gross akta.  Diatur dalam pasal 224 HIR atau 258 RBG, pasal tersebut memperkenankan terhadap perjanjian asal perjanjian itu berbentuk grose akta.
2.      Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
        Dalam melaksanakan putusan terdapat dua cara yaitu : dengan jalan sukarela dan dengan jalan "eksekusi". "Pada bentuk menjalankan secara sukarela pihak yang kalah (Tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan Pengadilan. Tampil dan berfungsinya eksekusi dalam suatu perkara apabila pihak Tergugat tidak bersedia mentaati dan menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut "eksekusi".
3.      Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir (condemnatoir).  yakni putusan yang amarnya mengandung unsur penghukuman terhadap diri Tergugat dan sifat yang terkandung dalam putusan condemnatoir yaitu :
a.    Perkara biasanya berbentuk contensioss (contentieuse rechtpraak) yaitu perkara yang berbentuk sengketa atau bersifat partai.
b.    Ada pihak Penggugat dan Tergugat
c.    Proses pemeriksaannya bersifat kontradiktoir yakni Penggugat dan Tergugat mempunyai hak untuk sanggah menyanggah.
                Dalam buku pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan buku II halaman 150 disebutkan bahwa yang perlu dilaksanakan adalah putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi hukuman pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu, maksudnya adalah dilaksanakannya suatu amar putusan dengan jalan eksekusi.  M. Yahya Harahap lebih lanjut memberikan acuan ciri-ciri yang dapat dijadikan indikator untuk menentukan suatu putusan bersifat condemnatoir dalam diktum amar putusan terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah yang dirumuskan dalam kalimat :
-     Menghukum atau memerintahkan "menyerahkan" suatu barang.
-     Menghukum atau memerintahkan "pengosongan" sebidang tanah atau rumah.
-     Menghukum atau memerintahkan "melakukan" suatu perbuatan tertentu.
-     Menghukum atau memerintahkan "penghentian" suatu perbuatan atau keadaan.
-     Menghukum atau memerintahkan melakukan "pembayaran" sejumlah uang.

4.      Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.
         Maksud azas  diatas adalah Ketua Pengadilan yang dahulu memeriksa dan memutuskan perkara itu dalam tingkat pertama. Hal mana berpedoman pada pasal 195 ayat (1) HIR atau pasal 206 ayat (1) RBG, yang berwenang menjalankan eksekusi terhadap putusan Pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama, bukan pada tingkat banding maupun kasasi dan tidak menjadi persoalan apakah putusan yang hendak dieksekusi itu merupakan hasil putusan banding atau kasasi, atau peninjauan kembali, eksekusinya tetap berada dibawah kewenangan Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dan karena eksekusi adalah kewenangan ketua pengadilan maka sepanjang telah dinyatakan sah dan berharga dalam amar putusan maka harus menerapkan  hukum eksekusi kalau perlu dengan CONTRA LEGEM terhadap pasal- pasal peraturan perundangan yang sudah tidak layak lagi ( Sudono, 2007 : 151).
         Bahkan dalam menjalankan putusan (eksekusi) hendaknya dilaksanakan seluruhnya sedang apabila sebagian atau seluruhnya berada diluar daerah hukum Pengadilan Agama yang memutus, hendaknya meminta bantuan Pengadilan Agama ditempat barang tersebut berada (Hensyah Syahlani, 1993 : 17). Pemusatan eksekusi dibawah satu instansi merupakan tata tertib yang sangat bermanfaat dalam penegakan dan pelayanan hukum dan juga sangat berdaya guna menghindari saling adu kekuasaan diantara instansi peradilan. Pengadilan Tinggi Agama maupun Mahkamah Agung tidak boleh mencampuri eksekusi yang dilakukan Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Agama). Instansi tingkat banding atau kasasi paling-paling hanya bertindak mengawasi dan meluruskan jalannya eksekusi apabila terdapat penyimpangan pada saat menjalankan eksekusi.
         Kewenangan yang secara formal diberikan kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama adalah kewenangan secara ex officio, dapat dibaca dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RBG karenanya  dari  pasal  tersebut  dapat gambaran konstruksi hukum yaitu :
-  Ketua Pengadilan tingkat pertama memerintahkan dan memimpin  jalannya eksekusi.
-  Kewenangan memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi yang ada pada Ketua Pengadilan Agama adalah secara ex officio.
- Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Agama berbentuk "Surat Penetapan" (beschikking).
-Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama.
         Fungsi kewenangan ex officio Ketua Pengadilan Agama memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi bukan hanya terbatas atas pengeluaran surat penetapan yang memerintahkan eksekusi. Fungsi ex officio tersebut meliputi :
a.    Mulai dari tindakan exekutorial beslag.
b.    Pelaksanaan pelelangan, termasuk segala proses dan prosedur yang disyaratkan tata cara pelelangan.
c.    sampai kepada tindakan pengosongan dan penyerahan barang yang dilelang kepada pembeli lelang atau,
d.   Sampai pada penyerahan dan penguasaan pelaksanaan secara nyata barang yang dieksekusi pada eksekusi riil (M. Yahya Harahap, 1993 : 19),
    Demikian tulisan  tentang mengenal eksekusi dan azas-azasnya  ini tentu masih belum  sempurna  dan memerlukan perbaikan, harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita amiin  , terimakasih.
Blitar, 09 Juli 2018
P e n u l i s


Drs. H.  Sudono,  M.H.





















[1] Hakim Utama Muda / Pembina Utama Madya Pengadilan Agama Blitar Kelas I A.
[2] Pasal 49 UU No.3/2006 tentang perubahan atas UU nomor 7/1989 tentang Peradilan Agama.
[3] Hukum Acara Perdata, hal. 128
[4] Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, hal 111


Oleh : Drs. H. Sudono, M.H.[1]


Pendahuluan
         Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah[2].
         Umar Bin Khatab RA. dalam suratnya kepada Abu Musa Al Asy’ari menyatakan bahwa suatu kebenaran (putusan hakim) yang tidak dilaksanakan tidak ada gunanya, ini berarti bahwa puncak serta inti dari proses berperkara adalah pelaksanaan putusan hakim (eksekusi ) .Penggugat (istri) mengajukan gugatannya ke Pengadilan bukan hanya mengharapkan putusan yang menguntungkan baginya akan tetapi bahwa putusan itu akhirnya dapat dilaksanakan ( Taufiq, 1993 : V ).
       Juga salah satu tugas pokok yang diserahkan kepada  Badan-Badan Peradilan, termasuk didalamnya Badan Peradilan Agama dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sebagaimana ketentuan pasal 2 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah mengadili dan menyelesaikan perkara.  Pengertian dari mengadili adalah tidak dapat lain dari pada menjatuhkan putusan, sedang pengertian menyelesaikan dalam hal ini adalah pelaksanaan dari pada putusan itu sendiri  yang lazimnya disebut eksekusi . Bukankah maksud dan tujuan hukum itu memelihara ketertiban dan menegakkan keadilan . Tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan Hakim jika keputusan itu tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya ( Hilman Hadikusuma, l983 : 130 ). Oleh karena hukum eksekusi yang diterapkan , maka dalam hal ini harus mengacu kepada ketentuan pasal 195 sampai 224 HIR atau pasal 206 sampai 258 RBg. Dan juga berlaku pasal 225 HIR atau 295 RBg.
   
    Pengertian eksekusi :
      Prof. Subekti[3], bahwa eksekusi adalah “pelaksanaan putusan”,demikian juga Retno Wulan Sutantio[4] menyatakan eksekusi adalah “pelaksanaan” putusan. kedua makna eksekusi tersebut disimpulkan sebagai “menjalanan putusan”dengan paksa kalau perlu dengan bantuan kekuatan umum.

Dasar Hukum
      Eksekusi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Hukum Acara Perdata, dalam hal ini dapat ditemui dalam pasal 195 sampai 224 HIR atau pasal 206 sampai 258 RBG.

     Dalam pasal 195 HIR antara lain menyebutkan :
( I ) Hal menjalankan putusan Hakim oleh Pengadilan dalam perkara yang mula mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri ( baca Pengadilan Agama), dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri /Agama, yang mula-­mula memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalarn pasai-­pasal dibawah ini.

       Juga dalam pasal 196 HIR, menyebutkan :
      "Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai mencukupi isi putusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan memasukkan permintaan baik dengan lisan, baik dengan surat, supaya keputusan itu dijalankan, yaitu kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama yang tersebut pada ayat (1) pasal 195. maka Ketua itu menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta menasehati supaya ia mencukupi keputusan itu didalam waktu yang ditentukan oleh Ketua itu, selama delapan hari".

        Selanjutnya pasal 197 HIR menyebutkan :
"Jika sudah lalu waktu yang ditentukan itu serta orang yang dikalahkan itu belum juga mencukupi keputusan itu, atau jika orang yang dikalahkan itu sesudah dipanggil dengan patut tiada juga menghadap, maka Ketua karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekian barang yang tidak tetap, dan jika tidak ada barang demikian itu atau ternyata tiada cukup, sekian barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu, sehingga dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut didalam keputusan itu". (Mr. R. Tresna, 1984: 197 - 198).
(2)  Pasal 225 HIR atau 295 HIR yang mengatur tentang eksekusi untuk menjalankan perbuatan tertentu dan pasal 180 HIR atau 191 RBG yang mengatur tentang putusan yang dapat dijalankan secara serta merta ("Uit Voerbarbijvorroad"). Selain itu untuk memenuhi kebutuhan praktek kadang-kadang dipergunakan ketentuan dalam hukum acara perdata barat BRV untuk menyelesaikan eksekusi perkara in concreto, misalnya ketentuan tentang hipotik dalam BW. maupun ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (HR. Purwoto S Ganda Subrata, 1998 : 338).
         M. Yahya Harahap dalam masalah eksekusi ini mengatakan bahwa pada saat sekarang tidak semua ketentuan pasal-pasal diatas dapat berlaku efektif, yang masih betul-betul efektif berlaku terutama pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR atau pasal 206 sampai pasal 240 dan pasal 258 RBG. Sedang pasal 209 sampai pasal 257 RBG yang mengatur tentang "sandera" (gijzeling), tidak lagi diperlakukan secara efektif (M. Yahya Harahap, 1993 : 2). Lebih lanjut beliau mengatakan : Aturan yang tidak kurang pentingnya dalam ruang lingkup eksekusi ialah Peraturan Lelang Nomor : 189 Tahun 1908 (Vendu Reglement St.1908/No.189). semua aturan yang disebutkan secara keseluruhan merupakan aturan yang tidak terpisahkan dari tindakan menjalankan eksekusi.
         Kalau dikaitkan dengan aturan eksekusi dalam Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 7 Tahun 1989 yang terdapat dalam pasal 70 ayat (3), (4), (5) dan (6) yang mengatakan :
-          Setelah penetapan tersebut diperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
-          Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan penyaksian ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
-          Jika isteri telah mendapatkan panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya.
-          Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
         Untuk mencermati pasal tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa aturan hukum eksekusi yang terdapat dalam Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang - undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak dapat diberlakukan terhadap kasus dalam perkara cerai talak yang direkonvensi harta bersama ( Sudono, 2007: 49). Dimana dalam pasal 70 Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 diperuntukkan terhadap aturan cerai talak yang tidak ada rekonvensi harta bersama. Sedangkan untuk eksekusi harta bersama tunduk pada aturan hukum eksekusi yang terdapat dalam HIR atau RBG. Sebab kalau terjadi masalah gugatan rekonvensi dari isteri tentu akan kesulitan bila suami tidak secara sukarela melaksanakan isi putusan Pengadilan, maka pasal 70 Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 dapat berlaku efektif, hal yang demikian sejalan dengan pasal 131 ayat (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam.

Azas - Azas Eksekusi
         Menurut H. Much. Fatich : Azas merupakan pikiran dasar yang tersirat tentang apa yang seharusnya dilakukan/tidak dan biasanya tidak dituangkan ke dalam bentuk pasal (tersirat) tetapi ada juga yang dituangkan ke dalam bentuk pasal, juga terkadang azas itu bersifat Historisch Bestimunt artinya bersifat dinamis mengikuti perkembangan ruang dan waktu (Sari kuliah pada program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang, 18-03-2006). Azas-azas eksekusi sekurang-kurangnya ada  4 hal yaitu :
1.      Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.  Pada prinsipnya selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, putusan belum dapat dijalankan, dengan kata lain upaya eksekusi belum berfungsi. Karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, maka hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah "tetap" dan "pasti". Oleh karena itu hubungan tersebut harus ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang kalah yaitu dengan cara melaksanakan putusan secara sukarela oleh pihak yang kalah. Sehingga makna yuridis bahwa "Azas putusan telah berkekuatan hukum yang tetap" menurut hukum acara perdata adalah "menjalankan putusan" yang telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela. Akan tetapi terhadap kasus-kasus tertentu terdapat  pengecualian terhadap azas tersebut yang menurut Undang - undang adalah :
a.       Pelaksanaan putusan lebih dulu (uit voorbaar bij voorraad). Pada pasal 180 ayat (1) HIR atau pasal 191 ayat (1) RBG eksekusi dapat dijalankan Pengadilan terhadap putusan Pengadilan, sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
b.      Pelaksanaan putusan provisi (provisioneele eisch). Yakni "tuntutan lebih dulu" yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (di eksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (M. Yahya Harahap, 1993 : 7).
c.       Akta Perdamaian. Yaitu diatur dalam pasal 130 HIR atau 154 RBG, menurut ketentuan pasal dimaksud adalah : selama persidangan berlangsung Penggugat dan Tergugat dapat berdamai, baik atas anjuran damai dari hakim atau atas inisiatif kedua belah pihak.
d.      Eksekusi terhadap gross akta.  Diatur dalam pasal 224 HIR atau 258 RBG, pasal tersebut memperkenankan terhadap perjanjian asal perjanjian itu berbentuk grose akta.
2.      Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
        Dalam melaksanakan putusan terdapat dua cara yaitu : dengan jalan sukarela dan dengan jalan "eksekusi". "Pada bentuk menjalankan secara sukarela pihak yang kalah (Tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan Pengadilan. Tampil dan berfungsinya eksekusi dalam suatu perkara apabila pihak Tergugat tidak bersedia mentaati dan menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut "eksekusi".
3.      Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir (condemnatoir).  yakni putusan yang amarnya mengandung unsur penghukuman terhadap diri Tergugat dan sifat yang terkandung dalam putusan condemnatoir yaitu :
a.    Perkara biasanya berbentuk contensioss (contentieuse rechtpraak) yaitu perkara yang berbentuk sengketa atau bersifat partai.
b.    Ada pihak Penggugat dan Tergugat
c.    Proses pemeriksaannya bersifat kontradiktoir yakni Penggugat dan Tergugat mempunyai hak untuk sanggah menyanggah.
                Dalam buku pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan buku II halaman 150 disebutkan bahwa yang perlu dilaksanakan adalah putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi hukuman pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu, maksudnya adalah dilaksanakannya suatu amar putusan dengan jalan eksekusi.  M. Yahya Harahap lebih lanjut memberikan acuan ciri-ciri yang dapat dijadikan indikator untuk menentukan suatu putusan bersifat condemnatoir dalam diktum amar putusan terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah yang dirumuskan dalam kalimat :
-     Menghukum atau memerintahkan "menyerahkan" suatu barang.
-     Menghukum atau memerintahkan "pengosongan" sebidang tanah atau rumah.
-     Menghukum atau memerintahkan "melakukan" suatu perbuatan tertentu.
-     Menghukum atau memerintahkan "penghentian" suatu perbuatan atau keadaan.
-     Menghukum atau memerintahkan melakukan "pembayaran" sejumlah uang.

4.      Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.
         Maksud azas  diatas adalah Ketua Pengadilan yang dahulu memeriksa dan memutuskan perkara itu dalam tingkat pertama. Hal mana berpedoman pada pasal 195 ayat (1) HIR atau pasal 206 ayat (1) RBG, yang berwenang menjalankan eksekusi terhadap putusan Pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama, bukan pada tingkat banding maupun kasasi dan tidak menjadi persoalan apakah putusan yang hendak dieksekusi itu merupakan hasil putusan banding atau kasasi, atau peninjauan kembali, eksekusinya tetap berada dibawah kewenangan Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dan karena eksekusi adalah kewenangan ketua pengadilan maka sepanjang telah dinyatakan sah dan berharga dalam amar putusan maka harus menerapkan  hukum eksekusi kalau perlu dengan CONTRA LEGEM terhadap pasal- pasal peraturan perundangan yang sudah tidak layak lagi ( Sudono, 2007 : 151).
         Bahkan dalam menjalankan putusan (eksekusi) hendaknya dilaksanakan seluruhnya sedang apabila sebagian atau seluruhnya berada diluar daerah hukum Pengadilan Agama yang memutus, hendaknya meminta bantuan Pengadilan Agama ditempat barang tersebut berada (Hensyah Syahlani, 1993 : 17). Pemusatan eksekusi dibawah satu instansi merupakan tata tertib yang sangat bermanfaat dalam penegakan dan pelayanan hukum dan juga sangat berdaya guna menghindari saling adu kekuasaan diantara instansi peradilan. Pengadilan Tinggi Agama maupun Mahkamah Agung tidak boleh mencampuri eksekusi yang dilakukan Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Agama). Instansi tingkat banding atau kasasi paling-paling hanya bertindak mengawasi dan meluruskan jalannya eksekusi apabila terdapat penyimpangan pada saat menjalankan eksekusi.
         Kewenangan yang secara formal diberikan kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama adalah kewenangan secara ex officio, dapat dibaca dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RBG karenanya  dari  pasal  tersebut  dapat gambaran konstruksi hukum yaitu :
-  Ketua Pengadilan tingkat pertama memerintahkan dan memimpin  jalannya eksekusi.
-  Kewenangan memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi yang ada pada Ketua Pengadilan Agama adalah secara ex officio.
- Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Agama berbentuk "Surat Penetapan" (beschikking).
-Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama.
         Fungsi kewenangan ex officio Ketua Pengadilan Agama memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi bukan hanya terbatas atas pengeluaran surat penetapan yang memerintahkan eksekusi. Fungsi ex officio tersebut meliputi :
a.    Mulai dari tindakan exekutorial beslag.
b.    Pelaksanaan pelelangan, termasuk segala proses dan prosedur yang disyaratkan tata cara pelelangan.
c.    sampai kepada tindakan pengosongan dan penyerahan barang yang dilelang kepada pembeli lelang atau,
d.   Sampai pada penyerahan dan penguasaan pelaksanaan secara nyata barang yang dieksekusi pada eksekusi riil (M. Yahya Harahap, 1993 : 19),
    Demikian tulisan  tentang mengenal eksekusi dan azas-azasnya  ini tentu masih belum  sempurna  dan memerlukan perbaikan, harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita amiin  , terimakasih.
Blitar, 09 Juli 2018
P e n u l i s


Drs. H.  Sudono,  M.H.





















[1] Hakim Utama Muda / Pembina Utama Madya Pengadilan Agama Blitar Kelas I A.
[2] Pasal 49 UU No.3/2006 tentang perubahan atas UU nomor 7/1989 tentang Peradilan Agama.
[3] Hukum Acara Perdata, hal. 128
[4] Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, hal 111