Kamis, 06 Desember 2018

DISSENTING OPINION DAN CONCURRING OPINION






DISSENTING OPINION DAN CONCURRING OPINION

Oleh :  Drs. H. Sudono, M.H.[1]


A.     Latar belakang masalah

   Salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama antara lain adalah menerima , memeriksa , mengadili dan menyelesaikan  perkara isbat nikah bagi pasangan suami istri yang tidak mempunyai akta nikah. Aturan pengesahan  perkawinan/isbat nikah , dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan  berdasarkan agama atau tidak dicatat  oleh PPN yang berwenang[2]. Hal ini diatur dalam penjelasan  pasal 49 angka  22 Undang-Undang Nomor  50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang pada awalnya  perkawinan  yang disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan  sebelum berlakuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , akan tetapi  pasal 7 Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 untuk kepentingan perceraian, bahkan dalam perkembangannya juga untuk melegalkan pernikahan dengan istri kedua, ketiga dan seterusnya dengan mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama.
   Melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi setiap warga Negara, penegasan tersebut termuat dalam pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan kedua. Dalam pasal tersebut dinyatakan : (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
    Meskipun perkawinan merupakan hak azasi, bukan berarti bahwa  setiap warga Negara secara bebas dapat melaksanakan perkawinan , akan tetapi harus mengikuti  peraturan perundangan yang berlaku, yang menurut pasal 2 ayat  ( 2 ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 . bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dibuktikan dengan Akta Nikah , Jo. Pasal 5, dan 6  Kompilasi Hukum Islam.
     Fakta yang terjadi saat ini adalah banyak praktek kawin liar atau nikah sirri atau tidak dicatatkan, disebut juga nikah bawah tangan,  menurut pelaku nikah bawah tangan alasan tersebut antara lain :
a.    Adanya pandangan  bahwa pernikahan yang dilakukan berdasarkan agama, telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka perkawinan tersebut dianggap sah, karenanya tak perlu dicatatkan.
b.    Untuk menghilangkan jejak, sehingga bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari instansinya.
c.    Takut diketahui istri tua , sehingga melakukan poligami liar dan sebagainya.
d.    Atau alasan klasik yaitu biaya yang mahal atau segudang alasan pribadi lainnya.
   Para pelaku nikah bawah tangan pada umumnya tidak mempunyai akta nikah, yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah dalam kehidupan selanjutnya, karena tanpa akta nikah segala perbuatan hukum yang berkaitan dengan akibat pernikahan, seperti saat ia membutuhkan akta nikah guna memperoleh kepastian hukum perkawinannya dan umumnya untuk persyaratan administrasi anaknya, dan salah satunya digunakan untuk mengurus surat keterangan pensiun janda atas suaminya yang telah  meninggal dunia, untuk mengurus paspor haji, dan lain sebagainya, sekarang ini dapat diatasi dengan isbat nikah.
 Dengan isbat nikah tersebut pasangan nikah bawah tangan bisa diputihkan atau dilegalkan status perkawinannya berdasarkan waktu saat nikah bawah tangan dilakukannya, dengan cara begitu anak-anak yang lahir juga memiliki kedudukan hukum yang kuat. Anak  juga memiliki hak memperoleh pelayanan administrasi kependudukan, berupa akta kelahiran, selain itu tentu saja hak hukumnya sebagai ahli waris dari orang tuanya juga terjamin atau pada pokoknya suami istri maupun anaknya mendapatkan perlindungan hukum setelah isbat nikah.
Oleh karena ada kebutuhan yang mendesak, demi kepastian hukum atas perkawinannya dan kepastian hukum tentang status anaknya, maka keduanya ( suami istri )  mengajukan  perkara permohonan  isbat nikah ( voluntair ) ke Pengadilan Agama, kasus suami istri yang mengajukan permohonan isbat nikah tersebut adalah hal biasa  .  Akan tetapi isbat nikah menjadi luar biasa bahkan sangat menarik untuk dibahas jika isbat nikah diajukan  oleh orang yang sudah mempunyai akta nikah,  karena dalam kasus  ini para Pemohon telah menikah secara sah yang tercatat  pada KUA Kecamatan Tekung Kabupaten Lumajang dan telah mendapat Kutipan Akta Nikah  nomor : 104/13/V/2008 tanggal  14 Mei 2008 .
Bermula dari pengakuan suami istri ( para Pemohon ) pada tahun 2006 telah menikah sirri,  dari pernikahan tersebut  lalu mempunyai anak dan pada tahun 2008  para pemohon menikah secara sah dan dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mendapatkan Akta Nikah dari pejabat yang berwenang, lalu para Pemohon mengajukan permohonan untuk mendapatkan Akta kelahiran anaknya,  pejabat yang berwenang yaitu kantor catatan sipil  menolaknya dengan alasan tanggal kelahiran anaknya tidak sesuai dengan peristiwa  dalam Akta Nikah yang dimilikinya,  karena tanggal kalahiran anak lebih dahulu dari pada tanggal pernikahan resminya, sehingga para Pemohon tidak akan menggunakan Akta Nikah tersebut.
Selanjutnya para Pemohon mengajukan isbat nikah terhadap nikah  sirrinya yang telah dilaksanakan pada tanggal 13 Januari 2006  ke Pengadilan Agama Lumajang, mungkin para Pemohon sadar bahwa nikah sirrinya tidak mempunyai kepastian hukum maupun perlindungan hukum, bahkan  banyak madlorotnya dari pada manfaatnya .
Dalam menghadapi kasus  isbat  nikah bagi para Pemohon yang sudah mempunyai Akta Nikah tersebut, Pengadilan Agama dihadapkan pada persoalan yang dilematis yaitu  mengabulkan  atau menolaknya, bila dikabulkan akan  melegalkan nikah di bawah tangan, di sisi lain isbat nikah terhadap nikah  di bawah tangan yang telah memenuhi syarat dan rukunnya serta tidak melanggar hukum perkawinan dapat disahkah melalui isbat nikah, jika di tolak berarti Pengadilan Agama menafikan akad nikah yang sah menurut syari’at Islam, selain itu banyak perempuan dan anak-anak yang tidak mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan. Oleh karena itu Pengadilan Agama di tuntut untuk memberikan putusan dengan pertimbangan yang mengandung kemaslahatan yang lebih besar sesuai dengan rasa keadilan dengan tetap berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rupanya majlis hakim Pengadilan Agama Lumajang dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara isbat nikah ini menggunakan hukum pembuktian, dengan mempertimbangkan keterangan para saksi yang diajukan para Pemohon yang akhirnya Majlis Hakim Pengadilan Agama Lumajang berkesimpulan untuk menolak permohonan para Pemohon[3].
Disamping itu dalam mengambil putusan atas permohonan isbat nikah tersebut , ternyata salah satu hakim anggota mengajukan Dessenting Opinion, dengan alasan antara lain, para Pemohon dengan Termohon tidak mempunyai hubungan hukum yang menjadikan permohonan. Para Pemohon tidak jelas/kabur dan para Pemohon telah mempunyai Akta Nikah, sehingga perkara isbat nikah ini seharusnya dinyatakan tidak  dapat diterima ( Niet Onvankelijke Verklaard ) bukan ditolak.
          Berawal dari kasus yang telah penulis paparkan diatas, penulis tertarik untuk membahasnya dalam sebuah karya ilmiyah yang berjudul  DISSENTING OPINION DAN CONCURRING OPINION  terutama menguak pertimbangan hukumnya terhadap perkara isbat nikah atas  Putusan Nomor: 0314/Pdt.G/2011/PA.Lmj di Pengadilan Agama Lumajang.

B.   Permasalahan
Dari latar belakang masalah tersebut, maka terdapat rumusan masalah sebagaimana berikut :
1.     Bagaimanakah pertimbangan hukum bagi hakim yang sepakat dan hakim yang dissenting opinion dalam menolak perkara isbat nikah Nomor: 0314/Pdt.G/2011/PA.Lmj
2.         Bagaimana kedudukan Akta Nikah yang dimiliki para Pemohon setelah perkara isbat nikahnya ditolak.

C.    Pembahasan

 1.     Pengertian Dissenting Opinion
           Dalam Black’ Law Dictionary Dissenting Opinion diatikan sebagai opini dari seorang atau lebih hakim yang tidak sependapat dengan kesimpulan yang dicapai oleh mayoritas hakim dalam suatu majelis, perbedaan pendapat terletak pada alasan dan prinsip-prinsip hukum yang digunakan oleh mayoritas hakim dalam memutus perkara tersebut (Disagrees with the result reached by the majority and thus disagrees with the reasoning and/or the principles of law used by the majority in deciding the case).[4]
          Dissenting Opinion juga disebut dengan minority opinion, karena yang tidak sependapat adalah pihak terkecil. Apabila pendapat seorang hakim dianggap benar oleh seluruh anggota majelis untuk dijadikan dasar putusan, itu disebut dengan majority opinion. Hampir mirip dengan Dissenting Opinion ini ialah concurring opinion, yaitu dalam hal seorang hakim sependapat dengan kesimpulan yang diambil oleh mayoritas hakim, tetapi tidak sependapat dengan keakuratan dasar-dasar hukum yang digunakan.[5]
          Walaupun UU No. 48/2009 jo. UU No. 4/2004 tidak menjelaskan dasar filosofis dari pencantuman Pasal 19 ayat (5) ini, namun dapat diduga hal ini erat dengan penjabaran Pasal 28F UUD NRI 1945 dan keinginan para pembuat undang-undang untuk membuat para hakim dapat bertanggung jawab secara individual terhadap apa yang menjadi pertimbangan dalam memutus perkara. Hal ini tampak pada pengakuan dua orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang turut membidani lahirnya UU No. 4/2004 jo. UU No. 48/2009.[6]
          Dugaan ini dibenarkan oleh Trimoelja D. Soerjadi. Advokad senior ini berpendapat selama Dissenting Opinion belum diberlakukan, seluruh putusan harus dipertanggung jawabkan secara kolektif, karena setiap putusan selalu diasumsikan sebagai putusan yang bulat, setidak-tidaknya secara legal formal. Padahal sebuah putusan bagi seorang hakim harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis, filosofis, sosiologis dan juga secara moral. Dan ini menjadi beban moral bagi hakim yang berbeda pendapat.[7]
         Sebenarnya Dissenting Opinion sudah lama dikenal dalam dunia peradilan di Indonesia. Yang belum ada saat itu ialah keharusan memuatnya dalam putusan. Selama ini Dissenting Opinion dicantumkan dalam sebuah buku yang khusus disediakan dan dikelola ketua pengadilan secara rahasia. Dalam buku tersebut dicantumkan nama hakim yang berbeda pendapat, kedudukannya dalam majelis, nomor perkara, tanggal putusan, pendapat dan alasannya[8].
           Pencantuman Dissenting Opinion juga akan berdampak kepada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) peradilan, terutama para hakim. Melalui alasan dan uraian yang tercantum dalam Dissenting Opinion, masyarakat terutama para ahli dan para peminat hukum dapat menilai kualitas keilmuan dan keluasan wawasan hakim yang bersangkutan. Khusus bagi Peradilan Agama, mengingat sebagian besar hukum materiil masih bersumber kepada fiqih yang sarat dengan perbedaan-perbedaan pendapat, serta menguatnya tuntutan peradaban yang menghendaki penafisran kembali ajaran-ajaran agama, [9] maka pencantuman Dissenting Opinion akan memberikan kepuasan moral bagi para hakim untuk dapat bertanggung jawab secara individual, dan sekaligus tantangan bagi mereka untuk terus menerus meningkatkan diri.
          Embrio pranata Dissenting Opinion sendiri dapat ditelusuri dalam peradilan niaga (kepailitan), pendapat hakim yang berbeda dicatat pada bagian bawah dari putusan (semacam ‘minderheidsnota’). Dalam praktek jarang sekali terjadi, lebih-lebih sejak tidak ada pengangkatan baru hakim ad hoc pada peradilan Niaga.[10]

2.  Praktek Pengadilan Memeriksa dan Memutus Perkara Sebelum Ada    Pranata Dissenting Opinion
                Hukum Acara Perdata (berlaku untuk peradilan umum, peradilan agama, peradilan niaga, peradilan perselisihan industrial, Mahkamah Syar’iah untuk perkara keperdataan, Hukum Acara Pidana (berlaku untuk peradilan umum, peradilan militer, peradilan pidana khusus korupsi, peradilan pelanggaran HAM-berat, peradilan pidana anak, peradilan pidana perikanan, Mahkamah Syar’iah untuk perkara pidana). Hukum Acara Peradilan Administrasi, dan berbagai peraturan acara dalam undang-undang khusus, menentukan asas pemeriksaan dan memutus perkara dengan hakim majelis. Pemeriksaan dan putusan oleh hakim tunggal hanya berlaku untuk perkara tindak pidana anak, tindak pidana ringan (tipiring), dan pra peradilan, atau dapat juga dilakukan setelah mendapat izin ketua Mahkamah Agung (Penetapan Ketua Mahkamah Agung) karena alasan kekuranan hakim. Dalam memutus berlaku asas musyawarah-mufakat. Setiap putusan ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis. Dalam praktek ada kemungkinan terjadi perbedaan pendapat diantara anggota dan Ketua Majelis, atau dua anggota mempunyai pendapat yang sama berhadapan dengan satu anggota lainnya. Satu anggota yang berbeda kemungkinan adalah Ketua Majelis.[11] Undang-undang menentukan beberapa prinsip :
(1). Putusan disepakati oleh seluruh anggota majelis. Kesepakatan dicapai, baik karena sejak semula sependapat atau kesepakatan dicapai setelah permusyawaratan, atau yang berbeda pendapat melepaskan pendapat dan mengikuti pendapat lainnya.
(2). Putusan atas dasar suara terbanyak yaitu 2 : 1, dalam hal Majelis terdiri dari lima orang, suara terbanyak dapat 4 : 1 atau 3 : 2.
(3). Putusan ditentukan oleh kehendak Ketua Majelis.
(4). Dalam hal semua Anggota Majelis saling berbeda dan tidak dapat diketemukan kesepakatan bulat atau mayoritas, persoalan diserahkan kepada Ketua Pengadilan yang akan bermusyawarah dengan semua hakim. Pendapat musyawarah akan diserahkan kepada Majelis untuk dipertimbangkan. Majelis wajib memutus. Undang-undang melarang hakim menolak memutus perkara.[12]
              Dalam praktek, hampir semua putusan dicapai melalui musyawarah  mufakat, kalau ada perbedaan pendapat, putusan ditunda (pending), untuk dibaca kembali oleh semua anggota majelis, dan dapat dilakukan berkali-kali. Apabila setelah berkali-kali musyawarah tetap ada perbedaan pendapat, putusan disepakati (semua anggota) dengan mencatat pendapat yang berbeda dan diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan sebagai dokumen. Dalam keadaan tertentu, putusan disepakati mengikuti pendapat ketua majelis. Kesepakatan dengan mencatat perbedaan, apalagi semata-mata mengikuti kehendak Ketua Majelis sangat jarang terjadi. Kalaupun pendapat Ketua Majelis yang diikuti, hal tersebut semata-mata karena argumentasi yang meyakinkan anggota lainnya. Inilah praktekyang terjadi (paling tidak di Mahkamah Agung). Dengan demikian perbedaan pendapat merupakan hal yang sangat lazim di kalangan para hakim pemerikasa perkara. Tetapi melalui permusyawaratan diupayakan menemukan kesepakatan. Dalam hal tidak dapat dicapai kebulatan, kesepakatan diputus atas dasar suara terbanyak, dan pendapat yang berbeda dicatat pada lembaran tersendiri terlepas dari putusan. Praktek ini berbeda dengan pemeriksaan perkara niaga. Untuk perkara niaga pendapat yang berbeda dicatat pada bagian bawah putusan (diluar putusan).[13]
  3.  Praktek Pengadilan Memeriksa dan Memutus Perkara Setelah Ada Pranata Dissenting Opinion
              Pranata Dissenting Opinion merupakan sesuatu yang baru. Hukum Acara yang berlaku sama sekali tidak mengatur pranata tersebut. Satu-satunya sumber pranata Dissenting Opinion  adalah UU No. 48/2009 jo. UU No. 4/2004 yang mengatur mengenai organisasi kekuasaan kehakiman.
          Dalam beberapa kasus di pengadilan Tingkat pertama (seperti kasus Abdullah Puteh), dan Mahkamah Agung (sperti kasus perumahan TNI di cibubur, kasus Polikarpus), pranata Dissenting Opinion telah diterapkan. Pendapat yang berbeda dicantumkan dalam putusan dan ditempatkan setelah pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar putusan. Walaupunada Dissenting Opinion putusan tetap ditandatangani Ketua dan semua Anggota Majelis termasuk yang berbeda pendapat. Pranata Dissenting Opinion diterapkan pertama kali dalam putusan kasasi kasus Akbar Tanjung. Anggota Majelis Adurrahman Saleh menyatakan perbedaan pendapat yang dibacakan tersendiri diluar putusan (tidak dimasukkan dalam putusan). Walaupun demikian, Abdurrahman Saleh tetap menandatangani putusan kasasi yang bersangkutan.[14]
          Esensi Dissenting Opinion adalah “penolakan” anggota majelis (minoritas) terhadap putusan (yang disepakatai mayoritas). Pada negara-negara yang menjalankan praktek Dissenting Opinion dijumpai beberapa kemungkinan :
Pertama   ;  perbedaan mulai dasar-dasar pertimbangan sampai pada putusan.
Kedua       ;    perbedaan pada dasar-dasar pertimbangan tetapi tidak ada perbedaan pada putusan.
Ketiga    ;  ada persamaan-persamaan pertimbangan tetapi berbeda putusan.
  Sejumlah praktek di Indonesia, menunjukkan Dissenting Opinion menyangkut mulai dari perbedaan dasar-dasar pertimbangan sampai pada putusan.
 
4.   Kelebihan dan Kelemahan pranata Dissenting Opinion
a. Kelebihan Pranata Dissenting Opinion
-      pranata Dissenting Opinion merupakan perwujudan nyata kebebasan individual hakim, termasuk kebebasan terhadap sesama Anggota Majelis atau sesama hakim. Pranata ini sejalan dengan essensi kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang tidak lain dari kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara;
-      Pranata dissenting opinion mencerminkan jaminan hak berbeda pendapat (the right to dessent) setiap hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam kerangka yang lebih luas, pranata dissenting opinion mencerminkan demokrasi dalam memeriksa dan memutus perkara;
-      Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan tanggung jawab individual hakim. Melalui pranata ini diharapkan hakim lebih mendalami perkara yang ia tangani sehingga hakim tersebut bertanggung jawab secara individual baik secara moral ataupun sesuai dengan hati nuraninya terhadap setiap putusan yang mewajibkan memberikan pendapat pada setiap perkara yang diperiksa dan diputus;
-      Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan kualitas dan wawasan hakim. Melalui pranata dissenting opinion setiap hakim diwajibkan mempelajari dan mendalami setiap perkara yang diperiksa dan akan diputus karena setiap perkara ada kemungkinan mengandung fakta-fakta dan hukum yang kompleks
-      Pranata dissenting opinion merupakan instrumen menjamin dan meningkatkan mutu putusan. Kemungkinan menghadapi dissenting opinion, setiap anggota majelis akan berusaha menyusun dasar dan pertimbangan hukum yang dalam, baik secara normatif, ilmiah, serta dasar-dasar dan pertimbangan sosiologis yang memadai;
-      Pranata dissenting opinion merupakan instrumen dinamika dan updating pengertian-pengertian hukum. Kehadiran dissenting opinion menunjukkan fakta-fakta hukum dalam suatu perkara maupun aturan-aturan hukum, tidak bersifat linear. Melalui pranata dissenting opinion pemberian makna yang berbeda baik fakta maupun hukum akan menjamin dinamika dan updating pengertian suatu kaidah hukum. Dengan cara tersebut akan terjadi aktualisasi penerapan hukum;
-      Pranata dissenting opinion merupakan instrumen perkembangan Ilmu Hukum. Ilmu hukum berkembang melalui beberapa cara, yaitu: Perkembangan filsafat hukum, teori hukum, dan aturan-aturan hukum. Pranata dissenting opinion akan memperkaya bahan kajian hukum baik menyangkut muatan filsafat, teori atau doktin, maupun kaidah-kaidah hukum baru yang dibentuk oleh hakim.
b.   Kelemahan Pranata Dissenting Opinion
-  Kebenaran dan keadilan mayoritas (kuantitas) Pranata dissenting opinion membawa konsekuensi putusan hakim ditentukan oleh (dengan) suara terbanyak. Dengan demikian putusan yang benar dan adil sesuai dengan kehendak terbanyak (mayoritas). Ada kemungkinan pendapat minoritas (dissenting) itulah yang benar dan adil;
-  Pranata dissenting opinion baik secara keilmuan maupun praktek dapat menimbulkan ketidakpastian hukum;
- Pranata dissenting opinion dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan sesama hakim, terutama untuk masyarakat yang mementingkan hubungan emosional di atas hubungan zekelijk, seorang ketua majelis dapat merasa ditantang bahkan mungkin direndahkan oleh anggota yang berbeda pendapat;
-  Pranata dissenting opinion dapat menimbulkan sifat individualis yang berlebihan. Hal ini akan terasa pada saat anggota majelis yang bersangkutan merasa lebih menguasai persoalan dibanding anggota lain.[15]
    Dari uraian tulisan diatas penulis dapat simpulkan bahwa :
1.  Pranata dissenting opinion merupakan instrumen perkembangan Ilmu Hukum. Ilmu hukum berkembang melalui beberapa cara, yaitu: Perkembangan filsafat hukum, teori hukum, dan aturan-aturan hukum. Pranata dissenting opinion akan memperkaya bahan kajian hukum baik menyangkut muatan filsafat, teori atau doktin, maupun kaidah-kaidah hukum baru yang dibentuk oleh hakim. 
2. Pengadilan Agama Lumajang dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara isbat nikah ini menggunakan hukum pembuktian, dengan mempertimbangkan keterangan para saksi yang diajukan para Pemohon yang akhirnya Majlis Hakim Pengadilan Agama Lumajang berkesimpulan untuk menolak permohonan para Pemohon.
3.Dalam mengambil putusan atas permohonan isbat nikah tersebut , ternyata salah satu hakim anggota mengajukan Dessenting Opinion, dengan alasan antara lain, para Pemohon dengan Termohon tidak mempunyai hubungan hukum yang menjadikan permohonan. Para Pemohon tidak jelas/kabur dan para Pemohon telah mempunyai Akta Nikah, sehingga perkara isbat nikah ini seharusnya dinyatakan tidak  dapat diterima ( Niet Onvankelijke Verklaard ) bukan ditolak. 
Terimakasih,  semoga tulisan ini ada manfaatnya amiin.


Blitar, Pebruari 2018
Penulis,


Drs. H. Sudono, M.H.



   






              [1]  Adalah Hakim Utama Muda  Pengadilan Agama Blitar kelas 1 A
             [2] Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II Edisi 2009, hal. 207.
              [3] Salinan Putusan Pengadilan Agama Lumajang Nomor : 314/Pdt.G/2011/PA. Lmj. Tanggal 12 Mei 2011.
[4] Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary, Abridged Sixth Edition, West Gruop, 1998. Hal 754.
[5] Muchtar Zamzami, Dissenting Opinion dalam Praktek di Pengadilan Agama, VOL III (April: 2006), hal 85.
[6] Rifqi Assegaf dan Josi Khatarina, Membuka Ketertutupan Peradilan, LeIP,  Jakarta, 2005.
[7] Artikel, sumatera Ekspres, 10 Maret 2004, hal 6.
[8] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Jakarta, 2002, hal. 103.
[9] Muhammad Said al-Asnawi, Al-Syariah al-Islamiyah wa al Qanun al-Mishri, alih bahasa: Saiful Ibad: Problematika & Penerapan Syariat Islam dalam Undang-undang, Gaung Persada Press, Jakarta, 2005, hal 60.
[10] Bagir Manan, Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia, Varia Peradilan, NO.253 (Tahun ke XXI: 2006) hal 12.
[11] Bagir, Dissenting, hal 13
[12] Undang-undang No. 48/2009 jo. UU No. 4/2004, Pasal 16 ayat (1) : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkarayang diajukan dengan berdalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
[13] Pada tingkat Mahkamah Agung, hal tersebut belum pernah terjadi.
[14] Muchtar Zamzami, Dissenting Opinion dalam Praktek di Pengadilan Agama, VOL III (April: 2006), hal 85.
[15] Bagir Manan, Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia, Varia Peradilan, NO.253 (Tahun ke XXI: 2006) hal 15-18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar