Senin, 09 Juni 2014

INTEGRASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM  RUMAH TANGGA
KE DALAM PUTUSAN HAKIM

Oleh   :   Drs. H.  Sudono,  M.H.

   A. LATAR BELAKANG MASALAH
              Data pasangan melakukan perceraian di Indonesia, semakin hari semakin memprihatinkan, fenomena maraknya perceraian dalam rumah tangga di Indonesia, perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat angka perceraian memperlihatkan trend yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, sedikitnya 200.000,  bahkan 2 tahun kemudian, tahun 2009 sebagaimana data dari Dirjen Badilag mencatat data perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama seluruh Indonesia sebanyak 258.069 perkara, di mana perkara cerai talak berjumlah 86.592 perkara, sedangkan cerai gugat berjumlah 171.477 perkara.
Komnas perempuan dalam sekapur sirih yang ditulisnya dalam buku “REFERENSI BAGI HAKIM PERADILAN AGAMA TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” menyebutkan: Dari tahun ke tahun, Komnas Perempuan mencatat bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ditangani melalui Pengadilan Agama adalah sangat signifikan. Kompilasi data yang dilakukan Komnas Perempuan tentang penanganan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2007, jumlah kasus yang ditangani oleh 43 Pengadilan Agama mencapai 8.555 kasus. Ini merupakan 33,5% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat ditangani.
                Dengan kata lain dari 25.522 kasus dimana korban datang langsung untuk mengurus sendiri penanganan kasusnya, hampir 60% melakukannya di Pengadilan Agama. Artinya, perempuan korban KDRT senantiasa bertumpu pada Pengadilan Agama–dan para hakimnya–untuk melepaskan diri dari jeratan kekerasan yang menimpanya.
                           Kebanyakan kasus-kasus KDRT yang ditangani oleh Pengadilan Agama ’tersembunyi’ dalam perkara-perkara cerai gugat yang diajukan para isteri. Alasan isteri meminta cerai pada umumnya adalah penelantaran ekonomi oleh sang suami – suatu tindakan yang menurut UU Penghapusan KDRT merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Komnas Perempuan paham bahwa meningkatnya perkara-perkara cerai gugat di Pengadilan Agama merupakan salah satu gejala umum yang meningkat terus dari tahun ke tahun.
Dampak buruk perceraian bukan saja menimpa pada pasangan cerai, tetapi meluas terhadap anak-anak mereka yang kehilangan perhatian, kasih sayang, perlindungan, tidak sedikit anak yang kehilangan kasih sayang orang tua akibat perceraian, terlantar dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi bahkan putus sekolah. Perceraian sangat identik dengan penelantaran, namun tidak berarti keluarga yang masih utuh tidak bisa melakukan penelantaran, banyak kasus terjadi di masyarakat adanya penelantaran keluarga yang utuh akibat orang tua tidak bertanggung jawab, pada Desember 2009 lalu terungkap kasus penelantaran anak di Depok, lalu awal Februari 2010 terungkap lagi kasus penelantaran anak di Tangerang, dengan latar belakang yang mirip, yaitu persoalan ekonomi akibat kesulitan finansial orang tua si anak, mereka pergi menelantarkan anak-anaknya.
                            Penelantaran juga dapat terjadi bila orang tua tidak bertanggung jawab kepada keluarga karena menjadi pemabuk, penjudi, dan mempunyai wanita lain, sehingga anak dan isterinya ditelantarkan, padahal sebagai ayah dia berkewajiban untuk menafkahi keluarganya. Kondisi tersebut diperburuk dengan persepsi masyarakat, bahwa peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun penelantaran masih dianggap dalam ranah domestik, dan penyelesaiannya cukup diselesaikan secara internal keluarga tersebut. Namun dengan keluarnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU Penghapusan KDRT), diharapkan dapat mengubah cara pandang, bahwa perkara rumah tangga (domestic violence), bukan lagi persoalan pribadi, internal keluarga, yang penyelesaiannya cukup secara kekeluargaan, namundomestic violence ini telah menjangkau ranah pidana dan perdata, pidana karena telah terjadi tindak pidana, perdata karena ada hak-hak keperdataan yang dilanggar.
Penelantaran merupakan salah satu dari jenis kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana termaktub dalam pasal 5 huruf (d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selanjutnya, penelantaran rumah tangga itu sendiri menurut Pasal 9 UU Penghapusan KDRT adalah:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Adapun contohnya termasuk juga tidak memberi nafkah kepada isteri, membiarkan isterinya bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai suami, bahkan mempekerjakannya sebagai isteri dan memanfaatkan ketergantungan isteri secara ekonomi untuk  mengontrol kehidupannya.
 Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam kasus penelantaran ini upaya hukum pihak yang menjadi korban dapat dilakukan upaya hukum perdata dan pidana. Misalnya pada kasus penelantaran karena orang tua telah bercerai, maka sebagaimana hukum postif, bahwasannya meskipun perceraian orang tua terjadi, tetap tidak menggugurkan kewajiban ayah/bapak untuk memenuhi hak-hak hidup bagi anak-anaknya, dan kewajiban itu diserahkan kepada ibu bila bapak dianggap tidak mampu (lihat Pasal 40 dan 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) sehingga bilamana orang tua melalaikan kewajibannya untuk memelihara dan memberikan nafkah kepada anak atau dengan konteks ini disebut menelantarkan anak, maka pihak anak dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk menuntut hak-hak keperdataan anak yang telah diabaikan.
Sehubungan dengan penelantaran dalam rumah tangga yang tersebut pada Pasal 9 UU Nomor 23 tentang Penghapusan KDRT, yang mayoritas korbannya adalah perempuan (isteri) dan anak mereka, merupakan implikasi dari semua alasan-alasan perceraian sebagaimana ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (sebagai contoh: seorang kepala keluarga yang meninggalkan keluarganya 2 tahun berturut-turut tanpa ijin dan alasan yang jelas, secara otomatis pula melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang mengantarkan pada kondisi penelantaran). Maka secara tersirat didapati benang merah antara keduanya (pasal 9 UU. Penghapusan KDRT/penelantaran rumah tangga dan alasan perceraian pasal 19 PP. 9/1975 Jo. Pasal 116 KHI), yang mana pada banyak kasus, alasan-alasan tersebut berkaitan langsung, diawali atau bahkan berakibat pada sebuah penelantaran yang muaranya pada syarat mutlak dari pada alasan melakukan perceraian itu sendiri yaitu sebuah ‘ketidak rukunan dalam rumah tangga’ atau ‘sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga’. sebagaimana doktrin yang dibangun oleh Mahkamah Agung RI. Melalui yurisprudensi nomor 38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991 yang menitik beratkan “pecahnya rumah tangga” (broken marriage) sebagai tolok ukur perkara perceraian, oleh karenanya tidaklah penting untuk mengetahui siapa yang bersalah dan menyebabkan timbulnya perselisihan atau pertengkaran akan tetapi yang terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya yang terjadi dalam rumah tangga para pihak (mengetahui ada tidaknya unsur broken marriage untuk dijadikan acuan bagi hakim). Demikian juga menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 28 PK/AG/1995, tanggal 16 Oktober 1996, pada intinya yang harus diterapkan dalam memeriksa perkara perceraian bukanlah “matri monial guilt” akan tetapi “broken marriage”.
               Sebagai sebuah pertimbangan yang didasarkan pada hukum positif yang berlaku, maka sudah sewajarnya apabila Pengadilan Agama berpijak pada materi perundang-undangan sebagaimana disebutkan di atas sebagai pertimbangan dalam memeriksa alasan perceraian. Maka sesuai paparan tersebut bisa dipastikan bahwasannya sesuai dengan substansi Pasal 9 UU Nomor 23 tentang Penghapusan KDRT serta substansi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 09 tahun 1975 Jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, suatu kondisi penelantaran rumah tangga telah jelas memenuhi dan bisa dijadikan alasan yang kuat untuk mengajukan gugatan perceraian. Namun kemudian yang menjadi persoalan adalah jika menilik secara eksplisit, maka tidak akan ditemukan redaksi khusus tentang penelantaran rumah tangga sebagai alasan perceraian di dalam perundang-undangan yang berlaku, karena penelantaran rumah tangga merupakan ranah pidana, sehingga layak adanya apabila dilakukan kajian terhadap hal tersebut mengingat urgensinya untuk terciptanya sebuah kepastian hukum khususnya pada perkara perceraian.
Penelantaran sendiri sebagai bagian dari UU Penghapusan KDRT yang notabene merupakan wilayah sumber hukum pidana yang pada praktek upaya hukumnya bisa ditempuh melalui perdata pula (jika ada hak-hak keperdataan para pihak yang dilanggar). Berdasarkan itu sudah seharusnya ada mekanisme khusus untuk mengatur upaya hukum yang dilakukan akibat adanya dugaan penelantaran rumah tangga. Maka sudah sepatutnya untuk dikaji lebih dalam lagi terkait mekanisme yang benar tentang upaya hukum dari penelantaran, dimana pada prosesnya menjembatani antar dua ranah hukum yang berbeda (pidana dan perdata) yang mengharuskan kita untuk  mencermati secara tuntas agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan yang semakin menjauhkan dari rasa keadilan serta tujuan hukum. Di samping itu dengan diintegrasikannya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai alasan perceraian diharapkan dapat meminimalisir adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga, karena tindakan kekerasan dalam rumah tangga secara tuntas telah dimasukkan dalam pertimbangan hukum oleh hakim dan terbukti bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangganya maka pihak korban pun dapat menuntutnya secara pidana karena unsur-unsur pidananya telah terbukti.
               Dikatakan lebih lanjut dalam pasal 49 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, bahwa ancaman pidana bagi tindakan penelantaran rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang tersebut adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Yang demikian ini menunjukkan adanya korelasi bahwa kalau sudah terbukti adanya tindakan penelantaran rumah tangga maka mesti dapat diterima sebagai alasan perceraian dan bagi korban di samping dapat menuntut secara perdata, juga dapat menuntut secara pidana.
                         Pengadilan agama adalah salah satu institusi penegak hukum yang sangat berhubungan dengan penegakan berbagai perundang-undangan di atas. Meskipun untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap menjadi kewenangan pengadilan negeri, tetapi laporan Komnas Perempuan yang salah satunya dihimpun dari pengadilan agama adalah pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tertutup rapi di tengah rumah tangga. Karena itu, meskipun Pengadilan Agama tidak mengadili tindak pidananya, pengadilan agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa kekerasan yang terjadi. Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah mandate legalnya sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak bisa semata-mata mengacu secara rigidperundang-undangan yang memiliki keterbatasan dalam menangkap setiap spektrum peristiwa KDRT yang kompleks, tapi juga dituntut untuk berkreasi, menelaah, dan terampil membangun argument yang holistik (menyeluruh dan luas) dari berbagai perundang-undangan nasional yang tersedia .
              Meskipun kasus yang disidangkannya merupakan kasus perdata, perceraian misalnya, dalam rangka memenuhi keadilan korban, hakim semestinya menelisik setiap kemungkinan tindak pidana yang terjadi di balik peristiwa perceraian itu. Jika kemudian ditemukan indikasi tindak pidana, selanjutnya proses pidana dapat dimulai dari sini. Dengan demikian, kualitas putusan hakim tidak hanya memenuhi standar penyelesaian perdatanya saja tapi juga mendorong dan membuka keadilan baru bagi perempuan korban KDRT. Sehingga melalui putusannya hakim-hakim di pengadilan agama memiliki peran strategis dalam penghapusan KDRT.
             Dalam pasal 28 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya harus memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masayarakat. Kutipan pasal ini, jelas menunjukkan bahwa hakim tidak saja hanya patuh pada perundang undangan tertulis, tapi dia bisa melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam memutus suatu perkara dengan menggali setiap dinamika yang berkembang di masyarakat, termasuk yang utama adalah peristiwa sesungguhnya yang melatari sebuah perkara. Itulah sebabnya, menurut Komnas Perempuan, pengadilan agama merupakan pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga.
                         Berdasarkan paparan tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisa lebih lanjut mengenai integrasi pasal 9 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,yaitu penelantaran rumah tangga ke dalam alasan  perceraian di Pengadilan Agama serta pertimbangan hukum Pengadilan Agama untuk menerapkan pasal  9  UU. Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian.
B.  PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam tulisan ini adalah:
Bagaimanakah pertimbangan hukum Pengadilan Agama dalam mengintegrasikan dan menerapkan pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian kedalam putusan hakim, padahal alasan perceraian secara limitatif sudah ada dalam peraturan perundang-undangan?

C. PEMBAHASAN
Pembahasan tulisan ini berfokus dan berbicara tentang bagaimana hakim membuat hukum mengintegrasikan pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ke dalam putusan hakim sehingga putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban akibat tindakan penelantaran dalam rumah tangganya, karenanya berikut ini akan dibahas tentang: 1. Pengertian penelantaran rumah tangga, 2. Bentuk-bentuk penelantaran rumah tangga,
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya KDRT, 4. Integrasi UU PKDRT ke dalam putusan hakim.
           1.   Pengertian penelantaran rumah tangga:
Menurut Prof. Dr. H. Muchsin, SH. yang dimaksud penelantaran rumah tangga adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggungjawab seseorang dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai pemegang tanggungjawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan keluarganya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa lingkup rumah tangga telah dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, yaitu: a. suami, isteri dan anak, b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau, c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Selanjutnya pasal 2 ayat (2) UU PKDRT disebutkan, orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 UU PKDRT bahwa jenis kekerasan dalam rumah tangga ada 4, yaitu, 1. kekerasan fisik, 2. kekerasan psikis,  3. kekerasan seksual, atau d. penelantaran  rumah tangga dan yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah penelantaran rumah tangga, hal ini yang dimaksudkan adalah penelantaran orang dalam rumah tangga, yang diancam pidana dalam pasal 49 UU PKDRT: dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). “Penelantaran atau menelantarkan“ dalam Undang-Undang tersebut tidak diberikan penjelasan. Karenanya hakim diberi kekebasan untuk menginterpretasikan kalimat penelantaran rumah tangga ke dalam alasan perceraian yang akan dituangkan ke dalam putusan hakim. Berbeda dengan ketiga jenis kekerasan dalam rumah tangga yang lainnya, kekerasan fisik, psikis, dan seksual dapat dengan mudah dapat dengan mudah dibuktikan, misalnya dengan visum et refertum dan lain sebagainya.
2. Bentuk-bentuk penelantaran rumah tangga
a. Tidak memberikan kehidupan dalam lingkup rumah tangganya. Yang meliputi: nafkah, biaya sekolah anaknya, pakaian dan rumah/kontrakan, pada pokoknya biaya kebutuhan hidup dalam keluarga atau kebutuhan primair. Seorang isteri yang tidak bekerja, ia mengikuti tugas suaminya berpindah-pindah dari satu tempat tugas ke tempat lainnya dengan penuh setia, mengurus suaminya dan telah mempunyai anak. Tetapi akibat perbuatan suaminya yang pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (pasal 19 huruf (a) PP. No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, akibatnya suami tidak mampu lagi membiayai isteri dan anak-anaknya, adalah bentuk penelantaran rumah tangga. dari contoh di atas, tidak memberikan kehidupan dalam lingkup rumah tangganya, seseorang tidakmampu memberikan kebutuhan “primair“ kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya dan bila tidak terpenuhi mereka akan menderita karenanya.
Atau salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal-hal di luar kemampuannya, (pasal 19 huruf (b) PP. No. 9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, kalau pasal ini terbukti pasti ada pihak yang menjadi korban penelantaran rumah tangga karena orang yang menopang dan mencukupi kebutuhan primair keluarganya telah pergi meninggalkan tanpa ijin mereka dan tidak ada harta yang ditinggalkan sebagai gantinya nafkah dan lebih lagi kalau isteri tidak ada pekerjaan tetap bisa saja kalau tidak punya ketahanan iman, isteri terperosok menjadi pelacur dan anak-anaknya menjadi pengemis, semua itu berakibat pada penelantaran rumah tangga, sampai saat ini belum ada orang tua yang dilaporkan ke polisi gara-gara menelantarkan isteri dan anak-anaknya, padahal tidak sedikit rumah tangga yang berakhir perceraian akibat ditelantarkan oleh anggota keluarga lainnya.
b. Tidak memberikan perawatan atau pemeliharaan kepada orang dalam lingkup rumah tangganya, yaitu adanya perhatian dan kepedulian kepada orang-orang yang berada di bawah tanggungannya, misalnya tidak membiarkan isteri, anak-anaknya atau orang yang tinggal bersamanya menderita dengan sakit yang di alami,  yang meliputi biaya kesehatan, biaya kecantikan, obat-obatan, biaya sekolah, dan lain sebagainya yang menjadi tanggungan suami. Karena dalam Demikian juga sebaliknya menjadi tanggungan isteri, bila ia punya pembantu yang menetap dalam lingkup rumah tangganya sekalipun sudah bercerai dengan suaminya. Jadi dapat digolongkan ke dalam tindakan penelantaran apabila seseorang mengabaikan atau tidak mempedulikan nasib keluarga, misalnya mengalami sakit, sehingga harus menderita karena tidak terurus, atau anak-anaknya dibiarkan tidak sekolah. Hal ini ditekankan karena kewajiban bagi ayah/bapak telah ditunjuk dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu pasal 41 huruf b menyebutkan: akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut, bila orang tua melalaikan kewajibannya untuk memelihara dan memberikan nafkah/menelantarkan anak telah terbukti di Pengadilan dan telah ditetapkan dalam amar putusan pengadilan, maka pihak yang dirugikan (anak-isteri) dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap putusan pengadilan tersebut. Sebaliknya bila tidak ditetapkan dalam amar putusan pengadilan, maka anak dapat menuntutnya dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk menuntut hak-hak keperdataan anak yang telah diterlantarkan.
c. Tidak memberikan penghidupan, perawatan, pemeliharaan kepada setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Selama ini belum ada mantan suami yang ditangkap polisi karena tindakannya menelantarkan isteri dan anak-anaknya. Isteri yang diceraikan bisa saja menggugat mantan suaminya secara perdata ke Pengadilan, menggugat agar mantan suami memberi nafkah kepada anak-anaknya, apalagi saat ini Negara sedang konsis dengan rakyat miskin melalui pengadilan dengan menggalakkan program justice for the poor, namun akan sia-sia bila suami telah pergi meninggalkan anak-anak dan mantan isterinya, sementara mantan suami tidak sedikit pun meninggalkan atau menyimpan harta kekayaan.
d.  Penelantaran sebagai delik pidana
Penelantaran rumah tangga termasuk bentuk kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) dan masuk dalam pidana omisionis karena seseorang melalaikan suruhan/tidak berbuat, omisionis karena memberikan kehidupan kepada orang-orang yang berada di bawah kendalinya adalah merupakan perintah undang-undang, sehingga bila ia tidak memberikan sumber kehidupan tersebut kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya berarti ia telah melalaikan suruhan/tidak berbuat.
 Dalam hubungannya dengan kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orang tua terhadap anak-anaknya, telah diatur dalam pasal 26 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan :
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak,
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada , atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebgaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Dari ketentuan pasal di atas, dapat dimengerti bahwa kewajiban sebagai orang tua tidak akan terputus bahkan sampai anak-anak tersebut dewasa, yang mampu berdiri sendiri, bahkan sudah menikah pun masih dicukupi dan menjadi tanggung jawab orang tuanya. Orang tua harus memperhatikan kebutuhan yang bersifat materi maupun non materi agar anak tumbuh kembang sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat anaknya.
3. Faktor-Faktor penyebab terjadinya KDRT
             Dalam buku yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarwati halaman 35- 36 secara panjang lebar, disebutkan bahwa minimal ada lima faktor penyebab terjadinya KDRT yang dijelaskannya sebagai berikut:
                             Sikap kebanyakan masyarakat yang tidak memberikan pemihakan kepada korban, seringkali memunculkan sikap yang berbalik dengan menyalahkan korban. Dengan demikian, pelaku bisa leluasa dan lepas kendali untuk terus melakukan kekerasan, dengan tanpa rasa bersalah. Bahkan, bisa berbalik menyalahkan korban. Perempuan yang menjadi korban pun, akan semakin sulit untuk memperoleh keadilan, baik di tingkat masyarakat maupun di pengadilan. Kebanyakan masyarakat berkeyakinan, masalah dalam keluarga adalah masalah internal keluarga masing-masing. Termasuk juga persoalan kekerasan di dalamnya. Keluarga pihak suami, atau pihak isteri, bahkan perempuan korban itu sendiri, akan merasa malu jika aib keluarga terdengar sampai keluar rumah. Karena itu, kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan akan tetap dibiarkan dan ia hanya diminta bersabar, tabah dan berdoa. Keadaan ini semakin menyulitkan perempuan untuk bisa lepas dari siklus kekerasan yang menimpa dirinya.
                              Memang kekerasan di dalam rumah timbul dan terjadi karena berbagai faktor, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Tetapi kekerasan adalah kejahatan.Kekerasan terhadap perempuan, isteri maupun ibu, merupakan kezaliman atas kemanusiaan. Ini permasalahan yang serius dan bisa menjadi penyebab atas mewabahnya kekerasan dan kekacauan di dalam masyarakat. Kekerasan akan berbuntut pada kekerasan yang lain. Kekerasan terhadap isteri, biasanya akan berlanjut pada kekerasan-kekerasan lain; terhadap anak dan anggota keluarga yang lain. Dan kebiasaan buruk ini bisa menular, dan keluar dari lingkup dalam rumah tangga, dan selanjutnya keluar menjadi wabah dalam masyarakat. Kekerasan yang terjadi, yang dilakukan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, jika ditelusuri secara seksama, banyak sekali yang justru berakar dari proses pembelajaran di dalam rumah tangga. Kebanyakan anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Penelitian memperlihatkan, bahwa 50% sampai 80% laki-laki yang memukul isteri dan atau anak-anak, ternyata dibesarkan dalam rumah tangga yang orang tuanya suka memukul dan melakukan kekerasan dalam rumah. (Ciciek Farha, 1999: hal. 22-23).
                            Ada banyak faktor sosial, yang melestarikan adanya KDRT dan menyulitkan korban memperoleh dukungan dan pendampingan dari masyarakat yaitu:
                 Pertama :
                             Adalah adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan; baik di rumah tangga, maupun dalam kehidupan publik. Ketimpangan ini, yang memaksa perempuan dan laki-laki untuk mengambil peran-peran gender tertentu, yang pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan. Di keluarga misalnya, kebanyakan masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan penguasa keluarga. Isteri diposisikan seperti milik penuh suami, yang berada pada kontrol dan pengawasannya. Sehingga apapun yang dilakukan isteri, harus seizin dan sepengetahuan suami. Tidak sebaliknya. Ketika terjadi kesalahan sedikit saja dari isteri dalam cara pandang suami, isteri harus berhadapan dengan pengawasan dan pengontrolan dari suami. Suami merasa dituntut untuk mendidik isteri dan mengembalikannya pada jalur yang benar, menurut cara pandang suami.Pengontrolan ini tidak sedikit, yang pada akhirnya menggunakan tindak kekerasan.
                Kedua:
                            Adanya ketergantungan isteri terhadap suami secara penuh. terutama untuk masalah ekonomi, yang membuat isteri benar-benar berada di bawah kekuasaan suami. Posisi rentan ini sering menjadi pelampiasan bagi suami, ketika dia menghadapi persoalan-persoalan yang sebenarnya berada di luar rumah tangga. Banyak penelitian yang menunjukkan beberapa suami yang mengalami kekerasan atau pelecehan di tempat kerja, dia lalu melampiaskannya di rumah kepada isteri atau anak-anak. Suami akan menggunakan ketergantungan ekonomi isteri, untuk mengancamnya jika tidak mengikuti apa yang diinginkan dan memenuhi apa yang dibutuhkan. Seperti ancaman tidak memberi nafkah sampai ancaman perceraian. Dari sini tampak bahwa pengendalian roda kendali dan kuasa laki-laki dilakukan atas peran gendernya yang dianggap lebih berkuasa daripada perempuan. Roda kendali dan kuasa hampir selalu dimainkan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Dalam rumah tangga ditunjukkan dengan kuasa ekonomi suami sebagai pihak yang kuat terhadap isteri sebagai pihak yang lemah karena bergantung dan tidak mempunyai akses ekonomi.
                Ketiga:
                            Sikap kebanyakan masyarakat terhadap KDRT yang cenderung abai. Seperti pada kasus Suyatmi. KDRT dianggap urusan internal dan hanya menyangkut pihak suami dan isteri belaka. Paling jauh, keluarga terdekat dari pihak suami maupun isteri. Itu pun masih sangat jarang. Masyarakat pasti akan bertindak jika melihat ada perempuan yang diserang orang tidak dikenal, tetapi jika yang menyerang adalah suaminya sendiri, justru mereka mendiamkannya. Jika kekerasan suami ini terjadi di luar rumah, masyarakat hanya akan menasihati untuk dibawa ke dalam rumah saja. Ada catatan pendamping korban, yang menulis ungkapan seorang Satpam: “Waktu Satpam itu melerai suami yang memukuli isteri di tempat parkir, ia mengatakan: “Istighfar pa. Sekarang bulan puasa. Kalau mau pukul isteri di rumah saja, jangan di tempat umum seperti ini.....”. (Komnas Perempuan,  2002:  hal. 83).
                Keempat:
                              Keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang mungkin bersumber dari tafsir agama. Bahwa perempuan harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga, harus pandai menjaga rahasia keluarga, keyakinan tentang pentingnya keluarga ideal yang penuh dan lengkap, tentang isteri shalihah, juga kekhawatiran-kekhawatiran terhadap proses perceraian dan akibat dari perceraian. Tentu saja, keyakinan dan kepercayaan yang tumbuh di masyarakat ini, pada awalnya adalah untuk kebaikan dan keberlangsungan keluarga. Tetapi dalam konstruksi relasi yang timpang, seringkali digunakan untuk melanggengkan KDRT. Paling tidak, membuat isteri berpikir seribu kali ketika harus memutuskan untuk mengakhiri KDRT yang menimpa dirinya. Karena seringkali berakibat pada perceraian, atau minimal pengabaian dari suami dan pihak keluarga suami.
                Kelima:
                              Mitos tentang KDRT. Masyarakat selama ini masih mempercayai berbagai mitos seputar terjadinya KDRT. Mitos merupakan suatu cerita dalam sebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai kebenaran mengenai suatu perkara yang pernah berlaku pada suatu masa dahulu. Ia dianggap sebagai satu kepercayaan dan kebenaran mutlak yang dijadikan sebagai rujukan (A Wikipedia Project, 2007). Mitos-mitos ini muncul di dalam masyarakat yang pada akhirnya memojokkan korban dan menjauhkan korban untuk mendapatkan bantuan secara sosial.
                             Data statistik pada Ditjen Badilag MARI tahun 2009 menunjukkan bahwa alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1965 kasus dan menyakiti mental sebanyak 587 kasus. Sedang untuk tahun 2010 sampai dengan bulan Juli, alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1312 kasus dan menyakiti mental 218 kasus dan lebih menyedihkan terdapat 61.128 kasus untuk tahun 2009, dan 40.823 kasus (sampai Juli 2010), alasan perceraian karena tidak ada tanggung jawab.
                             Ternyata dari tahun ke tahun kekerasan dalam rumah tangga yang berupa tidak ada tanggung jawab meningkat tajam, dan menurut penulis  “tidak ada tanggung jawab” dimaksud adalah bentuk kekerasan dalam rumah tangga, berupa penelantaran rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 9 Undang Undang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga.
4.   Integrasi UU PKDRT kedalam putusan hakim
                    Berawal dari semiloka bertema Strategi Pengintegrasian Undang-Undang PKDRT dalam sistem Peradilan Agama di Indonesia yang berlangsung di Jakarta, 16 – 17 Nopember 2009 terdapat fakta bahwa konflik dalam rumah tangga merupakan perkara yang paling banyak ditangani Pengadilan Agama tentu tak dapat dielakkan, karena itu adalah wajar bila masyarakat berharap putusan Pengadilan mengenai perceraian akan memberikan pencerahan tersendiri khususnya dalam meminimalisasi tingkat kekerasan dalam rumah tangga.
              Komnas perempuan telah merekomendasikan kepada hakim pengadilan agama agar dalam membuat putusan,memasukkan Undang-Undang PKDRT ke dalam pertimbangan hukumnya dan hakim peradilan agama dituntut sensitifitas dalam menjatuhkan putusan-putusannya terkait dengan gender, terutama harus memperhatikan hak-hak perempuan pasca perceraian. Seperti: nafkah iddah, mut’ah, biaya hadlonah, maskan, kiswah dan sebagainya sebagaimana dijelaskan dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam. Bahkan tidak sedikit perkara-perkara di pengadilan tingkat pertama pembebanan mut’ah yang terlalu sedikit, di pengadilan tingkat banding maupun kasasi diperbesar nominalnya. Hal ini akan memberikan efek positif bagi penegakan hukum keluarga yang menempatkan perempuan pada posisi kesetaraan gender, bermartabat dan berkeadilan.
             Demikian juga dalam pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga beberapa tahun yang lalu di beberapa propinsi telah merekomendasikan kepada Hakim Pengadilan Agama agar Hakim mempunyai sensitifitas dalam mempertimbangkan putusannya dengan memasukkan Undang-Undang PKDRT ke dalam pertimbangan hukumdalam memutuskan perkara perceraian, sehingga putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi para pihak.
              Menurut penulis sedikitnya terdapat 3 hal pengintegrasian UU PKDRT ke dalam putusan hakim Pengadilan Agama yaitu:
a.  Karena tuntutan dinamika perkembangan hukum dalam masyarakat yang memerlukan perlindungan dan kepastian hukum sehubungan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangganya, yang berujung pada perceraian dari tahun ke tahun meningkat secara signifikan dan faktor penyebabnya mayoritas adalah kekerasan dalam rumah tangga.
b.  Karena tuntutan sensitifitas gender terhadap para hakim Pengadilan Agama, terdapat 97% perempuan yang menjadi korban KDRT di tahun 2008 telah mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama, sementara itu di sisi lain terdapat 3410 hakim Pengadilan Agama 80% atau 2732 adalah laki-laki dan hanya 20% atau 678 yang perempuan.
c.  Merupakan kewajiban hukum bagi hakim Pengadilan Agama terhadap kejahatan domestik yang harus dicegah sedini mungkin untuk meminimalkan tindak kekerasan dalam rumah tangga dan jika perlu dapat merekomendasikan kepada pejabat yang berwenang setelah benar-benar telah terbukti tentang adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang telah dipertimbangkannya dalam putusan hakim. Hakim Pengadilan Agama melalui putusannya menjelaskan kepada masyarakat bahwa dalam menyelesaikan perkara perceraian telah bersungguh-sungguh memperhatikan faktor KDRT yang terjadi dalam rumah tangga tersebut. Sehingga pengintegrasian UU PKDRT ke dalam putusan hakim Pengadilan Agama adalah merupakan kewajiban hukum bagi hakim di lingkungan hakim Peradilan Agama.
  d. Adapun upaya hukum terhadap tindak penelantaran keluarga dapat melalui upaya perdata dan pidana, secara perdata karena ada hak-hak keperdataan yang dilanggar, secara pidana karena telah terjadi tindak pidana berupa tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam wujud penelantaran dan lain sebagainya.

D.   PENUTUP
          Konflik rumah tangga identik dengan kekerasan (fisik, psykis, seksual dan penelantaran rumah tangga) dan tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun, akan tetapi para hakim Peradilan Agama dituntut untuk mempunyai sensitifitas yang tinggi dalam mempertimbangkan alasan perceraian yang di dalamnya terdapat unsur kekerasan dalam rumah tangga dan merupakan kewajiban hukum baginya untuk mengintegrasikan UU PKDRT ke dalam putusan hakim sehingga diharapkan dapat meminimalisir tindak kekerasan dalam rumah tangga melalui putusannya.
                 Demikian tulisan ini disajikan kehadapan pembaca, tentu masih banyak kekurangannya, penulis berharap kritik dan saran demi kebaikan tulisan ini dan semoga ada manfaatnya bagi para pembaca, terima kasih, Wallahu a’lam Bish shawab.




                                                                              Blitar, 09 Juni 2014
                                                                                      Penulis,


                                                                          Drs. H.  Sudono, M.H.



[1] Penulias adalah Hakim Pengadilan Agama Blitar  Kelas I A,
[2] Prof. Dr. H. Muchsin, S.H. Dalam Varia peradilan tahun XXVI No. 303 Pebruari 2011, hal 16
[3] Ibid.
[4] http://mediaislamnet.com/2010/02/penelantaran-anak/
[5] Ita F. Nadia, 1999; Kekerasan terhadap Perempuan, Program Seri Lokakarya Kesehatan Perempuan;  PKKBG; Yogyakarta; hal 6
[6] Prof. Dr. H. Muchsin, S.H. Dalam Varia peradilan tahun XXVI No.303 Pebruari 2011, hal 23
[7] Drs. Sudono, M.H.; http://www.palumajang.net/index/artikel/sensitifitas-hakim/
[8] Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, Jakarta, 2004, halaman 30.
[9] Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah MukarnawatiReferensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Komnas Perempuan, Jakarta, hal. 80.
[10] Dalam Varia Peradilan No. 303 edisi Pebruari 2011, IKAHI, Jakarta, hal. 18.
[11] Prof. Dr. H. Muchsin, S.H. Ibid. hal.20.
[12] Prof. Dr. H. Muchsin, S.H. Ibid. halaman 21
[13] Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta,[14] Drs.H. Purwosusilo, SH. MH.file:///F:/HAK-HAK ISTRI DALAM PROSES PERCERAIAN - Rifka Annisa - Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan .



Tidak ada komentar:

Posting Komentar