KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA MENERIMA DAN MENGADILI
PERKARA ZAKAT
Oleh : Drs. H. Sudono AL-Qudsi, M.H.[1]
Pendahuluan
Zakat
sebagai salah satu rukun Islam, berdimensi vertikal ( hablun minallah)
juga berdimensi horisontal ( hablun minan nas ). Penggunaan
lafal zakat dengan segala bentuknya di dalam Al-Quran terulang sebanyak 30 kali
dan 27 kali diantaranya digandengkan dengan kewajiban mendirikan salat[2] . Ketika
Rasulullah SAW wafat dan kepemimpinan umat Islam digantikan oleh Abu Bakar as
Shiddiq ada sekelompok orang yang oleh khalifah diagendakan untuk diperangi.
Mereka itu adalah orang yang ingkar untuk membayar zakat. Keadaan tersebut
menjadi bukti bahwa zakat merupakan bagian ajaran agama Islam yang sangat
penting dan karenanya tidak dapat diabaikan oleh setiap kaum
muslimin. Karenanya pula, di negara-negara Islam zakat dijadikan sebagai salah
sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya, di samping wakaf. Al-Qur’an juga menggunakan lafal “as-sadaqah”
(sedekah) dengan makna zakat , seperti dalam surat at-Taubah (9) ayat 58, 60
dan 103. Di dalam hadis Rasulullah SAW
dijumpai juga lafal “as-sadaqah” yag berarti zakat , diantaranya hadis :
kurang dari lima wasaq (652,8/653 kg) tidak dikenai sedekah
(zakat)...HR. al-Bukhari dan Muslim) dan beritahulah mereka bahwa Alah
mewajibkan sedekah (zakat) yang diambilkan dari harta orang-orang kaya....(HR
al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah,dan Ahmad bn
Hanbal)[3].
Di Indonesia, sebagai negara yang
berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun bukan negara Islam, juga telah
menaruh kepedulian terhadap salah satu aspek syari’at yang diwajibkan sejak
tahun ketiga hijriyah ini. Kepedulian tersebut, sebagai puncaknya, adalah
ketika diundangkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011. Dari
Undang-Undang inilah lahir istilah BAZNAS, BAZNAS Propinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota.
Untuk membantu
BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat,
masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pembentukan LAZ wajib
mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib
melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan
keuangan. Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat
Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan
memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat
didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan
peningkatan kualitas umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak,
sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat
Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan
harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri. Untuk melaksanakan
tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak
Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara[4].
Beberapa istilah dalam zakat :
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2. Zakat
adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
3. Infak
adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat
untuk kemaslahatan umum.
4.
Sedekah adalah harta atau nonharta yang
dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan
umum.
5.
Muzaki adalah seorang muslim atau badan
usaha yang berkewajiban menunaikan
zakat.
6. Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7. Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS
adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
8. Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang
dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat.
9. Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah satuan organisasi
yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
10. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
11.
Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat
yang dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam pengelolaan zakat sesuai
syariat Islam.
Pengelolaan zakat berasaskan:
a.
syariat Islam; b. amanah; c. kemanfaatan; d. keadilan; e. kepastian hukum; f. terintegrasi; dan g. akuntabilitas.
Tujuan Pengelolaan
zakat
a. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
b. Meningkatkan
manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskinan.
Zakat
mal dan zakat fitrah
:
Zakat mal meliputi : a. emas, perak, dan logam mulia lainnya; b. uang dan surat berharga lainnya; c. perniagaan; d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan; e. peternakan dan perikanan f. pertambangan; g. perindustrian; h. pendapatan dan jasa; dan i. rikaz[6],
yang dimiliki oleh muzaki perseorangan atau badan usaha. Sedangkan Syarat
dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pelaksana
Pengelolaan zakat :
Dilaksanakan oleh BAZNAS
(lembaga Pemerintah non struktural – langsung bertanggungjawab kepada Presiden.
Fungsi BAZNAS adalah : a. perencanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b. pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c. pengendalian
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; d. pelaporan
dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Selanjutnya BAZNAS
melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui
Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Keanggotaan BAZNAS
Keanggotaan Baznas terdiri 11 orang, 8
dari unsur masyarakat (ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam)
dan 3 dari unsur pemerintah (dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan
zakat). Lalu 1 orang menjadi ketua , 1 orang menjadi wakil ketua[7]. Masa
kerja anggota BAZNAS 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan. Yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Menteri setelah mendapat pertimbangan DPR RI. Ketua dan wakil ketua BAZNAS
dipilih oleh anggota dengan dibantu sebuah sekretariat – yang akan diatur Peraturan Pemerintah.
Persyaratan anggota BAZNAS
Untuk menjadi anggota BAZNAS adalah
: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertakwa kepada Allah SWT; d. berakhlak mulia; e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun; f. sehat jasmani dan rohani; g. tidak menjadi anggota partai politik; h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan
zakat; dan i. tidak pernah dihukum
karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun.
Berakhirnya anggota
BAZNAS
Diantara berakhirnya anggota
BAZNAS adalah : a.
meninggal dunia; b. habis masa jabatan; c.
mengundurkan diri; d. tidak dapat
melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus menerus; atau e. tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.
BAZNAS Propinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota
BAZNAS Provinsi dibentuk oleh Menteri
atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS, sedangkan BAZNAS
kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul
bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. Kalau tidak mengusulkan
pembentukan BAZNAS, Menteri atau pejabat
yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota
setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ
pada : - instansi pemerintah, - badan
usaha milik negara, -badan usaha milik
daerah, -perusahaan swasta, -dan
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri,
-serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, -kelurahan, -atau
nama lainnya, - dan tempat lainnya dan mengenai organisasi dan tata kerja
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota diatur Peraturan Pemerintah[8].
L A
Z
Lembaga Amil
Zakat wajib mendapat izin Menteri atau
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri dengan
syarat: a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b. berbentuk lembaga berbadan hukum; c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d. memiliki pengawas syariat; e. memiliki kemampuan teknis, administratif,
dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f. bersifat nirlaba; g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat
bagi kesejahteraan umat; dan h. bersedia
diaudit syariat dan keuangan secara berkala. Kemudian LAZ wajib melaporkan
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah
diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
PENGUMPULAN ZAKAT
Undang-Undang memberkan kebebasan
kepada Muzaki melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya. Bila
tidak mampu Muzaki dapat meminta bantuan BAZNAS. Zakat yang dibayarkan oleh
muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. BAZNAS
atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap
muzaki. Bukti setoran zakat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak
kareanya Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat
Islam. Pendistribusian zakat, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan
memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
PENDAYAGUNAAN
ZAKAT
Pendayagunaan zakat adalah untuk usaha
produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat
dan dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
INFAK, SEDEKAH, DAN DANA SOSIAL KEAGAMAAN LAINNYA
BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam sesuai dengan peruntukkan yang
diikrarkan oleh pemberi[9]. Pengelolaan infak,
sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya harus dicatat dalam
pembukuan tersendiri. Untuk BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan
lainnya kepada BAZNAS provinsi dan pemerintah daerah secara berkala. Sedangkan LAZ
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara
berkala. Demikian juga BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada
Menteri secara berkala dan diupayakan Laporan neraca tahunan BAZNAS diumumkan
melalui media cetak atau media elektronik.
PEMBIAYAAN
BAZNAS dibiayai
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. BAZNAS provinsi dan
BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) UU No 23
tahun 2011 dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil
dan pembiayaan LAZ dapat menggunakan Hak Amil untuk membiayai kegiatan
operasional.
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Menteri
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS
kabupaten/kota, dan LAZ. Sedangkan Gubernur dan bupati/walikota melaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan
LAZ sesuai dengan kewenangannya[10]. Yang meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan
edukasi.
PERAN
SERTA MASYARAKAT
Masyarakat dapat
berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ dalam rangka : a. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
menunaikan zakat melalui BAZNAS dan LAZ; dan b. memberikan saran untuk
peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ. Pengawasan
dilakukan dalam bentuk:
a. akses terhadap informasi tentang
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ; dan b. penyampaian
informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh BAZNAS dan LAZ.
SANKSI
ADMINISTRATIF
LAZ wajib
melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala. BAZNAS atau LAZ wajib
memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. Pendistribusian dan pendayagunaan infak,
sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan
yang diikrarkan oleh pemberi. Lalu untuk Pengelolaan infak, sedekah, dan dana
sosial keagamaan lainnya harus dicatat dalam pembukuan tersendiri. LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada
BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala dan kalau tidak maka dikenai sanksi
administratif berupa: a. peringatan
tertulis; b. penghentian sementara dari
kegiatan; dan/atau c.
pencabutan izin[11].
LARANGAN
Setiap
orang dilarang melakukan tindakan memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual,
dan/atau mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau dana sosial keagamaan
lainnya yang ada dalam pengelolaannya. Setiap orang dilarang dengan sengaja
bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau
pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
KETENTUAN PIDANA
-
Setiap orang
yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai
dengan ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
-
Setiap orang
yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-
Setiap orang
yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
-
Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan.
-
Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 merupakan pelanggaran.
Dalam
hal di suatu komunitas dan wilayah tertentu belum terjangkau oleh BAZNAS dan
LAZ, kegiatan Pengelolaan Zakat dapat dilakukan oleh perkumpulan orang,
perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir
masjid/musholla sebagai amil zakat , dilakukan dengan memberitahukan secara
tertulis kepada kepala kantor urusan agama kecamatan[12].
Aspek-aspek
litigasi permasalahan zakat
Menurut Bahasa Zakat berarti al-namuwu, al
barakah, dan katsrat al-khair[13]. Menurut Istilah : Sebutan untuk kadar
harta tertentu yang ditasarufkan kepada ashnaf dengan
syarat-syarat tertentu[14].
Sedangkan Al Qardhawi, mendefinisikan zakat sebagai berikut : Hak tertentu
yang diwajibkan Allah SWT pada harta-harta orang Islam untuk diberikan kepada
pihak-pihak yang telah ditentukan oleh Allah dalam Al Qur’an, seperti fakir,
miskin, dan lain-lain sebagai rasa syukur kepada nikmat Allah SWT, cara untuk
bertaqarub kepadanya, pembersihan jiwa dan harta[15].
Dari definisi tersebut setidaknya ada 5 unsur zakat,
yaitu[16]:
a.
Hak tertentu. Maksudnya, hak itu telah ditentukan bentuk dan kadarnya,
yaitu 2,5 persen, 5 persen, 10 persen sehingga kalau ada seruan untuk mengambil
zakat itu lebih dari kadar yang ditentukan maka kelebihannya itu bukan zakat.
Kadar persentasi tersebut dikeluarkan setelah mencapai nisab misalnya senilai
85 gram emas. Nilai harta itu yang dihitung tersebut setelah dipotong seluruh
kebutuhan pokok pemilik harta dan nafkah semua orang yang menjadi
tanggungannya. Kebutuhan pokok itu meliputi : perumahan, perabot, pakaian,
kendaraan, buku/kitab, alat-alat ketrampilan dalam batas yang sekedar mencukupi[17].
b. Zakat
diwajibkan Allah SWT.
Sekalipun zakat diwajibkan akan tetapi
pemenuhannya tetap mempertimbangkan sumber penghasilan, beban tanggungan,
hutang, dan lain-lain[18].
c. Zakat
diambil dari harta orang Islam.
Maksudnya
harta milik non Islam tidak wajib dizakati sekalipun harta itu berada ditangan
orang Islam. Oleh karena itu dalam konsep Islam Muzakki dapat mengontrol
pemanfaatannya. Malahan, tidak salah jika zakat itu dibagi sendiri oleh muzakki[19].
d. Zakat diberikan kepada
pihak-pihak yang telah ditentukan oleh Allah dalam Al Qur’an.
e. Zakat
dikeluarkan sebagai sarana bertaqarrub kepada Allah SWT.
Harta Yang Wajib dizakati
Menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah[20], benda
yang wajib dizakati selain zakat fitrah adalah sebagaimana tertuang pada Pasal
670 sampai dengan 680 yaitu :
a. Emas
Perak
b. Uang
dan yang senilai dengannya
c. Zakat
perdagangan
d. Zakat
Pertanian
e. Zakat
Pendapatan
f. Zakat
Madu dan sesuatu yang dihasilkan dari binatang
g. Zakat
Profesi
h. Zakat
Barang temuan dan barang tambang;
Zakat hasil
bumi berupa tanam-tanaman, buah-buahan dan perkebunan yang sudah mencapai nisabnya (750 kg) pada
setiap panen prosentasenya 10 % bagi tanah yang tadah hujan[21]
dan bagi tanah yang membutuhkan alat mekanik prosentasenya 5 % zakatnya[22].
Zakat semua hasil peternakan hewan untuk komoditi seperti ternak
kelinci, ayam dan lainnya prosentasenya 2,5 % zakatnya[23].
Emas bernilai ± 93,6 gram,
perak bernilai ± 624 gram dan semua telah jatuh haul
zakatnya 2,5 % [24].
Untuk hasil tambang zakatnya 2,5 % setahun dan barang temuan yang tidak punya
nilai sejarah (purbakala) zakatnya 20 %[25].
Di
zaman sekarang ini modal digunakan untuk
berinvestasi di selain obyek lahan tanah
dan perdagangan dengan membangun gedung untuk disewakan dan bangunan pabrik
untuk memproduksi. Juga alat tranportasi seperti pesawat, kapal dan mobil,
semua itu mempunyai kesamaan dalam satu sifat yaitu zakat tidak diwajibkan atas
wujud bendanya akan tetapi diwajibkan
atas pendapatan atau untung yang didapat atau dengan kata lain zakat wajib
dikeluarkan dari laba bersih ketika mencapai niusab dan haul[26],
sehingga zakatnya 2,5 % laba bersih diakhir tahun.
Lalu
bagaimana dengan zakat proosfesi dan pekerjaan bebas lainnya ? menurut
Prof. Dr. Wahbah Azzuhaili bahwa ukuran yang wajib dikeluarkan adalah
2,5 % sebagai bentuk pengamalan dengan keumuman teks-teks dalil yang mewajibkan
zakat di uangkan yaitu 2,5 % , baik itu
telah mencapai satu haul atau merupakan laba. Jika seorang Muslim mengeluarkan
zakat penghasilan pekerjaan atau profesi ketika mendapatannya, maka dia tidak
mengeluarkan zakatnya lagi ketika mencapai satu haul. Dengan demikian orang-orang yang memiliki income
terus-menerus mempunyai posisi yang sama dengan seorang petani yang diwajibkan
mengeluarkan zakat dari hasil pertanian dan buah etika memanen dan
membersihkannya[27].
Terdapat
perbedaan ( variasi ) penyebutan harta yang wajib dizakati menurut UU Nomor 23
Tahun 2011 dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Akan tetapi, menurut hemat
penulis, perbedaan penyebutan tersebut, tidak bersifat prinsipil.
Orang yang
Berhak menerima zakat
Al
Qur’an telah menyebutkan secara limitatif orang yang berhak menerima zakat, yaitu
sebagaimana termaktub dalam surat
Al-Taubah ( 9 : 60 ) yang artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Menurut ayat
tersebut, ada 8 kelompok orang yang diberi legitimasi sebagai
mustahik yaitu:
1. Orang fakir:
orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk
memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin : orang yang memiliki
pekerjaan yang tidak mencukupi kebutuhannya[28].
3. Amil (Pengurus
zakat): orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Dalam
konsep zakat, Amil mempunyai dua posisi sekaligus, yaitu berposisi
sebagai mustahiq (objek )dan berposisi sebagai wakil
pemerintah yang berfungsi sebegai kolektor dan pengelola zakat ( subjek ).
4. Muallaf: orang
kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya
masih lemah.
5. Memerdekakan
budak ( Riqab ) : mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan
oleh orang-orang kafir.
6. Gharim (Orang
berhutang): orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat
dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara
persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu
membayarnya.
7. Sabilillah (Pada jalan
Allah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara
mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga
kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan
lain-lain.
8. Ibnu Sabil (Orang yang
sedang dalam perjalanan) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya[29].
Musafir yang melintasi satu daerah ke daerah lain dan orang asing yang terputus
dari daerahnya dan keluarganya membutuhkan pertolongan dan perhatian karena
kondisi keterasingan dan penderitaan yang dialaminya dalam hal materi dan
maknawi, meskipun dia orang kaya di daerahnya dan berapapun lama keterasingannya[30]
Peran Negara
dan Eksistensi Amil
Dalam
kaitan zakat ini, Islam memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur,
mengelola, dan menyampaiakan zakat sesuai tuntutan dan petunjuk-petunjuk Islam[31].Keterlaksanaan
zakat tidak bisa lepas dari campur tangan penguasa suatu negara.
Secara
historis, hal ini sudah dapat dilihat sejak zaman Rasulullah SAW. Pada
masa ini, ada sejumlah sahabat yang secara khusus ditugasi oleh Rasulullah
SAW untuk memungut zakat seperti : Ibnul Lutabiyah, Abu Mas’ud, Uqbah
bin Amir, dan Ubadah bin Shamit. Bahkan Umar bin Khattab ra sendiri pernah
diutus oleh Rasulullah SAW memungut zakat.
Praktik di zaman Nabi tersebut juga dilanjutkan pada zaman kholifah yang
empat. Mereka membuat lembaga ‘amalah ( pegawai ) untuk
mengumpulkan zakat. Dengan demikian adanya campur tangan penguasa dalam hal
keterlaksanaan zakat adalah sangat mutlak. Praktik yang fenomenal tentang
keharusan kepedulian penguasa dalam hal zakat adalah ketika Khalifah Abu
Bakar al-Shiddiq memerangi orang-orang yang ingkar membayar zakat
pascakewafatan rasulullah SAW.
Keterlibatan
penguasa tersebut juga memeberikan pengertian bahwa, secara ideal,
zakat sudah masuk wilayah urusan publik.
Prof. Hasbi menyatakan, bahwa usaha pengumpulan zakat itu
masuk dalam tugas penguasa. Oleh karenanya tidak boleh membiarkan pemilik harta
menyelesaikan sendiri urusan pemberian zakat, karena zakat itu adalah untuk
melindungi nasib orang fakir, dan memelihara keamanan, agama , dan negara[32].
Dengan
telah diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2011 peran Negara terhadap pelaksanaan
zakat ini semakin jelas. Pasal 5 UU tersebut tegas-tegas mengamanatkan, bahwa
untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS dengan tugas
pokok sebagaimana ketantuan Pasal 6 yaitu melakukan pengelolaan zakat secara
nasional dengan fungsi sebagaimana tersebut Pasal 7 .
Potensi
zakat bermasalah, ke Pengadilan Agama
Bahwa
objek zakat saat ini mengalami perkembangan. Hal ini wajar, sebab memang
seiring dengan perkembangan peradaban manusia berkembang pula produk yang
dihasilkannya. Bebarapa di antaranya dahulu belum ada, atau bahkan belum
terbayangkan. Jika dalam kitab-kitab fikih klasik bahkan al-Hadits tidak
secara eksplisit menyebut variasi objek zakat seperti yang ada sekarang lebih
disebabkan oleh keterbatasan peradaban waktu itu. Akan tetapi, bukan berarti
bahwa yang harus dikeluarkan zakat hanya terbatas pada jenis harta yang
ada waktu itu.
Islam
adalah agama yang mengandung ajaran rahmatan lil alamin, yang dalam
implementasinya, salah satunya mengajarkan kepedulian sosial.. Islam
mengajarkan apabila seseorang memasak daging hendaklah diperbanyak kuahnya dan
kemudian memberikan sebagian kepada tetangganya. Ajaran demikian memberikan
pengertian, bahwa, apapun yang dirasakan enak oleh sesorang mestinya orang
lain juga bisa ikut merasakan. Syari’at zakat diwajibkan antara lain adalah
dalam konteks demikian.
Saat
ini jelas banyak sektor jasa. Pendapatan yang dahulu tidak ada tetapi saat ini
lebih membuat sejahtera bagi seseorang. Profesi dokter, pengacara, hakim,
konsultan yang dalam hitungan jam dapat menghasilkan uang ratusan juta. Pada
saat yang sama petani yang dengan sudah payah kepanasan penghasilannya hanya
impas saja, atau bahkan mengalami defisit jika dibanding dengan biaya produksi
yang dikeluarkan.
Badan
Amil Zakat selaku lembaga yang dipercaya oleh agama mengumpulkan zakat suatu saat
mungkin juga tidak sepenunya bisa melaksanakan tugasnya secara optimal. Sebagai
ilustrasi, misalnya ketika BAZ harus mendatangi wajib zakat agar mengeluarkan
zakatnya. Seorang muzakki, meskipun menurut penilaian BAZ sudah waktunya
menunaikan zakat, bisa saja berdalih bahwa dia merasa belum wajib
zakat atau menyatakan bahwa dia sudah merasa mengeluarkan zakat[33] dengan cara diberikan secara
langsung kepada mustahiq.
Pertanyaan
juga muncul, bagaimana seandainya amil ternyata juga tidak amanah dan pada saat
yang sama para mustahiq memerlukan dana zakat tersebut.
Dari ilustrasi tersebut dapat diperoleh gambaran
kasus, bahwa terdapat banyak potensi masalah pada pelaksanaan zakat. Potensi
masalah tersebut bisa dikategorikan sebagai berikut[34] :
1. Sengketa antara lembaga ( BAZ) dengan Muzakki;
Ilustrasi berikut
:
a. Ada
seseorang yang menurut persepsi sudah wajib zakat akan tetapi ternyata orang
tersebut tidak pernah terlihat membayar zakat. Sebagaimana diketahui tugas BAZ
sebagai petugas resmi yang dibentuk sebagai perpanjangan tangan pemerintah
berhak untuk bersikap proaktif dengan sistem jemput bola dalam
pengumpulan zakat. Seorang muzakki ketika didatangi BAZ bisa saja berdalih,
bahwa yang bersangkutan telah membagi zakatnya sendiri kepada mustahiq. Atau,
bisa saja muzakki berdalih bahwa dia masih belum wajib zakat sebab sekalipun
terlihat kaya tetapi juga banyak hutang-hutang atau menjadi debitur di berbagai
bank. Sedangkan setelah dikalkulasi antara aktiva dan pasivanya
belum mencapai senisab[35].Oleh
karenanya Terlepas dari apakah alasan muzakki itu dapat dibenarkan memang
nantinya masuk wilayah pembuktian di Pengadilan Agama. Tetapi, yang jelas BAZ
punya potensi hak mengadukan muzakki tersebut ke Pengadilan Agama.
b. Apabila muzakki merasa bahwa zakat yang
disetorkan tidak ditasarufkan sesuai peruntukannya.
Muzakki yang menasarufkan harta zakat
sudah barang tentu ingin agar zakat yang dikeluarkan ditasarufkan kepada yang
berhak ( mustahiq ). Ketepatan sasaran harta zakat pasti akan
melegakan para muzakki. Akan tetapi, sangat mungkin terjadi sebaliknya. Muzakki
merasa kecewa, ketika zakat yang dekeluarkan tidak atau belum disalurkan kepada
mustakiq, karenanya terlepas
dari apakah yang diinterpretasikan muzakki
tersebut benar atau apakah tindakan BAZ yang dianggap merugikan muzakki
tersebut menurutnya dapat dibenarkan, Pengadilan Agamalah yang akan
memutuskan setelah mendengar keterangan kedua belah pihak dan berikut
bukti-bukti yang diajukan. Dengan demikian, memang dapat dimungkinkan muzakki
mengadukan BAZ ke Pangadilan.
2. Sengketa
antara mustahiq dengan BAZ
Sebagai ilustrasi adalah apabila terjedi
fenomena antara lain sebagai berikut :
a. Mustahiq yang belum pernah
mendapat bagian zakat dari BAZ setempat. Mustahiq sebagai individu atau sebagai
kelompok tentu merasa dirugikan akibat sikap BAZ.
Contoh kasus : si A sorang pengusaha. Semula dia
memang berkecukupan. Dengan
tampilan rumah yang terlihat mewah dan penampilan sehari-hari yang bersih dan
rapi, tidak seorangpun menyangka bahwa dia orang miskin. Tetapi, karena resesi
ekonomi usaha yang dibangunnya hancur. Akhirnya, ia menjadi orang kaya yang
bangkrut. Dia perlu bangkit untuk membangun kembali usahanya. Oleh karena itu
dia perlu modal untuk itu. Dia pun meminjam modal kepada siapapun yang mau
menolongnya. Pada saat yang sama dia melihat di daerahnya ada BAZ. Dalam
kondisi demikian dimungkinkan dia mengadukan nasibnya ke Pengadilan Agama
dengan tujuan utama : pertama agar dinyatakan oleh Pengadilan Agama
menyatakan dia sebagai gharim, dan kedua mohon agar BAZ memberikan
bagian zakat kepadanya. Karenanya kasus seperti ini bisa diambil model
pada mustahiq lain, seperti muallaf, sabilillah, dan ibnu sabil.
Pada saat yang sama,
meskipun tidak ada yang membantah keberadaan 8 asnaf tersebut sebagai penerima
zakat, akan tetapi peraturan perundang-undangan yang ada tampaknya belum secara
jelas dan tegas memberikan definisi masing-masing kelompok dari 8 asnaf
tersebut. Pendefinisian masing-masing kelompok mustahiq tersebut juga
berpotensi timbulnya gugatan ke Pengadilan Agama.
b.
Seorang mustahiq merasa dirugikan
oleh kepengurusan BAZ dan berikut mustahiq mohon agar pengurus yang bersangutan
diberhentikan dan diganti dengan pengurus yang baru. Sebagaimana diketahui,
dalam Pasal 11 UU Nomor 23 untuk dapat diangkat sebagai BAZ dan LAZ diperlukan
kualifikasi tertentu[36]. Pertanyaannya
adalah, bagaimana jika ternyata seorang anggota BAZ tidak memiliki kualifikasi
tersebut dan mustahiq atau masyarakat merasa dirugikan oleh keberadaannya. Pada
kasus seperti ini juga dimungkinkan pihak yang marasa dirugikan mengadukannya
ke Pengadilan Agama.
3. Sengketa muzakki dan Mustahiq melawan
BAZ
Sebagaimana
telah disinggung di muka bahwa muzakki berhak untuk mengontrol secara sosial
zakat-zakat yang pernah diserahkan kepada lembaga pengumpul zakat. Sangat
mungkin terjadi lembaga pengumpul zakat tersebut menurut penilaian muzakki
tidak ditasarrufkan tepat sasaran. Sebagai buktinya, muzakki yang kebetulan
orang terpandang karena kekayaannya mendapat pengaduan dari para mustahiq.
Dalam kondisi demikian ada dua kelompok orang yang merasa dirugikan akibat
perbuatan BAZ. Karenanya dapat
diprediksikan bahwa ada kemungkinan perkara zakat ini dilakukan dengan
bentuk class action, dalam hal ini para mustahiq
baik dari satu kelompok mustahiq (
beberapa orang fakir miskin, misalnya ) atau berbagai kelompok mustahiq ( fakir,
miskin, sabilillah ) ke Pengadilan
Agama.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
memang tidak secara tegas menyebut bahwa ketentuan pidana menjadi kewengan
Peradilan Umum. Akan tetapi, membaca pasal tersebut harus dikaitkan dengan UU
Nomor 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Pasal UU
Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Oleh karena yang diatur dalam
pasal-pasal UU tersebut masalah pemidanaan masalah zakat yang berkaiatan dengan
ketentuan pidana jelas menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Kemudian,
apakah di luar masalah itu mutlak ( secara absolut ) otomatis menjadi
kompetensi peradilan agama ?.
Pasal 49 tegas menyebutkan bahwa zakat
menjadi salah satu kewenagan Pengadilan Agama. Kewenangan tersebut secara
operasional disebut dalam ketentuan Pasal 684 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Dalam pasal ini dimuat ketentuan sebagai berikut : Barang siapa yang melanggar
ketentuan zakat maka akan dikenai sanksi sebagaimana diatur sebagai berikut :
a. Barang
siapa yang tidak menunaikan zakat maka akan dikenai denda dengan jumlah tidak
melebihi dari besar zakat yang wajib dikeluarkan;
b.
Denda sebagaimana dimaksud dalam angka (1) didasarkan pada putusan
pengadilan;
c. Barang
siapa yang menghindar dari menunaikan zakat, maka dikenakan denda dengan jumlah
tidak melebihi 20 persen dari besar besarnya zakat yang harus dibayarkan.
d.
Zakat yang harus dibayarkan ditambah dengan denda dapat diambil secara paksa
oleh juru sita untuk diserahkan kepada badan amil zakat;
Kata “pengadilan” dalam
pasal tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (
8 ) Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, harus dibaca “Pengadilan Agama.”
Dari ketentuan pasal
tersebut, kaitannya dengan zakat ini, Pengadilan Agama jelas-jelas mempunyai
kompetensi absolut menangani persoalan denda yang berkaitan dengan zakat.
Padahal, selama ini lembaga denda menjadi kompetensi pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum.
Lantas diajukan ke Pengadilan Agama
manakah sebuah gugatan atau permohonan menegenai perkara yang berkaitan dengan zakat
? Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara yang beraku di
peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus oleh Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989. Oleh karena undang-undang ini hanya mengatur bidang
perceraiaan, maka di luar itu harus tunduk pada hukum acara yang berlaku di
lingkungan peradilan umum. Dengan demikian perkara yang berkaitan sengketa
zakat harus tunduk pula pada hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan
umum. Hukum Acara dimaksud sudah barang tentu HIR dan RBg.
Dengan mengacu kepada ketentuan hukum
acara tersebut, dapat diketahui ke pengadilan agama manakah sebuah perkara
mengenai zakat diajukan.
Menurut ketentuan Pasal
142 HIR diperoleh pengertian sebagai berikut :
a. Gugatan
diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman
Tergugat;
b. Jika
tempat tinggal tidak diketahui diajukan di tempat tinggal yang sebenarnya;
c. Jika
tergugat berada di wilayah beberapa Pengadilan Agama, gugatan diajukan di
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat salah seorang Tergugat; dst
Hukum Acara:
Hukum acara mengenai pelaksanaan zakat
ini harus mengacu hukum acara pada pengadilan di lingkungan peradilan
umum, dalam hal ini menggunakan HIR[37] untuk Jawa dan Madura atau RBg[38] untuk luar Jawa dan Madura.
Pengetahuan Teknis
Beracara:
Secara filosofis adanya gugatan ke
pengadilan adalah karena ada pihak yang dirugikan hak-haknya. Pada saat yang
sama hukum materiil memberikan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diberikan
kepada yang seharusnya menerima. Ketika hak-hak tersebut tidak didapatkannya
dan ternyata yang menyebabkannya adalah orang lain atau lembaga, maka orang
lain atau lembaga tersebut berhak dijadikan pihak untuk digugat.
Alasannya, merekalah yang menyebabkan ia terhalang memperoleh hak-hak tersebut.
Dalam hal ini pihak yang menyebabkan hak seseorang terhalang atau tidak
dia dapat adalah pihak yang menyebabkan
kerugian, yang oleh karenanya perlu digugat, dan pihak yang terhalang
memperoleh haknya adalah pihak yang dirugikan dan oleh karenanya perlu
menggugat.
Hanya saja dalam
praktik memang tidak mudah membuat formulasi atau rumusan gugatan
tersebut. Sebab, rumusan sebuah gugatan terikat dengan formalitas tertentu,
seperti bagaimana membuat sebuah gugatan yang benar (merumuskan posita atau
petitum). Hal ini sudah menyangkut masalah teknik hukum yang apabila
tidak dipatuhi dapat menyebabkan kegagalan seseorang memperolah hak yang
digugat di pengadilan. Dengan demikian, diperlukan pengatahuan teknis mengenai
hal ini bagi siapa saja yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Sekalipun demikian, pengetahun
teknis masih belum cukup. Masih diperlukan kreativitas teknis beracara. Banyak
persoalan hukum dan telah menjadi kasus riil di masyarakat yang mestinya,
secara hukum acara, bisa diajukan ke pengadilan, tetapi jarang
atau tidak pernah muncul. Penyebabnya adalah kekurangkreativan pihak
masyarakat, dalam hal ini juga termasuk para lawyer[39].Demikian
juga masalah zakat ini. Pelaksanaan di lapangan mengenai beracara di Pengadilan,
selain diperlukan pengetahuan teknis yang lebih penting adalah daya kreativitas
para pengaju perkara. Kreativitas dimaksud adalah kemampuan ‘mereka-reka’
sebuah persoalan sehingga muncul sebuah kasus yang dapat diajukan di pengadilan
dan dimungkinkan secara hukum, baik hukum materiil maupun formil. Hal ini
dikemukakan bukan dalam konteks mencari-cari perkara, tetapi harus difahami
dalam konteks penegakan hukum yang muaranya tidak lain demi penegakan keadilan
di masyarakat.
Peran Hakim Peradilan
Agama:
Hakim Peradilan Agama adalah hakim di
mata hukum dan ulama di mata masyarakat. Jargon ini terlanjur melekat pada
profil hakim pengadilan agama. Dia selain harus mempunyai kesalehan secara
institutusional juga harus mempunyai kesalehan secara sosial. Kesalehan secara
institusiaonal adalah ‘kepatuhan’ setiap hakim peradilan agama dalam memenuhi
standar kualifikasi keilmuan, keterampilan, dan moralitas dalam melakukan tugas
teknis sebagai seorang hakim pada umumnya. Kaitannya dengan persoalan lembaga
hukum zakat ini, hakim peradilan agama tidak boleh menolak mengadili karena
hukum tidak jelas[40]. Hal
ini jelas menuntut hakim peradilan agama memiliki keluasan dan penguasaan ilmu
mengenai hukum, baik mareriil maupun formil. Apabila tidak ditemukan dalam
hukum tertulis Hakim Pengadilan Agama harus bisa menggali melalui hukum-hukum
tak tertulis[41].
Ketika persoalan zakat ini masuk di pengadilan agama, harus dilihat dari
berbagai perspektif baik secara yuridis formal dan yuridis material. Dan, oleh
karena masalah zakat adalah salah satu masalah agama yang sangat urgen, hakim
yang menangani perkara zakat juga harus melihatnya dari perspektif
ilmu keagamaan (perspective of religious knowledge)
Dari perspektif yuridis, formal hakim
peradilan agama yang menangani zakat harus menggali nilai-nilai hukum yang ada
di masyarakat dengan cara melalukan penemuan hukum. Secara sosial, hakim
peradilan agama perlu melihat dampak jika zakat tidak terlakasana. Dari
perspektif ilmu keagamaan hakim peradilan agama harus tahu visi dan misi
tentang syariat zakat, antara lain, bahwa syari’at zakat apabila tidak
dilaksanakan tidak saja berdampak merugikan mustahiq, tetapi
juga berdampak negatif bagi muzakki, baik di dunia maupun akhirat.
Ilustrasi berfikir tersebut kiranya
dapat dijadikan motivasi bagi Hakim untuk ikut mempunyai tanggung jawab moral
terhadap keterlaksanaan zakat sesuai kompetensi yang dimilikinya. Tanggung
jawab tersebut, diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab hukum berikut
penuangannya dalam putusan. Seberapa integritas keilmuan hakim akan
tercermin pada bentuk lahir dan ruh putusan yang dibuat.
Teknik beracara :
- Pengaju Perkara
Sebagaimana diketahui,
bahwa dalam perkara perdata pihak yang mengajukan perkara adalah pihak yang
berkepentingan berkedudukan secara hukum. Apababila masalah zakat sebagai
perkara kontensius, maka pihak yang berkepentingan secara hukum adalah orang
merasa dirugikan. Tatacaranya dapat dimungkinkan terjadi dengan cara.
- Individual. Yaitu diajukan oleh
seseorang atau Kuasanya guna mewakili kepentingannya;
- Badan Hukum, seperti BAZ atau LAZ yang dalam
hal ini diwakili oleh seorang atau beberapa Kuasa Hukum yang sah.
-
Gugatan Perwakilan Kelompok (GPK) sebagaimana diatur oleh PERMA No. 1
Tahun 2002 atau lazim dikenal sebagai Class Action. GPK ini
dimungkinkan karena sesuai ketentuan Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2011, masyarakat
dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ.
Akibat peluang dalam bentuk peran pembinaan dan pengawasan memungkinkan
masyarakat yang merasa dirugikan oleh BAZ atau LAZ mengajukan perkara ke
Pengadilan Agama dalam bentuk GPK.
Jenis perkara
Sebagaimana diketahui perkara perdata
yang diadili oleh Pengadilan Agama digolongkan menjadi 2 jenis perkara, yaitu
perkara volunter yang biasanya diputus dengan produk hukum penetapan dan
perkara kontensius yang biasanya diputus dengan produk putusan. Pertanyaan
apakah perkara zakat bisa meliputi 2 jenis perkara tersebut ? Sebelum
memberikan jawaban ada baiknya dikemukakan contoh ketentuan dalam undang-undang
Nomor 23 Tahun 2011 sebagai berikut:
Pasal 17 UU No 23
tahun 2011 :
Untuk membantu BAZNAZ
dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan zakat,
masayarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 18 :
“Pembentukan LAZ wajib
mendapat izin Menteri atau Pejabat yang ditunjuk menteri.
Untuk mempeoleh izin
tersebut diperlukan sejumlah syarat sebagaiman tersebut pada ayat (2).
Dari ketentuan mengenai LAZ tersebut
terdapat 2 hal yaitu : pertama legalitas dan syarat memperoleh legalitas. Bisa
jadi LAZ telah memperoleh legalitas karena telah dibentuk secara resmi oleh
ormas tertentu akan tetapi persyaratan memperoleh legalias belum terpenuhi. Perkara
yang mungkin muncul dari kasus tersebut adalah perkara gugatan dalam bentuk
kontensius yaitu menggugat ke Pengadilan Agama agar LAZ tersebut
dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Atau bisa saja
terjadi yang berangkutan telah merasa telah mempnyai lehalitas tetapi
pemerintah tidak mengakui dan sikap pemerintah tersebut diwujudkan dalam suatu
tindakan berupa tidak memberikan izin beroprasi secara tertulis.
Dalam kasus ini perkara yang mungkin
muncul adalah adanya permohonan ke Pengadilan Agama agar LAZ tersebut
dinyatakan sah sebagai LAZ. Dalam hal ini,perkara yang masuk bisa berupa
permohonan murni ( volunter ). Dari sisi hukum acara, persoalan yang
mungkin timbul adalah apakah Pengadilan Agama berwenang menerima dan mengadili
perkara ini. Sebab, menurut asas,pengadilan pada prinsipnya dilarang mengadili
suatu perkara volunteer kecuali secara tegas disebutkan oleh
peraturan perundang-undangan untuk mengadilinya.
Begitu perkara tersebut masuk ke
Pengadilan Agama, Hakim tentu tidak boleh menolak untuk mengadili. Tentang,
apakah diterima atau tidak diterima, dikabulkan atau ditolak, sudah barang
tentu sangat bergantung dengan ijtihad Hakim yang bersangkutan
dan hal ini kadang-kadang juga sangat
bergantung dengan kedalaman ilmu dan keluasan wawasan sang Hakim.
Pihak Yang digugat
Dalam persoalan perdata pihak yang
dijadikan sebagai tergugat adalah pihak yang dianggap merugikan penggugat.
Tentang siapa saja yang dianggap merugikan tersebut telah diilustrasikan dalam
pembahasan sebelumnya.
Format gugatan
Mengenai format permohonan atau
gugatan mengenai persoalan zakat ini dapat mengacu pada ketentuan mengenai cara
beracara perdata pada umumnya, yaitu :
- Dari
segi cara pengajuannya : diajukan secara tertulis sesuai dengan ketentuan pasal
118 ayat (1) HIR ayat (1) / Pasal 142 ayat (1) RBg atau diajukan secara
lisan sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg;
- Dari segi isinya :
harus memuat identitas, fundamentum petendi dan petitum[42].
KESIMPULAN
Dari tulisan diatas
penulis dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Bahwa
zakat adalah masalah ijtihad dan ihtiyad seseorang, untuk melaksanakan perintah
agama dan mentaati ulil amri melalui peraturan perundangan yang terkait.
2.
Bahwa
masalah zakat dapat menjadi persoalan litigatif pada pokoknya berkaitan
dengan 3 unsur yaitu: muzakki, mustahik, dan amil;
3.
Bahwa
kaitannya dengan Pengadilan Agama masalah zakat bisa berbentuk volunter maupun
kontensius;
4.
Bahwa
persoalan zakat termasuk dalam ranah hukum perdata maka teknik beracaranya sama
dengan teknik persoalan perdata lainnya.
SARAN
Masih banyak masyarakat muslim Indonesia yang belum terjangkau
peraturan perundangan tentang pengelolaan zakat dan berbagai peraturan organik
lainnya, karena itu perlu dan sangat penting untuk terus-menerus disosialisasikannya agar masyarakat muslim
sadar akan pentingnya manunaikan zakat.
PENUTUP
Demikian tulisan ini semoga
bermanfaat, segala kekurangannya mohon dimaafkan, terimakasih.
Blitar, 5
Maret 2018
Penulis
Drs.
H. Sudono Al-Qudsi, M.H.
Tentang
Penulis :
Drs.
H. Sudono Al-Qudsi, M.H. , lahir di Kudus 12 Agustus 1962, menempuh pendidikan
formal : tamat MI Miftahul Falah di Kudus tahun 1974, MtsN Jember 1984, IAIN SUNAN AMPEL PONOROGO 1989, S 2 ILMU
HUKUM UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2007, PENDIDIKAN CAKIM 1994/1995 di Bandung. Pendidikan non formal di : PonPes Mabdaul
Ma’arif Jombang Jember 1977 s/d 1984, di
PonPes Assuniyyah Kencong Jember 1981 s/d 1984, di PonPes Manbaul Hikmah Pasar
Pon Kotalama Ponorogo 1984 s/d 1989 dan pernah bertugas dan menjadi Hakim PA
Dabo Singkep Riau 1990 s/d 2001, Hakim PA Purbalingga 2001 s/d 2004, Hakim PA.
Banyuwangi 2004 s/d 2010, Hakim PA. Lumajang 2010 s/d 2013, dan sejak 2013 s/d sekarang Hakim di PA. Blitar.
[1] Adalah
Hakim Madya Utama Pengadilan Agama Blitar kelas 1 A.
[2]
Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 6, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, jakarta, cetakan
ketujuh , 2006, hal.1986.
[3] Ibid.
[4] Penjelasan Atas
UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
[5] Pasal
1 UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat.
[6] Pasal
4 UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
[8] Pasal
16 UU
Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
[12]
PP nomor 14 tahun 2014 tentang pelaksanaan UU No 23 tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat.
[14]
Ibid
[15]
Yusuf al Qardhawy, Fiqh al
Zakat, al- Risaalah, Beirut, 1981, 994
[16]
Dr. Tengku H.Muslim Ibrahim, Hubungan
Antara Zakat dan Pajak ( makalah dalam Zakat dan Pajak), hal,170-171.
[17]Al Kasaany, Bada-i’
al-Shanaa’iy, Al Ilmiyah Cairo, 1327 H, Juz II halaman 11 Bandingkan dengan
Msyfuq Zuhdi dalam Masail Fiqhiyyah ,halaman 215
[20]Disebarluaskan berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008. Menurut hemat penulis, memasukkan lembaga
Hukum Zakat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dari segi rumusannya memang
kurang sejalan ( sinkron ) dengan undang-undang. Dalam UU Nomor 3 Tahun
2006 zakat dibahas secara terpisah. zakat, di satu pihak dan ekonomi syari’ah,
di pihak lain. Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah zakat
merupakan bagian (spesies) dari ekonomi syari’ah.
[21]Masjfuk
Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, CV Haji Masagung, Jakarta, Cetakan kedua, 1989,
halaman 123.
[22] Al-Suyuti,
Al-jami’ al-Shaghir, Juz 2, Cairo, Mustafa al-Babi al- Halabi, 1954, Hal. 79-80
[23] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 1 Cairo, Musthafa al-babi al-Halabi, wa auladuh, 1339, hal. 217
[25]
Masjfuk Zuhdi, Op.cit., hal. 124.
[27]
Ibid, hal. 777
[28]
Jaribah Bin Ahmad ALlHaritsi, Fikih Ekonomi Umar Bin Khathab, Penerjemah H. Asmuni solihin
Zamakhsyari, L.c, DarAl-Andalus Al-Khadra, Jeddah SaudiArabia, cetakan 1,
1424/2003, hal. 294.
[29]Catatan kaki sebagai penjelasan
terjemahan ayat tersebut.
[30] Jaribah
Bin Ahmad AllHaritsi, Op.cit.hal. 301.
[31]
Ibrahim Hosen, Hubungan Zakat dan
Pajak dalam Islam, ( Makalah dalam Zakat dan Pajak ), PT Bina Rena Pariwara,
Jakarta, halaman 149.
[33]Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 23
Tahun 2011 muzakki diberi kewenangan melakukan penghitungan sendiri.
[34]Potensi masalah mengenai kasus zakat
ini telah diprediksikan oleh Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
:KMA/o32/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006 jo Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI
Nomor 012/KMA/SK/II 2007 tanggal 5 Februari 2007. Hanya saja dalam Buku II
tersebut belum dijelaskan secara detail. ( vide : Mahkamah Agung RI. Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, halaman 175.
[35]Kemungkin terjadi sebab menurut
ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2011 pada prinsipnya muzakki
dapat melakukan penghitungan sendiri kewajiban zakatnya.
[36]Pasal 11 UU Nomor 23 Tahun 2011
untuk dapat diangkat sebagai BAZ harus memenuhi syarat : a. warga negara
Indonesia; b. beragama
Islam; c. bertakwa kepada Allah SWT; d. berakhlak mulia; e. berusia minimal 40
(empat puluh)
tahun; f. sehat jasmani dan rohani; g. tidak menjadi anggota partai politik; h.
memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat; dan i. tidak pernah dihukum
karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun.
[37]Disebut juga Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (RIB) yang keberlakuannya berdasarkan Stb. 194 No.44.
[38]Disebut juga Reglemen Daerah
Seberang yang keberlakuannya berdasarkan Stb. No. 227 Tahun 1927.
[39]
Contoh, masalah takliq talak dengan
alasan suami selama tiga bulan lamanya tidak memberikan nafkah wajib kepada
istri , masalah gugat provisi nafkah untuk istri dan anak selama proses
percaraian, sita marital bersararkan Pasal 75 KHI terhadap harta bersama karena
alasan suami pemboros, penjudi, dsb.
[40]UU Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 (1) tentang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
[41]Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009. : ”Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.”
[42]M.Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, halaman 48-68. Dalam Buku ini secara
panjang lebar telah dikupas mengenai kaidah-kaidah seputar formulasi sebuah
gugatan yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar