DISSENTING
OPINION DAN CONCURRING OPINION
A.
Latar
belakang masalah
Salah satu kewenangan absolut Pengadilan
Agama antara lain adalah menerima , memeriksa , mengadili dan
menyelesaikan perkara isbat nikah bagi
pasangan suami istri yang tidak mempunyai akta nikah. Aturan pengesahan perkawinan/isbat nikah , dibuat atas dasar
adanya perkawinan yang dilangsungkan
berdasarkan agama atau tidak dicatat
oleh PPN yang berwenang[2].
Hal ini diatur dalam penjelasan pasal 49
angka 22 Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang pada awalnya perkawinan
yang disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakuknya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan , akan tetapi
pasal 7 Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang untuk pengesahan
perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 untuk kepentingan perceraian,
bahkan dalam perkembangannya juga untuk melegalkan pernikahan dengan istri
kedua, ketiga dan seterusnya dengan mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama.
Melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi
setiap warga Negara, penegasan tersebut termuat dalam pasal 28 B ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan kedua. Dalam pasal tersebut dinyatakan
: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
Meskipun perkawinan merupakan hak azasi, bukan
berarti bahwa setiap warga Negara secara
bebas dapat melaksanakan perkawinan , akan tetapi harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku, yang
menurut pasal 2 ayat ( 2 ) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 . bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang dibuktikan dengan Akta Nikah , Jo. Pasal
5, dan 6 Kompilasi Hukum Islam.
Fakta
yang terjadi saat ini adalah banyak praktek kawin liar atau nikah sirri atau
tidak dicatatkan, disebut juga nikah bawah tangan, menurut pelaku nikah bawah tangan alasan
tersebut antara lain :
a. Adanya pandangan bahwa pernikahan yang dilakukan berdasarkan
agama, telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka perkawinan tersebut dianggap
sah, karenanya tak perlu dicatatkan.
b. Untuk menghilangkan jejak, sehingga bebas
dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari instansinya.
c. Takut diketahui istri tua , sehingga
melakukan poligami liar dan sebagainya.
d. Atau alasan klasik yaitu biaya yang mahal
atau segudang alasan pribadi lainnya.
Para pelaku
nikah bawah tangan pada umumnya tidak mempunyai akta nikah, yang pada akhirnya
akan menimbulkan masalah dalam kehidupan selanjutnya, karena tanpa akta nikah
segala perbuatan hukum yang berkaitan dengan akibat pernikahan, seperti saat ia
membutuhkan akta nikah guna memperoleh kepastian hukum perkawinannya dan
umumnya untuk persyaratan administrasi anaknya, dan salah satunya digunakan
untuk mengurus surat keterangan pensiun janda atas suaminya yang telah meninggal dunia, untuk mengurus paspor haji,
dan lain sebagainya, sekarang ini dapat diatasi dengan isbat nikah.
Dengan
isbat nikah tersebut pasangan nikah bawah tangan bisa diputihkan atau
dilegalkan status perkawinannya berdasarkan waktu saat nikah bawah tangan
dilakukannya, dengan cara begitu
anak-anak yang lahir juga memiliki kedudukan hukum yang kuat. Anak juga memiliki hak memperoleh pelayanan
administrasi kependudukan, berupa akta kelahiran, selain itu tentu saja hak
hukumnya sebagai ahli waris dari orang tuanya juga terjamin atau pada pokoknya
suami istri maupun anaknya mendapatkan perlindungan hukum setelah isbat nikah.
Oleh karena ada
kebutuhan yang mendesak, demi kepastian hukum atas perkawinannya dan kepastian
hukum tentang status anaknya, maka keduanya ( suami istri ) mengajukan
perkara permohonan isbat nikah ( voluntair ) ke Pengadilan
Agama, kasus suami istri yang mengajukan permohonan isbat nikah tersebut adalah
hal biasa . Akan tetapi isbat nikah menjadi luar biasa
bahkan sangat menarik untuk dibahas jika isbat nikah diajukan oleh orang yang sudah mempunyai akta nikah, karena dalam kasus ini para Pemohon telah menikah secara sah
yang tercatat pada KUA Kecamatan Tekung Kabupaten Lumajang dan
telah mendapat Kutipan
Akta Nikah nomor : 104/13/V/2008
tanggal 14 Mei 2008 .
Bermula
dari pengakuan suami istri ( para Pemohon ) pada tahun 2006 telah menikah
sirri, dari pernikahan tersebut lalu mempunyai anak dan pada tahun 2008 para pemohon menikah secara sah dan
dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mendapatkan
Akta Nikah dari pejabat yang berwenang, lalu para Pemohon mengajukan permohonan
untuk mendapatkan Akta kelahiran anaknya, pejabat yang berwenang yaitu kantor catatan
sipil menolaknya dengan alasan tanggal
kelahiran anaknya tidak sesuai dengan peristiwa dalam Akta Nikah yang dimilikinya, karena tanggal kalahiran anak lebih dahulu
dari pada tanggal pernikahan resminya, sehingga para Pemohon tidak akan
menggunakan Akta Nikah tersebut.
Selanjutnya
para Pemohon mengajukan isbat nikah terhadap nikah sirrinya yang telah dilaksanakan pada tanggal
13 Januari 2006 ke Pengadilan Agama
Lumajang, mungkin para Pemohon sadar bahwa nikah sirrinya tidak mempunyai
kepastian hukum maupun perlindungan hukum, bahkan banyak madlorotnya dari pada manfaatnya .
Dalam menghadapi
kasus isbat nikah bagi para Pemohon yang sudah mempunyai
Akta Nikah tersebut, Pengadilan Agama dihadapkan pada persoalan yang dilematis
yaitu mengabulkan atau menolaknya, bila dikabulkan akan melegalkan nikah di bawah tangan, di sisi
lain isbat nikah terhadap nikah di bawah
tangan yang telah memenuhi syarat dan rukunnya serta tidak melanggar hukum
perkawinan dapat disahkah melalui isbat nikah, jika di tolak berarti Pengadilan
Agama menafikan akad nikah yang sah menurut syari’at Islam, selain itu banyak
perempuan dan anak-anak yang tidak mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan.
Oleh karena itu Pengadilan Agama di tuntut untuk
memberikan putusan dengan pertimbangan yang mengandung kemaslahatan yang lebih
besar sesuai dengan rasa keadilan dengan tetap berpegang pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Rupanya
majlis hakim Pengadilan Agama Lumajang dalam memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara isbat nikah ini menggunakan hukum pembuktian, dengan
mempertimbangkan keterangan para saksi yang diajukan para Pemohon yang akhirnya
Majlis Hakim Pengadilan Agama Lumajang berkesimpulan untuk menolak permohonan
para Pemohon[3].
Disamping itu dalam
mengambil putusan atas permohonan isbat nikah tersebut , ternyata salah satu
hakim anggota mengajukan Dessenting Opinion, dengan alasan antara lain, para
Pemohon dengan Termohon tidak mempunyai hubungan hukum yang menjadikan
permohonan. Para Pemohon tidak jelas/kabur dan
para Pemohon telah mempunyai Akta Nikah, sehingga perkara isbat nikah ini
seharusnya dinyatakan tidak dapat
diterima ( Niet Onvankelijke Verklaard ) bukan ditolak.
Berawal dari kasus yang telah penulis
paparkan diatas, penulis tertarik untuk membahasnya dalam sebuah karya ilmiyah
yang berjudul DISSENTING OPINION DAN CONCURRING OPINION terutama menguak pertimbangan hukumnya
terhadap perkara isbat nikah atas Putusan Nomor:
0314/Pdt.G/2011/PA.Lmj di
Pengadilan Agama Lumajang.
B. Permasalahan
Dari
latar belakang masalah tersebut, maka terdapat rumusan masalah sebagaimana berikut :
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum bagi hakim yang sepakat dan hakim yang dissenting opinion dalam
menolak perkara isbat nikah Nomor:
0314/Pdt.G/2011/PA.Lmj
2.
Bagaimana
kedudukan Akta Nikah yang dimiliki para Pemohon setelah perkara isbat nikahnya
ditolak.
C. Pembahasan
1. Pengertian Dissenting Opinion
Dalam
Black’ Law Dictionary Dissenting Opinion diatikan sebagai opini dari
seorang atau lebih hakim yang tidak sependapat dengan kesimpulan yang dicapai
oleh mayoritas hakim dalam suatu majelis, perbedaan pendapat terletak pada
alasan dan prinsip-prinsip hukum yang digunakan oleh mayoritas hakim dalam
memutus perkara tersebut (Disagrees with the result reached by the majority
and thus disagrees with the reasoning and/or the principles of law used by the
majority in deciding the case).[4]
Dissenting
Opinion juga disebut dengan minority opinion, karena yang tidak sependapat adalah pihak terkecil. Apabila
pendapat seorang hakim dianggap benar oleh seluruh anggota majelis untuk
dijadikan dasar putusan, itu disebut dengan majority opinion. Hampir
mirip dengan Dissenting Opinion ini ialah concurring opinion, yaitu
dalam hal seorang hakim sependapat dengan kesimpulan yang diambil oleh
mayoritas hakim, tetapi tidak sependapat dengan keakuratan dasar-dasar hukum
yang digunakan.[5]
Walaupun UU No. 48/2009 jo. UU No. 4/2004
tidak menjelaskan dasar filosofis dari pencantuman Pasal 19 ayat (5) ini, namun
dapat diduga hal ini erat dengan penjabaran Pasal 28F UUD NRI 1945 dan
keinginan para pembuat undang-undang untuk membuat para hakim dapat bertanggung
jawab secara individual terhadap apa yang menjadi pertimbangan dalam memutus
perkara. Hal ini tampak pada pengakuan dua orang anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang turut membidani lahirnya UU No. 4/2004 jo. UU No. 48/2009.[6]
Dugaan ini dibenarkan oleh Trimoelja D.
Soerjadi. Advokad senior ini berpendapat selama Dissenting Opinion belum
diberlakukan, seluruh putusan harus dipertanggung jawabkan secara kolektif,
karena setiap putusan selalu diasumsikan sebagai putusan yang bulat,
setidak-tidaknya secara legal formal. Padahal sebuah putusan bagi seorang hakim
harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis, filosofis, sosiologis dan
juga secara moral. Dan ini menjadi beban moral bagi hakim yang berbeda
pendapat.[7]
Sebenarnya Dissenting Opinion sudah lama
dikenal dalam dunia peradilan di Indonesia. Yang belum ada saat itu ialah
keharusan memuatnya dalam putusan. Selama ini Dissenting Opinion dicantumkan
dalam sebuah buku yang khusus disediakan dan dikelola ketua pengadilan secara
rahasia. Dalam buku tersebut dicantumkan nama hakim yang berbeda pendapat,
kedudukannya dalam majelis, nomor perkara, tanggal putusan, pendapat dan
alasannya[8].
Pencantuman Dissenting Opinion juga
akan berdampak kepada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) peradilan,
terutama para hakim. Melalui alasan dan uraian yang tercantum dalam Dissenting
Opinion, masyarakat terutama para ahli dan para peminat hukum dapat menilai
kualitas keilmuan dan keluasan wawasan hakim yang bersangkutan. Khusus bagi
Peradilan Agama, mengingat sebagian besar hukum materiil masih bersumber kepada
fiqih yang sarat dengan perbedaan-perbedaan pendapat, serta menguatnya tuntutan
peradaban yang menghendaki penafisran kembali ajaran-ajaran agama, [9]
maka pencantuman Dissenting Opinion akan memberikan kepuasan moral bagi para
hakim untuk dapat bertanggung jawab secara individual, dan sekaligus tantangan
bagi mereka untuk terus menerus meningkatkan diri.
Embrio pranata Dissenting Opinion
sendiri dapat ditelusuri dalam peradilan niaga (kepailitan), pendapat hakim
yang berbeda dicatat pada bagian bawah dari putusan (semacam ‘minderheidsnota’).
Dalam praktek jarang sekali terjadi, lebih-lebih sejak tidak ada pengangkatan
baru hakim ad hoc pada peradilan Niaga.[10]
2. Praktek Pengadilan Memeriksa dan Memutus Perkara Sebelum Ada Pranata
Dissenting Opinion
Hukum Acara
Perdata (berlaku untuk peradilan umum, peradilan agama, peradilan niaga,
peradilan perselisihan industrial, Mahkamah Syar’iah untuk perkara keperdataan,
Hukum Acara Pidana (berlaku untuk peradilan umum, peradilan militer, peradilan
pidana khusus korupsi, peradilan pelanggaran HAM-berat, peradilan pidana anak,
peradilan pidana perikanan, Mahkamah Syar’iah untuk perkara pidana). Hukum
Acara Peradilan Administrasi, dan berbagai peraturan acara dalam undang-undang
khusus, menentukan asas pemeriksaan dan memutus perkara dengan hakim majelis.
Pemeriksaan dan putusan oleh hakim tunggal hanya berlaku untuk perkara tindak
pidana anak, tindak pidana ringan (tipiring), dan pra peradilan, atau dapat
juga dilakukan setelah mendapat izin ketua Mahkamah Agung (Penetapan Ketua
Mahkamah Agung) karena alasan kekuranan hakim. Dalam memutus berlaku asas
musyawarah-mufakat. Setiap putusan ditandatangani oleh Ketua dan Anggota
Majelis. Dalam praktek ada kemungkinan terjadi perbedaan pendapat diantara
anggota dan Ketua Majelis, atau dua anggota mempunyai pendapat yang sama
berhadapan dengan satu anggota lainnya. Satu anggota yang berbeda kemungkinan
adalah Ketua Majelis.[11]
Undang-undang menentukan beberapa prinsip :
(1). Putusan disepakati oleh seluruh anggota
majelis. Kesepakatan dicapai, baik karena sejak semula sependapat atau
kesepakatan dicapai setelah permusyawaratan, atau yang berbeda pendapat
melepaskan pendapat dan mengikuti pendapat lainnya.
(2). Putusan atas dasar suara terbanyak yaitu 2 : 1,
dalam hal Majelis terdiri dari lima orang, suara terbanyak dapat 4 : 1 atau 3 :
2.
(3). Putusan ditentukan oleh kehendak Ketua Majelis.
(4). Dalam hal semua Anggota Majelis saling berbeda
dan tidak dapat diketemukan kesepakatan bulat atau mayoritas, persoalan
diserahkan kepada Ketua Pengadilan yang akan bermusyawarah dengan semua hakim.
Pendapat musyawarah akan diserahkan kepada Majelis untuk dipertimbangkan.
Majelis wajib memutus. Undang-undang melarang hakim menolak memutus perkara.[12]
Dalam praktek, hampir semua putusan dicapai melalui musyawarah mufakat, kalau ada perbedaan pendapat,
putusan ditunda (pending), untuk dibaca kembali oleh semua anggota majelis, dan
dapat dilakukan berkali-kali. Apabila setelah berkali-kali musyawarah tetap ada
perbedaan pendapat, putusan disepakati (semua anggota) dengan mencatat pendapat
yang berbeda dan diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan
sebagai dokumen. Dalam keadaan tertentu, putusan disepakati mengikuti pendapat
ketua majelis. Kesepakatan dengan mencatat perbedaan, apalagi semata-mata
mengikuti kehendak Ketua Majelis sangat jarang terjadi. Kalaupun pendapat Ketua
Majelis yang diikuti, hal tersebut semata-mata karena argumentasi yang
meyakinkan anggota lainnya. Inilah praktekyang terjadi (paling tidak di
Mahkamah Agung). Dengan demikian perbedaan pendapat merupakan hal yang sangat
lazim di kalangan para hakim pemerikasa perkara. Tetapi melalui permusyawaratan
diupayakan menemukan kesepakatan. Dalam hal tidak dapat dicapai kebulatan,
kesepakatan diputus atas dasar suara terbanyak, dan pendapat yang berbeda
dicatat pada lembaran tersendiri terlepas dari putusan. Praktek ini berbeda
dengan pemeriksaan perkara niaga. Untuk perkara niaga pendapat yang berbeda
dicatat pada bagian bawah putusan (diluar putusan).[13]
3. Praktek
Pengadilan Memeriksa dan Memutus Perkara Setelah Ada Pranata Dissenting
Opinion
Pranata Dissenting Opinion merupakan sesuatu yang baru. Hukum
Acara yang berlaku sama sekali tidak mengatur pranata tersebut. Satu-satunya
sumber pranata Dissenting Opinion adalah UU No. 48/2009 jo. UU No. 4/2004 yang
mengatur mengenai organisasi kekuasaan kehakiman.
Dalam beberapa kasus di pengadilan
Tingkat pertama (seperti kasus Abdullah Puteh), dan Mahkamah Agung (sperti
kasus perumahan TNI di cibubur, kasus Polikarpus), pranata Dissenting
Opinion telah diterapkan. Pendapat yang berbeda dicantumkan dalam putusan
dan ditempatkan setelah pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar putusan.
Walaupunada Dissenting Opinion putusan tetap ditandatangani Ketua dan
semua Anggota Majelis termasuk yang berbeda pendapat. Pranata Dissenting
Opinion diterapkan pertama kali dalam putusan kasasi kasus Akbar Tanjung.
Anggota Majelis Adurrahman Saleh menyatakan perbedaan pendapat yang dibacakan
tersendiri diluar putusan (tidak dimasukkan dalam putusan). Walaupun demikian,
Abdurrahman Saleh tetap menandatangani putusan kasasi yang bersangkutan.[14]
Esensi Dissenting Opinion adalah
“penolakan” anggota majelis (minoritas) terhadap putusan (yang disepakatai
mayoritas). Pada negara-negara yang menjalankan praktek Dissenting Opinion dijumpai
beberapa kemungkinan :
Pertama ; perbedaan
mulai dasar-dasar pertimbangan sampai pada putusan.
Kedua ; perbedaan pada dasar-dasar pertimbangan tetapi tidak ada
perbedaan pada putusan.
Ketiga ; ada
persamaan-persamaan pertimbangan tetapi berbeda putusan.
Sejumlah praktek
di Indonesia, menunjukkan Dissenting Opinion menyangkut mulai dari
perbedaan dasar-dasar pertimbangan sampai pada putusan.
4. Kelebihan dan
Kelemahan pranata Dissenting Opinion
a. Kelebihan
Pranata Dissenting Opinion
- pranata Dissenting Opinion merupakan perwujudan
nyata kebebasan individual hakim, termasuk kebebasan terhadap sesama Anggota
Majelis atau sesama hakim. Pranata ini sejalan dengan
essensi kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang tidak lain dari kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara;
- Pranata dissenting opinion mencerminkan
jaminan hak berbeda pendapat (the right to dessent) setiap hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara. Dalam kerangka yang lebih luas, pranata dissenting
opinion mencerminkan demokrasi dalam memeriksa dan memutus perkara;
- Pranata dissenting opinion merupakan
instrumen meningkatkan tanggung jawab individual hakim. Melalui pranata ini
diharapkan hakim lebih mendalami perkara yang ia tangani sehingga hakim
tersebut bertanggung jawab secara individual baik secara moral ataupun sesuai
dengan hati nuraninya terhadap setiap putusan yang mewajibkan memberikan pendapat
pada setiap perkara yang diperiksa dan diputus;
- Pranata dissenting opinion merupakan
instrumen meningkatkan kualitas dan wawasan hakim. Melalui pranata dissenting
opinion setiap hakim diwajibkan mempelajari dan mendalami setiap perkara
yang diperiksa dan akan diputus karena setiap perkara ada kemungkinan
mengandung fakta-fakta dan hukum yang kompleks
- Pranata dissenting opinion merupakan
instrumen menjamin dan meningkatkan mutu putusan. Kemungkinan menghadapi dissenting
opinion, setiap anggota majelis akan berusaha menyusun dasar dan
pertimbangan hukum yang dalam, baik secara normatif, ilmiah, serta dasar-dasar
dan pertimbangan sosiologis yang memadai;
- Pranata dissenting opinion merupakan
instrumen dinamika dan updating pengertian-pengertian hukum. Kehadiran dissenting
opinion menunjukkan fakta-fakta hukum dalam suatu perkara maupun
aturan-aturan hukum, tidak bersifat linear. Melalui pranata dissenting
opinion pemberian makna yang berbeda baik fakta maupun hukum akan menjamin
dinamika dan updating pengertian suatu kaidah hukum. Dengan cara
tersebut akan terjadi aktualisasi penerapan hukum;
- Pranata dissenting opinion merupakan
instrumen perkembangan Ilmu Hukum. Ilmu hukum berkembang melalui beberapa cara, yaitu: Perkembangan filsafat
hukum, teori hukum, dan aturan-aturan hukum. Pranata dissenting opinion akan
memperkaya bahan kajian hukum baik menyangkut muatan filsafat, teori atau
doktin, maupun kaidah-kaidah hukum baru yang dibentuk oleh hakim.
b. Kelemahan
Pranata Dissenting Opinion
- Kebenaran dan keadilan mayoritas
(kuantitas) Pranata dissenting opinion membawa konsekuensi putusan hakim
ditentukan oleh (dengan) suara terbanyak. Dengan demikian putusan yang benar
dan adil sesuai dengan kehendak terbanyak (mayoritas). Ada kemungkinan pendapat
minoritas (dissenting) itulah yang benar dan adil;
- Pranata dissenting opinion baik
secara keilmuan maupun praktek dapat menimbulkan ketidakpastian hukum;
- Pranata dissenting
opinion dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan sesama hakim, terutama
untuk masyarakat yang mementingkan hubungan emosional di atas hubungan zekelijk,
seorang ketua majelis dapat merasa ditantang bahkan mungkin direndahkan oleh
anggota yang berbeda pendapat;
- Pranata dissenting opinion dapat
menimbulkan sifat individualis yang berlebihan. Hal ini akan terasa pada saat
anggota majelis yang bersangkutan merasa lebih menguasai persoalan dibanding
anggota lain.[15]
Dari uraian tulisan diatas
penulis dapat simpulkan bahwa :
1. Pranata dissenting opinion merupakan
instrumen perkembangan Ilmu Hukum. Ilmu hukum berkembang melalui beberapa cara, yaitu: Perkembangan filsafat
hukum, teori hukum, dan aturan-aturan hukum. Pranata dissenting opinion akan
memperkaya bahan kajian hukum baik menyangkut muatan filsafat, teori atau
doktin, maupun kaidah-kaidah hukum baru yang dibentuk oleh hakim.
2. Pengadilan Agama Lumajang dalam memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara isbat nikah ini menggunakan hukum pembuktian, dengan
mempertimbangkan keterangan para saksi yang diajukan para Pemohon yang akhirnya
Majlis Hakim Pengadilan Agama Lumajang berkesimpulan untuk menolak permohonan
para Pemohon.
3.Dalam
mengambil putusan atas permohonan isbat nikah tersebut , ternyata salah satu
hakim anggota mengajukan Dessenting Opinion, dengan alasan antara lain, para
Pemohon dengan Termohon tidak mempunyai hubungan hukum yang menjadikan
permohonan. Para Pemohon tidak jelas/kabur dan
para Pemohon telah mempunyai Akta Nikah, sehingga perkara isbat nikah ini
seharusnya dinyatakan tidak dapat
diterima ( Niet Onvankelijke Verklaard ) bukan ditolak.
Terimakasih, semoga tulisan ini ada
manfaatnya amiin.
Blitar, Pebruari 2018
Penulis,
Drs. H. Sudono, M.H.
[5] Muchtar
Zamzami, Dissenting Opinion dalam Praktek di Pengadilan Agama, VOL III
(April: 2006), hal 85.
[8] Mahkamah
Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku
II, Jakarta, 2002, hal. 103.
[9] Muhammad
Said al-Asnawi, Al-Syariah al-Islamiyah wa al Qanun al-Mishri, alih
bahasa: Saiful Ibad: Problematika & Penerapan Syariat Islam dalam
Undang-undang, Gaung Persada Press, Jakarta, 2005, hal 60.
[10] Bagir Manan,
Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia, Varia Peradilan, NO.253
(Tahun ke XXI: 2006) hal 12.
[12] Undang-undang
No. 48/2009 jo. UU No. 4/2004, Pasal 16 ayat (1) : “Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkarayang diajukan
dengan berdalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
[14] Muchtar Zamzami, Dissenting Opinion dalam Praktek di
Pengadilan Agama, VOL III (April: 2006), hal 85.
[15] Bagir Manan, Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan
Indonesia, Varia Peradilan, NO.253 (Tahun ke XXI: 2006) hal 15-18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar