Kamis, 21 Juni 2018

KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA MENERIMA DAN MENGADILI PERKARA ZAKAT




KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA MENERIMA DAN MENGADILI  PERKARA ZAKAT

Oleh : Drs. H. Sudono AL-Qudsi, M.H.[1]

Pendahuluan
         Zakat sebagai salah satu rukun Islam, berdimensi vertikal ( hablun minallah) juga berdimensi horisontal ( hablun minan nas ). Penggunaan lafal zakat dengan segala bentuknya di dalam Al-Quran terulang sebanyak 30 kali dan 27 kali diantaranya digandengkan dengan kewajiban mendirikan salat[2] . Ketika Rasulullah SAW wafat dan kepemimpinan umat Islam digantikan oleh Abu Bakar as Shiddiq ada sekelompok orang yang oleh khalifah diagendakan untuk diperangi. Mereka itu adalah orang yang ingkar untuk membayar zakat. Keadaan tersebut menjadi bukti bahwa zakat merupakan bagian ajaran agama Islam yang sangat penting dan karenanya tidak dapat diabaikan oleh setiap kaum muslimin. Karenanya pula, di negara-negara Islam zakat dijadikan sebagai salah sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya, di samping wakaf.   Al-Qur’an juga menggunakan lafal “as-sadaqah” (sedekah) dengan makna zakat , seperti dalam surat at-Taubah (9) ayat 58, 60 dan 103. Di dalam hadis Rasulullah SAW  dijumpai juga lafal “as-sadaqah” yag berarti zakat , diantaranya hadis : kurang dari lima wasaq (652,8/653 kg) tidak dikenai sedekah (zakat)...HR. al-Bukhari dan Muslim) dan beritahulah mereka bahwa Alah mewajibkan sedekah (zakat) yang diambilkan dari harta orang-orang kaya....(HR al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah,dan Ahmad bn Hanbal)[3].
        Di Indonesia, sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun bukan negara Islam, juga telah menaruh kepedulian terhadap salah satu aspek syari’at yang diwajibkan sejak tahun ketiga hijriyah ini. Kepedulian tersebut, sebagai puncaknya, adalah ketika diundangkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011. Dari Undang-Undang inilah lahir istilah BAZNAS, BAZNAS Propinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota.
         Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan keuangan. Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi. Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri. Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara[4].

Beberapa istilah dalam zakat :

1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2.    Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
3.    Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
4.   Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
5.  Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha  yang berkewajiban menunaikan zakat.
6.    Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7.   Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
8.   Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
9.    Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
10.   Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
11.  Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam pengelolaan zakat sesuai syariat Islam.
12.  Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama[5].

Pengelolaan zakat berasaskan:
a.      syariat Islam; b. amanah; c. kemanfaatan; d. keadilan;  e. kepastian hukum;  f. terintegrasi; dan  g. akuntabilitas.
Tujuan Pengelolaan zakat
a. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
b. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

Zakat mal dan zakat fitrah :
Zakat mal meliputi :  a. emas, perak, dan logam mulia lainnya;  b. uang dan surat berharga lainnya;  c. perniagaan;  d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;  e. peternakan dan perikanan  f. pertambangan;  g. perindustrian;  h. pendapatan dan jasa; dan  i. rikaz[6], yang dimiliki oleh muzaki perseorangan atau badan usaha. Sedangkan Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah diatur dengan Peraturan Menteri.  

Pelaksana Pengelolaan zakat :
                   Dilaksanakan oleh BAZNAS (lembaga Pemerintah non struktural – langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Fungsi BAZNAS adalah :  a. perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;  d. pelaporan  dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Selanjutnya BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

          Keanggotaan BAZNAS
                   Keanggotaan Baznas terdiri 11 orang, 8 dari unsur masyarakat (ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam) dan 3 dari unsur pemerintah (dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat). Lalu 1 orang menjadi ketua , 1 orang menjadi wakil ketua[7]. Masa kerja anggota BAZNAS 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan DPR RI. Ketua dan wakil ketua BAZNAS dipilih oleh anggota  dengan  dibantu sebuah sekretariat – yang  akan diatur Peraturan Pemerintah.

Persyaratan anggota BAZNAS
         Untuk menjadi anggota BAZNAS adalah :  a. warga negara Indonesia;  b. beragama Islam;  c. bertakwa kepada Allah SWT;  d. berakhlak mulia;  e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun;  f. sehat jasmani dan rohani;  g. tidak menjadi anggota partai politik;  h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat; dan  i. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

 Berakhirnya anggota BAZNAS
         Diantara berakhirnya anggota BAZNAS  adalah  :  a. meninggal dunia; b. habis masa jabatan;  c. mengundurkan diri;  d. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus menerus; atau  e. tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.

BAZNAS Propinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota
                   BAZNAS Provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS, sedangkan BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. Kalau tidak mengusulkan pembentukan BAZNAS,  Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.  BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada :  - instansi pemerintah, - badan usaha milik negara,  -badan usaha milik daerah,  -perusahaan swasta, -dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri,  -serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, -kelurahan, -atau nama lainnya, - dan tempat lainnya dan mengenai organisasi dan tata kerja BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota diatur Peraturan Pemerintah[8].

L A Z
         Lembaga Amil Zakat  wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri dengan  syarat: a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;  b. berbentuk lembaga berbadan hukum;  c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;  d. memiliki pengawas syariat;  e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;  f. bersifat nirlaba;  g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan  h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala. Kemudian LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.

PENGUMPULAN ZAKAT
         Undang-Undang memberkan kebebasan kepada Muzaki melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya. Bila tidak mampu Muzaki dapat meminta bantuan BAZNAS. Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. Bukti setoran zakat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak kareanya Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian zakat, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.


          PENDAYAGUNAAN ZAKAT
         Pendayagunaan zakat adalah untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat dan dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.

INFAK, SEDEKAH, DAN DANA SOSIAL KEAGAMAAN LAINNYA

         BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi[9]. Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya harus dicatat dalam pembukuan tersendiri. Untuk BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS provinsi dan pemerintah daerah secara berkala. Sedangkan LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala. Demikian juga BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri secara berkala dan diupayakan  Laporan neraca tahunan BAZNAS diumumkan melalui media cetak atau media elektronik.

PEMBIAYAAN
         BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) UU No 23 tahun 2011 dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil dan pembiayaan LAZ dapat menggunakan Hak Amil untuk membiayai kegiatan operasional.

 PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
         Menteri melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ. Sedangkan Gubernur dan bupati/walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ sesuai dengan kewenangannya[10].   Yang meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi.


PERAN SERTA MASYARAKAT
         Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ  dalam rangka :  a. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melalui BAZNAS dan LAZ; dan b. memberikan saran untuk peningkatan  kinerja  BAZNAS dan  LAZ.  Pengawasan  dilakukan  dalam  bentuk:   a. akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ; dan b. penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.

SANKSI ADMINISTRATIF
         LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala. BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki.  Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi. Lalu untuk Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya harus dicatat dalam pembukuan tersendiri.  LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala dan kalau tidak maka dikenai sanksi administratif berupa:  a. peringatan tertulis;  b. penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau           c. pencabutan izin[11].

LARANGAN
         Setiap orang dilarang melakukan tindakan memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau dana sosial keagamaan lainnya yang ada dalam pengelolaannya. Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.

           KETENTUAN PIDANA
-     Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-     Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-     Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
-     Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan.
-     Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 merupakan pelanggaran.
         Dalam hal di suatu komunitas dan wilayah tertentu belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ, kegiatan Pengelolaan Zakat dapat dilakukan oleh perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla sebagai amil zakat , dilakukan dengan memberitahukan secara tertulis kepada kepala kantor urusan agama kecamatan[12].

Aspek-aspek  litigasi permasalahan zakat
           Menurut Bahasa Zakat berarti al-namuwual barakah, dan katsrat al-khair[13]. Menurut Istilah : Sebutan untuk kadar harta tertentu yang ditasarufkan kepada ashnaf dengan syarat-syarat  tertentu[14]. Sedangkan Al Qardhawi, mendefinisikan zakat sebagai berikut : Hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT pada harta-harta orang Islam untuk diberikan kepada pihak-pihak yang telah ditentukan oleh Allah dalam Al Qur’an, seperti fakir, miskin, dan lain-lain sebagai rasa syukur kepada nikmat Allah SWT, cara untuk bertaqarub kepadanya, pembersihan jiwa dan harta[15].
Dari definisi tersebut setidaknya ada 5 unsur zakat, yaitu[16]:
a.   Hak tertentu.  Maksudnya, hak itu telah ditentukan bentuk dan kadarnya, yaitu 2,5 persen, 5 persen, 10 persen sehingga kalau ada seruan untuk mengambil zakat itu lebih dari kadar yang ditentukan maka kelebihannya itu bukan zakat. Kadar persentasi tersebut dikeluarkan setelah mencapai nisab misalnya senilai 85 gram emas. Nilai harta itu yang dihitung tersebut setelah dipotong seluruh kebutuhan pokok pemilik harta dan nafkah semua orang yang menjadi tanggungannya. Kebutuhan pokok itu meliputi : perumahan, perabot, pakaian, kendaraan, buku/kitab, alat-alat ketrampilan dalam batas yang sekedar mencukupi[17].
b.  Zakat diwajibkan Allah SWT.
     Sekalipun zakat diwajibkan akan tetapi pemenuhannya tetap mempertimbangkan sumber penghasilan, beban tanggungan, hutang, dan lain-lain[18].
c.  Zakat diambil dari harta orang Islam.
     Maksudnya harta milik non Islam tidak wajib dizakati sekalipun harta itu berada ditangan orang Islam. Oleh karena itu dalam konsep Islam Muzakki dapat mengontrol pemanfaatannya. Malahan, tidak salah jika zakat itu dibagi sendiri oleh muzakki[19].
d. Zakat diberikan kepada pihak-pihak yang telah ditentukan oleh Allah dalam Al Qur’an.
e.   Zakat dikeluarkan  sebagai sarana bertaqarrub kepada Allah SWT.

Harta Yang Wajib dizakati
         Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah[20], benda yang wajib dizakati selain zakat fitrah adalah sebagaimana tertuang pada Pasal 670 sampai dengan 680 yaitu :
a.      Emas Perak
b.      Uang dan yang senilai dengannya
c.      Zakat perdagangan
d.      Zakat Pertanian
e.      Zakat Pendapatan
f.       Zakat Madu dan sesuatu yang dihasilkan dari binatang
g.      Zakat Profesi
h.      Zakat Barang temuan dan barang tambang;
         Zakat hasil bumi berupa tanam-tanaman, buah-buahan dan perkebunan  yang sudah mencapai nisabnya (750 kg) pada setiap  panen   prosentasenya 10 % bagi tanah yang tadah hujan[21] dan bagi tanah yang membutuhkan alat mekanik prosentasenya 5 % zakatnya[22]. Zakat semua hasil peternakan hewan untuk komoditi seperti ternak kelinci, ayam dan lainnya prosentasenya 2,5 % zakatnya[23]. Emas  bernilai  ± 93,6 gram,  perak  bernilai  ± 624 gram dan semua telah jatuh haul zakatnya  2,5  % [24]. Untuk hasil tambang zakatnya 2,5 % setahun dan barang temuan yang tidak punya nilai sejarah (purbakala) zakatnya 20 %[25].
         Di zaman sekarang ini  modal digunakan untuk berinvestasi  di selain obyek lahan tanah dan perdagangan dengan membangun gedung untuk disewakan dan bangunan pabrik untuk memproduksi. Juga alat tranportasi seperti pesawat, kapal dan mobil, semua itu mempunyai kesamaan dalam satu sifat yaitu zakat tidak diwajibkan atas wujud bendanya  akan tetapi diwajibkan atas pendapatan atau untung yang didapat atau dengan kata lain zakat wajib dikeluarkan dari laba bersih ketika mencapai niusab dan haul[26], sehingga zakatnya 2,5 % laba bersih diakhir tahun.
         Lalu bagaimana dengan zakat proosfesi dan pekerjaan bebas lainnya  ? menurut  Prof. Dr. Wahbah Azzuhaili bahwa ukuran yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % sebagai bentuk pengamalan dengan keumuman teks-teks dalil yang mewajibkan zakat di uangkan  yaitu 2,5 % , baik itu telah mencapai satu haul atau merupakan laba. Jika seorang Muslim mengeluarkan zakat penghasilan pekerjaan atau profesi ketika mendapatannya, maka dia tidak mengeluarkan zakatnya lagi ketika mencapai satu haul. Dengan demikian  orang-orang yang memiliki income terus-menerus mempunyai posisi yang sama dengan seorang petani yang diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil pertanian dan buah etika memanen dan membersihkannya[27].
         Terdapat perbedaan ( variasi ) penyebutan harta yang wajib dizakati menurut UU Nomor 23 Tahun 2011 dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Akan tetapi, menurut hemat penulis, perbedaan penyebutan tersebut, tidak bersifat prinsipil.

Orang yang Berhak menerima zakat

         Al Qur’an telah menyebutkan secara limitatif orang yang berhak menerima  zakat,  yaitu  sebagaimana termaktub dalam surat Al-Taubah ( 9 : 60 ) yang artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
         Menurut ayat tersebut, ada 8 kelompok orang yang diberi legitimasi  sebagai mustahik  yaitu:
1.   Orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2.  Orang miskin : orang yang memiliki pekerjaan yang tidak mencukupi kebutuhannya[28].
3.   Amil (Pengurus zakat): orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Dalam konsep zakat, Amil mempunyai dua posisi sekaligus, yaitu berposisi sebagai mustahiq (objek )dan berposisi sebagai wakil pemerintah yang berfungsi sebegai kolektor dan pengelola zakat ( subjek ).
4.   Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5.   Memerdekakan budak ( Riqab ) : mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6.   Gharim (Orang berhutang): orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7.  Sabilillah (Pada jalan Allah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8.  Ibnu Sabil (Orang yang sedang dalam perjalanan) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya[29]. Musafir yang melintasi satu daerah ke daerah lain dan orang asing yang terputus dari daerahnya dan keluarganya membutuhkan pertolongan dan perhatian karena kondisi keterasingan dan penderitaan yang dialaminya dalam hal materi dan maknawi, meskipun dia orang kaya di daerahnya dan berapapun lama keterasingannya[30]

Peran Negara dan Eksistensi Amil
         Dalam kaitan zakat ini, Islam memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur, mengelola, dan menyampaiakan zakat sesuai tuntutan dan petunjuk-petunjuk Islam[31].Keterlaksanaan zakat tidak bisa lepas dari campur tangan penguasa suatu negara.
         Secara historis, hal ini sudah dapat dilihat sejak zaman Rasulullah SAW. Pada masa ini, ada sejumlah sahabat yang secara khusus ditugasi oleh Rasulullah SAW untuk memungut zakat seperti : Ibnul Lutabiyah, Abu Mas’ud, Uqbah bin Amir, dan Ubadah bin Shamit. Bahkan Umar bin Khattab ra sendiri pernah diutus oleh Rasulullah SAW memungut zakat.  Praktik di zaman Nabi tersebut juga dilanjutkan pada zaman kholifah yang empat. Mereka membuat lembaga ‘amalah ( pegawai ) untuk mengumpulkan zakat. Dengan demikian adanya campur tangan penguasa dalam hal keterlaksanaan zakat adalah sangat mutlak. Praktik yang fenomenal tentang keharusan kepedulian penguasa dalam hal zakat adalah ketika Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq memerangi orang-orang yang ingkar membayar zakat pascakewafatan rasulullah SAW.
         Keterlibatan penguasa tersebut juga memeberikan pengertian  bahwa, secara ideal,  zakat sudah masuk wilayah urusan publik.
Prof. Hasbi menyatakan, bahwa usaha pengumpulan zakat itu masuk dalam tugas penguasa. Oleh karenanya tidak boleh membiarkan pemilik harta menyelesaikan sendiri urusan pemberian zakat, karena zakat itu adalah untuk melindungi nasib orang fakir, dan memelihara keamanan, agama , dan negara[32].
         Dengan telah diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2011 peran Negara terhadap pelaksanaan zakat ini semakin jelas. Pasal 5 UU tersebut tegas-tegas mengamanatkan, bahwa untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS dengan tugas pokok sebagaimana ketantuan Pasal 6 yaitu melakukan pengelolaan zakat secara nasional dengan fungsi sebagaimana tersebut Pasal 7 .
             
Potensi zakat bermasalah, ke Pengadilan Agama
         Bahwa objek zakat saat ini mengalami perkembangan. Hal ini wajar, sebab memang seiring dengan perkembangan peradaban manusia berkembang pula produk yang dihasilkannya. Bebarapa di antaranya dahulu belum ada, atau bahkan belum terbayangkan. Jika dalam kitab-kitab fikih klasik bahkan al-Hadits tidak secara eksplisit menyebut variasi objek zakat seperti yang ada sekarang lebih disebabkan oleh keterbatasan peradaban waktu itu. Akan tetapi, bukan berarti bahwa yang harus dikeluarkan zakat hanya terbatas pada  jenis harta yang ada waktu itu.
         Islam adalah agama yang mengandung ajaran rahmatan lil alamin, yang dalam implementasinya, salah satunya mengajarkan kepedulian sosial.. Islam mengajarkan apabila seseorang memasak daging hendaklah diperbanyak kuahnya dan kemudian memberikan sebagian kepada tetangganya. Ajaran demikian memberikan pengertian, bahwa, apapun yang dirasakan enak oleh sesorang mestinya orang lain juga bisa ikut merasakan. Syari’at zakat diwajibkan antara lain adalah dalam konteks demikian.
         Saat ini jelas banyak sektor jasa. Pendapatan yang dahulu tidak ada tetapi saat ini lebih membuat sejahtera bagi seseorang. Profesi dokter, pengacara, hakim, konsultan yang dalam hitungan jam dapat menghasilkan uang ratusan juta. Pada saat yang sama petani yang dengan sudah payah kepanasan penghasilannya hanya impas saja, atau bahkan mengalami defisit jika dibanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
         Badan Amil Zakat selaku lembaga yang dipercaya oleh agama mengumpulkan zakat suatu saat mungkin juga tidak sepenunya bisa melaksanakan tugasnya secara optimal. Sebagai ilustrasi, misalnya ketika BAZ harus mendatangi wajib zakat agar mengeluarkan zakatnya. Seorang muzakki, meskipun menurut penilaian BAZ sudah waktunya menunaikan zakat, bisa saja berdalih bahwa dia merasa belum wajib zakat atau menyatakan bahwa dia sudah merasa mengeluarkan zakat[33] dengan cara diberikan secara langsung kepada mustahiq.
         Pertanyaan juga muncul, bagaimana seandainya amil ternyata juga tidak amanah dan pada saat yang sama para mustahiq memerlukan dana zakat tersebut.
Dari ilustrasi tersebut dapat diperoleh gambaran kasus, bahwa terdapat banyak potensi masalah pada pelaksanaan zakat. Potensi masalah tersebut bisa dikategorikan sebagai berikut[34] :
1. Sengketa  antara lembaga ( BAZ) dengan Muzakki;
    Ilustrasi berikut :
a.    Ada seseorang yang menurut persepsi sudah wajib zakat akan tetapi ternyata orang tersebut tidak pernah terlihat membayar zakat. Sebagaimana diketahui tugas BAZ sebagai petugas resmi yang dibentuk sebagai perpanjangan tangan pemerintah berhak untuk bersikap proaktif dengan sistem jemput bola dalam pengumpulan zakat. Seorang muzakki ketika didatangi BAZ bisa saja berdalih, bahwa yang bersangkutan telah membagi zakatnya sendiri kepada mustahiq. Atau, bisa saja muzakki berdalih bahwa dia masih belum wajib zakat sebab sekalipun terlihat kaya tetapi juga banyak hutang-hutang atau menjadi debitur di berbagai bank. Sedangkan setelah dikalkulasi antara aktiva dan pasivanya belum mencapai senisab[35].Oleh karenanya Terlepas dari apakah alasan muzakki itu dapat dibenarkan memang nantinya masuk wilayah pembuktian di Pengadilan Agama. Tetapi, yang jelas BAZ punya potensi hak mengadukan muzakki tersebut ke Pengadilan Agama.
 b. Apabila muzakki merasa bahwa zakat yang disetorkan tidak ditasarufkan sesuai peruntukannya.
       Muzakki yang menasarufkan harta zakat sudah barang tentu ingin agar zakat yang dikeluarkan ditasarufkan kepada yang berhak ( mustahiq ). Ketepatan sasaran harta zakat pasti akan melegakan para muzakki. Akan tetapi, sangat mungkin terjadi sebaliknya. Muzakki merasa kecewa, ketika zakat yang dekeluarkan tidak atau belum disalurkan kepada mustakiq, karenanya  terlepas dari apakah yang diinterpretasikan  muzakki tersebut benar atau apakah tindakan BAZ yang dianggap merugikan muzakki tersebut menurutnya dapat dibenarkan, Pengadilan Agamalah yang akan memutuskan setelah mendengar keterangan kedua belah pihak dan berikut bukti-bukti yang diajukan. Dengan demikian, memang dapat dimungkinkan muzakki mengadukan BAZ ke Pangadilan.

         2.    Sengketa antara mustahiq dengan BAZ
       Sebagai ilustrasi adalah apabila terjedi fenomena antara lain sebagai berikut :
a. Mustahiq yang belum pernah mendapat bagian zakat dari BAZ setempat. Mustahiq sebagai individu atau sebagai kelompok tentu merasa dirugikan akibat sikap BAZ.
Contoh kasus :  si A sorang pengusaha. Semula dia memang berkecukupan.        Dengan tampilan rumah yang terlihat mewah dan penampilan sehari-hari yang bersih dan rapi, tidak seorangpun menyangka bahwa dia orang miskin. Tetapi, karena resesi ekonomi usaha yang dibangunnya hancur. Akhirnya, ia menjadi orang kaya yang bangkrut. Dia perlu bangkit untuk membangun kembali usahanya. Oleh karena itu dia perlu modal untuk itu. Dia pun meminjam modal kepada siapapun yang mau menolongnya. Pada saat yang sama dia melihat di daerahnya ada BAZ. Dalam kondisi demikian dimungkinkan dia mengadukan nasibnya ke Pengadilan Agama dengan tujuan utama : pertama agar dinyatakan oleh Pengadilan Agama menyatakan dia sebagai gharim, dan kedua mohon agar BAZ memberikan bagian zakat kepadanya. Karenanya kasus seperti ini bisa diambil model pada mustahiq lain, seperti muallaf, sabilillah, dan ibnu sabil.
              Pada saat yang sama, meskipun tidak ada yang membantah keberadaan 8 asnaf tersebut sebagai penerima zakat, akan tetapi peraturan perundang-undangan yang ada tampaknya belum secara jelas dan tegas memberikan definisi masing-masing kelompok dari 8 asnaf tersebut. Pendefinisian masing-masing kelompok mustahiq tersebut juga berpotensi timbulnya gugatan ke Pengadilan Agama.
b.      Seorang mustahiq merasa dirugikan oleh kepengurusan BAZ dan berikut mustahiq mohon agar pengurus yang bersangutan diberhentikan dan diganti dengan pengurus yang baru. Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 11 UU Nomor 23 untuk dapat diangkat sebagai BAZ dan LAZ diperlukan kualifikasi tertentu[36]. Pertanyaannya adalah, bagaimana jika ternyata seorang anggota BAZ tidak memiliki kualifikasi tersebut dan mustahiq atau masyarakat merasa dirugikan oleh keberadaannya. Pada kasus seperti ini juga dimungkinkan pihak yang marasa dirugikan mengadukannya ke Pengadilan Agama.

        3.   Sengketa muzakki dan Mustahiq melawan BAZ
         Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa muzakki berhak untuk mengontrol secara sosial zakat-zakat yang pernah diserahkan kepada lembaga pengumpul zakat. Sangat mungkin terjadi lembaga pengumpul zakat tersebut menurut penilaian muzakki tidak ditasarrufkan tepat sasaran. Sebagai buktinya, muzakki yang kebetulan orang terpandang karena kekayaannya mendapat pengaduan dari para mustahiq. Dalam kondisi demikian ada dua kelompok orang yang merasa dirugikan akibat perbuatan BAZ. Karenanya  dapat diprediksikan bahwa ada kemungkinan perkara zakat ini dilakukan dengan bentuk class action, dalam hal ini para mustahiq  baik dari satu kelompok mustahiq ( beberapa orang fakir miskin, misalnya ) atau berbagai kelompok mustahiq ( fakir, miskin, sabilillah ) ke  Pengadilan Agama.
         Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 memang tidak secara tegas menyebut bahwa ketentuan pidana menjadi kewengan Peradilan Umum. Akan tetapi, membaca pasal tersebut harus dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Pasal UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Oleh karena yang diatur dalam pasal-pasal UU tersebut masalah pemidanaan masalah zakat yang berkaiatan dengan ketentuan pidana jelas menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Kemudian, apakah di luar masalah itu mutlak ( secara absolut ) otomatis menjadi kompetensi peradilan agama ?.
         Pasal 49 tegas menyebutkan bahwa zakat menjadi salah satu kewenagan Pengadilan Agama. Kewenangan tersebut secara operasional disebut dalam ketentuan Pasal 684 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Dalam pasal ini dimuat ketentuan sebagai berikut : Barang siapa yang melanggar ketentuan zakat maka akan dikenai sanksi sebagaimana diatur sebagai berikut :
a.   Barang siapa yang tidak menunaikan zakat maka akan dikenai denda dengan jumlah tidak melebihi dari besar zakat yang wajib dikeluarkan;
b.  Denda sebagaimana dimaksud dalam angka (1) didasarkan pada putusan pengadilan;
c.    Barang siapa yang menghindar dari menunaikan zakat, maka dikenakan denda dengan jumlah tidak melebihi 20 persen dari besar besarnya zakat yang harus dibayarkan.
d.   Zakat yang harus dibayarkan ditambah dengan denda dapat diambil secara paksa oleh juru sita untuk diserahkan kepada badan amil zakat;
Kata “pengadilan” dalam pasal tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka        ( 8 ) Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, harus dibaca “Pengadilan Agama.”
Dari ketentuan pasal tersebut, kaitannya dengan zakat ini, Pengadilan Agama jelas-jelas mempunyai kompetensi absolut menangani persoalan denda yang berkaitan dengan zakat. Padahal, selama ini lembaga denda menjadi kompetensi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
         Lantas diajukan ke Pengadilan Agama manakah sebuah gugatan atau permohonan menegenai perkara yang berkaitan dengan zakat ?  Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara yang beraku di peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Oleh karena undang-undang ini hanya mengatur bidang perceraiaan, maka di luar itu harus tunduk pada hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Dengan demikian perkara yang berkaitan sengketa zakat harus tunduk pula pada hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Hukum Acara dimaksud sudah barang tentu HIR dan RBg.
         Dengan mengacu kepada ketentuan hukum acara tersebut, dapat diketahui ke pengadilan agama manakah sebuah perkara mengenai zakat diajukan.
Menurut ketentuan Pasal 142 HIR diperoleh pengertian sebagai berikut :
a. Gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat;
b.  Jika tempat tinggal tidak diketahui diajukan di tempat tinggal yang sebenarnya;
c.   Jika tergugat berada di wilayah beberapa Pengadilan Agama, gugatan diajukan di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat salah seorang Tergugat; dst

Hukum Acara:
         Hukum acara mengenai pelaksanaan zakat ini harus mengacu hukum acara pada pengadilan di lingkungan peradilan umum, dalam hal ini menggunakan HIR[37] untuk Jawa dan Madura atau RBg[38] untuk luar Jawa dan Madura.

Pengetahuan Teknis Beracara:
         Secara filosofis adanya gugatan ke pengadilan adalah karena ada pihak yang dirugikan hak-haknya. Pada saat yang sama hukum materiil memberikan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diberikan kepada yang seharusnya menerima. Ketika hak-hak tersebut tidak didapatkannya dan ternyata yang menyebabkannya adalah orang lain atau lembaga, maka orang lain atau lembaga tersebut berhak dijadikan pihak untuk digugat. Alasannya, merekalah yang menyebabkan ia terhalang memperoleh hak-hak tersebut. Dalam hal ini pihak yang menyebabkan hak seseorang  terhalang atau tidak dia  dapat adalah pihak yang menyebabkan kerugian, yang oleh karenanya perlu digugat, dan pihak yang terhalang memperoleh haknya adalah pihak yang dirugikan dan oleh karenanya perlu menggugat.
         Hanya saja dalam praktik memang tidak mudah membuat formulasi atau rumusan gugatan tersebut. Sebab, rumusan sebuah gugatan terikat dengan formalitas tertentu, seperti bagaimana membuat sebuah gugatan yang benar (merumuskan posita atau petitum). Hal ini sudah menyangkut masalah teknik hukum yang apabila tidak dipatuhi dapat menyebabkan kegagalan seseorang memperolah hak yang digugat di pengadilan. Dengan demikian, diperlukan pengatahuan teknis mengenai hal ini bagi siapa saja yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan.
         Sekalipun demikian, pengetahun teknis masih belum cukup. Masih diperlukan kreativitas teknis beracara. Banyak persoalan hukum dan telah menjadi kasus riil di masyarakat yang mestinya, secara hukum acara,  bisa diajukan ke pengadilan, tetapi jarang atau tidak pernah muncul. Penyebabnya adalah kekurangkreativan pihak masyarakat, dalam hal ini juga termasuk para lawyer[39].Demikian juga masalah zakat ini. Pelaksanaan di lapangan mengenai beracara di Pengadilan, selain diperlukan pengetahuan teknis yang lebih penting adalah daya kreativitas para pengaju perkara. Kreativitas dimaksud adalah kemampuan ‘mereka-reka’  sebuah persoalan sehingga muncul sebuah kasus yang dapat diajukan di pengadilan dan dimungkinkan secara hukum, baik hukum materiil maupun formil. Hal ini dikemukakan bukan dalam konteks mencari-cari perkara, tetapi harus difahami dalam konteks penegakan hukum yang muaranya tidak lain demi penegakan keadilan di masyarakat.

Peran Hakim Peradilan Agama:
         Hakim Peradilan Agama adalah hakim di mata hukum dan ulama di mata masyarakat. Jargon ini terlanjur melekat pada profil hakim pengadilan agama. Dia selain harus mempunyai kesalehan secara institutusional juga harus mempunyai kesalehan secara sosial. Kesalehan secara institusiaonal adalah ‘kepatuhan’ setiap hakim peradilan agama dalam memenuhi standar kualifikasi keilmuan, keterampilan, dan moralitas dalam melakukan tugas teknis sebagai seorang hakim pada umumnya. Kaitannya dengan persoalan lembaga hukum zakat ini, hakim peradilan agama tidak boleh menolak mengadili karena hukum tidak jelas[40]. Hal ini jelas menuntut hakim peradilan agama memiliki keluasan dan penguasaan ilmu mengenai hukum, baik mareriil maupun formil. Apabila tidak ditemukan dalam hukum tertulis Hakim Pengadilan Agama harus bisa menggali melalui hukum-hukum tak tertulis[41]. Ketika persoalan zakat ini masuk di pengadilan agama, harus dilihat dari berbagai perspektif baik secara yuridis formal dan yuridis material. Dan, oleh karena masalah zakat adalah salah satu masalah agama yang sangat urgen, hakim yang menangani perkara zakat juga harus melihatnya dari perspektif ilmu keagamaan (perspective of religious knowledge)
         Dari perspektif yuridis, formal hakim peradilan agama yang menangani zakat harus menggali nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat dengan cara melalukan penemuan hukum. Secara sosial, hakim peradilan agama perlu melihat dampak jika zakat tidak terlakasana. Dari perspektif ilmu keagamaan hakim peradilan agama harus tahu visi dan misi tentang syariat zakat,  antara lain,  bahwa syari’at zakat apabila tidak dilaksanakan   tidak saja berdampak merugikan mustahiq, tetapi juga berdampak negatif bagi muzakki, baik di dunia maupun akhirat.
         Ilustrasi berfikir tersebut kiranya dapat dijadikan motivasi bagi Hakim untuk ikut mempunyai tanggung jawab moral terhadap keterlaksanaan zakat sesuai kompetensi yang dimilikinya. Tanggung jawab tersebut, diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab hukum berikut penuangannya dalam putusan. Seberapa integritas keilmuan hakim akan tercermin pada bentuk lahir dan ruh putusan yang dibuat.

Teknik beracara :
- Pengaju Perkara
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam perkara perdata pihak yang mengajukan perkara adalah pihak yang berkepentingan  berkedudukan secara hukum. Apababila masalah zakat sebagai perkara kontensius, maka pihak yang berkepentingan secara hukum adalah orang merasa dirugikan. Tatacaranya dapat dimungkinkan terjadi dengan cara.
 - Individual. Yaitu diajukan oleh seseorang atau Kuasanya guna mewakili kepentingannya;
                   Badan Hukum, seperti BAZ atau LAZ yang dalam hal ini diwakili oleh seorang atau beberapa Kuasa Hukum yang sah.
                   Gugatan Perwakilan Kelompok (GPK) sebagaimana diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2002 atau lazim dikenal sebagai Class Action. GPK ini dimungkinkan karena sesuai ketentuan Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2011, masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ. Akibat peluang dalam bentuk peran pembinaan dan pengawasan memungkinkan masyarakat yang merasa dirugikan oleh BAZ atau LAZ mengajukan perkara ke Pengadilan Agama dalam bentuk GPK.

Jenis perkara
         Sebagaimana diketahui perkara perdata yang diadili oleh Pengadilan Agama digolongkan menjadi 2 jenis perkara, yaitu perkara volunter yang biasanya diputus dengan produk hukum penetapan dan perkara kontensius yang biasanya diputus dengan produk putusan. Pertanyaan apakah perkara zakat bisa meliputi 2 jenis perkara tersebut ? Sebelum memberikan jawaban ada baiknya dikemukakan contoh ketentuan dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 sebagai berikut:
Pasal 17  UU No 23  tahun 2011  :
Untuk membantu BAZNAZ dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan zakat, masayarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 18 :
“Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau Pejabat yang ditunjuk menteri.
Untuk mempeoleh izin tersebut diperlukan sejumlah syarat sebagaiman tersebut pada ayat (2).
         Dari ketentuan mengenai LAZ tersebut terdapat 2 hal yaitu : pertama legalitas dan syarat memperoleh legalitas. Bisa jadi LAZ telah memperoleh legalitas karena telah dibentuk secara resmi oleh ormas tertentu akan tetapi persyaratan memperoleh legalias belum terpenuhi. Perkara yang mungkin muncul dari kasus tersebut adalah perkara gugatan dalam bentuk kontensius yaitu menggugat ke Pengadilan Agama agar LAZ tersebut dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Atau bisa saja terjadi yang berangkutan telah merasa telah mempnyai lehalitas tetapi pemerintah tidak mengakui dan sikap pemerintah tersebut diwujudkan dalam suatu tindakan berupa tidak memberikan izin beroprasi secara tertulis.
         Dalam kasus ini perkara yang mungkin muncul adalah adanya permohonan ke Pengadilan Agama agar LAZ tersebut dinyatakan sah  sebagai LAZ. Dalam hal ini,perkara yang masuk bisa berupa permohonan murni ( volunter ). Dari sisi hukum acara, persoalan yang mungkin timbul adalah apakah Pengadilan Agama berwenang menerima dan mengadili perkara ini. Sebab, menurut asas,pengadilan pada prinsipnya dilarang mengadili suatu perkara volunteer kecuali secara tegas disebutkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengadilinya.
         Begitu perkara tersebut masuk ke Pengadilan Agama, Hakim tentu tidak boleh menolak untuk mengadili. Tentang, apakah diterima atau tidak diterima, dikabulkan atau ditolak, sudah barang tentu sangat bergantung dengan ijtihad Hakim yang bersangkutan dan  hal ini kadang-kadang juga sangat bergantung dengan kedalaman ilmu dan keluasan wawasan sang Hakim.

Pihak Yang digugat
         Dalam persoalan perdata pihak yang dijadikan sebagai tergugat adalah pihak yang dianggap merugikan penggugat. Tentang siapa saja yang dianggap merugikan tersebut telah diilustrasikan dalam pembahasan sebelumnya.

Format gugatan
         Mengenai format permohonan atau gugatan mengenai persoalan zakat ini dapat mengacu pada ketentuan mengenai cara beracara perdata pada umumnya, yaitu :
- Dari segi cara pengajuannya : diajukan secara tertulis sesuai dengan ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR ayat (1) / Pasal 142 ayat (1) RBg  atau diajukan secara lisan sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg;
- Dari segi isinya : harus memuat identitas, fundamentum petendi dan petitum[42]

KESIMPULAN
Dari tulisan diatas penulis dapat disimpulkan  sebagai berikut :
1.        Bahwa zakat adalah masalah ijtihad dan ihtiyad seseorang, untuk melaksanakan perintah agama dan mentaati ulil amri melalui peraturan perundangan yang terkait.
2.        Bahwa masalah zakat dapat  menjadi persoalan litigatif pada pokoknya berkaitan dengan 3 unsur yaitu:  muzakki,  mustahik, dan  amil;
3.        Bahwa kaitannya dengan Pengadilan Agama  masalah zakat bisa berbentuk volunter maupun kontensius;
4.        Bahwa persoalan zakat termasuk dalam ranah hukum perdata maka teknik beracaranya sama dengan teknik persoalan perdata lainnya.

         SARAN
                  Masih banyak masyarakat muslim Indonesia yang belum terjangkau peraturan perundangan tentang pengelolaan zakat dan berbagai peraturan organik lainnya, karena itu perlu dan sangat penting untuk terus-menerus  disosialisasikannya agar masyarakat muslim sadar akan pentingnya manunaikan zakat.

          PENUTUP
         Demikian tulisan ini semoga bermanfaat, segala kekurangannya mohon dimaafkan,  terimakasih.

Blitar, 5  Maret 2018
Penulis


Drs.  H.  Sudono Al-Qudsi,  M.H.

Tentang Penulis :

Drs. H. Sudono Al-Qudsi, M.H. , lahir di Kudus 12 Agustus 1962, menempuh pendidikan formal : tamat MI Miftahul Falah di Kudus tahun 1974,  MtsN  Jember  1984, IAIN SUNAN AMPEL PONOROGO 1989,    S 2  ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2007, PENDIDIKAN CAKIM 1994/1995 di Bandung.  Pendidikan non formal di : PonPes Mabdaul Ma’arif  Jombang Jember 1977 s/d 1984, di PonPes Assuniyyah Kencong Jember 1981 s/d 1984, di PonPes Manbaul Hikmah Pasar Pon Kotalama Ponorogo 1984 s/d 1989 dan pernah bertugas dan menjadi Hakim PA Dabo Singkep Riau 1990 s/d 2001, Hakim PA Purbalingga 2001 s/d 2004, Hakim PA. Banyuwangi 2004 s/d 2010, Hakim PA. Lumajang 2010 s/d 2013, dan sejak 2013  s/d sekarang Hakim di PA. Blitar.









[1] Adalah Hakim Madya Utama Pengadilan Agama Blitar kelas 1 A.
[2] Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 6, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, jakarta, cetakan ketujuh , 2006, hal.1986.
[3] Ibid.
[4] Penjelasan  Atas UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
[5] Pasal 1 UU  Nomor 23 Tahun 2011  Tentang  Pengelolaan Zakat.
[6] Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 2011  Tentang  Pengelolaan Zakat.
[7] Pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 2011  Tentang  Pengelolaan Zakat.


[8] Pasal 16  UU  Nomor 23 Tahun 2011  Tentang  Pengelolaan Zakat.
 [9] Pasal 28 ayat (2)  UU  Nomor 23 Tahun 2011  Tentang  Pengelolaan Zakat.
[10] Pasal 34 UU  Nomor 23 Tahun 2011  Tentang  Pengelolaan Zakat.
[11] Pasal 36 ayat (1) UU  Nomor 23 Tahun 2011  Tentang  Pengelolaan Zakat.
[12] PP nomor 14 tahun 2014 tentang pelaksanaan UU No 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.
[13] Taqiyyudin, Kifayat al-Akhyar, Juz I, hal. 172.
[14] Ibid
[15] Yusuf al Qardhawy, Fiqh al Zakat, al- Risaalah, Beirut, 1981, 994
[16] Dr. Tengku H.Muslim Ibrahim, Hubungan Antara Zakat dan Pajak ( makalah dalam Zakat dan Pajak), hal,170-171.
[17]Al Kasaany, Bada-i’ al-Shanaa’iy, Al Ilmiyah Cairo, 1327 H, Juz II halaman 11 Bandingkan dengan Msyfuq Zuhdi dalam  Masail Fiqhiyyah ,halaman  215
[18]Tengku H Muslim Ibrahim, halaman 177.
[19]Ibid, halaman 183.
[20]Disebarluaskan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008. Menurut hemat penulis, memasukkan lembaga Hukum Zakat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dari segi rumusannya memang  kurang sejalan ( sinkron ) dengan undang-undang. Dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 zakat dibahas secara terpisah. zakat, di satu pihak dan ekonomi syari’ah, di pihak lain. Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah zakat merupakan bagian (spesies) dari ekonomi syari’ah.
[21]Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, CV Haji Masagung, Jakarta, Cetakan kedua, 1989, halaman 123.
[22] Al-Suyuti, Al-jami’ al-Shaghir, Juz 2, Cairo, Mustafa al-Babi al- Halabi, 1954, Hal. 79-80
[23] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 1 Cairo, Musthafa al-babi al-Halabi,  wa auladuh, 1339, hal. 217
[24] Sayid Sabiq, Fiqh al  Sunnah, Juz  1, Darul Fikar ,  Libanon, 1981, hal.286-287, 291-293.
[25] Masjfuk Zuhdi, Op.cit., hal. 124.
[26] Wahbah Azzuhaili,Alfiqh  Al Islami Wa Adillatuhu, Juz 2 , Darl Fikr, Damaskus, 2008, hal.775.
[27] Ibid, hal. 777
[28] Jaribah Bin Ahmad ALlHaritsi, Fikih Ekonomi Umar Bin  Khathab, Penerjemah H. Asmuni solihin Zamakhsyari, L.c, DarAl-Andalus Al-Khadra, Jeddah SaudiArabia, cetakan 1, 1424/2003, hal. 294.
[29]Catatan kaki sebagai penjelasan terjemahan ayat tersebut.
[30] Jaribah Bin Ahmad AllHaritsi, Op.cit.hal. 301.
[31] Ibrahim Hosen, Hubungan Zakat dan Pajak dalam Islam, ( Makalah dalam Zakat dan Pajak ), PT Bina Rena Pariwara, Jakarta, halaman 149.
[32] Hasbi Ash Shiddiqie, Pedoman Zakat, Bulan Bintang Jakarta, 1991, halaman 86.
[33]Pasal  21 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2011 muzakki diberi kewenangan melakukan penghitungan sendiri.

[34]Potensi masalah mengenai kasus zakat ini telah diprediksikan oleh Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :KMA/o32/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006 jo Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 012/KMA/SK/II 2007 tanggal 5 Februari 2007. Hanya saja dalam Buku II tersebut belum dijelaskan secara detail. ( vide : Mahkamah Agung RI. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, halaman 175.
[35]Kemungkin terjadi sebab menurut ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2011 pada prinsipnya muzakki dapat melakukan penghitungan sendiri kewajiban zakatnya.

[36]Pasal 11 UU Nomor 23 Tahun 2011 untuk dapat diangkat sebagai BAZ harus memenuhi syarat : a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertakwa kepada Allah SWT; d. berakhlak mulia; e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun; f. sehat jasmani dan rohani; g. tidak menjadi anggota partai politik; h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat; dan i. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.


[37]Disebut juga Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB)  yang keberlakuannya berdasarkan Stb. 194 No.44.
[38]Disebut juga Reglemen Daerah Seberang yang keberlakuannya berdasarkan Stb. No. 227 Tahun 1927.
 [39] Contoh, masalah takliq talak dengan alasan suami selama tiga bulan lamanya tidak memberikan nafkah wajib kepada istri , masalah gugat provisi nafkah untuk istri dan anak selama proses percaraian, sita marital bersararkan Pasal 75 KHI terhadap harta bersama karena alasan suami pemboros, penjudi, dsb.
[40]UU Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 (1) tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
[41]Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009. : ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

[42]M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, halaman 48-68. Dalam Buku ini secara panjang lebar telah dikupas mengenai kaidah-kaidah seputar formulasi sebuah gugatan yang benar. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar