PERTIMBANGAN HUKUM
DISSENTING OFINION
DALAM PERKARA
PERMOHONAN BOIDATA
Oleh : Drs. H.
Sudono, M.H.
Menimbang bahwa, dalam
menjatuhkan penetapan terhadap perkara
nomor-------- Pdt.P/2019/PA.BL. anggota majelis hakim tidak
sepenuhnya bersepakat yaitu Drs.H.Sudono, M.H., dalam hal ini telah melalukan
dissenting ofinion dengan mempertimbangkan sebagai berikut :
Menimbang bahwa, untuk melaksanakan
tugas peradillan terutama untuk mengadili dan menyelesaikan suatu perkara
diperlukan aturan hukum yang jelas apakah perkara tersebut dalam kompetensi
yuridis Pengadilan Agama atau bukan dan setelah membaca dan mempelajari dengan
seksama saya tidak sependapat dengan anggota majelis yang lain dengan
pertimbangan :
- Bahwa sejak
ditetapkannya Peraturan Menteri Agama RI. pasal 34 ayat (2) Peraturan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, “Perubahan yang
menyangkut biodata suami, isteri ataupun wali harus berdasarkan kepada putusan
Pengadilan pada wilayah yang bersangkutan.” Sebelumnya, dalam pasal 1 ayat 5
dijelaskan: “Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.”
-
Bahwa ternyata Peraturan Menteri Agama RI. Nomor 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Nikah, sebagaimana tersebut diatas, telah dinyatakan tidak
berlaku lagi berdasarkan pasal 45 Peraturan Menteri Agama RI. Nomor 19 Tahun
2018 Tentang Pencatatan Perkawinan yang menyatakan : Pada saat Peraturan
Menteri ini mulai belaku, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang
Pencatatan Nikah ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
- Bahwa khusus pasal pasal 34 ayat (1)
Peraturan Menteri Agama nomor 19 tahun 2018 tentang pencataan perkawinan yang
menyatakan : Pencatatan perubahan nama suami, istri dan wali
harus berdasarkan penetapan pengadilan negeri pada
wilayah yang bersangkutan. Kemudian Permenag ini diberlakukan Sejak ditetapkan oleh
Menteri Agama R.I tanggal 27Agusus 2018.
- Bahwa sebetulnya untuk
merubah biodata cukup dilakukan berdasarkan pasal 34 ayat (1) Peraturan Menteri
Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah yaitu caranya :
perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang
salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut , kemudian menulis
kembali perbaikannya dengan dibubuhi paraf oleh PPN , dan diberi stempel KUA
setempat, akan tetapi karena pasal tersebut juga ikut dinyatakan dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku, maka cukup meyakinkan saya
untuk melakukan dissenting ofinion dalam menjatuhkan
penetapan perkara ini.
- Bahwa Undang-Undang Nomor 23 tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata
Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil. Dua peraturan yang secara
hirarki ada di atas Peraturan Menteri Agama, yang ternyata tidak sejalan dengan
Peraturan Menteri Agama tersebut. Pencatatan Sipil adalah pencatatan
Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan
Sipil pada Instansi Pelaksana. Pencatatan sipil menjadi penting dalam system
adminsitrasi kependudukan dalam suatu Negara hukum, karena apapun dipandang sah
secara hukum jika bisa dibuktikan dengan adanya dokumen resmi yang diterbitkan
oleh Instansi Pelaksana sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari
pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Peristiwa Penting adalah
kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir
mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan
anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan
status kewarganegaraan.
- Bahwa Dalam Pasal 52
ayat (1) UU no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dijelaskan:
Pencatatan perubahan nama dilaksanakan
berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat pemohon.
Selanjutnya Dalam pasal 93 angka (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan
Pencatatan Sipil menjelaskan: “Pencatatan perubahan nama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:
a. salinan penetapan pengadilan negeri tentang
perubahan nama;
b. Kutipan Akta Catatan Sipil;
c. Kutipan Akta Perkawinan bagi yang sudah kawin;
d. fotokopi KK; dan
e. fotokopi KTP.
- Bahwa kedua peraturan tersebut (UU No.
23 tahun 2006 dan Peraturan Presiden RI.No. 25 Tahun 2008) tidak membedakan
antara yang beragama Islam maupun non islam sehingga berlaku untuk seluruh
warga Negara Indonesia bahkan yang mana penggunaan dari penetapan Pengadilan
Negeri tersebut tidak hanya terbatas pada perubahan dalam buku nikah, namun
juga meliputi dokumen administrasi lainnya.
-
Bahwa Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008, pasal 1 angka (15): “Pejabat
Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting
yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang – undangan.
-
Bahwa Pejabat PPN KUA juga termasuk dalam kategori Pejabat
pencatatan sipil karena dalam pasal 1 angka (20) Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008
disebutkan “Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya
disingkat KUA Kec, adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah,
talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama
Islam. Sehingga ketentuan yang ada dalam Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008 pasal
101 tersebut juga mengikat bagi PPN KUA Kecamatan.
- Bahwa dibandingkan
ketentuan Perpres tersebut pasal 101 huruf b yang menyebutkan “Pejabat
pencatatan sipil membuat akta pencatatan sipil baru untuk menggantikan akta
pencatatan sipil dimana terdapat kesalahan tulis redaksional, dan menarik serta
mencabut akta pencatatan sipil lama dari pemohon”, dengan Pasal 34 (1)
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007: “Perbaikan penulisan
dilakukan dengan mencoret kata yang salah dengan tidak menghilangkan tulisan
salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannnya dengan dibubuhi paraf
oleh PPN, dan diberi stempel KUA.
- Bahwa dari banyak perbandingan diatas,
pasal 34 Permenag RI Nomor 11 Tahun 2007 dan telah dicabutnya Permenag RI
tersebut dan telah diberlakukannya Permenag RI nomor 19 tahun 2018
pasal 34 ayat (1) dalam banyak hal bertentangan dengan Peraturan
Perundang-Undangan diatasnya secara hirarki (UU no. 23 tahun 2006 dan Perpres
RI Nomor 25 Tahun 2008), dan juga kurang memberikan pelayanan yang baik dengan
hanya mencoret sana coret sini, yang diaplikasikan dengan sama sekali tidak
memberikan pelayanan mengenai hal tersebut jika tidak ada putusan dari
Pengadilan Agama sehingga memberatkan masyarakat. Jika memang pasal 34 Permenag
RI Nomor 11 Tahun 2007 dan masih tetap dipertahankan Pengadilan Agama dengan
hanya berdasaran konsideran dalam Permenag nomor 19
tahun 2018, maka hal itu akan menjadi sesuatu yang diskriminatif bagi
masyarakat yang pernikahannya tercatat di KUA Kecamatan.
-
Bahwa kaidah ushul fiqih menyatakan :
الاصل فى الامر للوجوب
Artinya : pada
asalnya kata perintah itu (amr) menunjukkan kepada hukum wajib.
الحكم با لظواهر والله يتولى السرائر
Artinya : Hukum itu mengenai apa yang dhahir dengan perbuatan dan
perkataan manusia dan Allahlah yang menguasai apa yang masih dirahasiakan
manusia dalam hatinya.
- Bahwa berdasarkan
kaidah diatas perintah itu (amr) yang berupa Undang-Undang adalah bersifat imperatif untuk
dilaksanakan, karenanya hukum yang dhahir berupa Undang-Undang dan yang berupa
perbuatan dan perkataan adalah yang ditunjuk untuk melaksanaan adalah pejabat
yang diangkat oleh negara untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman
(aparat peradilan agama /hakim) sesuai dengan bunyi pasal peraturan perundangan
(Bidhdhawahir).
- Bahwa menurut Pasal 7 ayat (2) Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menegaskan bahwa Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa Jenis
hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas :
a. Undang Undang Dasar 1945.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
c. Undang Undang/Perpu.
d. Peraturan Pemerintah.
e. Peraturan Presiden.
f. Peraturan Daerah Provinsi
g.Peraturan Daerah
Kabupaten/Kotakekuatan hukum peraturan perundang-undangan
- Bahwa sesuai dengan
hierarki sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1). Maksud dari pasal tersebut
dapat disimpulkan :
1. Peraturan yang lebih tinggi harus
didahulukan dari pada peraturan yang lebih rendah hierarkinya.
2. Peraturan yang lebih rendah
hierarkinya, tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
hierarkinya.
3. Pembuat peraturan yang lebih
rendah harus memperhatikan dan memahami dengan seksama serta mematuhi tata
urutan perundang-undangan yang berlaku.
Menimbang
bahwa berdasarkan semua pertimbangan
tersebut diatas baik melalui hierarki peraturan perundangan maupun kaidah ushul
fiqih diatas , yang tidak saya setujui dan
melakukan dissenting ofinion ini, saya menyatakan bahwa perkara
permohonan perubahan, pembetulan biodata ataupun istilahnya baik perubahan
sebagian atau keseluruhan, terutama perkara permohonan nomor ------adalah
bukan kewenangan Pengadilan Agama akan tetapi kewenangan
Pengadilan Negeri dimana Pemohon bertempat tinggal hal
ini berdasarkan maksud pasal pasal 34 ayat (1) Permenag RI Nomor 19 Tahun 2018 Jo. UU no. 23 tahun
2006 Jo. Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008), oleh karenanya
permohonan tersebut harus dinyatakan tidak
dapat diterima ( Niet Onvankelijke Verklaard).
Blitar, 21 September 2020
Yang menyatakan dissenting ofinion
Drs.H. Sudono, M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar