INTEGRASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
KE DALAM PUTUSAN HAKIM
Oleh
: Drs. H. Sudono,
M.H.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Data
pasangan melakukan perceraian di Indonesia, semakin hari semakin
memprihatinkan, fenomena maraknya perceraian dalam rumah tangga di Indonesia,
perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat angka perceraian memperlihatkan
trend yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, sedikitnya
200.000, bahkan 2 tahun kemudian, tahun 2009
sebagaimana data dari Dirjen Badilag mencatat data perceraian yang masuk ke
Pengadilan Agama seluruh Indonesia sebanyak 258.069 perkara, di mana perkara
cerai talak berjumlah 86.592 perkara, sedangkan cerai gugat berjumlah 171.477
perkara.
Komnas perempuan dalam sekapur sirih yang
ditulisnya dalam buku “REFERENSI BAGI HAKIM PERADILAN AGAMA TENTANG KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA” menyebutkan: Dari tahun ke tahun, Komnas Perempuan mencatat
bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ditangani melalui
Pengadilan Agama adalah sangat signifikan. Kompilasi data yang dilakukan Komnas Perempuan tentang
penanganan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2007, jumlah kasus yang
ditangani oleh 43 Pengadilan Agama mencapai 8.555 kasus. Ini merupakan 33,5%
dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat ditangani.
Dengan
kata lain dari 25.522 kasus dimana korban datang langsung untuk mengurus
sendiri penanganan kasusnya, hampir 60% melakukannya di Pengadilan Agama.
Artinya, perempuan korban KDRT senantiasa bertumpu pada Pengadilan Agama–dan
para hakimnya–untuk melepaskan diri dari jeratan kekerasan yang menimpanya.
Kebanyakan kasus-kasus KDRT yang ditangani
oleh Pengadilan Agama ’tersembunyi’ dalam perkara-perkara cerai gugat yang
diajukan para isteri. Alasan isteri meminta cerai pada umumnya adalah
penelantaran ekonomi oleh sang suami – suatu tindakan yang menurut UU
Penghapusan KDRT merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Komnas Perempuan paham bahwa meningkatnya perkara-perkara cerai gugat di
Pengadilan Agama merupakan salah satu gejala umum yang meningkat terus dari
tahun ke tahun.
Dampak buruk perceraian bukan saja menimpa
pada pasangan cerai, tetapi meluas terhadap anak-anak mereka yang kehilangan
perhatian, kasih sayang, perlindungan, tidak sedikit anak yang kehilangan kasih
sayang orang tua akibat perceraian, terlantar dalam hal pemenuhan kebutuhan
ekonomi bahkan putus sekolah. Perceraian sangat identik dengan penelantaran,
namun tidak berarti keluarga yang masih utuh tidak bisa melakukan penelantaran,
banyak kasus terjadi di masyarakat adanya penelantaran keluarga yang utuh
akibat orang tua tidak bertanggung jawab, pada Desember 2009 lalu terungkap kasus
penelantaran anak di Depok, lalu awal Februari 2010 terungkap lagi kasus
penelantaran anak di Tangerang, dengan latar belakang yang mirip, yaitu
persoalan ekonomi akibat kesulitan finansial orang tua si anak, mereka pergi
menelantarkan anak-anaknya.
Penelantaran juga dapat terjadi bila orang tua
tidak bertanggung jawab kepada keluarga karena menjadi pemabuk, penjudi, dan
mempunyai wanita lain, sehingga anak dan isterinya ditelantarkan, padahal
sebagai ayah dia berkewajiban untuk menafkahi keluarganya. Kondisi tersebut
diperburuk dengan persepsi masyarakat, bahwa peristiwa kekerasan dalam rumah
tangga, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun penelantaran masih dianggap
dalam ranah domestik, dan penyelesaiannya cukup diselesaikan secara internal
keluarga tersebut. Namun dengan keluarnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU Penghapusan
KDRT), diharapkan dapat mengubah cara pandang, bahwa perkara rumah tangga (domestic
violence), bukan lagi persoalan pribadi, internal keluarga, yang
penyelesaiannya cukup secara kekeluargaan, namundomestic violence ini
telah menjangkau ranah pidana dan perdata, pidana karena telah terjadi tindak
pidana, perdata karena ada hak-hak keperdataan yang dilanggar.
Penelantaran merupakan salah satu dari
jenis kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana termaktub dalam pasal 5 huruf
(d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Selanjutnya, penelantaran rumah tangga itu sendiri menurut Pasal 9 UU
Penghapusan KDRT adalah:
(1) Setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.
Adapun contohnya termasuk juga tidak
memberi nafkah kepada isteri, membiarkan isterinya bekerja untuk kemudian
penghasilannya dikuasai suami, bahkan mempekerjakannya sebagai isteri dan
memanfaatkan ketergantungan isteri secara ekonomi untuk mengontrol
kehidupannya.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa
dalam kasus penelantaran ini upaya hukum pihak yang menjadi korban dapat
dilakukan upaya hukum perdata dan pidana. Misalnya pada kasus penelantaran
karena orang tua telah bercerai, maka sebagaimana hukum postif, bahwasannya
meskipun perceraian orang tua terjadi, tetap tidak menggugurkan kewajiban
ayah/bapak untuk memenuhi hak-hak hidup bagi anak-anaknya, dan kewajiban itu
diserahkan kepada ibu bila bapak dianggap tidak mampu (lihat Pasal 40 dan 41
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) sehingga bilamana orang tua melalaikan
kewajibannya untuk memelihara dan memberikan nafkah kepada anak atau dengan konteks
ini disebut menelantarkan anak, maka pihak anak dapat mengajukan gugatan
perdata ke pengadilan untuk menuntut hak-hak keperdataan anak yang telah
diabaikan.
Sehubungan dengan penelantaran dalam rumah
tangga yang tersebut pada Pasal 9 UU Nomor 23 tentang Penghapusan KDRT, yang
mayoritas korbannya adalah perempuan (isteri) dan anak mereka, merupakan
implikasi dari semua alasan-alasan perceraian sebagaimana ketentuan Pasal 39
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 Peraturan pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 Jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (sebagai contoh: seorang
kepala keluarga yang meninggalkan keluarganya 2 tahun berturut-turut tanpa ijin
dan alasan yang jelas, secara otomatis pula melalaikan kewajibannya sebagai
kepala rumah tangga yang mengantarkan pada kondisi penelantaran). Maka secara
tersirat didapati benang merah antara keduanya (pasal 9 UU. Penghapusan
KDRT/penelantaran rumah tangga dan alasan perceraian pasal 19 PP. 9/1975 Jo.
Pasal 116 KHI), yang mana pada banyak kasus, alasan-alasan tersebut
berkaitan langsung, diawali atau bahkan berakibat pada sebuah penelantaran yang
muaranya pada syarat mutlak dari pada alasan melakukan perceraian itu sendiri
yaitu sebuah ‘ketidak rukunan dalam rumah tangga’ atau ‘sudah tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga’. sebagaimana doktrin yang
dibangun oleh Mahkamah Agung RI. Melalui yurisprudensi nomor 38 K/AG/1990
tanggal 5 Oktober 1991 yang menitik beratkan “pecahnya rumah tangga” (broken
marriage) sebagai tolok ukur perkara perceraian, oleh karenanya tidaklah
penting untuk mengetahui siapa yang bersalah dan menyebabkan timbulnya
perselisihan atau pertengkaran akan tetapi yang terpenting adalah mengetahui
keadaan senyatanya yang terjadi dalam rumah tangga para pihak (mengetahui ada
tidaknya unsur broken marriage untuk dijadikan acuan bagi
hakim). Demikian juga menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 28
PK/AG/1995, tanggal 16 Oktober 1996, pada intinya yang harus diterapkan dalam
memeriksa perkara perceraian bukanlah “matri monial guilt” akan tetapi “broken
marriage”.
Sebagai
sebuah pertimbangan yang didasarkan pada hukum positif yang berlaku, maka sudah
sewajarnya apabila Pengadilan Agama berpijak pada materi perundang-undangan
sebagaimana disebutkan di atas sebagai pertimbangan dalam memeriksa alasan
perceraian. Maka sesuai paparan tersebut bisa dipastikan bahwasannya sesuai
dengan substansi Pasal 9 UU Nomor 23 tentang Penghapusan KDRT serta substansi
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 09 tahun 1975 Jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam,
suatu kondisi penelantaran rumah tangga telah jelas memenuhi dan bisa dijadikan
alasan yang kuat untuk mengajukan gugatan perceraian. Namun kemudian yang
menjadi persoalan adalah jika menilik secara eksplisit, maka tidak akan
ditemukan redaksi khusus tentang penelantaran rumah tangga sebagai alasan
perceraian di dalam perundang-undangan yang berlaku, karena penelantaran rumah
tangga merupakan ranah pidana, sehingga layak adanya apabila dilakukan kajian
terhadap hal tersebut mengingat urgensinya untuk terciptanya sebuah kepastian
hukum khususnya pada perkara perceraian.
Penelantaran sendiri sebagai bagian dari UU
Penghapusan KDRT yang notabene merupakan wilayah sumber hukum pidana yang pada
praktek upaya hukumnya bisa ditempuh melalui perdata pula (jika ada hak-hak
keperdataan para pihak yang dilanggar). Berdasarkan itu sudah seharusnya ada
mekanisme khusus untuk mengatur upaya hukum yang dilakukan akibat adanya dugaan
penelantaran rumah tangga. Maka sudah sepatutnya untuk dikaji lebih dalam lagi
terkait mekanisme yang benar tentang upaya hukum dari penelantaran, dimana pada
prosesnya menjembatani antar dua ranah hukum yang berbeda (pidana dan perdata)
yang mengharuskan kita untuk mencermati secara tuntas agar tidak
terjadi ketimpangan-ketimpangan yang semakin menjauhkan dari rasa keadilan
serta tujuan hukum. Di samping itu dengan diintegrasikannya Undang Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai alasan
perceraian diharapkan dapat meminimalisir adanya tindak kekerasan dalam rumah
tangga, karena tindakan kekerasan dalam rumah tangga secara tuntas telah
dimasukkan dalam pertimbangan hukum oleh hakim dan terbukti bahwa telah terjadi
kekerasan dalam rumah tangganya maka pihak korban pun dapat menuntutnya
secara pidana karena unsur-unsur pidananya telah terbukti.
Dikatakan
lebih lanjut dalam pasal 49 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT, bahwa ancaman pidana bagi tindakan penelantaran rumah
tangga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang tersebut adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Yang demikian ini menunjukkan adanya korelasi bahwa
kalau sudah terbukti adanya tindakan penelantaran rumah tangga maka mesti dapat
diterima sebagai alasan perceraian dan bagi korban di samping dapat menuntut
secara perdata, juga dapat menuntut secara pidana.
Pengadilan agama
adalah salah satu institusi penegak hukum yang sangat berhubungan dengan
penegakan berbagai perundang-undangan di atas. Meskipun untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap
menjadi kewenangan pengadilan negeri, tetapi laporan Komnas Perempuan yang
salah satunya dihimpun dari pengadilan agama adalah pintu pertama terkuaknya
berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tertutup rapi di tengah
rumah tangga. Karena itu, meskipun Pengadilan Agama tidak mengadili tindak
pidananya, pengadilan agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa
kekerasan yang terjadi. Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah
mandate legalnya sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak bisa
semata-mata mengacu secara rigidperundang-undangan yang memiliki
keterbatasan dalam menangkap setiap spektrum peristiwa KDRT yang kompleks, tapi
juga dituntut untuk berkreasi, menelaah, dan terampil membangun argument yang
holistik (menyeluruh dan luas) dari berbagai perundang-undangan nasional yang
tersedia .
Meskipun kasus yang disidangkannya merupakan
kasus perdata, perceraian misalnya, dalam rangka memenuhi keadilan korban,
hakim semestinya menelisik setiap kemungkinan tindak pidana yang terjadi di
balik peristiwa perceraian itu. Jika kemudian ditemukan indikasi tindak pidana,
selanjutnya proses pidana dapat dimulai dari sini. Dengan demikian, kualitas
putusan hakim tidak hanya memenuhi standar penyelesaian perdatanya saja tapi
juga mendorong dan membuka keadilan baru bagi perempuan korban KDRT. Sehingga melalui
putusannya hakim-hakim di pengadilan agama memiliki peran strategis dalam
penghapusan KDRT.
Dalam
pasal 28 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa hakim dalam
menjatuhkan putusannya harus memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masayarakat. Kutipan pasal ini, jelas menunjukkan bahwa hakim tidak
saja hanya patuh pada perundang undangan tertulis, tapi dia bisa melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding) dalam memutus suatu perkara dengan menggali setiap dinamika yang
berkembang di masyarakat, termasuk yang utama adalah peristiwa sesungguhnya
yang melatari sebuah perkara. Itulah sebabnya, menurut Komnas Perempuan,
pengadilan agama merupakan pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam
rumah tangga.
Berdasarkan
paparan tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisa lebih
lanjut mengenai integrasi pasal 9 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,yaitu penelantaran rumah tangga ke
dalam alasan perceraian di Pengadilan Agama serta pertimbangan hukum
Pengadilan Agama untuk menerapkan pasal 9 UU. Penghapusan
KDRT sebagai alasan perceraian.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
maka yang menjadi permasalahan pokok dalam tulisan ini adalah:
Bagaimanakah pertimbangan hukum Pengadilan Agama dalam
mengintegrasikan dan menerapkan pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian kedalam putusan hakim,
padahal alasan perceraian secara limitatif sudah ada dalam peraturan
perundang-undangan?
C. PEMBAHASAN
Pembahasan tulisan ini berfokus dan
berbicara tentang bagaimana hakim membuat hukum mengintegrasikan pasal 9
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ke dalam putusan hakim sehingga putusan hakim
dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban akibat tindakan penelantaran dalam
rumah tangganya, karenanya berikut ini akan dibahas tentang: 1. Pengertian penelantaran rumah tangga, 2.
Bentuk-bentuk penelantaran rumah tangga,
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya KDRT, 4. Integrasi UU PKDRT ke dalam putusan hakim.
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya KDRT, 4. Integrasi UU PKDRT ke dalam putusan hakim.
1. Pengertian
penelantaran rumah tangga:
Menurut Prof. Dr. H. Muchsin, SH. yang dimaksud penelantaran rumah tangga adalah
setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggungjawab seseorang dalam rumah
tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai pemegang
tanggungjawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan
keluarganya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa lingkup rumah tangga
telah dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT, yaitu: a. suami, isteri dan anak, b. orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf
a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga, dan/atau, c. orang yang bekerja membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Selanjutnya pasal 2 ayat (2) UU
PKDRT disebutkan, orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang
sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 UU
PKDRT bahwa jenis kekerasan dalam rumah tangga ada 4, yaitu, 1. kekerasan
fisik, 2. kekerasan psikis, 3. kekerasan seksual, atau d.
penelantaran rumah tangga dan yang menjadi fokus dalam tulisan ini
adalah penelantaran rumah tangga, hal ini yang dimaksudkan adalah penelantaran
orang dalam rumah tangga, yang diancam pidana dalam pasal 49 UU PKDRT: dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah). “Penelantaran atau menelantarkan“ dalam Undang-Undang tersebut
tidak diberikan penjelasan. Karenanya hakim diberi kekebasan untuk menginterpretasikan
kalimat penelantaran rumah tangga ke dalam alasan perceraian yang akan
dituangkan ke dalam putusan hakim. Berbeda dengan ketiga jenis kekerasan dalam
rumah tangga yang lainnya, kekerasan fisik, psikis, dan seksual dapat dengan
mudah dapat dengan mudah dibuktikan, misalnya dengan visum et refertum dan lain
sebagainya.
2. Bentuk-bentuk penelantaran rumah tangga
a. Tidak memberikan kehidupan dalam
lingkup rumah tangganya. Yang meliputi: nafkah, biaya sekolah anaknya, pakaian
dan rumah/kontrakan, pada pokoknya biaya kebutuhan hidup dalam keluarga atau
kebutuhan primair. Seorang isteri yang tidak bekerja, ia
mengikuti tugas suaminya berpindah-pindah dari satu tempat tugas ke tempat
lainnya dengan penuh setia, mengurus suaminya dan telah mempunyai anak. Tetapi
akibat perbuatan suaminya yang pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan (pasal 19 huruf (a) PP. No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf
(a) Kompilasi Hukum Islam, akibatnya suami tidak mampu lagi membiayai isteri
dan anak-anaknya, adalah bentuk penelantaran rumah tangga. dari contoh di atas,
tidak memberikan kehidupan dalam lingkup rumah
tangganya, seseorang tidakmampu memberikan kebutuhan “primair“ kepada
orang-orang yang menjadi tanggungannya dan bila tidak terpenuhi mereka akan
menderita karenanya.
Atau salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua
tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal-hal di luar kemampuannya, (pasal 19 huruf (b) PP. No. 9/1975 jo.
Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, kalau pasal ini terbukti pasti ada
pihak yang menjadi korban penelantaran rumah tangga karena orang yang menopang
dan mencukupi kebutuhan primair keluarganya telah pergi meninggalkan tanpa ijin
mereka dan tidak ada harta yang ditinggalkan sebagai gantinya nafkah dan lebih
lagi kalau isteri tidak ada pekerjaan tetap bisa saja kalau tidak punya
ketahanan iman, isteri terperosok menjadi pelacur dan anak-anaknya menjadi
pengemis, semua itu berakibat pada penelantaran rumah tangga, sampai saat ini
belum ada orang tua yang dilaporkan ke polisi gara-gara menelantarkan isteri
dan anak-anaknya, padahal tidak sedikit rumah tangga yang berakhir perceraian
akibat ditelantarkan oleh anggota keluarga lainnya.
b. Tidak memberikan perawatan atau
pemeliharaan kepada orang dalam lingkup rumah tangganya, yaitu adanya perhatian
dan kepedulian kepada orang-orang yang berada di bawah tanggungannya, misalnya
tidak membiarkan isteri, anak-anaknya atau orang yang tinggal bersamanya
menderita dengan sakit yang di alami, yang meliputi biaya kesehatan, biaya
kecantikan, obat-obatan, biaya sekolah, dan lain sebagainya yang menjadi
tanggungan suami. Karena dalam Demikian juga sebaliknya menjadi tanggungan
isteri, bila ia punya pembantu yang menetap dalam lingkup rumah tangganya
sekalipun sudah bercerai dengan suaminya. Jadi dapat digolongkan ke dalam
tindakan penelantaran apabila seseorang mengabaikan atau tidak mempedulikan
nasib keluarga, misalnya mengalami sakit, sehingga harus menderita karena tidak
terurus, atau anak-anaknya dibiarkan tidak sekolah. Hal ini ditekankan karena
kewajiban bagi ayah/bapak telah ditunjuk dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974
yaitu pasal 41 huruf b menyebutkan: akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah: Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut, bila orang tua melalaikan
kewajibannya untuk memelihara dan memberikan nafkah/menelantarkan anak telah
terbukti di Pengadilan dan telah ditetapkan dalam amar putusan pengadilan, maka
pihak yang dirugikan (anak-isteri) dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap
putusan pengadilan tersebut. Sebaliknya bila tidak ditetapkan dalam amar
putusan pengadilan, maka anak dapat menuntutnya dengan mengajukan gugatan
perdata ke pengadilan untuk menuntut hak-hak keperdataan anak yang telah
diterlantarkan.
c. Tidak memberikan penghidupan,
perawatan, pemeliharaan kepada setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
secara ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak
di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut. Selama ini belum ada mantan suami yang ditangkap polisi karena
tindakannya menelantarkan isteri dan anak-anaknya. Isteri yang diceraikan bisa
saja menggugat mantan suaminya secara perdata ke Pengadilan, menggugat agar
mantan suami memberi nafkah kepada anak-anaknya, apalagi saat ini Negara sedang
konsis dengan rakyat miskin melalui pengadilan dengan menggalakkan
program justice for the poor, namun akan sia-sia bila suami telah pergi
meninggalkan anak-anak dan mantan isterinya, sementara mantan suami tidak sedikit
pun meninggalkan atau menyimpan harta kekayaan.
d. Penelantaran sebagai delik pidana
Penelantaran rumah tangga termasuk bentuk kekerasan dalam
rumah tangga (domestic violence) dan masuk dalam pidana omisionis karena
seseorang melalaikan suruhan/tidak berbuat, omisionis karena
memberikan kehidupan kepada orang-orang yang berada di bawah kendalinya
adalah merupakan perintah undang-undang, sehingga bila ia tidak memberikan
sumber kehidupan tersebut kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya berarti
ia telah melalaikan suruhan/tidak berbuat.
Dalam hubungannya
dengan kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orang tua terhadap
anak-anaknya, telah diatur dalam pasal 26 ayat (1) Undang Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan :
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak,
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan
minatnya, dan;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada ,
atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab
sebgaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku .
Dari ketentuan pasal di atas, dapat dimengerti bahwa
kewajiban sebagai orang tua tidak akan terputus bahkan sampai anak-anak
tersebut dewasa, yang mampu berdiri sendiri, bahkan sudah menikah pun masih
dicukupi dan menjadi tanggung jawab orang tuanya. Orang tua harus memperhatikan
kebutuhan yang bersifat materi maupun non materi agar anak tumbuh kembang
sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat anaknya.
3. Faktor-Faktor penyebab terjadinya KDRT
Dalam
buku yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarwati halaman
35- 36 secara panjang lebar, disebutkan bahwa minimal ada lima faktor penyebab
terjadinya KDRT yang dijelaskannya sebagai berikut:
Sikap kebanyakan
masyarakat yang tidak memberikan pemihakan kepada korban, seringkali
memunculkan sikap yang berbalik dengan menyalahkan korban. Dengan demikian,
pelaku bisa leluasa dan lepas kendali untuk terus melakukan kekerasan, dengan
tanpa rasa bersalah. Bahkan, bisa berbalik menyalahkan korban. Perempuan yang
menjadi korban pun, akan semakin sulit untuk memperoleh keadilan, baik di
tingkat masyarakat maupun di pengadilan. Kebanyakan masyarakat berkeyakinan,
masalah dalam keluarga adalah masalah internal keluarga masing-masing. Termasuk
juga persoalan kekerasan di dalamnya. Keluarga pihak suami, atau pihak isteri,
bahkan perempuan korban itu sendiri, akan merasa malu jika aib keluarga
terdengar sampai keluar rumah. Karena itu, kasus-kasus kekerasan yang menimpa
perempuan akan tetap dibiarkan dan ia hanya diminta bersabar, tabah dan
berdoa. Keadaan ini semakin menyulitkan perempuan untuk bisa lepas dari siklus
kekerasan yang menimpa dirinya.
Memang kekerasan
di dalam rumah timbul dan terjadi karena berbagai faktor, baik di dalam rumah
maupun di luar rumah. Tetapi kekerasan adalah kejahatan.Kekerasan terhadap perempuan, isteri maupun ibu, merupakan
kezaliman atas kemanusiaan. Ini permasalahan yang serius dan bisa menjadi
penyebab atas mewabahnya kekerasan dan kekacauan di dalam masyarakat. Kekerasan
akan berbuntut pada kekerasan yang lain. Kekerasan terhadap isteri, biasanya
akan berlanjut pada kekerasan-kekerasan lain; terhadap anak dan anggota keluarga
yang lain. Dan kebiasaan buruk ini bisa menular, dan keluar dari lingkup dalam
rumah tangga, dan selanjutnya keluar menjadi wabah dalam masyarakat. Kekerasan
yang terjadi, yang dilakukan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, jika
ditelusuri secara seksama, banyak sekali yang justru berakar dari proses
pembelajaran di dalam rumah tangga. Kebanyakan anak-anak yang tumbuh dalam
rumah tangga yang penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Penelitian
memperlihatkan, bahwa 50% sampai 80% laki-laki yang memukul isteri dan atau
anak-anak, ternyata dibesarkan dalam rumah tangga yang orang tuanya suka
memukul dan melakukan kekerasan dalam rumah. (Ciciek Farha, 1999: hal. 22-23).
Ada banyak faktor sosial, yang melestarikan adanya KDRT dan
menyulitkan korban memperoleh dukungan dan pendampingan dari masyarakat
yaitu:
Pertama :
Adalah adanya
ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan; baik di rumah tangga, maupun
dalam kehidupan publik. Ketimpangan ini, yang memaksa perempuan dan laki-laki
untuk mengambil peran-peran gender tertentu, yang pada akhirnya berujung pada
perilaku kekerasan. Di keluarga misalnya, kebanyakan masyarakat percaya bahwa
suami adalah pemimpin bahkan penguasa keluarga. Isteri diposisikan seperti
milik penuh suami, yang berada pada kontrol dan pengawasannya. Sehingga apapun
yang dilakukan isteri, harus seizin dan sepengetahuan suami. Tidak sebaliknya.
Ketika terjadi kesalahan sedikit saja dari isteri dalam cara pandang suami,
isteri harus berhadapan dengan pengawasan dan pengontrolan dari suami. Suami
merasa dituntut untuk mendidik isteri dan mengembalikannya pada jalur yang
benar, menurut cara pandang suami.Pengontrolan
ini tidak sedikit, yang pada akhirnya menggunakan tindak kekerasan.
Kedua:
Adanya ketergantungan isteri terhadap suami secara penuh. terutama untuk
masalah ekonomi, yang membuat isteri benar-benar berada di bawah kekuasaan
suami. Posisi rentan ini sering menjadi pelampiasan bagi suami, ketika dia
menghadapi persoalan-persoalan yang sebenarnya berada di luar rumah tangga.
Banyak penelitian yang menunjukkan beberapa suami yang mengalami kekerasan atau
pelecehan di tempat kerja, dia lalu melampiaskannya di rumah kepada isteri atau
anak-anak. Suami akan menggunakan ketergantungan ekonomi isteri, untuk
mengancamnya jika tidak mengikuti apa yang diinginkan dan memenuhi apa yang
dibutuhkan. Seperti ancaman tidak memberi nafkah sampai ancaman perceraian.
Dari sini tampak bahwa pengendalian roda kendali dan kuasa laki-laki dilakukan
atas peran gendernya yang dianggap lebih berkuasa daripada perempuan. Roda
kendali dan kuasa hampir selalu dimainkan oleh pihak yang kuat terhadap pihak
yang lemah. Dalam rumah tangga ditunjukkan dengan kuasa ekonomi suami sebagai
pihak yang kuat terhadap isteri sebagai pihak yang lemah karena bergantung dan
tidak mempunyai akses ekonomi.
Ketiga:
Sikap kebanyakan masyarakat terhadap KDRT yang cenderung abai. Seperti
pada kasus Suyatmi. KDRT dianggap urusan internal dan hanya menyangkut
pihak suami dan isteri belaka. Paling jauh, keluarga terdekat dari pihak
suami maupun isteri. Itu pun masih sangat jarang. Masyarakat pasti akan
bertindak jika melihat ada perempuan yang diserang orang tidak dikenal, tetapi
jika yang menyerang adalah suaminya sendiri, justru mereka mendiamkannya. Jika
kekerasan suami ini terjadi di luar rumah, masyarakat hanya akan menasihati
untuk dibawa ke dalam rumah saja. Ada catatan pendamping korban, yang
menulis ungkapan seorang Satpam: “Waktu Satpam itu melerai suami yang
memukuli isteri di tempat parkir, ia mengatakan: “Istighfar pa. Sekarang
bulan puasa. Kalau mau pukul isteri di rumah saja, jangan di tempat umum
seperti ini.....”. (Komnas Perempuan, 2002: hal. 83).
Keempat:
Keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang mungkin
bersumber dari tafsir agama. Bahwa perempuan harus mengalah, bersabar atas
segala persoalan keluarga, harus pandai menjaga rahasia keluarga, keyakinan
tentang pentingnya keluarga ideal yang penuh dan lengkap, tentang isteri
shalihah, juga kekhawatiran-kekhawatiran terhadap proses perceraian dan akibat
dari perceraian. Tentu saja, keyakinan dan kepercayaan yang tumbuh di
masyarakat ini, pada awalnya adalah untuk kebaikan dan keberlangsungan
keluarga. Tetapi dalam konstruksi relasi yang timpang, seringkali digunakan
untuk melanggengkan KDRT. Paling tidak, membuat isteri berpikir seribu kali
ketika harus memutuskan untuk mengakhiri KDRT yang menimpa dirinya. Karena
seringkali berakibat pada perceraian, atau minimal pengabaian dari suami dan
pihak keluarga suami.
Kelima:
Mitos tentang
KDRT. Masyarakat selama ini masih mempercayai berbagai mitos seputar terjadinya
KDRT. Mitos merupakan suatu cerita dalam sebuah kebudayaan yang dianggap
mempunyai kebenaran mengenai suatu perkara yang pernah berlaku pada suatu masa
dahulu. Ia dianggap sebagai satu kepercayaan dan kebenaran mutlak yang
dijadikan sebagai rujukan (A Wikipedia Project, 2007). Mitos-mitos ini muncul
di dalam masyarakat yang pada akhirnya memojokkan korban dan menjauhkan korban
untuk mendapatkan bantuan secara sosial.
Data
statistik pada Ditjen Badilag MARI tahun 2009 menunjukkan bahwa alasan perceraian
karena menyakiti jasmani sebanyak 1965 kasus dan menyakiti mental sebanyak 587
kasus. Sedang untuk tahun 2010 sampai dengan bulan Juli, alasan perceraian
karena menyakiti jasmani sebanyak 1312 kasus dan menyakiti mental 218 kasus dan
lebih menyedihkan terdapat 61.128 kasus untuk tahun 2009, dan 40.823 kasus
(sampai Juli 2010), alasan perceraian karena tidak ada tanggung jawab.
Ternyata
dari tahun ke tahun kekerasan dalam rumah tangga yang berupa tidak ada tanggung
jawab meningkat tajam, dan menurut penulis “tidak ada tanggung
jawab” dimaksud adalah bentuk kekerasan dalam rumah tangga, berupa penelantaran
rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 9 Undang Undang
Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga.
4.
Integrasi UU PKDRT kedalam
putusan hakim
Berawal dari semiloka
bertema Strategi Pengintegrasian Undang-Undang PKDRT dalam sistem Peradilan
Agama di Indonesia yang berlangsung di Jakarta, 16 – 17 Nopember 2009 terdapat
fakta bahwa konflik dalam rumah tangga merupakan perkara yang paling banyak
ditangani Pengadilan Agama tentu tak dapat dielakkan, karena itu adalah
wajar bila masyarakat berharap putusan Pengadilan mengenai perceraian akan
memberikan pencerahan tersendiri khususnya dalam meminimalisasi tingkat
kekerasan dalam rumah tangga.
Komnas perempuan telah
merekomendasikan kepada hakim pengadilan agama agar dalam membuat
putusan,memasukkan Undang-Undang PKDRT ke dalam pertimbangan hukumnya dan
hakim peradilan agama dituntut sensitifitas dalam menjatuhkan putusan-putusannya
terkait dengan gender, terutama harus memperhatikan hak-hak
perempuan pasca perceraian. Seperti: nafkah iddah, mut’ah, biaya hadlonah,
maskan, kiswah dan sebagainya sebagaimana dijelaskan dalam pasal 149 Kompilasi
Hukum Islam. Bahkan tidak sedikit perkara-perkara di pengadilan tingkat
pertama pembebanan mut’ah yang terlalu sedikit, di pengadilan tingkat banding
maupun kasasi diperbesar nominalnya. Hal ini akan memberikan efek positif bagi
penegakan hukum keluarga yang menempatkan perempuan pada posisi kesetaraan
gender, bermartabat dan berkeadilan.
Demikian juga dalam pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Pusat Studi
Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga beberapa tahun yang lalu di beberapa
propinsi telah merekomendasikan kepada Hakim Pengadilan Agama agar Hakim
mempunyai sensitifitas dalam mempertimbangkan putusannya dengan memasukkan
Undang-Undang PKDRT ke dalam pertimbangan hukumdalam memutuskan perkara
perceraian, sehingga putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian
dan kemanfaatan bagi para pihak.
Menurut penulis sedikitnya terdapat 3 hal pengintegrasian UU PKDRT ke
dalam putusan hakim Pengadilan Agama yaitu:
a. Karena tuntutan dinamika
perkembangan hukum dalam masyarakat yang memerlukan perlindungan dan kepastian
hukum sehubungan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangganya, yang berujung
pada perceraian dari tahun ke tahun meningkat secara signifikan dan faktor
penyebabnya mayoritas adalah kekerasan dalam rumah tangga.
b. Karena tuntutan sensitifitas
gender terhadap para hakim Pengadilan Agama, terdapat 97% perempuan yang
menjadi korban KDRT di tahun 2008 telah mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan
Agama, sementara itu di sisi lain terdapat 3410 hakim Pengadilan Agama 80% atau
2732 adalah laki-laki dan hanya 20% atau 678 yang perempuan.
c. Merupakan kewajiban hukum bagi hakim Pengadilan Agama terhadap
kejahatan domestik yang harus dicegah sedini mungkin untuk meminimalkan tindak
kekerasan dalam rumah tangga dan jika perlu dapat merekomendasikan kepada
pejabat yang berwenang setelah benar-benar telah terbukti tentang adanya tindak
kekerasan dalam rumah tangga yang telah dipertimbangkannya dalam putusan hakim.
Hakim Pengadilan Agama melalui putusannya menjelaskan kepada masyarakat bahwa
dalam menyelesaikan perkara perceraian telah bersungguh-sungguh memperhatikan faktor
KDRT yang terjadi dalam rumah tangga tersebut. Sehingga pengintegrasian UU
PKDRT ke dalam putusan hakim Pengadilan Agama adalah merupakan kewajiban hukum
bagi hakim di lingkungan hakim Peradilan Agama.
d.
Adapun upaya hukum terhadap tindak penelantaran keluarga dapat melalui upaya
perdata dan pidana, secara perdata karena ada hak-hak keperdataan yang
dilanggar, secara pidana karena telah terjadi tindak pidana berupa tindak
kekerasan dalam rumah tangga dalam wujud penelantaran dan lain sebagainya.
D. PENUTUP
Konflik rumah tangga identik dengan kekerasan (fisik, psykis, seksual
dan penelantaran rumah tangga) dan tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun,
akan tetapi para hakim Peradilan Agama dituntut untuk mempunyai sensitifitas
yang tinggi dalam mempertimbangkan alasan perceraian yang di dalamnya terdapat
unsur kekerasan dalam rumah tangga dan merupakan kewajiban hukum baginya untuk
mengintegrasikan UU PKDRT ke dalam putusan hakim sehingga diharapkan dapat
meminimalisir tindak kekerasan dalam rumah tangga melalui putusannya.
Demikian tulisan ini disajikan
kehadapan pembaca, tentu masih banyak kekurangannya, penulis berharap kritik
dan saran demi kebaikan tulisan ini dan semoga ada manfaatnya bagi para
pembaca, terima kasih, Wallahu a’lam Bish shawab.
Blitar, 09 Juni 2014
Penulis,
Drs.
H. Sudono, M.H.
[1] Penulias
adalah Hakim Pengadilan Agama Blitar Kelas I A,
[2] Prof. Dr. H. Muchsin, S.H. Dalam
Varia peradilan tahun XXVI No. 303 Pebruari 2011, hal 16
[4] http://mediaislamnet.com/2010/02/penelantaran-anak/
[5] Ita
F. Nadia, 1999; Kekerasan terhadap Perempuan, Program Seri Lokakarya Kesehatan
Perempuan; PKKBG; Yogyakarta; hal 6
[6] Prof.
Dr. H. Muchsin, S.H. Dalam Varia peradilan tahun XXVI No.303 Pebruari
2011, hal 23
[8] Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, Jakarta, 2004, halaman 30.
[9] Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah
Tangga, Komnas Perempuan, Jakarta, hal. 80.
[13] Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI. Undang-Undang Nomor
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta,[14] Drs.H. Purwosusilo, SH.
MH.file:///F:/HAK-HAK ISTRI DALAM PROSES PERCERAIAN - Rifka Annisa -
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar