Rabu, 09 September 2020

KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK

 

KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK

 

Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1].



 

Pendahuluan

Hakim dan aparat penegak hukum lain harus tidak ragu lagi menggunakan alat bukti elektronik sebagai bagian dari cara untuk membuktikan kasusnya di pengadilan. Jenis bukti elektronik akan berkembang sedemikian cepat sehingga penegak hukum harus mengikuti perkembangan alat bukti elektronik.

Penggunaan alat bukti elektronik dewasa ini memang semakin banyak digunakan masyarakat seperti e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan teleconference, hasil rekaman tersembunyi atau hasil rekaman penyadapan, informasi elektronik, dokumen elektronik dan sarana elektronik lainnya yang dijadikan media penyimpanan data. Pemeriksaan alat bukti yang menggunakan teknologi, pertama kali diajukan  di  pengadilan  tahun  2002,  yaitu  dalam proses pemeriksaan saksi BJ Habibie dengan menggunakan teleconference pada kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung. Saat itu belum ada dasar hukum yang mengatur mengenai keabsahan alat bukti elektronik   hanya perolehan izin dari Mahkamah Agung  sehingga tidak dapat dijamin bahwa kesaksian tersebut memiliki kekuatan pembuktian. Sedangkan, kasus pertama di Indonesia yang menggunakan alat bukti elektronik  sebagai alat bukti yang  sah  dan  telah  diatur  dalam  undang-undang adalah kasus Prita Mulyasari dengan pidana pencemaran nama baik melalui e-mail.

   Di Indonesia, alat bukti elektronik telah diatur dalam berbagai undang-undang, namun penyelenggaraan alat bukti elektronik dalam persidangan belum diatur aspek legalitas formilnya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terkait keabsahan alat bukti elektronik dalam hukum acara. Teknologi telah melahirkan berbagai sarana dan alat elektronik yang digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. Pengakuan alat  bukti  elektronik  sebagai  alat  bukti yang  sah  merupakan terobosan yang  positif dalam sistem peradilan di Indonesia.

Pembangunan di bidang   hukum    merupakan     bagian    dari  pembangunan nasional karena hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat masyarakat tidak boleh ketinggalan dari proses perkembangan yang terjadi di masyarakat. Salah satu fenomena yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi dan informasi antara lain munculnya era internet dan berbagai alat elektronik yang memudahkan manusia dalam berkomunikasi dan menjalankan kegiatannya.

Indonesia sangat memerlukan adanya pembaharuan hukum acara atau hukum formil dengan fungsi untuk menerapkan hukum materiil ke dalam peristiwa konkrit yang terjadi di masyarakat. Hal ini mengingat   semakin   pesatnya   perkembangan   dan pembaharuan hukum materiil dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibentuk secara parsial sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang baru juga dibentuk seiring dengan pengaturan mengenai hukum formilnya, sekalipun pada dasarnya hukum acara pidana bersumber pada KUHAP sebagai hukum positif. Hal ini menujukkan bahwa alat bukti elektronik hanya diatur secara parsial dalam peraturan perundang-undangan dan tidak terkodifikasi sehingga diperlukan suatu peraturan yang mengatur mengenai hukum formil yang terkodifikasi dan berlaku secara nasional.

 

A.      Permasalahan

Dari judul diatas akan timbul permasalahan sebagai berikut :

1.      Sejauhmana keabsahan penyampaian alat bukti elektronik di persidangan tanpa menunjukkan aslinya.

2.      Apakah menampilkan alat bukti elektronik melalui teleconference di persidangan sudah  dapat  dikatakan  disampaikan di depan  hakim  secara  langsung merupakan alat bukti elektronik yang sah.

 

B.      Pembahasan

Untuk memperjelas tentang judul diatas perlu sedikit penulis jelaskan hal berikut:  “alat” berarti, yang dipakai untuk mencapai maksud, bahkan dalam istilah hukum “alat” adalah sesuatu yang dipakai untuk menjalankan kekuasaan negara[2] (polisi, tentara). Sedangkan “bukti” adalah sesuatu keterangan, tanda yang menyatakan kebenaran sesuatu peristiwa[3]. Sehingga “alat bukti” berarti alat yang dapat menjelaskan  suatu keterangan yang menyatakan kebenaran sesuatu peristiwa,  baik di dalam persidangan maupun diluar persidangan.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa alat buti disebut Al-bayyinah[4] dan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah sebagai segala sesuatu yang da­pat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar) di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi, dan berbagai indikasi yang dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya. lbnu Qayyim al-Jauziah lebih jauh mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat digunakan di hadapan majelis hakim. Namun, tidak semua alat bukti tersebut diterima oleh ulama fikih. Oleh sebab itu, ada alat bukti yang disepakati para ahli fikih, kendati dalam meletakkan persyaratan dan perinciannya masing-masing ahli berbeda-beda, dan ada pula alat bukti yang diperselisihkan.

Alat bukti yang disepakati oleh ulama fikih ada-lah sebagai berikut.

(1)   Kesaksian (asy-syahadah). Jumlah saksi yang dapat diterima berbeda-beda sesuai dengan jenis perkara yang diajukan. Ada yang cukup dua orang saksi, ada yang harus empat orang saksi, namun ada juga yang hanya satu orang saksi dengan sumpahnya.

(2)   Ikrar (al-iqrãr), yaitu pengakuan dari pihak tergugat bahwa apa yang digugat oleh penggugat adalah benar. Dalam kaitan dengan ikrar sebagai alat bukti, ulama fikih menyatakan bahwa pengakuan (ikrar) itu merupakan tuan dari alat-alat bukti. Artinya, ikrar merupakan alat bukti yang sangat meyakinkan, sangat sahih, dan tidak diragukan sama sekali.

(3)   Sumpah (al-yamin), yaitu alat bukti yang dapat digunakan ketika pihak penggugat lemah.

(4)   Nukul (penolakan pihak tergugat untuk bersumpah dalam menguatkan haknya). Jika tergugat menolak untuk bersumpah di depan majelis hakim, hal ini merupakan indikasi pengakuannya atas apa yang digugat oleh pengguqat.

(5)   Qarinah, yaitu berbagai indikasi yang menunjukkan kebenaran atau ketidakbenaran gugatan.

(6)   Qasamah, yaitu sumpah yang dilakukan berulang kali oleh penggugat dalam kasus pembunuhan atau sumpah yang dilakukan oleh masyarakat daerah sekitar terjadinya pembunuhan atau kejadian perkara, yang bertujuan untuk menyatakan  bahwa mereka bukan pembunuhnya[5]. Dari ke 6 alat bukti tersebut, penulis tidak perlu membeberkan dalam tulisan ini, akan tetapi  perlu memahami alat bukti elektronik berikut ini.

 

C.      Memahami Alat Bukti Elektronik

          “Elektronik” adalah alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika atau benda yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika[6]. Alat bukti elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor  11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( selanjutnya disingkat UU ITE ) memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan. UU ITE menyatakan bahwa  Alat Bukti Elektronik” ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil. Bahkan diperjelas dalam pasal  5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Dalam memahami alat bukti elektronik dimaksud  berdasarkan pasal 1 butir 1 UU ITE, bahwa  informasi elektronik tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Kemudian yang  dimaksud dengan Dokumen Elektronik menurut Pasal 1 butir 4 UU ITE adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3[7]. Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokan menjadi dua bagian. Pertama Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kedua, hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. Karena itu Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat. Bahkan dapat diperluas lagi tentang jangkauan Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat  dijadikan alat bukti hukum yang sah.

M. Yahya Harahap, S.H.[8], menjelaskan bahwa alat bukti yang lama dianggap tidak komplit, karena system itu tidak menyebut dan memasukkan alat bukti modern yang dihasilkan perkembangan ilmu pengetahuan dan  teknologi, misalnya alat bukti elektronik (electronic evidence) , meliputi data elektronik ( electronis data), berkas elektronik (electronic file ), selanjutnya dikatakan juga bahwa “tidak saja data elektronik yang muncul belakangan ini sebagai alat bukti, tetapi juga bentuk yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti foto, film, pita suara, dan DNA. Berdasarkan kenyataan perkembangan dimaksud, kearah perkembangan peradaban  , layak dan beralasan meninggalkan system pembatasan alat  bukti yang klasik, kearah perkembangan peradaban, karena dari bentuk atau jenis alat bukti baru  tersebut, kemungkinan besar akan diperoleh  kebenaran yang lebih jelas dan utuh. Karena itu dianggap berlalasan memberi kebebasan kepada hakim menerima segala bentuk dan jenis alat bukti yang diajukan para pihak sepanjang hal itu tidak melanggar kepatutan dan ketertiban umum.

 

D.      Alat Bukti Elektronik Harus Penuhi Syarat Formil Dan Materiil

Yang harus diperhatikan tentang keabsahan  Alat Bukti Elektronik dinyatakan pasal 5 ayat (4) UU ITE bahwa,  Syarat formil  Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keautentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.

Berdasarkan uraian diatas dapat dijadikan standart bahwa dalam menggunakan alat bukti elektronik seperti , email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan dalam banyak hal alat bukti elektronik dan hasil cetaknya. Sudah ada beberapa putusan yang membahas mengenai kedudukan alat bukti elektronik.

 

Alat Bukti Saksi Melalui Teleconference

KUHAP   telah   mengatur bahwa keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, apabila “dinyatakan” di sidang pengadilan dan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Hal ini sesuai Pasal 185 ayat (1) jo Pasal 160 Ayat (3) KUHAP. Permasalahannya, apakah menampilkan saksi melalui teleconference di persidangan sudah  dapat  dikatakan  disampaikan di depan  hakim  secara  langsung dan tranparan ?  Jika dikaji lebih dalam pemeriksaan saksi melalui teleconference pada dasarnya sama dengan pemeriksaan saksi yang dilakukan di  muka persidangan. Saksi memberikan keterangannya  secara  lisan  dan  pribadi  di  muka persidangan. Perbedaannya hanya saja saksi tidak hadir secara fisik di  ruang persidangan, melainkan hadir secara visual dalam layar media elektronik.

Berkenaan dengan pemeriksaan saksi, jika saksi tersebut berada diluar wilayah hukum Pengadilan Pemeriksa, maka pemeriksaan saksi tersebut dapat dilakukan melalui teleconference. Untuk melakukan pemeriksaan saksi melalui teleconference, Ketua Pengadilan harus meminta bantuan pada Ketua Pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal saksi, agar menunjuk Hakim dan Panitera. Kemudian Pengadilan yang mewilayahi saksi tersebut harus menunjuk Hakim  dan Pantera yang akan mengangkat sumpah dan melihat langsung pada tempat dimana dilakukan teleconference Kemudian hasil pemeriksaan sidang tersebut berupa berita acara sidang dikirim kepada Pengadilan yang meminta bantuan. Berdasarkan sistemPeradilan e-Court, pemeriksaan tetap dilakukan oleh Pengadilan semula , Pengadilan yang diminta bantuan hanya menyaksikan pemeriksaan tersebut. Artinya kehadiran Hakim dan Panitera hanya sebatas memmastikan tentang pemeriksaantersebut secara fisik[9] dan praktek persidangan diatas pernah dilakukan di Pengadilan Agama Surabaya[10].

Permasalahan berikutnya terkait  dengan  rekaman. Pada prakteknya rekaman ini menjadi pro kontra, disatu sisi mengandung kebenaran materiil guna membuat terang adanya suatu tindak pidana, namun disisi lain merekam pembicaraan tanpa ijin atau tanpa diketahui oleh yang bersangkutan menyebabkan privasinya terganggu. Padahal hukum pidana mencari kebenaran materiil.

Pengaturan yang kurang mengenai alat bukti elektronik, menunjukkan bahwa hukum di Indonesia belum mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat dan hal ini berdampak pada proses beracara atau persidangan di pengadilan, khususnya hukum acara pidana di Indonesia. Sidang pembuktian pada  hukum  acara  pidana  yang  menggunakan alat bukti elektronik belum optimal. Pengakuan terhadap bukti  elektronik sebagai  alat  bukti  yang  sah  dapat digunakan di pengadilan, belumlah cukup memenuhi kepentingan  praktik  peradilan,  karena  baru merupakan pengaturan dalam tataran hukum materiil. Mengingat praktek peradilan didasarkan pada hukum acara sebagai hukum formil yang bersifat mengikat, maka pengaturan bukti elektronik (sebagai alat bukti yang sah untuk diajukan ke pengadilan) dalam bentuk hukum formil sangat diperlukan guna tercapainya kepastian hukum.

 Dalam hukum pembuktian, suatu alat bukti dikatakan sebagai alat bukti yang sah adalah tidak hanya alat bukti tersebut diatur dalam suatu undang-undang (bewijsmiddelen) tetapi bagaimana alat bukti tersebut diperoleh dan cara pengajuan alat bukti tersebut di pengadilan (bewijsvoering), serta dan kekuatan pembuktian (bewijskracht) atas masing- masing alat bukti yang diajukan tersebut juga sangat mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menilai keabsahan suatu alat bukti. Misalnya mengenai alat bukti saksi. Dalam KUHAP, diatur bahwa pemeriksaan alat bukti saksi harus disampaikan langsung di muka persidangan atau hakim. Yang menjadi  persoalan  adalah  bagaimana implementasinya apabila aturan itu diterapkan bagi saksi yang akan memberikan keterangannya dengan menggunakan teleconference. Apakah keterangan saksi  itu  tetap  dapat  dikatakan sah  padahal  secara teknis saksi tersebut tidak hadir di muka persidangan.

 

Alat Bukti Elektronik  Berupa Rekaman

Secara materiil telah terbukti adanya unsur-unsur tindak  pidana  yang  terkandung di  dalam rekaman, namun   pada   prakteknya   rekaman   sering   ditolak sebagai  alat  bukti  yang  sah  di  pengadilan  karena Pembuktian  memegang  peranan  yang penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian inilah yang menentukan bersalah atau tidaknya  seseorang  yang  diajukan  di  muka pengadilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan dengan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan dari orang tersebut maka akan dilepaskan dari hukuman, sebaliknya apabila kesalahan dapat dibuktikan maka dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.

 Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H., Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA dalam pengantar tulisannya mengutip tentang adanya pengalihan data tertulis ke dalam bentuk data elektronik telah di akomodir dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pada bagian menimbang huruf F dinyatakan bahwa "kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik”. Selanjutnya dipertegas “dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya dan merupakan alat bukti yang sah" sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) Jo Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1997. Hal ini berarti dokumen elektronik khususnya mengenai dokumen perusahaan merupakan alat bukti yang sah jauh sebelum diterbitkannya UU ITE. Karena itulah  Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE telah mengatur dengan jelas kedudukan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti yang sah dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (1) UU ITE (Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016).

Penulis sependapat dengan masuknya pasal Pasal 6 UU ITE yakni “informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”. Selain itu, terdapat pula kekhususan dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik serta transaksi elektronik.

E.      Cara Menyampaikan Alat Bukti Elektronik Di Pengadilan

Pasal 6 UU ITE menyebutkan “Dijamin keutuhannya” berarti tidak diubah-ubah bentuknya sejak dari dokumen elektronik tersebut disahkan. Tata cara penyerahan menjadi penting karena menyangkut sah atau tidaknya hukum acara perdata yang diterapkan dan dalam rangka memenuhi unsur "dijamin keutuhannya".Ternyata dalam UU ITE maupun UU lainnya tidak mengatur mengenai tata cara penyerahannya di persidangan. Karenanya ada keharusan untuk diserahkan di persidangan dan pihak lawan dapat melihat alat bukti elektronik yang berupa rekaman dan lainnya,  sejalan dengan maksud pasal 137 HIR  bahwa “Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya, surat mana diserahkan kepada hakim buat keperluan itu”. Dalam menjaga asas keterbukaan pembuktian dipersidangan maka ketentuan 137 HIR juga harus dapat diterapkan pada dokumen elektronik ketika pihak lawan meminta untuk diperlihatkan. Untuk itu, diperlukan perangkat teknologi berupa laptop maupun proyektor agar dapat menampilkan dokumen elektronik.

 

F.       Tandatangan Elektronik Dalam Alat Bukti Elektronik

 Lebih lanjut dinyatakan dalam pasal 11 UU ITE sehingga memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah yakni a. data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan, b. data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan, c. segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, d. segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.  Butir-butir kriteria di atas juga mengandung aspek keamanan dokumen elektronik sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 12 ayat 1 pada UUITE, diantaranya keaslian (authentication), keutuhan (integrity), dan anti penyangkalan (non repudiation). Lebih lanjut keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. Jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta[11].

Berikut pembagian kriteria dalam Pasal 11 UU ITE dan aspek jaminan keamanan dalam Pasal 12 UU ITE menyebutkan:

1.      Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan (Keaslian/Authentication)

2.      Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan (Keaslian/Authentication)

3.      Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui (Keutuhan/Integrity)

4.      Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui (Keutuhan/Integrity)

5.      Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya (Anti Penyangkalan/Non Repudiation)

6.      Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait (Anti Penyangkalan/Non Repudiation).

Berpijak dari ke enam jaminan keamanan Tandatangan elektronik yang mampu menjamin terpenuhinya angka 1 dan 6 diatas adalah tanda tangan yang tersertifikasi dan dapat "dipertanggungjawabkan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU ITE. Hal ini karena berfungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas identitas penandatangan, keutuhan dan keautentikan informasi elektronik serta dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Dari uraian diatas penulis sependapat dengan Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.,yang menyimpulkan  bahwa: Eksistensi dokumen elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah di persidangan perdata sesuai dengan UU Dokumen Perusahaan dan UU ITE namun sebagai bagian dari hukum acara, dokumen elektronik belum memiliki pengaturan tata cara penyerahannya di persidangan, tata cara memperlihatkannya kepada pihak lawan dan sedang disusun regulasi mengenai standarisasi jasa penyelenggara sertifikasi elektronik. Tata cara penyerahan dan memperlihatkan dokumen elektronik dipersidangan dapat dijawab melalui pengembangan praktik di persidangan namun untuk memberikan kepastian hukum maka perlu diatur dalam Hukum Acara Perdata atau disusun dalam Peraturan Mahkamah Agung.

 

G.     Kedudukan Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti

Maksud keabsahan terhadap alat bukti elektronik ini adalah bukti elektronik itu, baik secara perolehan maupun isinya, dapat diperoleh dengan cara yang sah dan legal. Kedudukan bukti elektronik sebagai alat bukti yang mandiri telah dipertegas eksistensinya melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Bahkan lebih lanjut, ketentuan Pasal 5 ayat (2) juga menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”

Dalam masalah pidana telah ada ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan: “Alat bukti yang sah dalam dalam bentuk Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

a.      Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan

b.      Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

 Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 26 A huruf a UU Tipikor menyebutkan yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik”, misalnya data yang disimpan dalam mikrofilm, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM), sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” adalah tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimile.” Termasuk pula CCTV  sebagai penafsiran pasal 5 ayat (1) dan (2) dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26 A UU Tipikor menyatakan bahwa khusus bukti elektronik (informasi/dokumen elektronik) harus dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang dan yang lebih penting bukti elektronik tersebut dapat dijaga keasliannya.

Alat bukti elektronik adalah hasil tehnologi tinggi seperti microfilm, microfiche, dan facsimile ( bukan cap tanda tangan) juga dapat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis hal ini dapat disimpulkan dari putusa Mahkamah Agung tanggal 14 April 1976 Nomor 701 K/Sip/1974,  bahkan Mahkamah Agung dalam suratnya tanggal 14 Januari 1988 Nomor 39/TU/88/102/Pid, yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman, Mahkamah Agung mengemukakan pendapatnya bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah[12] dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184  ayat (1) sub c KUHAP, dengan catatan baik microfilm maupun microfiche itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi  maupun berita acara. Termasuk juga untuk perkara perdata berlaku pula pendapat yang sama, sehngga copi surat Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman kemudian disebarluaskan kepada Ketua Pengadilan Negeri seluruh  Indonesia.

Walaupun   UU   No.   20/2001,   UU   No.15/2002   dan   UU   No.   15/2003   telah   mengakui legalitas informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi keberlakuannya masih terbatas pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Di dalam UU No. 20/2001, UU No. 15/2002 dan UU No. 15/2003 juga belum ada kejelasan mengenai legalitas  print  out  sebagai alat bukti dan juga belum diatur tata cara yang dapat menjadi acuan dalam hal perolehan dan pengajuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti ke pengadilan. Dasar hukum penggunaan alat bukti elektronik   di   pengadilan   menjadi   semakin   jelas setelah diundangkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang  Informasi  dan  Transaksi  Elektronik  (UU ITE). UU ITE ini dinilai lebih memberikan kepastian hukum dan lingkup keberlakuannya lebih luas, tidak terbatas pada tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme saja.

Selain mengakui informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, UU ITE juga mengakui print out (hasil cetak) sebagai alat bukti hukum yang sah. Demikian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE yang mengatur bahwa:

(1)  Informasi  Eletkronik  dan/atau  Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi  Elektronik dan/atau  Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Pasal 5 ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa keabsahan alat bukti elektronik ini diakui oleh hakim apabila menggunakan Sistem Elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU ITE, yaitu yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

a.  Dapat      menampilkan      kembali      Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;

b.  Dapat     melindungi     ketersediaan,     keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

c.  Dapat  beroperasi  sesuai  dengan  prosedur  atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

d.  Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan

e.  Memiliki mekanisme yang  berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Sehubungan dengan adanya syarat minimum diatas, menurut  penulis yang terpenting adalah alat bukti itu di dapat secara sah. Dan diperlukan campurtangan  seorang ahli digital forensic akan membantu menentukan keabsahan suatu alat bukti elektronik di persidangan. Berangkat dari prinsip bahwa every evidence can talk, yang dapat membuat alat bukti elektronik “berbicara” adalah seorang ahli digital forensic. Penjelasan ahli tersebut nantinya akan dilakukan dengan cara merekonstruksi alat bukti elektronik, sehingga membuat terang jalannya persidangan[13].

 

Kesimpulan

1.         Bahwa alat bukti elektronik dikatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan UU  ITE.  Pasal  16  ayat  (1)  UU  ITE  menyatakan bahwa suatu  bukti elektronik dapat  memiliki kekuatan hukum jika informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungajwabkan, dapat diakses,  dan  dapat  ditampilkan  sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menujukkan bahwa informasi yang diimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya sehingga  alat bukti elektronik itu di dapat secara sah.

2.         Bahwa pemeriksaan alat bukti melalui teleconference pada dasarnya sama dengan pemeriksaan alat bukti yang dilakukan di  muka persidangan dan  Informasi  Eletkronik  dan/atau  Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Contoh Saksi memberikan keterangannya  secara  lisan  dan  pribadi  di  muka persidangan. Perbedaannya hanya saja saksi tidak hadir secara fisik di  ruang persidangan, melainkan hadir secara visual dalam layar media elektronik. Disamping itu pihak yang mengajukan bukti elektronik sebagai alat bukti, telah melakukan  upaya   yang   patut   untuk   memastikan bahwa alat bukti  elektronik tersebut dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaannya,   termasuk  alat   bukti   saksi melalui   teleconference.

 

S a r a n

Untuk mewujudkan kepastian hukum UU ITE belum cukup mengatur mengenai persyaratan formil  alat bukti elektronik,  sehingga diperlukan  kebijakan  hukum  yang mengatur ulang materi hukum acara dan proses penegakan hukumnya. Dengan dilakukannya pembaharuan hukum acara maka dapat mengakomodasi perkembangan alat bukti elektronik seiring  dengan  kemajuan  teknologi  dan  informasi guna memenuhi kebutuhan praktik praktisi hukum di sidang Pengadilan.

 

Penutup

Demikian tulisan tentang “KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK” semoga banyak manfaatnya dan mohon maaf atas kekurangan dan kekhilafan dalam tulisan ini , terimakasih.

 

Blitar, 10 Februari 2020

Penulis

                               Description: _Pic2

          Drs. H. SUDONO, M.H.

 

Daftar Rujukan

-          Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007.

-          Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006.

-          Dr. Drs. Aco Nur, SH., M.H., Dr. Amam Fakhrur, Hukum Acara Elektronik di Pengadilan Agama Ea Baru Sistem Peradilan di Indonesia, Editor : Dr. Sugiri Permana, Nizamia Learning Center, 2019.

-          M. Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Cetakan Keempat, Jakarta, Mei 2006, hal. 555 – 556.

-          Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke Tujuh, Liberty, Yogyakarta, 1998.

-          Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP).

-          Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

-          Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP).

-          Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.

-          https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c4ac8398c012/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana/

-          http://cyberlaw.id/alat-bukti-elektronik-digital-evidence-dalam-uu-ite/

 

 

 

     Identitas Penulis

 Nama           : Drs. H. Sudono, M.H.

Jabatan          : Hakim Utama Muda

Satuan Kerja : Pengadilan Agama Blitar Kela 1 A

Nomor HP.   : 081 327 088 322

Email            : sudono.alqudsi@gmail.com

 



[1]Hakim Utama Muda Pengadilan Agama Blitar Kelas 1 A

[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hal. 27

[3] Ibid, hal. 172

[4] Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006, hal.206

[5] Ibid, hal. 208

[6] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hal.  294.

[8] M. Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Cetakan Keempat, Jakarta, Mei 2006, hal. 555 – 556.

[9] Dr. Drs. Aco Nur, SH., MH., Dr. Amam Fakhrur, Hukum Acara Elektronik di Pengadilan Agama Ea Baru Sistem Peradilan di Indonesia, Editor : Dr. Sugiri Permana, Nizamia Learning Center, 2019, hal.138

[10] Ibid, hal. 139.

[11]Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke Tujuh, Liberty, Yogyakarta, 1998, Hal. 149.

[12]Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Ibid, Hal. 165-166.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar