Sabtu, 31 Agustus 2013

              Materi khutbah Idul Adha tahun 2009 di masjid Baitul Muttaqin Banyuwangi

 POTRET KELUARGA IDEAL DALAM PENTAS HAJI
Oleh :   Drs. Sudono Al-Qudsi ,   M.H


Ummat Islam mengetahui bahwa ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan sekali seumur hidup bagi orang yang mampu, dan Allah menetapkan hari ke sepuluh bulan Dzulhijjah sebagai hari raya haji atau Idul Adha atau hari raya qurban, bagi seluruh ummat Islam. Bahkan menurut Dr.Wahbah Az Zuhaili dalam kitab AlFiqhul Islami Wa Adillatuhu menyebutkan bahwa Ibadah haji termasuk ibadah murakkabah yaitu paduan antara ibadah maliyah makhdhoh dan ibadah badaniyah makhdhoh, dimana didalam ibadah haji diperlukan pengorbanan harta untuk ongkos naik haji ( ONH ), disamping seluruh badan kita mulai dari ihrom sampai tahalul semuanya bergerak dan tenagapun terkuras demi panggilan Allah SWT.
Dalam ibadah haji hampir semua langkah yang dilaksanakan oleh orang yang berhaji merupakan simbul dan sejarah dan seakan-akan   melakukan   napak tilas  ( rekonstruksi / peragaan ulang ) terhadap kejadian-kejadian besar yang di alami Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail  dalam menegakkan agama Allah, ketiganya merupakan sebuah  figure keluarga ideal dalam pentas haji yang patut di jadikan teladan bagi ummat Islam dimana saja berada dimasa kini maupun masa  mendatang , selalu relevan bagi siapa saja yang ingin membingkai ulang       ( reframing ) bagi kehidupan berkeluarga.
Kisah para Nabi dalam Al Qur’an dengan keluarga atau bersama ummatnya merupakan sejarah yang penuturannya menyampaikan pesan-pesan moral untuk dikaji dan dijadikan pedoman hidup bagi ummat masa kini dan masa mendatang. Dalam surat yusuf ayat 111 difirmankan, yang artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka  itu terdapat pengajaran bagi orang –orang yang mempunyai akal”. Dengan demikian menurut ayat ini suatu kisah / sejarah para Nabi dapat berfungsi efektif sebagai pembawa pesan moral atau pengajaran hidup, hanya bagi mereka yang mempunyai nalar atau mau menggunakan nalarnya menangkap pesan-pesan yang yang tersurat maupun tersirat didalamnya. Sekian banyak ayat-ayat Allah yang memperingatkan kepada ummatNya dengan menggunakan ungkapan “ ulil albab , ulil abshor, dan lain sebagainya, karena hanya manusia beriman yang mampu mencapai derajat tersebut.
Khusus tentang keluarga nabi Ibrahim perjalanan hidupnya tidak hanya tertutur dalam ayat-ayat AlQur’an semata, tetapi tergambarkan dalam amalan ibadah haji. Dapat dikatakan bahwa sejarah hidup keluarga nabi Ibrahim diungkap dalam   bentuk  narasi yang pertama kalinya disampaikan  secara oral      ( saat diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW.) yang kemudian terekam dalam hafalan para sahabat dan sebagai upaya pelestariannya pada masa kholifah Abu Bakar atas inisiatif Umar Bin Khoththob dikolektifkan dalam bentuk tulisan yang pada akhirnya sekarang ini tersusun dalam mashaf AlQur’an Utsmani, disamping penghafalannya masih berlangsung hingga kini, juga dimonumentasikan dalam bentuk semacam “Opera” yang ujudnya adalah amalan ibadah haji.
Amalan haji disamping merupakan salah satu bentuk ibadah makhdhoh juga merupakan  rekontruksi atau peragaan ulang dari yang pernah terjadi dan dialami oleh keluarga Ibrahim, sehingga diabadikan dalam bentuk amalan ibadah haji yang masih dan terus berlangsung hingga kini bahkan jutaan ummat Islam sedunia melaksanakan amalan ibadah haji setiap tahunnya.  Peragaan ini tentu mempunyai maksud-maksud khusus. Ka’bah, Sa’i antara shofa dan Marwah, sumur zam-zam pelemparan jumroh,, penyembelihan binatang ternak  dan lainnya seperti mencukur/memendekkan rambut, seolah-olah melakukan napak tilas terhadap kejadian-kejadian besar yang di alami keluarga nabi Ibrahim dalam menegakkan agama Allah.
Semua simbul diatas patut direnungkan oleh orang yang berhaji maupun yang tidak. Oleh karena itu berikut ini satu saja yang akan penulis uraikan dari sekian banyak simbul dari amalan ibadah haji yaitu Pelemparan batu ( jumroh ).
Bahwa salah satu amalan ibadah haji adalah pelemparan batu, pekerjaan ini mengingatkan kita akan kejadian yang di alami nabi Ibrahim ketika melempari iblis sehingga mata kirinya buta. Hal ini dilakukan karena sang iblis menggoda keluarga nabi Ibrahim menghalangi mereka dalam melaksanakan perintah Allah yakni penyembelihan Ismail. Untuk menanggalkan rencana penyembelihan yang merupakan perintah Allah itu, pertama kali iblis mendatangi Ibrahim sebagai pemeran utama yaitu kepala keluarga.Kata iblis : “Apakah engkau tidak melihat ketegapan anakmu, ke elokan paras dan ketegapan berjalannya yang pantas” ?  Ya itu aku tahu, tapi ini perintah Allah yang harus aku laksanakan, tegas Ibrahim. Keteguhan dan ketegaran Ibrahim dapat menepis godaan iblis.
Gagal menggoda Ibrahim, iblis berupaya memanfaatkan kelembutan dan kasih sayang keibuan Siti Hajar supaya menghalangi maksud suaminya. “ Hajar, bagaimana engkau berpangku tangan, sementara suamimu Ibrahim membawa anakmu dengan pedang dan tali di tangannya” ? kata iblis lembut dengan penuh iba dan harapan rasa keibuannya tersentuh, maksudmu ? tanya Hajar : Apa ada seorang ayah yang tega membunuh anaknya ? “ Katanya itu perintah Tuhannya saut iblis”. Kalau itu memang perintah Tuhan, jangankan nyawa anakku, nyawa akupun siap ku korbankan, begitu sanggah Siti hajar dengan mantab. Rencana Ibrahim sebagai suami dan kepala rumah tangga dalam merealisasikan perintah Allah bukannya dihalangi tapi bahkan didukungnya dengan penuh keikhlasan.
Iblis mencoba menggoda Ismail, “ Ismail, nampaknya engkau senang betul diajak ayahmu berjalan”. Tidakkah engkau lihat ia membawa tali dan pedang untuk menyembelihmu “, Kenapa pula ayah menyembelihku ? Tanya Ismail. Katanya itu perintah Tuhan, jawab iblis”. Kalau itu memang perintah Tuhan aku siap untuk itu, tegas Ismail “. Pada saat iblis mencoba berkata lagi, Ismail mengambil batu kerikil lalu membidikkannya ke mata kiri iblis hingga buta. Maka kandaslah makar iblis dalam menggagalkan rencara keluarga Ibrahim dalam melaksanakan perintah Allah, ia pergi dengan putus asa.
Dari adegan tadi, nampak adanya keserasian sikap keagamaan Ibrahim sebagai kepala keluarga,  Siti hajar sebagai mitranya dan Ismail selaku anak yang sholih. Hal-hal semacam inilah yang patut di teladani dan ditanamkan dalam sebuah keluarga muslim. Kesadaran beragama yang tuntas harus dimiliki oleh setiap anggota keluarga baik sebagai istri, anak, lebih-lebih sebagai kepala keluarga yang merupakan nahkoda yang akan mengarahkan tujuan hidupnya.
Sikap keagamaan seorang suami bisa dipengaruhi oleh karakter  dan sikap istrinya dan sebaliknya, sebagaimana sikap anak dapat mempengaruhi tingkah laku hidup orang tuanya, seperti sebaliknya. Keberadaan seorang istri dengan kadar keimanannya yang mantab dapat membawa pengaruh yang positif terhadap suaminya dalam melaksanakan perintah Allah dan mencegah dari hal-hal yang dilarangNya.
Suatu ketika bisa terjadi sebaliknya, rencana suami dalam melaksanakan perintah Allah untuk melaksanakan ibadah haji misalnya, menyembelih hewan qurban, menginfaqkan harta untuk kepentingan Islam, memberikan santunan kepada mereka yang membutuhkan, bisa gagal karena tidak didukung  oleh istrinya. Tuntutan ekonomi  istri diluar batas kemampuan suami , dapat menyebabkan suami melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan agama ( korupsi, kolusi, penggelapan uang ) dan lainnya .  Istri tidak hanya sebagai pendamping hidup suami, tetapi punya fungsi social control  bagi suami jika suami melakukan perbuatan salah.
Potensi ketaatan seorang istri terhadap perintah-perintah Allah, mati karena tercemar oleh karakter dan sikap suami yang dangkal pengetahuan dan wawasan keagamaannya, lebih-lebih bila berbeda agamanya. Begitu pula terkadang tuntutan-tuntutan anak yang cenderung konsumtif dapat lebih diprioritaskan pada saat orang tua dihadapkan juga pada tuntutan-tuntutan agama, karena kecintaan mereka kepada anaknya yang menurut pandangan syari’at Islam tidak proporsional. Seperti halnya potensi keagamaan seorang anak dapat menjadi terkendala perkembangannya lantaran sikap dan tingkah laku orang tuanya dirumah yang merupakan contoh yang paling efektif bagi anak,  ternyata suami tidak dapat menjadi contoh yang baik bagi keluarganya.
Mengantisipasi kejadian-kejadian diatas, Allah mengingatkan melalui FirmanNya: “Wahai orang-orang yang beriman, Sungguh diantara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka waspadalah”. (QS.At Taghobun ayat 14 ). Memberikan tafsiran pada ayat tersebut, Ahmad Musthofa Al Maraghi menjelaskan bahwa, diantara istri-istri dan anak-anak itu ada yang menjadi musuh bagi suami/ayahnya dalam pengertian bahwa mereka dapat menghalangi suami/ayahnya dalam melaksanakan perintah-perintah Allah, mendorong untuk berbuat keharaman dan dosa demi memenuhi tuntutan mereka. Diriwayatkan bahwa Rasululloh SAW. Telah memprediksi hal itu dengan sabdanya  “ Akan datang suatu zaman yang saat itu seorang laki-laki binasa karena ulah istrinya dan anaknya. Ia dicaci oleh istri dan anaknya karena tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, sehingga terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela, maka binasalah ia”.
Diantara penyebab terjadinya kerusakan pada sebuah keluarga adalah berperannya setan atau iblis, sebagaimana pernah dialami keluarga nabi Ibrahim . Hanya saja keluarga Ibrahim mampu bertahan dan dapat menghalau iblis. Mengingat begitu gigihnya sang iblis dalam merusak kehidupan rumah tangga supaya para anggotanya menentang hukum-hukum Allah, maka dalam sebuah rumag tangga diperlukan adanya apa yang disebut “Ketahanan Rumah Tangga”. Agar tetap menjadi keluarga yang ideal . dalam bahasa lain dikatakan menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah  (  Q.S.  Ar rum ayat 21 ).
Ketahanan rumah tangga yaitu suatu kehidupan rumah tangga yang dinamis, dapat menangkal segala sesuatu yang menyebabkan kehidupan rumah tangga tidak serasi dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam suatu rumah tangga akan terwujud suatu ketahanan rumah tangga apabila ditata dengan pola-pola yang terencana, yang diantaranya paling tidak sebagai berikut :
1.      Sebuah keluarga merupakan organisasi kecil yang para anggotanya dituntut untuk mau bekerjasama dalam mencapai tujuan hidup, yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup di dunia ini maupun tujuan jangka panjang, yaitu tercapainya suatu kehidupan yang menyenangkan di akhirat kelak, dan ini yang paling utama. Setiap anggota keluarga tidak mengajukan tuntutan diluar kemampuan yang ada , yang menyebabkan anggota keluarga yang lain melakukan hal-hal yang dilarang agama.
2.      Dalam sebuah keluarga kedudukan seorang suami/ ayah adalah sebagai pemimpin dan Pembina keluarga. Ia tidak hanya sebagai penanggungjawab ekonomi yang harus menjamin kebutuhan ekonomi semata, lebih dari itu ia sebagai penanggungjawab atas keselamatan anggotanya di kehidupan akhirat kelak. Allah berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS.At Tahrim ayat 6 ). Seorang suami/ayah harus membuat perencanaan yang matang, dalam arti mencanangkan suatu program  khusus yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan , terciptanya kehidupan yang serasi dengan ajaran-ajaran agama, mengarahkan dan menggerakkan para anggotanya kearah tersebut sambil tak bosan-bosannya mengawasi dan mengevaluasinya. Mengarahkan dan menggerakkan disini tentunya tidak cukup hanya  dengan perintah atau anjuran, tetapi akan lebih efektif dengan contoh kongrit, yaitu tingkah lakunya sendiri. Pengawasan dan evaluasi diperlukan mengingat tantangan-tantangan yang dihadapi dewasa ini makin berat. Berhasil tidaknya membina keluarga, ia akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Rasululloh SAW. Bersabda :”Seorang laki-laki/suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia nanti akan dimintai pertanggungjawabannya tentang bagaimana ia memimpin keluarganya tersebut.
3.      Setiap anggota keluarga dengan tak mengenal bosan mau membina keimanannya dengan senantiasa meningkatkan wawasan keagamaannya, mengkaji, memperdalam pengetahuan agama melalui media-media yang ada, baik majlis-majlis taklim, kelompok studi maupun mendatangkan guru privat.
4.      Setiap anggota keluarga senantiasa mau mengevaluasi diri , menerima kritik dan saling menghargai, saling  menghormati , mengakui adanya kekurangan dan kelebihan masing agar tercipta suasana agamis dalam rumah tangganya.
Dengan upaya-upaya diatas diharapkan sebuah keluarga/rumah tangga dapat berjalan serasi dengan norma agama, mampu menangkal segala gangguan dari luar.
Itulah sebuah potret keluarga ideal yang terekpresikan dalam bagian dari amalan-amalan ibadah haji. Banyak tentunya pesan-pesan   Ilahiyah yang lain yang dapat disadap dan dikaji dari rangkaian amalan ibadah haji, kemudian kita jadikan acuan dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini. Demikian tulisan ini semoga ada guna dan manfaatnya amiin.

                                                                 Banyuwangi , tahun  2009
                                                                         P e n u l i s

                                                                 Drs.  Sudono Al-Qudsi ,   M.H.



    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar