PERKAWINAN USIA DINI
Oleh : Drs. H. Sudono, M.H.
Hakim Madya Utama Pengadilan Agama Blitar
Perkawinan usia ideal
Sampai saat ini pembicaraan
masalah usia ideal masih actual , akan tetapi demi kepastian hukum di
Indonesia sudah ada batasan minimal usia
perkawinan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita[1] . Batas umur ideal (kedewasaan) baik di dalam BW
maupun dalam UUP no.1/l974 mengalami konsistensi , yaitu sama-sama dewasa adalah 21 tahun , namun untuk ijin menikah mengalami
peningkatan dari semula 18 tahun menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan dari semula 15 tahun menjadi 16 untuk
perempuan[2]. Permasalahannya sekarang umur berapa memasuki usia ideal perkawinan ? para pakar maupun organisasi wanita banyak yang mengusulkan UUP no.1 tahun 1974 diamandemen bahkan mulai tahun
2001 s/d sekarang belum terwujud masih dalam pembahasan di DPR entah sampai
kapan.
Setiap suami istri dalam berkeluarga harus punya tujuan
yaitu membentuk keluarga / rumah tangga yang bahagia kekal, sakinah,
mawaddah wa rahmah[3]. Oleh
karena itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam perkawinan yaitu :
1.
Harus ada
persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang
mengadakan perkawinan dengan cara di adakan peminangan ( khitbah) terlebih
dahulu.
2.
Tidak semua
wanita dapat dikawini oleh seorang pria
sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan (mahram) antara pria dan
wanita yang harus diindahkan.
3.
Perkawinan
harus dilaksanakan dengan memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu , baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan
itu sendiri.
4.
Hak dan
kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga.
5.
Harus
kafaah (serasi) terutama seagama.
Dalam konteks prinsi-prinsip tersebut , usia ideal perkawinan menjadi
bagian yang signifikan. Dasarnya adalah disamping wahyu, juga aspek
konsepsional yang bersifat ijtihadi[4]. Oleh
karena itu usia perkawinan dalam pengertian umum akan sangat relevan dengan hukum nikah yang difahami dari ayat Al-Qur’an
surat An Nisa (4) ayat 19, 24.
Ternyata
prinsip-prinsip tersebut telah direspon dalam undang-undang
perkawinan nomor 1 tahun 1974 yaitu : asas
sukarela, partisipasi keluarga, perceraian
dipersulit, poligami dibatasi secara ketat, kematangan calon mempelai, memperbaiki
derajat kaum wanita[5].
Secata teoritis
bila masing-masing pihak sudah memahami prinsip-prinsip dalam hukum
perkawinan, setidak-tidaknya dapat mengurangi resiko
keretakan rumah
tangga atau bahkan tercipta perkawinan yang harmonis karena perkawinan juga ibadah terlama,
kebersamaan terlama dan pendidikan dalam keluarga terlama[6]. Dalam
sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) , Rasulullah SAW bersabda
: Wahai para pemuda, siapa yang telah sanggup (lahir dan batin untuk kawin),
maka kawinlah kamu, karena perkawinan itu akan dapat membatasi pandangan (dari
maksiat) dan memelihara kehormatan (kemaluan). Dan siapa yang belum sanggup
(untuk kawin), maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa baginya adalah obat (dapat
mengurangi syahwat)(HR al-Bukhari, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hambal[7].
Dalam perkawinan usia ideal itulah ada hal yang
harus dipertahankan dan dipelihara meliputi lima prinsip yaitu
perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima
nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur
keturunan (hifdzu al nasl)[8]. Oleh
sebab itu, Syekh Ibrahim dalam kitab al Bajuri menuturkan bahwa agar
jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus
melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya
geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
Perkawinan Usia Dini
Untuk disebut sebagai usia dini sangatlah
relatif, mulai dari mumayyiz 12 tahun (KHI), kurang dari 16 tahun bagi wanita
dan kurang dari 19 tahun bagi pria (UUP), termasuk kemampuan untuk bertindak
(kecakapan) 18 tahun belum dewasa[9] , bahkan
ada lagi di usia dini 13-15 tahun sudah
dapat bekerja , dengan pembatasan /syarat[10] , sehingga berbagai disiplin ilmu memandang
usia dini benar-benar relatif perlu ijtihad dengan pertimbangan kemaslahatan.
Masalah perkawinan usia dini
terus actual dibicarakan bahkan menjadi masalah social, dampaknya sangat kompleks
mencakup social, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun psikis,
kependudukan dan lainnya termasuk perceraian.
Beberapa
faktor penyebab terjadinya perkawinan usia
dini antara lain :
1.
Masalah ekonomi lemah dan
kemiskinan menyebabkan orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan anaknya dan
tidak mampu membiayai sekolah sehingga mereka memutuskan untuk menikahkan
anaknya dengan harapan sudah lepas tanggung jawab untuk membiayai kehidupan
anaknya ataupun dengan harapan anaknya bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik.
2.
Terjadi hamil diluar nikah
sehingga orang tuanya mendorong anaknya untuk menikah dan atau dipaksa menikah di usia dini.
3.
Masalah social-budaya atau adat
istiadat yang diyakini masyarakat tertentu.
Misalnya keyakinan bahwa tidak boleh menolak pinangan
seseorang pada putrinya walaupun masih dibawah usia perkawinan terkadang dianggap menyepelekan dan menghina
menyebabkan orang tua menikahkan putrinya.
4.
Penolakan perkawinan oleh
Kantor Urusan Agama
5.
Banyaknya kasus dispensasi
kawin di Pengadilan Agama, tahun 2015 di Pengadilan Agama Blitar ada 216
perkara[11],
dan sampai April 2016 ada 66 perkara [12]
dan dimungkinkan terjadi peningkatan setiap tahunnya.
6.
Yang penting ijab qobul dulu
nanti pada waktunya akan mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama, untuk
tahun 2015 ada 33 perkara isbat nikah, dan sampai April 2016 ada 24 perkara,
akan tetapi tidak semua perkara isbat nikah bermula dari perkawinan usia dini
saja bahkan terjadi lonjakan perkara setiap tahunnya.
7.
Banjir vidio Pornografi dan porno
aksi.
8.
Di Indonesia masih banyak anak
–anak usia dini yang tidak tamat Sekolah Dasar/sederajat atau tidak tamat
SMP/MTs. Dan masih banyak factor lainnya.
Dampak
negative perkawinan usia dini
diantaranya adalah :
-
Pendidikan anak terputus : perkawinan
dini menyebabkan anak putus sekolah hal ini berdampak pada rendahnya tingkat
pengetahuan dan akses informasi pada anak.
-
Kemiskinan : dua orang anak yang menikah dini
cenderung belum memiliki penghasilan yang cukup atau bahkan belum bekerja. Hal
inilah yang menyebabkan pernikahan dini rentan dengan kemiskinan.
-
Kekerasan dalam rumah tangga: dominasi
pasangan akibat kondisi psikis yang masih labil menyebabkan emosi sehingga berdampak pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT).
-
Kesehatan psikologi anak: ibu yang
mengandung di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, kurang
sosialisasi dan juga mengalami krisis percaya diri
-
Anak yang dilahirkan : Saat anak yang
masih bertumbuh mengalami proses kehamilan, terjadi persaingan nutrisi dengan
janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu hamil seringkali sulit naik,
dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi, serta berisiko
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Didapatkan bahwa sekitar 14% bayi
yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 16 tahun adalah prematur. Anak
berisiko mengalami perlakuan salah dan atau penelantaran. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan usia dini berisiko
mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan
cenderung menjadi orangtua pula di usia dini
-
Kesehatan Reproduksi : kehamilan pada usia kurang
dari 16 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada
anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka
kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun
berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan
kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada
kelompok usia 15-19 tahun. Hal ini disebabkan organ reproduksi anak belum
berkembang dengan baik dan panggul juga belum siap untuk melahirkan. Data dari
UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini
disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan
kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke
dalam vagina. Selain itu, juga meningkatkan risiko kanker service dan penyakit
menular seksual dan penularan infeksi HIV.
-
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini
mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut
para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat
mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan
dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh
karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk
pria dan 16 tahun untuk wanita.
Menurut penulis, UU. no. 1 tahun 1974 bahwa
usia minimal 16 tahun bagi perempuan dan
19 tahun bagi laki-laki sudah waktunya diamandemen karena dulu masyarakat Indonesia masih
menargetkan anak untuk bekerja. Anak sudah dianggap matang pada usia 16 tahun bagi
wanita dan 19 tahun bagi pria karena
sudah mengalami pubertas. Akan tetapi, zaman sekarang, standar usia itu tak
relevan karena terbukti secara psikologis remaja belum bisa berpikir jernih dan
mengambil keputusan bertanggung jawab
apalagi punya hak dan tanggungjawab sebagai suami istri karena sebuah hukum yang baik harus bersifat
progresif, yakni disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan sosial
masyarakat.
Berdasarkan data
penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun
2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di
kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di
bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik
menjadi 3 juta orang pada 2030. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional Surya Chandra Surapaty menjelaskan dari sisi kesehatan. Dia
mengatakan, leher rahim remaja perempuan masih sensitif sehingga jika
dipaksakan hamil, berisiko menimbulkan kanker leher rahim di kemudian hari.
Risiko kematian saat melahirkan juga besar pada usia muda. Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan, 48 orang dari 1.000 remaja putri usia
15-19 tahun sudah melahirkan.
Mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia Inang Winarso menambahkan, perkawinan di usia anak
memperpanjang usia reproduksi perempuan dan meningkatkan peluang perempuan
untuk lebih sering hamil. Jika tidak dikendalikan, jumlah rata-rata anak per
perempuan usia subur Indonesia yang pada 2002-2012 stagnan di 2,6 anak sulit
diturunkan. Tingginya jumlah kelahiran mempersulit negara meningkatkan kualitas
penduduk.
Kondisi itu mengancam peluang Indonesia yang
saat ini memasuki bonus demografi untuk melompat menjadi negara maju. Syarat
meraih bonus demografi itu antara lain penduduk berkualitas dan masuknya
perempuan dalam pasar kerja. Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat
justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara
pandang masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal
yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan
wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan
pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Perkawinan usia dini sedikit mempunyai sisi positif, saat ini pacaran yang
dilakukan muda-mudi tidak mengindahkan norma-norma agama, kebebasan sudah melampui batas, akibat kebebasan itu
kerap terjadi tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini
menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah memprihatinkan.
Kesimpulan
1.
Perkawinan usia dini merupakan
upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut sekaligus sebagai solusi
legal yang salah satunya melalui dispensasi kawin di Pengadilan Agama dan
sesuai pertimbangannya Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolaknya.
2.
Negara melarang pernikahan usia dini adalah dengan
berbagai pertimbangan terutama untuk
mencapai kemaslahatan sesuai kaidah “tasharruful Imami alarra’iyati
Manuthun Bilmashlahah , artinya, kebijakan
pemimpin dalam urusan public harus
berorientasi pada kemaslahatan
3.
Pernikahan usia dini tentunya
bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada
pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri
dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif
terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ideal ”matang”
mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama.
Saran dan Penutup
Setiap
perbuatan hukum yang dilakukan menurut hukum, berakibat mendapat perlindungan
hukum, khususnya masalah hukum perkawinan di Indonesia. Perkawinan usia dini
harus dihindari sejak dini dan jangan berurusan dengan Pengadilan Agama kalau
sudah sekali pernah bercerai, maka ada kecenderungan ingin kedua kali, ketiga kali dan seterusnya.
Demikian
tulisan yang belum
sempurna ini semoga ada manfaatnya dan terimakasih,
Blitar, 18 Mei 2016.
Tentang
Penulis :
Nama : Drs.
H. Sudono, M.H.
Tempat/tanggal
lahir : Kudus/ 12
Agustus 1962
N I P :
1962 08 12 1990 03 1 005
Pangkat/Jabatan : Pembina Utama Muda IV / C / Hakim Madya Utama
Instansi
: Pengadilan Agama Blitar
Pendidikan
Formal :
-
Madrasah
Ibtidaiyah di Kudus 1974
-
Madrasah
Tsanawiyah Negeri Jember 1981
-
Madrasah
Aliyah Negeri Jember 1984
-
Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Ponorogo 1989 ( S 1 )
-
Pendidikan
Calon Hakim Pengadilan Agama IAIN SGD Bandung 1994/ 1995
-
Ilmu Hukum
Pascasarjana UNISMA Malang 2007 ( S 2 )
Pengalaman
Kerja/Jabatan :
-
Calon
Pegawai Negeri Sipil di PA. Dabo Singkep Riau 1990
-
Pegawai
Negeri Sipil di PA Dabo Sngkep Riau 1991
-
Wakil
Sekretaris PA Dabo Singkep Riau 1993- 1995
-
Panitera
Pengganti PA Dabo Singkep Riau 1993 - 1995
-
Hakim
Pengadilan Agama Dabo Singkep Riau 1995 s/d 2001
-
Hakim
Pengadilan Agama Purbalingga 2001 s/d
2004
-
Hakim
Pengadilan Agama Banyuwangi 2004 s/d 2010
-
Hakim
Pengadilan Agama Lumajang 2010 s/d 2013
-
Hakim
Pengadilan Agama Blitar 2013 s/d sekarang.
[1] Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan.
[2] Ade Manan Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur,
PT.Gramedia Jakarta, 2010, hal.110
[3] Q.S. Arrum ayat 21.
[5] H. Arso Sosroatmodjo, SH., H.A. Wasit Aulawi,SH., Hukum Perkawinan di
Indonesi, Bulan Bintang, jakarta, hal.
35
[9] Pasal 1 angka 5 UU No.39 tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia,
pasal 1 ayat (1) UU.No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hanya menyebut
usia dewasa minimal 18 tahun.
[10] Pasal 69 UU.No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[11] Laporan tahunan tahun 2015 Pengadilan Agama Blitar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar