Senin, 16 Desember 2019

KISAH PERJALANAN SA'I





Sa'i dan Keteladanan Siti Hajar

Oleh : H. Sudono Al-Qudsi



Ibadah haji tak semata-mata merupakan ritual yang membanggakan. Bukan pula sekedar titel untuk menaikan derajat kita di masyarakat melainkan sebuah ibadah yang begitu sarat akan makna ketauhidan dan keikhlasan.Keikhlasan bermakna segala yang kita lakukan semata-mata mengharapkan ridha Allah akan selalu memberikan kekuatan jauh melebihi yang mampu kita bayangkan dalam batasan kita sebagai manusia. Bersabar dan selalu percaya akan datangnya pertolongan dari Allah itulah yang akan memberikan akhir yang membahagiakan dalam setiap kisah perjuangan.
Ketabahan dan kepercayaan akan datangnya pertolongan dari Allah ini pula yang terkandung dalam salah satu rukun haji yaitu Sa‘i. Mempelajari rukun haji begitu indah. Banyak kisah yang terkandung didalamnya salah satunya adalah kisah keteladanan Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah untuk meninggalkan istri dan anaknya di lembah gersang lagi sunyi yang kemudian dikenal dengan nama Mekah.Dari Syria, Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail, menyusuri padang pasir yang kering dan menyengat. Sepanjang perjalanan, tak ada pepohonan bahkan mata air sebagai syarat utama kehidupan. Tak hanya itu, Nabi Ibrahim pun sempat dilanda kecemasan bagaimana dia harus memberitahukan kepada istrinya akan perintah Allah tersebut ?
“Wahai suamiku, apakah aku akan ditinggalkan bersama anakmu di sini?”
Tanpa memandang wajah isterinya, Nabi Ibrahim hanya mampu menganggukkan kepala. “Oh… kiranya karena dosaku menyebabkan engkau bertindak begini, ampunkanlah aku. Aku tidak sanggup ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir yang kering kerontang ini.”
Nabi Ibrahim menjawab: “Tidak wahai isteriku, bukan karena dosamu…”
Siti Hajar bertanya lagi: “Kalau bukan kerana dosaku, bagaimana dengan anak ini… Anak ini tidak tahu apa-apa. Tegakah engkau meninggalkannya?”
Kepiluan dan kesedihan Nabi Ibrahim, hanya Allah yang tahu. Katanya: “Tidak, bukan itu maksudku. Tapi apa dayaku… ketahuilah, ini semua adalah perintah Allah.”
Siti Hajar terdiam. Kecintaannya dan keyakinannya akan pertolongan Allah membuat Siti Hajar akhirnya berkata kepada suaminya: “Jika benar ia adalah perintah Allah, tinggalkanlah kami di sini. Aku ridho ditinggalkan.” Suara Siti Hajar mantap sambil menyeka air matanya.
Ditabahkan hatinya dengan berkata: “Mengenai keselamatan kami, serahkanlah urusan itu kepada Allah. Pasti Dia akan membela kami. Tidak mungkin Dia menganiaya kami yang lemah ini.”
Siti Hajar menggenggam tangan suaminya. Kemudian diciumnya, minta ridho atas segala perbuatannya selama mereka bersama. “Doakanlah agar datang pembelaan Allah kepada kami,” kata Siti Hajar.
Tak sanggup menahan peri sebagai seorang suami dan ayah, Nabi Ibrahim pun berdoa “Ya Rabb, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb, yang demikian itu agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizqi dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur,” (Q.S. Ibraahiim ayat 37)
Begitulah akhirnya Nabi Ibrahim pergi meninggalkan istri dan anaknya. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya begitu lama ? Begitulah Allah menguji keimanan Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Selesai berdoa, tanpa menoleh ke arah isteri dan anaknya, Nabi Ibrahim terus meninggalkan tempat itu dengan menyerahkan mereka terus kepada Allah. Tinggallah Siti Hajar bersama anaknya yang masih merah dalam pelukannya. Diiringi kepergian suaminya dengan linangan air mata dan syukur. Ditabahkan hati untuk menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.
Tidak lama selepas kepergian Nabi Ibrahim, perbekalan makanan dan minuman pun habis. Air susunya juga kering sama sekali.
Anaknya Ismail menangis kehausan. Siti Hajar kebingungan. Di mana hendak diusahakannya air di tengah padang pasir yang kering kerontang itu?
Ketika dia mencari-cari sumber air, dilihatnya dari jauh seperti ada air di seberang bukit. Dia berlari ke arah sumber air itu. Tetapi apa yang dilihatnya hanyalah fatamorgana.
Namun Siti Hajar tidak berputus asa. Dari tempat lain, dia melihat seolah-olah di tempat di mana anaknya diletakkan memancar sumber mata air.
Dia pun segera berlari ke arah anaknya. Tetapi sungguh malang, yang dilihatnya adalah fatamorgana. Tanpa disadari dia bolak-balik sebanyak tujuh kali antara dua bukit, Safa dan Marwa untuk mencari sumber air.
Tubuhnya keletihan berlari ke sana ke mari mencari sumber air, namun tiada tanda-tanda dia akan mendapat air. Sedangkan anak yang kehausan itu terus menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya ke bumi. Tiba-tiba dengan rahmat Allah, sedang Siti Hajar mencari-cari air, terpancarlah air dari dalam bumi di ujung kaki anaknya Ismail.
Pada waktu itu gembiranya hati Siti Hajar bukan kepalang. Dia pun mengambil air itu dan terkeluar dari mulutnya, “Zam, zam, zam..” yang berarti, berkumpullah, berkumpullah. Seolah-olah dia berkata kepada air itu, “Berkumpullah untuk anakku.”
Begitulah asal usul salah satu rukun ibadah haji yang mengajarkan kita untuk selalu menyakini akan adanya pertolongan Allah. Perintah sa’i langsung diperintahkan oleh Allah sebagaimana tersurat dalam Al Baqarah 158 : “Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu adalah daripada syiar-syiar Allah jua. Maka barangsiapa yang naik haji kerumah itu atau umrah, tidaklah mengapa bahwa dia keliling pada keduanya. Dan barangsiapa yang menambah kerja kebaikan, maka sesungguhnya Allah ada­lah Pembalas terimakasih, lagi Maha Mengetahui.”
Sa’i merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun sahnya ibadah haji.  Sa’i secara bahasa bermakna: Bekerja, berusaha, berjalan, berlari. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu fiqih/hukum islam, sa’i ini sendiri bermakna: Berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah sebanyak tujuh kali. Dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah.
Sebagai salah satu dari rukun sahnya ibadah haji, sai dilakukan setelah melaksanakan thawaf, baik thawaf umroh maupun thawaf ifadhoh. Tidaklah sah Haji seseorang apabila tidak melakukan sa’i ini. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dan juga hadits Rasululloh SAW berikut ini :
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah”
Kemudian diriwayatkan dari Imam Ad-Daruquthni dan yang lainnya dalam kitab Majmu’ dengan sanad yang hasan, bahwasannya Rasululloh SAW pernah melakukan sa’i sambil menghadap kiblat lalu beliau bersabda:“Lakukanlah sa’i karena sesungguhnya sai ini telah diwajibkan kepada kalian.”
          Berdasar dalil diatas maka sa’i ini sesungguhnya merupakan ibadah yang diwajibkan kepada para jamaah Haji atau Umroh agar mereka mengingat tentang sebuah kisah yang terkandung didalamnya, agar mereka dapat mengambil pelajaran yang besar dari kisah yang terkandung dibalik perintah tersebut. Kisah Sa’i ini berawal dari kisah Nabi Ibrahim AS mengajak istrinya Siti Hajar dan anaknya Nabi Ismail AS yang saat itu masih bayi ke suatu negeri yang merupakan cikal-bakal Makkah saat ini. Makkah sendiri pada saat itu masih merupakan negeri yang sunyi tanpa penghuni dan masih gersang. Dikisahkan pula bahwa Nabi Ibrahim secara tiba-tiba meninggalkan istri dan anaknya disamping sebuah pohon yang besar untuk berteduh. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan sendiri saja dan meninggalkan istri dan anaknya dengan berbekal beberapa kurma dan bejana yang berisi air saja karena menuruti perintah dari Allah, beliau meninggalkan mereka berdua disana untuk melanjutkan perjalanan memenuhi panggilan dan perintah dari Allah SWT . Beliau kesampingkan kekhawatiran dalam hatinya meninggalkan istri dan anaknya ditempat asing tersebut sambil berdo’a: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhanku, yang demikian itu agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, agar mereka bersyukur..”
Setelah sekian lama setelah ditinggalkan, tentu saja persediaan kurma dan air dalam bejanapun habis sehingga Siti Hajar pun khawatir sebab sang suami tak kunjung kembali. Naluri seorang ibu yang begitu sayang kepada anaknya dan rasa khawatir dengan kondisi tersebut mendorong Siti Hajar untuk berusaha mencari air minum agar dapat menyusui anaknya kembali.
Siti Hajar meletakkan anaknya Nabi Ismail AS dibawah pohon tersebut dan segera berusaha mencari air, berjalan dan berlari-lari kecil ke bukit Shafa namun tak jua menemukan sumber air, kemudian berlari-lari kecil kearah bukit lainnya yaitu bukit Marwah, namun juga tak menemukan sumber air. Hal ini dilakukannya terus-menerus, bolak-balik Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali.
Akhirnya Siti Hajar mendengar suara yang menyuruhnya diam. Ternyata suara itu berasal dari Malaikat. Siti Hajar diperlihatkan keajaiban berupa air yang muncul disebabkan oleh hentakan kaki Nabi Ismail yang masih bayi itu. Inilah cikal bakal air Zam Zam yang sangat terkenal itu.
Selanjutnya ia pun turun, mengisi bejana dan memberi minum putranya, Nabi Ismail. Setelah beberapa waktu berlalu, ada sebuah rombongan dari suku Jurham datang ke tempat tersebut. Mereka tinggal di sekitar air zam-zam bersama Siti Hajar dan Nabi Ismail AS. Ini semua ini atas izin dari Siti Hajar.
Sa'i merupakan salah satu rukun haji dan umrah yang dilakukan dengan berlari-lari bolak balik tujuh kali dari Bukit Safa ke Bukit Marwah, dan sebaliknya. Dua bukit itu berjarak sekitar 405 meter (dalam literatur lain disebutkan 450 meter). 
Safa adalah bukit kecil di sebelah selatan Ka'bah. Bukit ini menjadi titik awal pelaksanaan sa'i. Sedangkan Marwah bukit kecil di sebelah utara Safa. Marwah menjadi titik akhir pelaksanaan sa'i.
Sa'i melekat erat dengan riwayat Siti Hajar, wanita mulia yang ditinggalkan di padang pasir tandus oleh Nabi Ibrahim AS, sang suami, atas perintah Allah SWT.  Saat itu Siti Hajar ditemani sang putra, Ismail AS, yang masih bayi berjuang mempertahankan hidup. Karena itu sa'i menjadi napak tilas perjuangan dan penderitaan Siti Hajar.
Dalam riwayatnya, sebelum Siti Hajar dan Ismail ditinggal di tanah gersang itu, Mekah merupakan wilayah tanpa penghuni setelah peristiwa banjir di zaman Nabi Nuh. Sedangkan Ka'bah tinggal berupa gundukan batu bulat tanpa ada seorang pun yang merawatnya.
Saat itu, Allah SWT menghendaki Ibrahim AS yang tinggal di Kanaan (Palestina) pergi jauh melintas padang pasir panas dan gersang bersama anak dan istrinya, ke wilayah bernama Hijaz. Belakangan diketahui Hijaz itulah letak Baitullah yang rusak karena banjir bah. 
Setelah tiba di tempat sesuai perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim AS segera kembali ke Palestina dan tanpa berkata apa-apa ditinggalkannya sang istri dan bayi yang sangat didambakannya selama hidupnya. Ibrahim hanya meninggalkan sekantung kurma dan air sebagai bekal Siti Hajar.
Ketika Ibrahim semakin jauh berjalan, Siti Hajar semakin cemas akan apa yang terjadi. Ia kemudian meninggalkan Ismail sebentar, berdiri, dan menyusul suaminya sambil bertanya,"Wahai suamiku, akan kemanakah engkau dan kenapa aku dan anakku kau tinggalkan di sini, tempat yang kosong tidak ada apa-apanya?"
Ibrahim tidak menghentikan perjalanannya, tidak menengok dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Kepedihan hatinya terlalu dalam. Siti Hajar masih terus mengejarnya dan kembali bertanya karena ia ditinggalkan di tempat yang asing tanpa seorang teman pun, hingga akhirnya ia bertanya, "Apakah Allah memerintahkanmu berbuat demikian?" Mendengar pertanyaan itu, Ibrahim berhenti dan mengiyakan.
Setelah mendapat jawaban dari sang suami, Siti Hajar  hanya mempunyai satu pertanyaan tambahan, "Wahai Ibrahim kepada siapa engkau menitipkan kami?" Jawaban Ibrahim jelas dan langsung kepada intinya, "Aku menitipkanmu kepada perlindungan Allah."
Ibrahim kembali melanjutkan perjalanannya, setelah sampai di perbatasan ia berhenti dan menghadap ke Ka'bah, seraya mengangkat kedua tangannya dan berdoa (QS Ibrahim; 37):
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah suci-Mu itu. Aku berbuat demikian ya Tuhan kami, demi memungkinkan mereka mendirikan salat. Karena itu, jadikanlah hati sebagian manusia gandrung mencintainya. Dan berilah mereaka rezeki dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur."
Sementara Siti Hajar kembali kepada anaknya, Ismail. Suatu ketika habislah persediaan kurma dan air yang menjadi bekalnya. Ismail yang haus dan lapar menangis. Siti Hajar tidak tinggal diam. Siti Hajar yang bingung berusaha mencari bantuan dengan berlari dari Safa ke Marwah mengharap ada musafir yang melintas. Upaya itu dilakukan hingga tujuh kali.
Pada saat habis pengharapannya, datanglah malaikat Jibril. Melalui kaki Ismail, Jibril menghentak tanah sehingga keluarlah air zamzam.
Lokasi Safa dan Marwah kini masuk dalam bangunan Masjidil Haram.  Kedua bukit dihubungkan dengan bangunan panjang berlantai dua. Dengan lebar 20 meter, jalur sa'i dibagi menjadi empat, masing-masing dua jalur untuk pejalan kaki dan dua jalur untuk orang sakit yang harus didorong dengan kursi roda. 
Perjalanan sa'i kini tidak terlalu melelahkan karena ruangan yang ber-AC. Di beberapa titik juga disediakan air zamzam bagi jemaah yang haus dan lelah. Di bangunan ini dipasang juga pilar dengan lampu neon berwarna hijau. Saat melintas jalur ini, jemaah pria disunahkan untuk berlari-lari kecil. Sedangkan jemaah wanita berjalan cepat.
Meski menyatu dengan bangunan Masjidil Haram, namun hukum kesuciannya sa'i tetap berlaku terpisah, bahwa lokasi ini berada di luar masjid sehingga wanita yang sedang menstruasi boleh melakukan sa'i.
Dalil sa’i tertuang dalam surah Al Baqarah (2): 158), di mana Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji di Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan satu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”
Langkah pertama melaksanakan sa’i adalah pergi ke lokasi masa’a, tempat antara Safa dan Marwah. Ketika mendekati Bukit Safa bacalah doa (QS Al Baqarah (2): 158). Kemudian naiklah ke safa, lalu berdirilah menghadap Ka’bah, memuji Allah, bertakbir tiga kali kemudian berdoa.
Setelah berdoa, turunlah dari Safa dan berjalan di antara dua bukit dengan kecepatan normal. Menyebut nama Allah, membaca ayat Al Quran dan berdoa sambil berjalan. Bagi jemaah laki-laki berlari-lari kecil  pada tanda hijau.
Jika sudah sampai di Marwah, menghadaplah ke kibtal dan membaca zikir seperti yang dibaca di Safa tanpa membaca ayat  (QS Al Baqarah (2): 158) dan berdoa. Berdoalah untuk diri sendiri, keluarga dan seluruh kaum muslimin.
Setelah itu turun lagi dengan berjalan. Jika sampai di tanda hijau berikutnya, berlari lagi hingga tanda hijau berikutnya. Lalu berjalan seperti biasa hingga naik ke Safa.
Ulangi hingga tujuh kali dan berakhir di Marwah. Berjalan dari Safa ke Marwah dihitung satu kali sa’i, begitu pula perjalanan dari Safa ke Marwah dihitung satu kali sa’i.
DEMIKIANLAH TULISAN INI SEMOGA BERMANFAAT AMIIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar