MASALAH NIKAH SIRI
Oleh : H. Sudono, M.H.
Pernikahan Siri : sebagai penguat di syariatkannya persaksian, para
ulama Malikiah berkata, “Nikah siri itu rusak dengan talak ba’in jika
suami-istri tersebut telah melakukan persenggamaan. Sebagaimana juga rusaknya
pernikahan tanpa saksi dengan terjadi hubungan suami-istri. Mereka berdua
dikenakan had zina; jilid atau rajam, jika telah terjadi persenggamaan dan hal
itu mereka akui, Atau persenggamaan tersebut terbukti dengan persaksian empat
saksi, seperti dalam kasus perzinaan. Mereka berdua tidak diberi ampunan hanya
karena ketidaktahuan mereka.
Akan tetapi mereka berdua tidak dikenakan had, jika pernikahan mereka
telah menyebar dan diketahui oleh banyak orang seperti dengan diiringi
pemukulan rebana, diadakan walimah, disaksikan satu orang selain wali, atau
disaksikan dua saksi fasik dan sejenisnya. Karena hal itu masih dalam syubhat.
Nabi SAW pernah bersabda : idrouu al hududa bis syubhati artinya “Halangilah
Had itu dengan hal-hal syubhat”.
Para ulama Hanabilah berkata, “Akad tidak dapat batal sebab berpesan
untuk menyembunyikannya. Seandainya akad nikah tersebut disembunyikan oleh
wali, para saksi dan kedua mempelai, maka akadnya sah tapi makruh.”
Ada pendapat shadz dari Ibnu Abi Laila, Abu Tsaur dan Abu Bakar
Al-Asham yang menyatakan bahwa dalam
pernikahan tidak disyaratkan ada persaksian dan itu tidak harus. Karena ayat
yang berisi tentang pernikahan tidak mensyaratkan persaksian, seperti firman
Allah swt yang artinya ,”Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi.” (An-Nisa’ : 3) juga firman Allah swt yang artinya, “Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendian diantara kamu”. (An-Nur : 32).
Isi kandungan ayat-ayat tersebut diamalkan tanpa ada syarat (mutlak).
Sedangkan dalam hadits-hadits yang berbicara tentang masalah ini tidak cocok
dijadikan sebagai pembatas (muqayyid). Ini merupakan pendapat Syiah Imamiah,
mereka berkata ,”Dianjuarkan untuk mengumumkan dan menampakkan serta
mendatangkan saksi dalam pernikahan yang abadi. Persaksian bukan merupakan
syarat akan keabsahan akad”.
Pendapat ini salah dan tidak dapat dijadikan patokan. Karena
hadits-hadits yang berisi kewajiban adanya persaksian dalam akad nikah sangat
masyhur. Oleh karenanya boleh dijadikan pembatas (muqayyid) isi kadungan
Al-Qur’an yang masih general (mutlak).
(Wahbah Azzuhaili,Al-fiqhul Islami
Wa adillatuhu, juz 7,hal. 71-72)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar