Selasa, 13 Juni 2017

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA[1]



PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
MENURUT  UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
DAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA[1]


Oleh :  Drs.  H.  Sudono,  M.H.
Hakim Madya Utama Pengadilan Agama Blitar

Pendahuluan
         Melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi setiap warga negara, penegasan tersebut termuat dalam pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan kedua. Dalam pasal tersebut dinyatakan : (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
         Meskipun perkawinan merupakan hak azasi, bukan berarti bahwa  setiap warga negara secara bebas dapat melaksanakan perkawinan , akan tetapi harus mengikuti  peraturan perundangan yang berlaku, yang menurut pasal  2 ayar (1) dan ayat  ( 2 ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan  ; bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu . Ayat  ( 2 )  bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dibuktikan dengan Akta Nikah , Jo. Pasal 5, dan 6 Kompilasi Hukum Islam.

1.      PERKAWINAN HARUS MELALUI  INSTITUSI NEGARA
          Di Indonesia sudah cukup lengkap untuk mengatur masalah perkawinan , pemeluk agama apapun harus tunduk dan patuh ada hukum perkawinan di Indonesia  karena kita hidup di Indonesia maka kita harus  tunduk sepenuhnya , terutama pelaksanaan perkawinan harus melibatkan institusi negara, bagi umat Islam melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi  non Islam melalui Kantor Catatan Sipil.
           Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga  ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[2]. Lebih tegas lagi dinyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan , yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksakannya merupakan ibadah[3] dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga  yang sakinah, mawaddah , dan rahmah. Untuk mencapai sah dan tujuan perkawinan  tersebut harus seagama , yaitu seorang pria yang beragama Islam menikahi seorang wanita yang beragama Islam dan kalau terjadi saat akan dilaksanakan perkawinan masih beda agama maka perkawinanya tidak sah. Undang-undang menghendaki pencatatan perkawinan karenanya secara hukum ketentuan tersebut berlaku mengikat bagi umat Islam yang akan melangsungkan perkawinan harus dicatat di KUA  dan selain Islam yang akan melangsungkan perkawinan harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
           Pencatatan perkawinan disamping untuk menjamin ketertiban masyarakat juga mempunyai kekuatan hukum , artinya semua yang timbul akibat perkawinan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebaliknya perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan institusi negara (pegawai pencatat nikah ) tidak mempunyai kekuatan hukum[4] dan dianggap tidak pernah ada.

2.      SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN
Syarat –syarat perkawinan yaitu :
-          Harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai[5].
-          Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya , atau apabila tidak mau memberi izin , dapat mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Agama[6].
-          Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun[7].
-          Penyimpangan terhadap ayat (1) tersebut , orang tuanya dapat meminta dispensas kawin kepada Pengadilan Agama[8].
Rukun perkawinan :
-          a. Calon suami, b. calon istri , c. Wali nikah,  d. Dua orang saksi, e. Iijab dan kabul[9].

3.      PERKAWINAN DILUAR ISTITUSI NEGARA
           Perkawinan yang dilaksanakan diluar institusi negara tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang kita temui perkawinan yang dilaksanakan  secara sembunyi ( sirri, kontrak, bawah tangan dan berbagai macam istilah lainnya )  artinya perkawinan tersebut bukan menambah tentram dan  bahagia akan tetapi banyak menimbulkan masalah baru karena tidak melibatkan institusi negara (KUA) atau Kantor Catatan Sipil sehingga perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum . Dalam perkembangannya tentu rumah tangga tersebut akan menghasilkan keturunan bahkan tidak sedikit yang dapat menghimpun harta benda. Oleh karena perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum  maka anak yang lahir dari perkawinan mereka juga tidak dapat dibuktikan secara hukum bahwa anak tersebut adalah anak dari hasil perkawinann pasangan suami istri yang sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan yang dilaksanakan diluar pengawasan KUA atau Kantor Catatan Sipil juga tidak dapat dibuktikan  secara hukum kalau harta tersebut adalah harta bersama yang dilindungi oleh hukum.  
           Karena itu sepanjang masih  ada oknum yang mau menikahkan calon mempelai laki dan perempuan yang tidak melibatkan institusi negara maka jangan harapkan rumah tangga tenteram akan tetapi malah berantakan karena banyak korban dari orang yang tidak bertanggungjawab.  

4.      SOLUSI MEMINIMALKAN NIKAH  BAWAH TANGAN
          Untuk meminimalkan dan mengakhiri kenyataan bahwa perkawinan yang telah berlangsung secara illegal telah menghasilkan anak dan  harta benda, maka UU No. 1/1974  Jo. PP. No. 9/1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menawarkan solusi  agar perkawinan yang telah  mempunyai anak dan harta benda dapat diakui secara legal dengan cara mengajukan perkara “  Pengesahan Pernikahan/Itsbat Nikah” ke Pengadilan Agama, dapat dilakukan  oleh kedua suami istri atau salah satu dari suami istri , anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan  dengan perkawinan tersebut ke Pengadilan Agama dalam wilayah hukum pemohon bertempat tinggal , dan permohonan itsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit[10].  Adapun alasan-alasan itsbat nikah adalah sebagai berikut :
a.      Adanya perkawinan dalan rangka penyelesaian perceraian
b.      Hilangnya akta nikah
c.       Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d.     Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang nomor 1/1974.
e.      Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang perkawinan nomor 1/1974[11].
Oleh karena telah dibuka kran melalui itsbat nikah agar perkawinan mempunyai legal standing  akan tetapi yang namanya itsbat nikah adalah sebuah rekonstruksi dari peristwa yang pernah terjadi maka diperlukan pembuktian yang hati-hati, teliti, cermat dan terutama bagi mereka yang sudah lama meninggal dunia dan saks-saksi yang se-usia mereka tidak  ada lagi.

5.      PERCERAIAN  MENURUT PERATURAN PERUNDANGAN
         Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa ,  Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam , Pengadilan Umum bagi lainnya[12]. Dengan demikian khusus masalah perceraian  telah diatur secara lex spesialis dalam peraturan perundang-undangan antara lain UU No.7/1989 Jo. UU No. 3/2006 Jo. UU No. 50 /2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7/l989 tentang Peradian Agama , PP No.9/l975 tentang pelaksanaan UU No.1/1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
         Di lingkungan peradilan agama dikenal dengan istilah ‘cerai gugat dan cerai talak”. Cerai talak yaitu inisiatif yang mengajukan perkara dari pihak suami disebut Pemohon, sedangkan inisiatif yang mengajukan perkara dari pihak istri disebut Penggugat. Baik dari pihak suami maupun dari pihak istri mempunyai hak yang sama untuk bertindak  di depan hukum. Karena itu kalau suami atau istri yang akan mengajukan permohonan/gugatan cerai ke Pengadilan Agama prosedurnya sebagai berikut :
1.      Seorang suami yang beragama Islam sebagai pemohon, jika akan menceraikan istrinya , permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi  tempat kediaman istri (termohon ).
2.      Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
3.      Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama  yang daerah hukumnya  meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan, atau kepada pengadilan Agama Jakarta Pusat.
4.      Seorang istri yang beragama Islam  sebagai penggugat , mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama  yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri (penggugat).
5.      Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri , gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan Agama yang  daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
6.      Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri , maka gugatan diajukan kepada Pengadilan   yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat[13].
           Untuk alasan-alasan perceraian dapat dibaca dalam pasal 19  PP No. 9/1975 Jo. Pasal 116 KHI, penjelasan pasal 49 ayat (2) UU No. 71989 tentang peradilan  Agama dan juga  perlu di ketahui  bahwa perkara yang masuk ke pengadilan Agama tersebut setelah melalui proses persidangan ada yang diterima dan dikabulkan, ditolak, digugurkan, dicoret, dan ada pula yang dinyatakan tidak diterima (Niet Onvankelijke verklaard (NO).
                      Untuk lebih mengetahui kondisi riil masyarakat yang menjadi kompensi relative Pengadilan Agama Blitar  berdasarkan laporan tahunan 2015 yaitu :  sisa  perkara  tahun 2014 berjumlah  1253 perkara  , ditambah  perkara  masuk  tahun 2015 berjumlah 4864 jadi  jumlah keseluruhan 6117, lalu diputus sebanyak 4991 perkara,  sehingga sisa belum putus tahun 2015 sejumlah 1126 perkara. Sedangkan urutan volume perkaranya : Cerai gugat 2940 perkara, Cerai talak 1393 perkara,  Dispensasi kawin 216 perkara,  Perubahan biodata 149 perkara,  Wali adhol 38 perkara,  Itsbat nikah 33 perkara,  Asal usul anak 10 perkara, Pengangkatan anak 9 perkara, Harta bersama  7 perkara,  Penguasaan anak 5 perkara[14], dan untuk perkara lainnya masih taraf wajar. Kemudian untuk Januari  tahun 2016 sampai akhir bulan Juli 2016 ini perkara masuk  sudah 3100 perkara, makanya untuk Pengadilan Agama Blitar masuk 5 besar di wilayah  Pengadilan Tinggi Agama Surabaya.

6        TERJADINYA PERCERAIAN
          Dalam perkara cerai talak yang diajukan oleh suami dan sudah diputus oleh Pengadilan Agama dengan telah diberi izin untuk menjatuhkan talak satu roj’i kepada termohon ( istrinya ) di depan persidangan Pengadilan Agama dan putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap  maka pemohon akan dipanggil lagi untuk sidang ikrar talak dan sejak pemohon mengikrarkan talak terhadap istrinya itulah berlaku mulai TERJADINYA PERCERAIAN bagi suami.
         Sedangkan untuk perkara cerai gugat yang diajukan oleh pihak istri,  maka untuk mengetahui terjadinya perceraian beserta akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap[15]

          7   PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA
           Dalam penjelasan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7/l989 tentag peradilan agama  yang  dalam bidang perkawinan antara lain angka 20 terdapat jenis permohonan (voluntair) “Penetapan asal usul anak dan “Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam” menjadi kewenangan baru bagi Pengadilan Agama. Selain masalah voluntair juga kewenangan baru yaitu sengketa zakat, infaq  shodakoh dan bidang ekonomi syari’ah sampai 11 item.
         Khusus pengangkatan anak dalam syari’at Islam dibolehkan bahkan dianjurkan sepanjang motivasi pengangkatan anak tersebut untuk kepentingan dan kesejahteraan anak serta tidak bertentangan  dengan hukum Islam. Permohonan pengangkatan anak oleh warga negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam  terhadap anak WNI yang beragama Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama,  dengan prosedur sebagai berikut :
1.      Diajukan ke Pengadilan Agama dalam wilayah hukum dimana anak tersebut bertempat tinggal (berada).
2.      Prosedur permohonan pemeriksaan pengangkatan anak harus mempedomani Surat Edaran  Mahkamah Agung RI. No.2/1979, No. 6/1983 dan No. 3/2005.
3.      Permohonan tersebut diatas dapat dikabulkan jika terbukti memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam pasal 39 UU No.23 /2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 5 ayat (2) UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI , SEMA No. 2/1979,  No. 6 /2003  dan No. 3/2005.
4.      Salinan penetapan pengangkatan anak tersebut dikirim kepada Kementerian Sosial, Kemenerian Kehakiman cq Dirjen Imigrasi , Kementerian Luar Negeri , Kementerian Kesehatan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI dan Panitera Mahkamah Agung[16].
5.      Mempedomani Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110/HUK/2009 tanggal 19 Oktober 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak . 

8   PRINSIP HUKUM ANAK ANGKAT
         Berdasarkan penetapan Pengadilan Agama status anak angkat, orang tua angkat dan orang tua kandung terikat dan mempunyai hubungan hukum sebagai berikut :
a.      Nasab anak angkat tidak putus dengan nasab  orang tua kandung dan saudara-saudara kandungnya.
b.      Yang beralih dari anak angkat  terhadap orang tua angkatnya hanyalah tanggungjawab kewajiban pemeliharaan, nafkah, biaya pendidikan dan lainya.
c.       Anak angkat tetap dipanggil dengan BIN/BINTI  orang tua kandungnya.
d.     Orang tua angkat hanya menjadi wali terbatas terhadap diri , harta, tindakan hukum dan tidak termasuk wali nikah  jika anak angkat ini perempuan.
e.      Anak angkat boleh dinikahkan dengan orang tua angkatnya, juga boleh dengan anak kandung atau anak angkat lain dari orang tua angkatnya.
f.        Anak angkat tidak boleh menjadi ahli waris orang tua angkatnya, tetapi anak angkat memeroleh wasiat wajibah dari orang tua angkatnya.

           9.  KESIMPULAN
                a.  Perkawinan yang tanpa melalui institusi negara maka perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum , tidak ada kepastian hukum, tidak mendapat perlindungan hukum, sekaligus tidak mendapat bukti autentik dan perkawinannya dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu perceraiannya tidak berakibat hukum apa-apa.
                b. Perkawinan yang melibatkan institusi negara akan berakibat hukum yaitu  menimbulkan hak dan kewajiban , mendapatkan perlindungan hukum , ada kepastian hukum sekaligus mendapatkan bukti autentik berupa akta nikah dari pejabat yang berwenang. Oleh karena itu perceraiannya harus melalui Pengadilan Agama bagi  masyarakat muslim dan ke Pengadilan Negeri bagi non muslim.
                 c.  Pengangkatan anak menjadi salah satu kompetensi absolute Pengadilan Agama. 

           Penutup
            Demikian tulisan tentang Perkawinan dan Perceraian  Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Pengangkatan  Anak di Pengagdilan Agama ini,  semoga ada manfaatnya, terimakasih dan mohon maaf bila ada kesalahan.
                                                                                             Blitar, 23 Juli 2016
                                                                                                      Penulis
                                                                                             Drs. H.  Sudono,  M.H.
Tentang Penulis:

              N a m a                             :  Drs. H. Sudono,  M.H.
Tempat Tanggal lahir       :  Kudus/ 12 Agustus 1962
N I P                                 :  1962 08 12 1990 03 1 005
Pangkat/Gol. /Jabatan       :  Pembina Utama Muda  IV/ C /  Hakim Madya Utama
Instansi                             :  Pengadilan Agama Blitar Jl. Imam Bonjol No. 42 Blitar.
       Pendidikan Formal : 
-                 Madrasah Ibtidaiyah di Kudus 1974
-                 Madrasah Tsanawiyah Negeri Jember 1981
-                 Madrasah Aliyah Negeri Jember 1984
-                 Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Ponorogo 1989 ( S 1 )
-                 Pendidikan Calon Hakim Pengadilan Agama IAIN Sunan Gunung Djati  Bandung  1994/ 1995
-                 Ilmu Hukum Pascasarjana UNISMA Malang 2007 ( S 2 )

Pengalaman Kerja/Jabatan :
-                 Calon Pegawai Negeri Sipil di PA. Dabo Singkep Riau 1990
-                 Pegawai Negeri Sipil  di PA Dabo Sngkep Riau 1991
-                 Wakil Sekretaris PA Dabo Singkep Riau 1993- 1995
-                 Panitera Pengganti PA Dabo Singkep Riau 1993 - 1995
-                 Hakim Pengadilan Agama Dabo Singkep Riau 1995 s/d 2001
-                 Hakim Pengadilan Agama Purbalingga  2001 s/d 2004
-                 Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi 2004 s/d 2010
-                 Hakim Pengadilan Agama Lumajang 2010 s/d 2013
-                 Hakim Pengadilan Agama Blitar 2013 s/d sekarang.








    



         



[1] Disampaikan dalam acara Soisalisasi Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) oleh Dinas Sosial Kabupaten Blitar tanggal 28 Juli 2016  di Balai Desa Jatinom Kecamatan Kanigoro Blitar.
[2] Pasal 1 UUP No.1/1974
[3] Pasal 2 Kompillasi Hukum Islam.
[4] Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 ,  Jo. Pasal 4, 5, dan 6 KHI
[5] Pasal 6 ayat (1) UU No.1/1974.
[6] Pasal 6 ayat (2),(3), (4) dan (5) UU No. 1/1974
[7] Pasal  7 ayat (1) UU No.1/174.
[8] Pasal  7 ayat (2) UU No. 1/1974.
[9] Pasal 14 KHI
[10] Mahkamah Agung RI. Dirjenbapera, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, Jakarta, 2013, hal. 144.
[11] Pasal 7 ayat (3)  KHI
[12] Pasal 63  ayat (1) UU No.1/1974 
[13] Pasal 66 dan 73 UU No. 50/2009 tentang perubahan kedua UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
[14] Sumber Laporan Tahunan Pengadilan Agama Blitar Tahun 2015
[15] Pasal 81 ayat (2) UU No. 71989 tentang Peradilan Agama.
[16] Mahkamah Agung RI. Dirjenbapera, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, Jakarta, 2013, hal. 159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar