PENYELESAIAN PERCERAIAN DENGAN
KHULU’
DAN AKIBAT HUKUMNYA[1]
Oleh : Drs. H. Sudono, M.H.
Hakim Madya Muda Pengadilan Agama
Blitar Kelas I A.
Pedahuluan
Dalam realitas kehidupan, ternyata putusnya perkawinan semakin lama semakin
menjadi persoalan dalam masyarakat, karena di samping kasus perceraian semakin
banyak, sebabnya pun semakin beragam dan kompleks. Meskipun diizinkan,
perceraian tetaplah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan dalam agama, terutama
agama Islam yang menganggap perceraian sebagai “Perkara halal yang paling
dibenci”.
Islam memang mengharapkan agar setiap perkawinan akan langgeng, sehingga
berbagai aturan telah ditetapkan untuk menjaga kelanggengan itu. Seperti;
dibimbing untuk memilih pasangan yang baik, diatur akad nikahnya, diatur pula
hak dan kewajiban masing-masing pasangan, dan diajarkan pula tahapan
penyelesaian masalah bila terjadi. Namun demikian, Islam tidak memungkiri bahwa ada
pasangan yang mengalami kesulitan dalam kehidupan berumah-tangga, sehingga
kebersamaan tidak lagi mendatangkan kebahagiaan, malah sebaliknya menimbulkan
penderitaan dan kesengsaraan. Karena itu, disamping Islam menyuruh memelihara
kelanggengan perkawinan, juga membuka peluang kecil untuk keluar dari kesulitan
perkawinan dengan membolehkan perceraian bila memang keadaan menuntut. Apabila
kesulitan itu ada di pihak suami, dan persoalan itu tidak bisa terselesaikan,
maka ia dibolehkan menempuh jalan “cerai talak”[2].
Sebaliknya, apabila istri yang merasa tersiksa di rumah tangga karena suaminya,
maka ia dibenarkan mengajukan perceraian atau “khulu‘ [3]. Hanya
saja, di Indonesia kata khulu’ lebih familiar dengan istilah “gugat
cerai” [4].
A. Permasalahan
1.
Bagaimana pelaksanaan perceraian dengan khuluk
yang salah satunya tidak tercapai mufakat tentang tebusannya dan atau telah mufakat besar/jenis tebusannya.
2.
Apa akibat hukumnya jika terjadi perceraian karena khuluk.
B. Pengertian
Al-khul`
berarti menanggalkan dan melepaskan. Salah satu
cara melepaskan ikatan perkawinan yang datangnya
dari pihak istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi. Terdapat beberapa definisi khuluk yang dikemukakan oleh ulama mazhab.
1)
Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya
dengan "melepaskan ikatan perkawinan yang
tergantung kepada penerimaan istri dengan
menggunakan lafal khuluk atau yang semakna
dengannya". Akibat akad ini baru berlaku apabila
mendapat persetujuan istri dan mengisyaratkan adanya
ganti rugi bagi pihak suami.
2)
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan khuluk dengan "talak dengan ganti rugi, baik datangnya dari istri maupun dari wali dan orang lain".
Artinya, aspek ganti rugi sangat menentukan akad ini di samping lafal khuluk itu sendiri menghendaki terjadinya perpisahan
suami istri tersebut dengan ganti rugi. Menurut
mereka, apabila lafal yang digunakan adalah lafal talak, maka harus disebutkan
ganti rugi. Tetapi. apabila yang
digunakan adalah lafal khuluk maka
tidak perlu disebutkan ganti rugi, karena lafal khuluk sudah mengandung
pengertian ganti rugi.
3)
Ulama Mazhab Syafil mendefinisikan khuluk dengan
"perceraian antara suami istri dengan ganti rugi, baik dengan lafal talak maupun dengan lafal khuluk".
Contohnya, suami mengatakan pada istrinya, "Saya talak engkau atau saya
khuluk engkau dengan membayar ganti rugi
kepada saya sebesar...," lalu
istri menerimanya[5].
4)
Ulama Mazhab Hanbali mendefinisikannya dengan "tindakan suami menceraikan istrinya dengan ganti rugi yang diambil dari istri atau orang lain dengan
menggunakan lafal khusus". Dalam suatu riwayat
dikatakan bahwa ulama Mazhab Hanbali membolehkan terjadinya khuluk tanpa
ganti rugi. Tetapi pendapat ini tergolong
lemah di kalangan ulama Hanbali. Adapun
pendapat terkuat di kalangan Mazhab
Hanbali ialah bahwa dalam khuluk aspek
ganti rugi merupakan rukun khuluk[6]. Oleh sebab itu, khuluk harus dengan ganti rugi dari
pihak istri atau orang lain.
Dari empat
definisi di atas, menurut Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih di
Universitas Damascus (Suriah), yang berlaku
luas adalah yang dikemukakan ulama Mazhab karena
sangat sesuai dengan pengertian bahasa
dari kata khuluk itu sendiri. Singkatnya,
sesungguhnya definisi khusus khulu' membuat hilang berbagai hak istri.
Definisi khulu' menurut pendapat mazhab Maliki adalah, talak dengan
'iwadh, baik talak ini berasal dari istri maupun dari orang lain yang
selain istri yang terdiri dari wali ataupun orang lain, atau talak yang
diucapkan dengan lafal khulu'.
Definisi ini menunjukkan
bahwa ada dua macam khulu': Pertama, yaitu yang mayoritas terjadi adalah
yang berdasarkan 'iwadh harta. Kedua, talak yang terjadi dengan
lafal khulu' meskipun tidak berdasarkan 'iwadh apaapa. Misalnya si
suami berkata kepada si istri, "Aku khulu' kamu" atau "Kamu
terkhulu'." Dengan kata lain, si istri ataupun orang lain memberikan harta
kepada si suami agar menalak si istri. Atau membuat jatuh hak si istri yang
harus dipenuhi oleh si suami, maka dengan khulu' ini jatuh talak ba'in[7].
C. Legalitas
Khuluk sebagai
salah satu jalan keluar dari kemelut rumah
tangga yang diajukan oleh pihak istri didasarkan
pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2)
ayat 229 yang artinya: "...Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya..." Alasan lain yang
dikemukakan oleh ulama adalah sabda Rasulullah SAW dalam
hadis yang diriwayatkan al-Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban tentang kasus istri Sabit bin Qais yang
mengadukan perihal suaminya kepada
Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah SAW mendengar
seluruh pengaduan tersebut, Rasulullah SAW
bertanya: "Maukah kamu mengembalikan kebunnya
(Sabit)?" Istri Sabit menjawab: "Mau."
Lalu Rasulullah SAW berkata kepada Sabit bin Qais: "Ambillah
kembali kebun engkau dan ceraikanlah ia satu kali."[8]
Berdasarkan
hadis ini, disunahkan seorang suami untuk mengabulkan
permintaan istrinya. Tuntutan khuluk tersebut diajukan
istri karena ia merasa tidak akan terpenuhi dan
tercapai kebahagiaan di antara mereka, seperti yang
diungkapkan oleh istri Sabit bin Qais dalam riwayat
tersebut, yakni: "Saya tidak mencelanya karena agama
dan akhlaknya, tetapi saya khawatir akan muncul
suatu sikap yang tidak baik dari saya disebabkan pergaulannya yang
tidak baik." Alasannya adalah
pergaulannya yang tidak serasi dengan
suaminya. Agar keadaan tersebut tidak berlarut-larut
sehingga dapat menjerumuskan rumah tangga
mereka pada keadaan yang tidak diingini Islam, maka istri Sabit melihat
lebih baik mereka bercerai. Dalam
keadaan seperti itu, menurut Ibnu Qudamah,
ahli fikih Mazhab Hanbali, keduanya lebih baik bercerai. Akan tetapi,
jika istri tidak memiliki alasan yang jelas, maka ia tidak boleh mengajukan
khuluk, karena Rasulullah SAW
mengingatkan dalam sabdanya:
"Wanita mana saja yang menuntut cerai pada suaminya tanpa alasan,
diharamkan baginya bau surga" (HR.
al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi. Abu
Dawud, dan Ibnu Majah).
D. Alasan khuluk
Khuluk
termasuk salah satu unsur alasan perceraian sebagaimana alasan-alasan
perceraian dalam peraturan perundangan yaitu :
Perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. salah satu pihak
berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak
mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak
mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan
isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik
talak;
Menurut ulama
fikih, penyebab terjadinya khuluk antara lain adalah munculnya
sikap suami yang meremehkan istri dan enggan
melayani istri hingga senantiasa
membawa pertengkaran. Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga tersebut dengan menempuh
jalan khuluk. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya pada surah an-Nisa’ (4) ayat 128 yang
artinya: "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih balk (bagi mereka)..." Perdamaian dalam ayat ini dapat
dilakukan dengan mengakhiri hubungan suami
istri melalui perceraian atas permintaan
istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar
suami yang telah diberikan ketika akad nikah
berlangsung. Alasan lain penyebab khuluk
menurut Ibnu Qudamah adalah ketidakpuasan
seorang istri dalam nafkah batin.
Syaikh as-Sa’di
menyebutkan beberapa alasan seorang istri meminta khuluk, diantaranya adalah :
1.
Istri tidak suka dengan akhlak suami , karena akhlak merupakan perhiasan
batin.
2.
Istri tidak suka kepada fisik atau jasmani suami yang
buruk, sebab bagusnya fisik merupakan perhiasan lahir.
3.
Adanya kekurangan pada aspek agama sang suami.
4.
Adanya kekhawatiran dari istri berupa ketidak mampuannya
untuk menjalankan kewajibannya kepada suaminya, atau murka atau marah
kepada suaminya[10].
E. Syarat khuluk
-
Bagi suami : suami yang akan menceraikan istrinya dalam
bentuk khuluk sebagaimana berlaku dalam talak, adalah seorang yang ucapannya
telah diperhitungkan. Syaratnya adalah akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya
sendiri dengan kesengajaan. Bila suami masih belum dewasa atau siuami dalam keadaan
gila , maka yang akan menceraikan dengan khuluk adalah walinya. Demikian pula
bila keadaan seseorang yang dibawah pengampuan (pengawasan) karena
kebodohannya, maka yang menerima permintaan khuluk istri adalah walinya.
-
Bagi istri : ia
adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami , dalam arti
istrinya atau orang yang telah diceraikan
, masih berada dalam iddah roj’i. Istri adalah seorang yang telah dapat
bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan khuluk ini, harus
menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh,
berakal, tidak berada dibawah pengawasan , dan sudah cerdas bertindak atas
harta[11].
E. Rukun khuluk
Rukun khuluk
menurut jumhur ulama selain Mazhab Hanafi
adalah sebagai berikut :
-
Adanya ijab (pernyataan) dari pihak suami atau wakilnya, atau walinya jika suami masih kecil atau orang bodoh.
-
Status mereka masih suami istri (belum
pisah).
-
Adanya
ganti rugi dari pihak istri atau orang
lain. Ganti rugi ini tidak harus dinyatakan secara jelas apabila lafal yang digunakan adalah lafal khuluk,
karena risiko khuluk itu adalah adanya ganti
rugi dari pihak istri. Tetapi, jika yang digunakan adalah lafal selain khuluk, maka ganti rugi harus dijelaskan.
-
Adanya lafal yang menunjukkan pengertian khuluk.
Selanjutnya
mengenai uang tebusan, mayoritas ulama menempatkan iwadh sebagai rukun
yang tidak boleh dtinggalkan untuk sahnya khuluk. Mengenai sighat atau ucapan
cerai , dalam hal ini tanpa menyebutkan nilai ganti , maka ia menjadi talak
biasa[13].Oleh karena itu menurut penulis, bahwa
para penulis Ensiklopedia Sains Islami menerapkan pasal 148 KHI dan
sekaligus mengesampingkan pendapat
Mahkamah Agung dalam buku
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Agama Buku II 2013 halaman 151 yang menurutnya tidak
bernyawa lagi atau para penulis Ensiklopedia Sains Islami belum pernah membaca pendapat Mahkamah
Agung tersebut.
Yang sangat urgen adalah rukun
yang terakhir adalah I’wadl (Tebusan), yaitu tebusan yang harus
diberikan istri kepada suami. Maka khulu’ menjadi tidak sah tanpa adanya
tebusan. Namun ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini; apakah khulu’
tetap sah walaupun tanpa adanya tebusan?. Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah khulu’
menjadi tidak sah tanpa adanya tebusan. Sedangkan menurut Hanafiyyah walaupun
tanpa tebusan khulu’ tetap sah. Adapun ulama Malikiyyah mengatakan khulu’
tetap sah baik itu dengan tebusan atau tanpa tebusan.
F. Proses perceraian dengan khuluk menurut KHI :
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun demikian, ia mempunyai
kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah: keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak
isteri. Perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar ‘iwadl
(uang tebusan) yang menjadi dasar terjadinya khulu’ atau perceraian. Khulu’ yang dimaksud, diatur dalam
pasal 148 KHI dengan prosedur sebagai berikut:
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan khulu‘, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan
memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan
penjelasan tentang akibat khulu‘, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadl
atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi
suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap
penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang
diatur dalam pasal 131 ayat 5.
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya
tebusan atau ‘iwadl, Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai
perkara biasa.
Dari uraian di atas, nampak
perbedaan antara cerai gugat dan khulu’. Namun, Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tidak membedakan antara
keduanya sehingga tidak membicarakannya. Karenanya penyelesaian berdasarkan
pasal 148 KHI yang semula perkara cerai gugat dengan khuluk setelah ada putusan
Pengadilan Agama lalu eksekusinya
mengacu pada pasal 131 ayat 5 yaitu suami mengikrarkan talaknya terhadap istri.
Proses penyelesaian yang berakhir dengan ikrar suami dalam hal ini bagi perkara
yang tidak ada kesulitan, seperti tidak ada rekonpensi dari suami atau
tidak ada gugatan cerai yang dikumulasi dengan gugatan bersama[14] (pasal
86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989) tentu penyelesaiannya lebih sulit, sehingga
Mahkamah Agung telah mengantisipasi bahwa untuk mengesampingkan ketentuan pasal
148 KHI, lagi pula menurut penulis mungkin selama ini belum ada
Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan eksekusi harta bersama atas
putusan cerai talak ( versi pasal 148 KHI dengan mengacu pasal 131 ayat 5 KHI )
yang direkonpensi dengan harta bersama, dimana putusan tersebut telah
berkekuatan hukum tetap akan tetapi Pengadilan Agama tidak berani mengabulkan
permohonan eksekusi harta bersamanya dengan alasan pemohon dan termohon secara
yuridis masih terikat dalam perkawinan (belum bercerai), padahal antara
suami istri sudah jelas tidak mungkin
lagi untuk rukun kembali[15].
Kelemahan tetap di pihak istri
kalau ada salah satu pihak yang mengkumulasikan gugatan/permohnan dengan harta
bersama atau suami yang mengajukan gugatan rekonpensi harta bersama tentu
banyak kendala, waktu yang berlarut-larut kapan selesainya.
Itulah gambaran
penyelesaian secara umum, akan tetapi
khuluk yang diatur dalam KHI tentu menurut penulis lebih sulit
dalam eksekusinya sekalipun masalah tebusan sudah mufakat, terutama jika istri sekaligus mengajukan
gugatan rekonpensi tentang pembagian harta bersama yang tidak sedikit
jumlahnya. Kemungkinan juga suami sengaja menunda-nunda pelaksanaan ikrar,
karena menurut pasal 148 KHI telah menunjuk penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal
131 ayat 5 KHI , berarti setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang
perceraian dengan khuluk, sudah berkekuatan hukum tetap lalu suami dipanggil
untuk mengikrarkan talak terhadap istrinya.
G. Proses perceraian dengan khuluk ala Mahkamah Agung
Mahkamah Agung dalam
menangapi masalah penyelesaian perceraian dengan khuluk ini dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Agama Buku II 2013 halaman 151 menyatakan bahwa :
a.
Talak khuluk merupakan gugatan istri untuk
bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan
sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus diputus oleh hakim.
b. Amar putusan talak khuluk berbunyi : “Menjatuhkan
talak satu khul’i ( nama----------bin---------------) terhadap Penggugat ( nama--------------binti
-------------) dengan iwadh berupa uang sejumlah Rp---------------( tulis
dengan huruf----------) .
-tentang Iwadh tersebut dapat pula berupa uang ,
rumah atau benda lainnya secara bersama.
c.
Terhadapa putusan talak khuluk dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
d. Ketentuan khuluk sebagaimana
tersebut dalam pasal 148 KHI harus dikesampingkan pelaksanaannya. Gugatan khukuk
tetap dilaksanakan sesuai ketentuan huruf a, b, dan c di atas[16].
Dari muatan pasal 148 KHI
dan membandingkannya dengan pedoman Mahkamah Agung dalam Buku II 2013 halaman 151 tentu yang tepat dan relistis dalam proses
penyelesaiannya agar mengikuti petunjuk Mahkamah Agung, karena itu penulis
sepakat untuk mengesampingkan pasal 148 KHI sekalipun Mahkamah Agung sendiri menggunakan istilah Talak Khuluk,
berikut ini tahapan yang harus dilakukan pihak istri dalam mengajukan
perceraian dengan khuluk yaitu :
a.
Setelah gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal istri, sesuai dengan peraturan perundangan, istri
maupun suami akan dipanggil oleh Pengadilan Agama untuk melaksanakan sidang
pertama.
b.
Dalam sidang pertama jika suami istri hadir , maka majelis hakim
akan mendamaikan suami istri sesuai maksud
pasal 130 HIR dan kalau tidak berhasil damai maka suami istri diperintahkan
untuk mengikuti proses mediasi sesuai Perma Nomor 01 tahun 2016 tentang proses
mediasi di Pengadilan.
c.
Dalam mediasi harus ada iktikad baik dari suami istri untuk
menyelesaikan masalahnya terutama kalau ada inisiatif istri untuk melakukan
perceraian dengan khuluk
karenanya, setelah tidak berhasil
damai, mediator berusaha mengarahkan
agar terjadi kesepakatan tentang tebusannya.
d.
Mediator melaporkan secara tertulis kepada ketua majelis hakim
tentang pelaksanaan mediasi apakah
berhasil atau tidak.
e.
Kalau masalah tebusan tidak terjadi sekepakatan baik dalam mediasi
maupun dalam persidangan maka prosesnya dilakukan sebagaimana memeriksa perkara
cerai gugat dengan tahapan-tahapan jawab menjawab, replik, duplik, pembuktian,
kesimpulan dan musyawarah hakim untuk membacakan putusan.
Berbeda dengan penyelesaian menurut Mahkamah Agung yang
langsung memberlakukan putusannya, memudahkan
eksekusi dan tidak perlu ada ketergantungan suami sehingga cara seperiti inilah
yang telah dipilih Mahkamah Agung, kan sudah jelas tujuan perceraian dengan
khuluk sudah tercapai kenapa harus ada ikrar suami itulah mungkin pertimbangan
Mahkamah Agung kenapa mengesampingkan proses 148 KHI.
Selanjutnya ternyata belum
berhenti pada putusan khuluk belaka akan tetapi ada masalah lain yang
mengikutinya yaitu :
1.
Khulu’ di Masa Haid.
Khulu’ tidak terikat dengan waktu tertentu[17], untuk
itu boleh dilakukan diwaktu suci atau haidh, hal ini berbeda dengan talak yang
diharamkan untuk dilakukan di saat haidh. Yang demikian itu dimaksudkan agar
suami tidak mengulur-ulur waktu ‘iddah, sedangkan khulu’ adalah
permintaan istri untuk menghilangkan “bahaya” yang dialaminya. Begitu juga karena
Rasululllah Saw. tidak menanyakan keadaan Mukhtali’ah (Istri Tsabit bin
Qais tatakala ia meminta khulu’ dari suaminya) apakah ia saat itu dalam
keadaan suci atau haidh. Dan tidak adanya dalil yang mengatakan tidak boleh
meminta khulu’ ketika haidh. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa khulu’
dapat dilakukan kapan saja meskipun sang istri sedang haidh.
2.
Khulu'
Dilakukan Orang Yang Tengah Sakit
Sah khulu' yang dilakukan oleh orang
yang sedang sakit parah[18].
Karena jika dia menjatuhkan talak yang tidak memiliki 'iwadh, maka sah
talaknya, apalagi talak yang memiliki 'iwadh. Juga karena ahli warisnya
tidak akan mendapatkan kerugian apa-apa dengan tindakan khulu'nya.
Mazhab Maliki mengungkapkan mengenai
hal ini dengan pendapat mereka, terlaksana khulu' yang dilakukan oleh orang
yang tengah terkena penyakit yang mengkhawatirkan. Sebagai isyarat bahwa secara
prinsipil mereka tidak mengharamkan talak pada masa ini yang menyebabkan
keluarnya ahli waris.
Menurut pendapat yang masyhur, istri
yang dia khulu' pada masa dia sakit mendapatkan warisan dari suami jika
suami meninggal dunia pada masa khulu' ini akibat penyakit yang
mengkhawatirkan. Meskipun masa iddahnya telah selesai, dan dia kawin lagi
dengan orang lain. Sedangkan istri tidak mewarisi suaminya jika istri meninggal dunia sebelum suami pada masa
suami sakit, meskipun istri tengah
sakit pada saat terjadi khulu'; karena
suamilah yang membuat hilang apa yang seharusnya berhak untuk dia
dapatkan.
Demikian juga Setiap pasangan suami
istri atau salah satu dari keduanya berhak untuk mewakilkan orang lain dalam
khuluk[19].
3.
Masa ‘Iddah Bagi Khulu’.
Sebagaimana talak, bagi wanita yang khulu’ juga diharuskan untuk ‘Iddah.
Dengan maksud istibra’ (meyakinkan bahwa dalam rahimnya tidak ada
janin/kandungan). Namun berapakah tempo I’ddah yang harus ditempuh
wanita dalam khulu’?, ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Salah
satunya adalah pendapat Jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan
Hanabilah) yang mengatakan bahwa ‘iddah seorang wanita yang meminta khulu’
adalah sama dengan ‘iddah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’
(tiga kali haid). Landasannya adalah firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah
ayat 228: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'”. Dan juga karena khulu’ adalah
perpisahan antara suami istri setelah adanya perkawinan (dukhul), maka ‘iddah-nya
tiga quru’ sebagaimana perpisahan selain khulu’.
Selain pendapat jumhur, terdapat juga
pendapat kedua yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ustman bin Affan, Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas bahwa ‘iddah bagi wanita khulu’ adalah cukup
dengan satu kali haidh. Dalilnya yaitu; sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam
Nasa’i dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah Saw. telah menjadikan ‘iddah
istri Tsabit bin Qais satu haidh saja.
4.
Apakah Khulu’ Talak atau Faskh.
Ulama telah berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafii’yyah
dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa khulu’ adalah thalaq
ba-in. Sedangkan menurut riwayat lain dari Imam Ahmad bahwa khulu’
adalah faskh.
Konsekuensi dari perbedaan pendapat di atas dapat terlihat ketika seorang
suami telah men-thalaq istrinya dua kali, kemudian meng-khulu’-nya,
maka; Bagi yang mengangap khulu’ itu thalaq, berarti telah jatuh thalaq
tiga, yang berarti suami tidak lagi halal untuk merujuk kembali istrinya,
kecuali wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain kemudian
diceraikan.
Sedangkan bagi yang menganggap khulu’ itu faskh, maka suami
tersebut berhak untuk merujuk istrinya, meskipun wanita tersebut belum menikah
lagi dengan laki-laki lain, apabila sudah habis masa ‘iddah-nya.
5.
Rujuk Setelah Khulu’.
Tidak ada rujuk bagi seorang suami dari seorang istri yang telah pisah
dengan sebab khulu’. Baik itu bagi yang menganggap khulu’ itu thalaq
ba-in maupun faskh. Jika dia menginginkan kembali kepada isterinya
maka harus dengan akad pernikahan dan mahar yang baru.
G. Akibat hukum perceraian dengan khuluk:
-
istri tidak bisa dirujuk, berakhir dengan takak ba’in, kalau ingin rujuk
harus menikah baru lagi, berlaku pasal 161 Kompasi Hukum Islam.
-
tentang akibat hukum terhadap anak atau anak-anaknya sama dengan akibat
hukum yang telah diatur dalam pasal 149 huruf d kompilasi hukuk Islam
(memberikan biaya hadhanah untuk anakanaknya yang belum mencapai umur 21 tahun).
Kesimpulan
1.
Khuluk adalah gugat cerai dengan tebusan (iwadh) yang telah
disepakati.
2.
Penyelesaian pasal 148 KHI berakhir dengan ikrar talak dari suami, sedangkan penyelesaian Mahkamah Agung amarnya
: “Menjatuhkan talak satu khul’i (
nama----------bin---------------) terhadap Penggugat ( nama--------------binti
-------------) dengan iwadh berupa uang sejumlah Rp---------------( tulis
dengan huruf----------) .dan keduanya berakhir dengan talak ba’in.
3.
Bahwa semua bentuk perceraian di Indonesia harus melalui institusi
yang berwenang termasuk perceraian dengan khuluk.
Penutup
Demikianlah tulisan
tentang PENYELESAIAN PERCERAIAN DENGAN KHULU’ DAN AKIBAT HUKUMNYA, semoga
banyak manfaatnya dan mohon maaf segala kekurangan dalam tulisan ini,
terimakasih.
Blitar, 06 Januari 2019
Penulis
Drs. H. Sudono, M.H.
NERAKA RUMAH TANGGA
Rudi lahir di Blitar sebagai suami dan Ririn Ayu lahir di Malang
sebagai istri, keduanya telah menikah secara sah pada tanggal 31 Desember 1990
di KUA Surabaya. Mereka mempunyai 3 orang anak kandung , Amir, Anto dan
Lilis semuanya ikut bapak ibunya. Suami
Istri dan anak-anaknya semuanya bertempat
tinggal di Malang kota, akan tetapi pekerjaan suami sebagai dokter
spesialis swasta di Blitar seminggu
sekali pulang ke Malang kota, sedangkan istri bekerja di Malang kota sebagai
Notaris.
Rumah tangga mereka berjalan mulus harmonis dan bahagia, akan
tetapi 2 tahun terakhir ini rumah tangganya diterjang badai kehancuran, mereka
sering bertengkar disebabkan istrinya
cemburu dan berangsur-angsur suaminya jarang pulang ke Malang Kota.
Ketiga anaknya sering mengingatkan kedua orang tuanya agar jangan bertengkar,
anak-anaknya mempertahankan rumah tangga bapak ibunya untuk bersatu kembali akan tetapi kandas, padahal suaminya masih menyayangi istri dan anak-anaknya.
Kecemburuan istri belum terbukti karena masih dalam proses persidangan. Lalu
istrinya ingin bercerai.
Pertanyaan
Tentang khuluk :
1.
Berdasarkan kompetensi
absolut, Kalau suami istri ingin bercerai dengan khuluk diajukan kemana
?
a.
Ke PA, b. ke PN, c. ke KUA, d. ke PTUN, e. ke Peradilan
militer
2.
Oleh karena suami jarang pulang ke Malang kota maka perkara
diajukan ke :
a.
ke PA Surabaya (yang mewilayahi KUA waktu pernikahan).
b.
ke PA Malang kota
c.
ke PA Blitar
d.
ke KUA Surabaya
e.
ke KUA Malang kota
3.
Siapa yang berhak mengajukan perceraian dengan khuluk ?
a.
suami
b.
orang tua suami
c.
istri
d.
orang tua suami
e.
ketiga anak-anaknya.
4.
Untuk tercapai perkara menjadi khuluk dapat dibicarakan dihadapan
mediator atau dalam sidang sehingga unsur penting yang harus dipenuhi adalah:
a.
yang penting dapat rukun lagi
b.
yang penting tidak perlu ada iwad
c.
yang penting cerai
d.
yang penting harus ada
kesepakatan iwadh
e.
masih tawar menawar tentang
iwad
5.
Produk akhir dari gugatan perceraian dengan khuluk adalah :
a.
talak ba’in
b.
talak yang tidak boleh rujuk
c.
talak dengan menyebut iwad secara jelas
d.
jatuh talak satu khul’i Tergugat terhadap Penggugat(MA)/ kamu saya
khulu’(KHI).
e.
semuanya benar.
[1] Disampaikan di hadapan Penyuluh Agama Islam PNS dan Non PNS
Kementerian Agama Kabupaten Blitar di AULA
Minna Kemenag Blitar 07 Januari
2019.
[2] Pasal 129 KHI
[3] Pasal 148 KHI
[4] pasal 132 KHI
[5] Ensiklopedi Hukum Islam, Jiiid 3, PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, Jakarta,
Cet.ke7, 2006, hal. 932.
[6] Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz 7, Darl fikr,
Damaskus, 2008, hal. 459.
[7] Ibid.
[8] Ensiklopedi Hukum Islam, Jiiid 3, Loc.cit.
[9] Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam,
Jo.Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975.
[10] Yurisprudensi Ensiklopedia Sains Islami, jilid 8, Kamil
Pustaka,Pebbruari 2018, hal.29.
[11] Ibid. hal. 30.
[12] Ensiklopedi Hukum Islam, Jiiid 3,
Ooc.cit. hal. 933.
[13] Ibid, hal. 31.Jo. Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa
Adillatuhu, Juz 7, Loc.cit
[15] Sudono, dalam buku Senarai
Pembaharuan Hukum Peradilan Agama Kajian Hukum Formil dan Materiil, Edisi
Revisi, PTA. Surabaya, 2014, Hal. 134.
[16] Mahkamah Agung
RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, Edisi Revisi, 2013 halaman 151
[17] Syeh Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Juz 2, Darl Fikr, Bairut Lebanon,
1992/1412, hal. 257.
[18] Wahbah Azzuhaili, Juz 7, Op.cit,hal. 469.
[19] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar