SENSITIFITAS HAKIM
DALAM MENGINTERPRETASIKAN ALASAN
PERCERAIAN
Oleh : Sudono Al-Qudsi[1]
Dalam Undang - Undang Nomor 50
tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama maupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan
organic lainnya disebutkan tentang
beberapa alasan perceraian yang termuat dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116
Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan dalam makalah
ini penulis akan menjelaskan dan mengungkap secara tuntas yang menjadi
penyebab dari alasan perceraian serta
menganalisanya, dengan demikian akan dapat diketahui latar belakang penyebab
perceraian yang terjadi selama ini dan juga berdasar pada pengalaman penulis
sebagai praktisi hukum dalam menangani perkara-perkara perdata Islam khususnya
tentang perceraian yang unik, menarik. Unik karena terkadang dari persoalan
yang sepele tapi dijadikan sebab perceraian. Menarik karena dengan menganalisa
yang menjadi penyebab perceraian antara satu orang dengan lainnya tidak sama,
kalaupun ada yang sama itupun dari sebab yang berbeda dan alasan boleh sama
tetapi dari penyebab yang berbeda.
1.
Perceraian terjadi dengan
alasan[2]
pasal 19 huruf a
PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf
a KHI yaitu salah satu pihak
berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a UU.No. 1/1974[3] ,
jo. Pasal 19 (a) PP. No. 9/1975, jo. Pasal 116 huruf a KHI[4]).
Kalimat
salah satu pihak berbuat zina dapat
menjadi alasan perceraian .Zina adalah bentuk penyaluran biologis yang
dilarang dalam agama Islam dan termasuk perbuatan yang haram dimana pelakunya
akan mendapat siksa jika tidak mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Dan Allah
SWT. Akan mengampuninya setelah ia bertaubat dengan sebenar-benarnya ( taubatan
nashuha). Berbuat zina disamping perbuatan yang hina, juga akan menurunkan
martabat dan citra pelakunya ditengah masyarakat , disamping itu jika salah
satu pasangan suami istri berbuat zina
akan membuat marah salah satu pasangannya dan berlanjut pada pengungkitan
perbuatan zina yang berkepanjangan, barang kali dalam benak suami yang istrinya
berzina atau istri yang suaminya berbuat zina dengan orang lain akan bertanya -tanya, mengapa pasangan hidup
saya berbuat zina, mengapa ia sudah
tidak setia lagi pada saya apa salah
saya dan apa kekurangan saya dan banyak
pertanyaan lain yang berkecamuk dihati pasangannya , sehingga membuat hati
orang yang pasangan hidupnya berzina menjadi hancur berkeping-keping sehingga
semakin lengkaplah segala penderitaan
pasangan hidupnya .
Sedikit
uraian diatas dan melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat dengan sekali saja berbuat zina, cukup menjadi alasan perceraian. Karena
akibat buruk yang ditimbulkan dari
berbuat zina sangat besar dan kata “ zina “ tidak didahului dengan kata
“pe”. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun dilakukan hanya sekali berbuat zina
sudah cukup dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.
Sedangkan alasan
atau menjadi “pemabuk, pemadat, penjudi” ,membutuhkan pengulangan
perbuatan karena kata mabuk,madat dan judi didahului oleh kata “pe” , ini
menunjukan bahwa harus ada perbuatan yang secara berulang-ulang/sering ,
sehingga berbuat mabuk, madat dan judi
yang baru satu kali dilakukan kiranya belum dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian.Jadi karena seringnya
perbuatan tersebut dilakukan maka orang yang sering mabuk disebut pemabuk,
orang yang sering madat disebut pemadat dan
orang yang sering melakukan judi
disebut penjudi.
Tentang
alasan perceraian sebagaimana tercantum dalam pasal pasal 19 huruf
a PP.No.9/1975 jo. Pasal 116
huruf a KHI yaitu salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (
penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a UU.No. 1/1974 , jo. Pasal 19 (a) PP. No.
9/1975, jo. Pasal 116 huruf a KHI), diakhiri dengan kalimat yang berbunyi : dan
lain sebagaimanya yang sukar disembuhkan . dengan kalimat yang demikian ini
hakim diberi kebebasan untuk membuat penilaian tentang hal-hal lain yang dapat
dijadikan alasan perceraian selain yang telah terurai diatas yaitu diluar
alasan menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi.
Berdasarkan
dari kalimat “ dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan”, maka ada hal
yang dimungkinkan untuk perluasan alasan perceraian yang tidak kalah kejinya
dibandingkan dengan berbuat zina seperti liwath ( homo seks ), sahaq ( lesbian
), bestiality ( menyetubuhi binatang), oral seks dengan pihak lain , semua
perbuatan diatas menurut penulis juga
dapat dijadikan alasan perceraian, karena tingkat kekejiannya sama dengan
berbuat zina sehingga meskipun untuk
alasan perceraian ditujukan pada hal-hal yang sukar disembuhkan , tetapi khusus
untuk perluasan alasan diatas tidak perlu dilakukan berulang-ulang /sering
tetapi dengan sekali saja perbuatan tersebut dilakukan sudah cukup untuk dapat
dijadikan alasan perceraian walaupun sekali diperbuat.
Dengan
perluasan alasan seperti diatas sebagai alasan perceraian, maka jika terdapat
kasus perceraian dengan alasan pada hal-hal diatas , tidak perlu lagi
dipaksanakn menformulasikan kearah perselisihan dan pertengkaran yang ditunjuk
leh pasal 19 huruf f PP. No. 9/1975 Jo. Pasal 116 huruf
f KHI tetapi sebaliknya dapat
mencukupkan dengan menunjuk pasal-pasal alasan
perceraian sebagaiamana tercantum dalam angka 1 tersebut. Dan kalau
memang terdapat alasan No. 1 telah terbukti serta terbukti pula ada
perselisihan dan pertengkaran sebagaimana alasan perceraian angka 6, maka tidak
ada salahnya disamping menunjuk ketentuan angka 1 juga menunjuk ketentuan pasal
tentang perselisihan dan pertengkaran yang termuat dalam angka 6.
Sedangkan
untuk perluasan ( ektensif ) dari kalimat menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
menurut penulis sangat luas dan bahkan akibatnya lebih parah dibandingkan
menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi, perluasan tersebut antara lain meliputi : menjadi penipu,
perampok, pencuri, pembunuh, pemeras, penodong , pencopet, penadah barang
curian dan lain sebagainya , tidaklah perbuatan-perbuatan tersebut dapat
dipastikan lebih baik dari pada menjadi pemabuk, Pemadat dan penjudi, sehingga terhalang untuk
dapat dimasukkan sebagai alasan perceraian.
2. Salah satu pihak meninggalkan
yang lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa ada alasan yang sah atau
karena ada hal
yang lain di
luar kemampuannya ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf b UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(b) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam).
Kalimat
diatas harus ada syatrat-syarat yang harus terpenuhi agar terjadi perbuatan
meninggalkan pihak lain yang dapat dijadikan alasan perceraian yaitu :
a.
Sekurang-kurangnya selama 2
tahun, b. Berturut-turut. c. Tanpa izin pihak lain , d. Tanpa alasan
yang sah.
Ke
empat syarat diatas bersifat komulatif, artinya ke empat syarat tersebut harus
terpenuhi agar dapat dijadikan alasan perceraian . Adapun untuk merinci meninggalkan pihak lain seperti :
a.
1. Kurang dari dua tahun, 2 . berturut-turut , 3 . tanpa izin pihak
lain , 4. tanpa alasan yang sah
b.
1 Kurang dari dua tahun , 2
tidak berturut-turut , 3. tanpa
izin pihak lain , 4. tanpa alasan yang sah.
c.
1 kurang dari dua tahun, 2.
tidak berturut-turut, 3 . ada
izin pihak lain, 4. tanpa alasan yang sah.
d.
1 kurang dari dua tahun, 2.
tidak berturut-turut, 3. ada izin
pihak lain, 4. ada alasan yang sah.
e.
1 Selama dua tahun, 2
tidak berturut-turut , 3 tanpa
izin pihak lain, 4 tanpa alasan yang sah.
f.
1 Selama dua tahun, 2.
tidak berturut-turut, 3. ada izin
pihak lain
4 ada alasan yang sah.
g.
1 Selama dua tahun, 2. berturut-turut, 3
tanpa izin pihak lain, 4 ada
alasan yang sah.
h.
1 Selama dua tahun, 2
tidak berturut-turut, 3 ada izin pihak lain , 4 tanpa alasan yang sah.
i.
1 Selama dua tahun, 2
berturut-turut, 3 ada izin pihak lain, 4 tanpa alasan yang sah
Alasan a
s/d i menurut penulis tidak dapat
dijadikan sebagai alasan perceraian karena tidak bersifat komulatif .
Alasan
perceraian sebagaimana angka 2 diatas, diakhiri dengan kalimat yang berbunyi : atau
karena hal lain diluar kemampuannya. Kalimat demikian ini memberi isyarat
adanya kelonggaran hakim untuk memberikan interpretasinya atau kemungkinan lain
bahwa meninggalkan pihak lain dalam keadaan terpaksa yang berada diluar
kemampuan untuk menolak keadaan tersebut dapat juga dijadikan alasan
perceraian dalam syarat komulatif
sekuang-kurangnya dua tahun dan berturut-turut.
Ada
sekelompok orang yang terdiri dari suami istri sedang mengadakan study tour ke
kota tertentu, ternyata saat ia terpisah dari rombongan , ia diculik seseorang
yang memang sudah/belum mengenalnya
karena orang yang diculik sudah dikenal dan dikuasainya, sehingga sebenarnya
suami/istri tidak ingin meninggalkan pihak lain tetapi karena diculik maka
terpaksa meninggalkan pihak lain. Karena itu perbuatan meninggalkan pihak lain
tersebut bukan atas kehendaknya tetapi karena hal lain
diluar kemampuannya. Kasus lain misalnya salah satu suami/istri sedang
pergi berburu ke hutan yang belum pernah dijamahnya dan ternyata ia tersesat
ditengah hutan belantara dan semakin jauh dari rumahnya , padahal ia telah berusaha untuk mencari
tahu dengan berbagai cara secara maksimal tetapi malah semakin tersesat dihutan
tersebut. Karena itu dalam hal yanag demikian ini ia telah meninggalkan pihak
lain disebabkan sesuatu hal lain berada diluar kemampuannya.
Termasuk
menjadi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada awalnya rutin
memberi kabar tentang dirinya kepada
pasangannya tetapi lambat laun tak ada kabar beritanya yang mungkin akses
disana sengaja di putus oleh majikannya dengan cara disekap dan ditempatkan
pada kamar khusus yang orang ain tidak tahu sehingga ia tidak dapat member
kabar sebagaimana pada awal ia bekerja, maka dalam hal yang demikian ia
meninggalkan pihak lain disebabkan sesuatu hal yang berada diluar
kemampuannya.
Menghadapi
sesuatu hal lain diluar kemampuannya memang disatu sisi memberikan
kebebasan hakim untuk berinterpretasi sesuai dengan keyakinannya akan tetapi interpretasi
alasan perceraian tersebut harus tetap mengacu kepada muara yang berujung pada sudah tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga .Kalau ternyata sesuatu hal lain diluar
kemampuannya tidak mengacu pada muara tersebut dan rumah tangganya
tenang-tenang dan tentram saja maka hakim tidak layak menggunakan
interpretasinya , karena mungkin ia masih mau menunggu suatu saat
suami/istrinya akan pulang atau karena bekal yang ditinggalkan suami masih
banyak untuk persiapan beberapa tahun ke depannya sehingga tidak menjadikan persoalan bagi orang yang
ditinggalkan oleh salah satu pasangannya dalam waktu yang lebih lama.
3. Salah satu pihak mendapat
hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman
yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf c UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam).
Salah
satu dari suami/istri yang telah
terbukti bersalah dan mendapatkan vonis 5 tahun penjara atau lebih, maka dapat disimpulkan disini
bahwa begitu salah satu pihak mendapat
vonis hukuman penjara 5 tahun atau lebih dan vonis tersebut telah berkekuatan
hukum tetap terbuka kemungkinan salah
satu pihak menjadikannya sebagai alasan perceraian tanpa perlu menunggu
hukumannya dijalani selama lima tahun atau lebih tersebut.
Kemudian
alasan perceraian no. 3 diatas diakhiri dengan kalimat setelah perkawinan
berlangsung , ini mengandung pengertian bahwa hukuman penjara selama lima tahun
atau lebih tersebut sekalipun suami istri
masih pengantin baru dan hukuman belum dijalani tetapi ia sudah
mendapatkan resmi salinan putusan dari Pengadilan yang memutusnya maka resmi
salinan putusan tersebut dapat dijadikan alasan perceraian yang sekaligus dapat
dijadikan sebagai alat bukti di sidang pengadilan.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf d UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (d)
PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).
Alasan
perceraian nomor 4 diatas , untuk mencermati dan memahaminya sepenuhnya diserahkan kepada
hakim, hakim diberikan keleluasaan maupun kebebasannya dalam menginterpretasi
maupun memberikan penilaian apakah suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah
satu pihak termasuk katagori membahayakan pihak lain atau tidak , bahkan hakim
dalam urusan yang menyangkut rumah tangga yang berujung pada perceraian dengan
alasan nomor 4 diatas dalam hal ini hakim dituntut sensitifitasnya dan
menghubungkannya dengan ketentuan perundangan lainnya seperti
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
( KDRT ), Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Salah
satu contoh disebutkan dalam
pasal 9 ayat (1) dan ( 2 ) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 yaitu : setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya
, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Kata Penelantaran
sama sekali tidak disebut didalam alasan perceraian akan tetapi pengaruh dari akibat penelantaran baik dilakukan suami
atau istri akan berdampak buruk dan berujung perceraian .
Menurut R. Sugandi dalam buku KUHP dengan penjelasannya halaman 366 yang
mengutip dari yurisprudensi, penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja yang
menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Menurut pengertian ini maka
perbuatan yang dilakukan salah satu pihak suami/istri yang menimbulkan rasa
tidak enak, rasa sakit berat atau luka berat dapat dikatagorikan sebagai
penganiayaan berat, oleh karena undang –undang tidak menegaskan arti yang
sesungguhnya dari kalimat penganiayaan berat tersebut maka hakim diberi
keleluasaan untuk menilainya apakah perbuatan salah satu pihak itu termasuk
penganiayaan berat atau tidak.
Menurutnya,
yurisprudensi tampaknya membedakan rasa tidak enak dengan rasa sakit, tetapi
mungkin yanag dikehendaki dengan sebutan rasa tidak enak yaitu perasaan hati
atau sakit hati, sedangkan yang dikehendaki dengan sebutan rasa sakit yaitu
sakit fisik. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa penganiayaan bisa berupa
penganiayaan psyikis dan penganiayaan pysik atau penganiayaan psyikis saja atau pysik saja, atau
kedua-duanya dan apalagi sakitnya dapat dibuktikan dengan
Menurut
penulis, sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisa suatu kasus layak untuk
menggunakan dalil qiyas agar suatu kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain
dalam hubungannya dengan sakit hati (psyikis ) ternyata banyak ragamnya mulai
dari ejekan, hinaan, caci maki yang sangat keterlaluan (meskipun ejekan,
hinaan, caci maki sulit untuk dibuktikan ) akan tetapi mengakibatkan amat
tertekan hatinya hingga mengalami stress bahakan stroke menimpa pihak lainnya, maka hal-hal
yang demikian ini patut dikatagorikan sebagai penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain sebab stress berat dapat mengakibatkan
kematian.
Tentang sakit
pysik yang berat, seperti menendang, menempeleng, memukul , menusuk
dengan senjata tajam yang menyebabkan luka parah , menyulut badan dengan
api atau menjerat dengan tali yang
menyebabkan pihak lain tidak berdaya, sehingga menimbulkan rasa sakit berat
sekalipun tidak menyebabkan luka. Jadi untuk mengukur dan menilai apakah
perbuatan salah satu pihak itu membahayakan pihak lain atau tidak diserahkan
sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.
Alasan
perceraian sebagaimana diuraikan diatas hanya sebagai alat bantu yang harus bermuara kepada terjadinya ketidak
adanya harapan untuk rukun dalam rumah tangga.
5. Salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kwajibannya
sebagai suami/istri ( penjelasan pasal
39 ayat (2) huruf e UU.No. 1/1974 jo.
Pasal 19 huruf (e) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).
Kalau
dicermati bunyi kalimat diatas akan segera tampak bahwa cacat badan atau
penyakit itu baru bisa dijadikan alasan perceraian jika sudah membawa akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Sebagaimana
uraian dalam angka 4 diatas, disini juga tersirat bahwa penyakit bisa berupa
penyakit jasmani dan rohani ( penyakit pysik dan mental ) yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri dapat dijadikan
sebagai alasan perceraian. Seorang suami sehat jasmani tetapi punya kebiasaan
buruk, malas bekerja atau sifat buruk lainnya yang mengakibatkan beban
pekerjaan beralih kepada istrinya, ia mengandalkan penghasilan dari istrinya,
sehingga suami tidak sedikitpun menghidupi istri untuk memberi nafkah kepadanya
sehingga kewajiban untuk memberi nafkah kepada istri tidak terlaksana , maka
malas dalam hal ini masuk katagori penyakit rohani yang membawa akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami.
Demikian
juga jika perangai atau akhlaq istri sangat buruk yang berakibat tidak dapat
melaksanakan kewajiban sebagai seorang
istri untuk berbakti lahir batin terhadap suaminya, maka hal demikian juga
layak dikatagorikan sebagai penyakit rohani , karenanya dapat dijadikan sebagai
alasan perceraian .
Adapun
tentang salah satu pihak mendapat cacat
badan , seperti suami atau istri
yang mengalami kecelakaan
sehingga salah satu tangan atau
kakinya mengharuskan diamputasi sehingga menjadi cacat dan dengan diamputasi tersebut berakibat
suami atau istri beakibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau istri, maka dapat diajadikan sebagai alasan perceraian. Demikian
juga termasuk penyakit berat lainnya atau gangguan fungsi alat kelamin, seperti
inpotensi, stroke, gila, lumpuh, pendarahan terus menerus , kanker rahim, atau
akibat de generative yang akut sehingga
ginjal, jantung, dan sebagainya tidak berfungsi normal yang berakibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau istri maka dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian .
6. Antara suami dan istri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga (
penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf f UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (f)
PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam).
Kalimat
nomor 6 tersebut diatas kalau dijabarkan kira-kira demikian bunyinya :
a.
Bahwa antara suami dan istri
terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus sehingga tidak ada
harapan lagi untuk dapat hidup rukun
dalam rumah tangga, dapat dijadikan alasan perceraian.
b.
Bahwa antara suami dan istri
terjadi perselisihan dan pertengkaran
yang terus menerus dan
masih ada harapan bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah
tangga , tidak dapat dijadikan alasan perceraian.
c.
Bahwa antara suami dan istri
terjadi perselisihan dan pertengkaran
yang tidak terus menerus baik
masih ada harapan atau tidak ada
harapan lagi bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak dapat dijadikan alasan perceraian.
Dipisahkannya
kata perselisihan dan pertengkaran dalam alasan perceraian angka 6 tersebut
diatas tentu mempunyai maksud yang berbeda. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia
, perselisihan adalah persengketaan yang harus diputuskan lebih dahulu sebelum
perkara pokok dapat diadili dan diputus ( halaman 1174 ) sedangkan pertengkaran
adalah percekcokan, perdebatan , yang menurut penulis kedua kata tersebut
adalah komulatif, yang menunjukkan bahwa
perselisihan berbeda dengan pertengkaran
.
Oleh
karena kehendak kalimat dalam angka 6 tersebut diatas adalah “ terus menerus “ maka pengertian dan
pengembangan maknanya diserahkan kepada hakim untuk menilainya, apakah
perselisihan dan pertengkaran suami istri dikatagorikan terus menerus atau
tidak, apakah masih ada harapan untuk hidup rukun lagi atau tidak, atau apakah
setelah terjadi perselisihan dan pertengkaran suami istri masih hidup
rukun lagi dalam rumah tangganya atau
tidak. Semua diserahkan kepada penilaian hakim karena hakimlah yang punya
otoritas untuk itu.
Adanya
ketentuan yang menyatakan perselisihan dan pertengkaran dan ditambah dengan kalimat terus menerus
bukanlah harga mati sebagai alasan perceraian akan tetapi hanyalah alat
bantu bagi hakim untuk menjatuhkan penilaian apakah suami istri masih ada
harapan untuk dapat hidup rukun lagi
dalam rumah tangga atau tidak , sehingga
kesimpulannya kondisi tidak adanya harapan bagi suami istri untuk dapat hidup
rukun lagi dalam rumah tangga merupakan
alasan perceraian yang mendominasi ketentuan alasan perceraian angka 6 tersebut
. Kalau begitu syarat terus menerus bukan harga mati bagi alasan perceraian
karena faktanya banyak kasus suami istri yang tidak pernah terjadi perselisihan
dan pertengkaran terus menerus akan tetapi mereka tidak pernah berkumpul
sebagai suami istri , karena begitu selesai akad nikah mereka langsung berpisah
dan pulang kerumah masing-masing.perkawinan mereka karena ditangkap dan dipaksa
untuk kawin, padahal maunya sama-sama hanya pacaran saja dan tidak menghendaki
perkawinan, maka dalam hal ini penulis cenderung melihat latar belakang
masing-masing pihak yang sebenarnya dan layak hakim menjatuhkan penilaian bahwa
mereka sama-sama menghedaki perceraian dan sudah tidak ada harapan untuk dapat
hidup rukun lagi dalam rumah tangga, misalnya perkawinan baru seumur jagung ,
tidak pernah bertengkar apalagi terus menerus dan nyatanya memang tidak ada
harapan untuk hidup rukin dalam rumah tangga, maka unsur tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam
rumah tangga itulah kuncinya, kalau memang hati nurani mengatakan suami istri
sudah tidak akan dapat hidup rukun lagi dlam rumah tangga lalu apa perlunya mereka menunggu dulu untuk
menjalani perselisihan dan pertengkaran
dan syarat lainnya yaitu terus menerus , kalau ini yang terjadi maka
secara tidak langsung menyiksa hati kedua belah pihak dalam waktu yang
berkepanjangan sehingga madlorotnya lebih banyak dari pada manfaatnya. Oleh
karena itu untuk penerapan alasan perceraian angka 6 diatas diserahkan kepada
penilaian hakim apalagi hakim dapat menerapkannya secara luwes, fleksibel
adalah lebih bijaksana.
Ada
perselisihan dan pertengkaran yang orang lain tidak tahu, yaitu perselisihan
dan pertengkaran secara diam-diam , tidak diperlihatkan dalam pertengkaran
mulut atau kelihatan secara adu pysik tetapi suami istri tidak tegur sapa,
tidak mau melayani suami atau istrinya dalam waktu yang lama, diam seribu
bahasa atau hanya menangis ketika ditanyakan apa masalah yang sedang terjadi.
Jadi begitu luasnya istilah perselisihan dan pertengkaran sehingga alasan
ini mendominasi alasan
perceraian di
7.
Suami melanggar taklik talak
(pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum
Islam) .
Tentang
suami yang melanggar taklik talak , disini penulis mengutip pendapat Prof. DR.
H. Abdul Manan, SH. S.IP. M.Hum.dalam Mimbah Hukum No. 23 /VI/1995 halaman 68
s/d 90 pada pokoknya adalah :
Taklik
talak ialah perjanjian yang diucapkan
calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dlam Akta Nikah berupa
janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi
di masa yang akan dating ( pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam ). Adapun
sighat taklik talak yang diucapkan
sesudah akad nikah sebagai berikut : ( dikutip dari buku Kutipan Akta Nikah
Kantor Urusan Agama tahun 1989 ).
Sesudah
akad nikah saya……bin……berjanji dengan sesungguh hati , bahwa saya akan menepati
kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya
bernama……..binti…..dengan baik ( mu’asyarah bil ma’ruf ) menurut ajaran
syari’at agama Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas
istri saya itu sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
(1) Meninggalkan
istri saya tersebut dua tahun berturut-turut,
(2) Atau
saya tidak memberi nafkah wajib
kepadanya tiga bulan lamanya,
(3) Atau
saya menyakiti badan/ jasmani istri saya itu,
(4) Atau
saya membiarkan ( tidak memperdulikan ) istri saya itu enam bulan lamanya,
Kemudian
istri saya tidak ridla dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau
petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan
serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu
membayar uang sebesar Rp. 1.000,-( seribu rupiah ) sebagai ‘iwadl ( pengganti )
kepada saya, maka jatuhlah talak saya kepadanya.
Kepada
Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwadl
( pengganti ) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid
( BKM ) Pusat untuk keperluan ibadah sosial.
8. Peralihan agama atau murtad
yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (pasal 116
huruf (h) Kompilasi Hukum Islam) .
Alasan
perceraian angka 8 diatas sangat berlebihan ,yang seakan-akan suami atau
istri atau salah satu darinya yang sudah
murtad tetapi tidak menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga
masih layak dipertahankan dan tidak
dapat dijadikan sebagai alasan perceraian karena masih rukun. Pemahaman
selanjutnya bahwa murtad yang dapat dijadikan alasan perceraian adalah murtad
yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.Oleh karena itu
jika ketentuan angka 8 dipegangi
apa adanya maka akan timbul
konsekuensi hukum yaitu :
1.
Bahwa suami atau istri yang
beragama Islam boleh hidup dalam ikatan perkawinan sebagai suami istri, dengan
suami atau istrinya yang murtad, jika
rumah tangga mereka masih rukun.
2.
Bahwa suami atau istri yang
beragama Islam boleh hidup dalam ikatan perkawinan dikala mereka sama-sama
murtad, karena mereka masih rukun.
Untuk angka
1 tersebut diatas, disini akan
penulis jelaskan bahwa jika salah satu dari suami atau istri murtad , lalu
salah salah satu suami atau istri
mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama , maka jika mereka tidak
terbukti bahwa rumah tangganya tidak rukun tetapi masih kumpul serumah dan
bahagia bersama pasangannya meskipun
alasan perceraian tentang murtad terbukti, konsekuensi hukumnya tentu
Pengadilan Agama harus menolak gugatan perceraiannya, artinya mereka masih
hidup sebagai suami istri meskipun salah satunya murtad. Sedangkan untuk angka
2 diatas penjelasannya sama dengan angka satu, yang membedakan adalah kedua belah pihak suami atau istri sama-sama
menghendaki murtad dan rumah tangganya tetap rukun.
Oleh karena
itu menurut penulis ,
jika alasan nomor 8 tersebut ( pasal 116 h ) akan dipertahankan apa
adanya akan berdampak negatif bagi masyarakat Islam karena tidak tepat untuk
diterapkan dalam kasus yang salah satu suami atau istri murtad, tetapi yang
lebih tepat adalah diterapkan terhadap kasus yang suami istri yang sama-sama murtad. Akan tetapi
kalau diterapkan pada kasus yang hanya salah satu dari suami atau istri yang
murtad , maka lebih tepat kalimat yang berbunyi “ yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga, dihilangkan
saja dari pasal 116 h. tersebut. Kalau pasal 116 h tidak dihilangkan berarti akan bertentangan
dengan pasal 40 huruf c
maupun pasal 44
Kompilasi Hukum Islam . Apa isi pasal 40 h tersebut, isinya adalah
larangan bagi pria yang beragama Islam kawin dengan wanita yang tidak beragama
Islam,demikian juga isi pasal 44 bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Pemberlakuan pasal 40 huruf c dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam harus mendapat
perhatian serius terutama pejabat yang melaksanakan perkawinan
dan perceraian ( Kantor Urusan Agama dan
Pengadilan Agama) harus mampu menerapkan
pasal tersebut dalam melaksanakan tugas jabatannya.
Kompilasi
Hukum Islam sangat menekankan adanya larangan pria Islam kawin dengan wanita yang tidak beragama
Islam atau sebaliknya wanita yang
beragama Islam dilarang kawin dengan pria yang tidak beragama Islam. Sedangkan
orang murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam , meskipun dahulunya beragama
Islam, karenanya mengapa ada kalimat “
yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga “ dicantumkan
dalam pasal 116 h tersebut. Jadi penulis berpendapat bahwa kalau salah satu
dari suami atau istri murtad, maka tidak
perlu lagi menunggu sampai rumah tangganya rukun atau tidak,karena
pengakuan suami atau istri yang murtad sudah cukup menjadi alat bukti yang
sempurna dan mengikat, karenanya hakim harus
mengabulkan gugatan perceraian atas alasan peralihan agama atau murtad
diantara salah satu pihak atau keduanya tersebut.
Kehendak
pasal 40 huruf c dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam tidak lain adalah untuk
mencegah agar orang Islam tidak hidup sebagai suami istri dengan orang yang
tidak beragama Islam, yang meskipun untuk mencegah agar orang Islam tidak hidup
sebagai suami istri dengan orang yang tidak beragama Islam dapat ditempuh
melalui lembaga pembatalan perkawinan. Dengan menafsir pasal 75 huruf a Kompilasi Hukum Islam yang
menyebutkan keputusan pembatalan perkawinan
tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu
dari suami atau istri murtad, dan ternyata murtad sebagai alasan pembatalan
perkawinan secara jelas dan tegas tidak dicantumkan dalam pasal 70, 71, maupun
pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, semestinya dapat dicantumkan ke dalam salah
satu pasal tentang pembatalan perkawinan tersebut.
Beberapa
kasus yang masuk ke Pengadilan Agama di antara alasan perceraian salah satunya
adalah murtad , terjadinya pacaran antara laki-laki dan perempuan yang berbeda
agama terkadang menyebabkan salah satu pasangan
menanggalkan agamanya demi
cintanya untuk berusaha menjadikan pasangan itu sebagai istri atau suaminya, sehingga tatkala
perkawinan telah dilangsungkan dan masing-masing telah menempuh kehidupan baru
sebagai suami istri ternyata salah satu suami atau istri kembali ke agamanya
semula ( murtad ) lalu menyebabkan salah satu pasangan itu kecewa dan mengambil
langkah mengajuan perceraian dengan alasan murtad. Begitu telah terjadi
perceraian , lagi-lagi yang menjadi korban adalah anak-anak dari perkawinan
mereka yang masih kecil-kecil ada yang ikut ibunya , ada yang ikut bapaknya
menjadi korban kemurtadan orang tuanya. Masalahnya belum selesai sampai disitu
saja tetapi berlanjut hingga anak perempuannya mau menikah dimana anak
perempuannya Islam sedangkan bapaknya non Islam. Otomatis bapak yang non Islam
tak dapat menjadi wali bagi anak perempuannya yang Islam.
Jadi
menurut penulis kalau terjadi awal perbuatan yang tidak baik, maka
kelanjutannya akan menjadi tidak baik seperti orang yang melangsungkan
perkawinan yang dimulai dengan beda agama, lalu terjadi perkawinan itu
dilaksanakan , biasanya perbuatan hukum yang demikian tidak akan bertahan lama
dan biasanya salah satu pihak akan kembali ke agamanya semula. Demikian juga
setiap saat bisa saja terjadi konflik idiologis yang sewaktu-waktu akan
terungkit dan meledak bagaikan bom waktu.
Kesimpulan
:
Dari tulisan yang telah penulis
uraikan diatas, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Bahwa alasan –alasan perceraian
dalan pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 Jo.
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam harus
dikomulasikan dengan Undang-Undang terkait seperti UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan Peraturan
Perundangan lainnya dan segala
interpretasinya , adalah hanya sebagai jembatan menuju
ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
2.
Hakim dituntut mempunyai sensitifitas
tinggi dalam menginterpretasikan alasan – alasan perceraian , dan tidak hanya berorientasi pada alasa-alasan
yang termuat dalam Peraturan perundangan semata.
Penutup
Demikian tulisan ini disajikan
kehadapan para pembaca, segala kritik dan saran kami harapkan demi kebaikan,
tentu masih banyak kekurangannya tetapi penulis berharap dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita.
Lamongan, 10 September 2020
Penulis
Sudono Al-Qudsi
[1]
Hakim Utama Muda Pengadilan Agama lamongan Kelas 1 A
[2] Pasal 19 huruf
a PP.No.9/1975
[3] Penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a
UU.No. 1/1974
[4]
Pasal 116 huruf a Kompilasi Hukum Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar