Rabu, 16 September 2020

JANGKAUAN PASAL 84 AYAT (4) UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

 


JANGKAUAN PASAL 84 AYAT (4) UU NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG PERADILAN AGAMA

Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1].

                 Kewajiban adalah peran yang sifatnya imperatif atau harus dilaksanakan. Bila kewajiban tidak dilakukan maka seseorang dapat dikenakan sanksi, baik secara hukum maupun sanksi sosial[2]. Menurut KBBI, arti kewajiban adalah sesuatu yang diwajibkan, atau sesuatu yang harus dilaksanakan[3]. Menurut Prof. R. M. T. Sukamto Notonagoro bahwa kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh pihak tertentu dengan rasa tanggung jawab yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan[4].

“Kewajiban Hukum” merupakan suatu kewajiban dalam suatu organisasi atau dalam suatu kegiatan sehari-hari, dimana setiap orang wajib mentaati setiap peraturan yang ada, baik itu aturan dalam suatu perusahaan, aturan mengenai kode etik profesi dalam suatu organisasi ataupun aturan-aturan lainnya[5]. Jadi sangat jelas bahwa kewajiban hukum bagi setiap orang wajib ditaati, namun dibalik itu ada kepentingan hukum yang lebih diutamakan guna menghindari keadaan yang lebih parah.

Sehubungan dengan pengertian “kewajiban” dalam tulisan ini pasal  84 ayat (4) UU No. 7 tahun 1989 menyebutkan:  Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak. Selanjutnya dalam penjelasan  Pasal 84 Ayat (4) dinyatakan Cukup jelas. Lalu apa yang bisa dijangkau dari pasal 84 ayat (4) UU.No.7/1989 ?

   Panitera berkewajban memberikan akta cerai, Karena pasal tersebut sangat jelas dan tegas dan bersifat inperatif. Karena itu “berkewajiban memberikan akta cerai” , yang dimaksud bahwa Panitera punya kewajiban hukum yang dibebankan oleh UU. Kalau UU menyatakan bahwa pasal 84 ayat (4) UU Nomor 7 tahun 1989 cukup jelas, berarti untuk menyimpangi aturan tersebut diperlukan contra legem , analoq agar mendapatkan keyakinan dalam menerapkan pasal tersebut. Oleh Karena itu penulis berpendapat bahwa :

a.     Adanya kewajiban hukum

-    Panitera membuat dan menandatangani Akta Cerai,  lalu  memberikannya kepada para pihak adalah “kewajiban hukum”. yang dibebankan oleh UU di pundak Panitera.

-   SAMA  dengan kewajiban hakim mendamaikan para pihak dalam persidangan adalah kewajiban hukum, sehingga kalau pemeriksaan perkara perceraian (perdata) tanpa didamaikan maka melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan[6]. Karenanya inilah “kewajiban hukum” yang dibebankan oleh UU di pundak Hakim.

-   SAMA dengan kewajiban kepala Desa /Lurah yang mendapat amanat menyampaikan panggilan yang tidak bertemu para  pihak[7] . Kepala Desa/Lurah diwajibkan dengan segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, inilah “kewajiban hukum” yang dibebankan oleh UU di pundak Kepala Desa/Lurah.

-     Dari ketiga contoh diatas maka jangkauan Panitera berkewajiban memberikan akta cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,  harus dibaca dengan menganalogikan kasus ini dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor  1 Tahun 2011 tentang Penyampaian Salinan Putusan.

-     Pasal 64 A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 menentukan bahwa pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.

-     Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 1 Tahun 2011 pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 64 A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 harus dibaca bahwa dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak perlu menyampaikan salinan putusan kepada para pihak, akan tetapi salinan putusan harus sudah dipersiapkan dalam waktu tersebut.

-     Karena pasal 84 ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 1989 cukup jelas maka jangkauan yang dapat dilakukan yaitu dengan menganalokkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor  1 Tahun 2011 bahwa  Panitera berkewajiban memberikan akta cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,  harus sudah dipersiapkan dalam waktu tersebut,  dan Panitera tidak perlu  membuat PEMBERITAHUAN PUTUSAN TELAH BERKKEKUATAN HUKUM TETAP yang berisi agar Tergugat / Penggugat dapat mengambil akta cerainya sejak pemberitahuan ini di Pengadilan Agama……..

 

b.     Adanya kepentingan hukum

-       Kepentingan hukum diperbolehkan sepanjang demi kepentingan umum bukan untuk kepentingan organisasi, kantor  apalagi untuk pribadi. Hubungannya dengan Akta Cerai siapa yang mempunyai kepentingan hukum Panitera atau para pihak ?

-   Bahwa yang punya kepentingan hukum terhadap Akta Cerai adalah para pihak, bukan panitera, karena itu penulis serujuk dengan  SE- MA Nomor  1 Tahun 2011 bahwa  Panitera berkewajiban memberikan akta cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7  (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, yang dimaksud “memberikan”  harus sudah dipersiapkan dalam waktu tersebut, karena Panitera tidak ada kepentingan hukum terhadap Akta Cerai.

 

Kesimpulan

     Bahwa karena dalam pasal 84 ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 1989 cukup jelas maka Panitera mempunyai kewajiban hukum harus sudah menyiapkan dan memberikan Akta Cerai kepada para pihak yang  sudah dipersiapkan dalam waktu tersebut.

 

     Demikian  tulisan ini semoga ada manfaatnya, amiin , terimakasih

 

 

                                                                    Lamongan, 17 September 2020

                                                                Penulis

 

 

                                                                   Drs. H. Sudono, M.H.

 

 

 

 

 

 

 



[1] Hakim Utama Muda Pengadilan Agama Lamongan

[2] https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-kewajiban.html

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20111003215535AALoUOu

[6] Pasal 3 ayat (3) Perma Nomor 1 Tahun 2016

[7] Pasal 390(1) HIR, Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang akan disebut di bawah ini, harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya dan jika tidak dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau lurah bangsa Tionghoa yang diwajibkan dengan segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, dalam hal terakhir ini tidak perlu pernyataan menurut hukum.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar