UNTUK KEPENTINGAN APA BATASAN USIA DEWASA
ITU
Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1]
Pendahuluan
Dikalangan praktisi hukum khususnya para hakim masih bervariasi dalam
menerima batasan usia dewasa terutama seseorang
untuk menjadi saksi di muka persidangan, satu fihak ada yang menerima
saksi yang berumur minimal 18 tahun dan ada yang tidak mau menerimanya karena
seseorang tersebut belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum, sehingga orang
yang menjadi saksi harus sudah berusia 21 tahun. Perbedaan seperti inilah yang
menjadi pembahasan penulis dibawah ini.
Penentuan batas usia dewasa seseorang merupakan hal yang penting
karena akan menentukan sah tidaknya seseorang bertindak melakukan perbuatan
hukum dan kecakapan seseorang melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi,
pengaturannya dalam berbagai undang-undang di Indonesia dilakukan secara beragam
sehingga perlu untuk di samakan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
pengaturan batas usia dewasa itu untuk kepentingan apa, perbedaan pengaturan
batas usia dewasa seseorang untuk menjadi syarat kecakapan dalam melakukan
perbuatan hukum, yakni ada yang menentukan 18 tahun dan 21 tahun, dan upaya
untuk mengatasi keberagaman tersebut dengan penerbitan Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 7 Tahun 2012.
Ada
perbedaan ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata ( selanjutnya disingkkat KUH Perdata) dan
Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan dalam
Pasal 330 Kitab UUH Perdata menyatakan: “Seseorang dianggap sudah dewasa jika
sudah berusia 21 tahun atau sudah (pernah) menikah.” Pasal tersebut
mengharuskan bahwa seseorang dinyatakan cakap dalam melakukan perbuatan hukum
harus terlebih dahulu berusia 21 tahun atau sudah menikah sebelum berusia 21
tahun.
UU Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal 47 ayat (1) menyatakan sebagai berikut
: “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya”. Menurut Undang-Undang Perkawinan, seseorang dinyatakan cakap
untuk menikah adalah ketika mencapai umur 18 tahun atau lebih. Seseorang yang
belum mencapai umur 18 tahun maka masih dibawah kekuasaan orang tuanya. Sebetulnya
ternyata kalau diteliti secara mendalam tidak ada masalah tentang usia dewasa dan
yang perlu adalah untuk apa batasan dewasa itu.
Permasalahan
Dalam tulisan ini adalah perbedaan
pengaturan batas usia dewasa itu harus dicermati untuk kepentingan apa ?
Pembahasan
Untuk mengetahui motif dan ada kepentingan
apa, tentu penulis akan memperbandingkan
aturan perundangan yang satu dengan lainnya yaitu :
1.
KUH Perdata
Pasal 1320 KUH
Perdata tentang syarat-syarat perjanjian Untuk sahnya perjanjian-perjanjian
diperlukan empat syarat : 1. sepakat yang mengikatkan dirinya; 2. cakap untuk
membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal[2] (
R.Subekti, S.H., R. Tjitrosudibio: 1985 : 305 ) . Dengan demikian tujuan pasal
tersebut tenyata untuk sahnya membuat perjanjian-perjanjian.
Perjanjian
yang dilakukan oleh orang atau pihak-pihak yang tidak memenuhi persyaratan dari
sisi batas usia para pihak atau salah satu pihak yang akan membuat perjanjian,
maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, oleh karena itu batas usia seseorang
untuk dapat melakukan perjanjian menjadi penting. KUH Perdata telah mengatur
batas usia dewasa seseorang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 330 KUH Perdata
. Perbuatan hukum berkaitan dengan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh
pihak-pihak yang melakukan perjanjian harus memenuhi persyaratan batas usia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 KUH Perdata tersebut. Banyak perbuatan
hukum yang berkaitan dengan perjanjian, dan seharusnya tunduk kepada asas hukum
perjanjian, seperti : 1. Mendirikan perseroan terbatas; 2. Melaksanakan jual
beli harta tetap (tanah); 3. Menjaminkan bidang tanah kepada bank. 4. Melakukan
pembukaan rekening tabungan, atau rekening koran; 5. mendepositokan uang di
bank; 6. Melakukan perjanjian kredit di bank; 7. Melakukan gadai barang; 8. Melakukan
perikatan pernikahan.
Perbuatan hukum tersebut di atas, mempunyai batas usia orang yang dapat
melakukannya harus tunduk pada usia dewasa yang diatur dalam KUH Perdata, dan
jika seseorang belum memenuhi batas usia minimum yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan, maka yang bersangkutan dalam melakukan perbuatan hukum
tersebut dibantu oleh walinya atau dibantu oleh orang tuanya.
Dalam praktik ternyata tidak semua perbuatan hukum yang berkaitan dengan
perjanjian dilaksanakan tunduk pada batas usia minimum seseorang dapat
melakukan perbuatan hukum tersebut, seperti perbuatan hukum perjanjian, antara
lain pembukaan rekening tabungan, rekening koran, dan pembuatan deposito,
persyaratannya hanya yang bersangkutan sudah memiliki KTP maka orang tersebut
dianggap sudah dewasa, sehingga dapat menjadi subjek hukum, sehingga dapat
dimaknai bahwa untuk perbuatan hukum tersebut, seseorang dianggap dewasa pada
usia 17 (tujuh belas) tahun[3]. Dengan
kenyataan ini untuk membuat dan membuka rekening tabungan , rekening koran,
membuka deposito pada usia dewasa 17 tahun. oleh karena itu sepanjang
menyangkut hukum membuat perjanjian harus terikat dengan asas hukum perjanjian.
Berbagai yurisprudensi Mahkamah
Agung menyatakan umumnya kriteria dewasa dinyatakan 17 (tujuh belas)
tahun, karena pada usia tersebut yang bersangkutan dianggap telah dewasa dan
dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan perbuatannya. Pada usia 17
tahun yang bersangkutan sudah memenuhi syarat berhak untuk memiliki Kartu Tanda
Penduduk (KTP) sebagai indentitas diri, dengan memiliki KTP remaja yang
bersangkutan dapat bertindak sendiri melakukan perbuatan hukum, antara lain
membuka rekening tabungan dan melakukan perbuatan hukum lain di bank. Selain itu,
yang bersangkutan dapat memohon pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) sehingga
dapat mengendarai kendaraan bermotor. Selain contoh diatas ada perbedaan juga
berkaitan dengan batasan umur yang digunakan dalam membuat suatu perjanjian
atau akta dihadapan Notaris. Pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa kedewasaan seseorang adalah ketika berumur 21 tahun atau sudah
menikah. Karenanya batasan usia 17 tahun hanya untuk membuat
perjanjian-perjanjan melakukan perbuatan hukum membuka rekening dan melakukan
perbuatan hukum lain di bank, pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), sedangkan untuk melakukan perbuatan hukum yang
lainnya terikat dengan batasan usia 21 tahun atau sudah menikah, sebagaimana aturan pasal 330 KUH Perdata ( R.Subekti, S.H., R. Tjitrosudibio: 1985 : 98).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang syaratsyarat perjanjian. Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan
empat syarat : 1. sepakat yang
mengikatkan dirinya; 2. cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal
tertentu; 4. suatu sebab yang halal . Perjanjian
yang dilakukan oleh orang atau pihak-pihak yang tidak memenuhi persyaratan dari
sisi batas usia para pihak atau salah satu pihak yang akan membuat perjanjian,
maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, oleh karena itu batas usia seseorang
untuk dapat melakukan perjanjian menjadi penting (R.Subekti, S.H., R. Tjitrosudibio: 1985 : 305).
2. UU Nomor
30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Pasal 39 ayat (1)
Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa seseorang yang menghadap Notaris
untuk membuat akta adalah yang memenuhi syarat paling rendah berumur 18
tahun atau sudah menikah. (2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau
diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling
sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan
perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. Pasal 40 menyatakan : Setiap akta yang dibacakan
oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan
perundangundangan menentukan lain. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.
paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; b.
cakap melakukan perbuatan hukum; c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; d.
dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan e. tidak mempunyai hubungan
perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan
derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau
para pihak.
Jadi ternyata kalau
penulis cermati pasal 39 dan 40 UU Jabatan Notaris tersebut bahwa untuk menghadap Notaris dengan tujuan yang berhubungan tugas-tugas
Notaris disyaratkan orang yang sudah berusia minimal 18 tahun atau telah
menikah[4],
termasuk saksi-saksi yang dihadapkan ke notaris juga minimal berusia 18 tahun
atau sudah menikah.
3.
UU Nomor 1 tahun 1974
Pasal
47 ayat (1) Undang Undang Perkawinan
(selanjutnya disingkat UUP) menyatakan :“anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Menurut UU Perkawinan seseorang dinyatakan cakap untuk menikah
adalah ketika mencapai umur 18 tahun atau lebih. Seseorang yang belum mencapai
umur 18 maka masih dibawah kekuasaan orang tuanya. Kecakapan seseorang bertindak di dalam hukum
atau untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya
seseorang tersebut dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang
merupakan tolok ukur dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat atau
belum dapat dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya
seseorang menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum yang ditentukan
dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar
seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan
segala perbuatan hukum. Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang-undang ini
disebut “kedewasaan”. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu
melakukan semua perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, melakukan
perkawinan, dan membuat surat wasiat [5]
(Abdulkadir Muhammad, 2010:40).
UU Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Bab II Syarat-syarat Perkawinan, dalam
Pasal 6 ayat (2) menyatakan: untuk melangsungkan Perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang
tua. Lebih lanjut dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai kebolehan untuk
melakukan perkawinan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat
(2), yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 7 (1) Perkawinan diizinkan bila
pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1)
dalam pasal ini, dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain
yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Undang-Undang
tersebut mengatur ketentuan batas usia minimal seseorang dapat melangsungkan
perkawinan. Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bahwa
syarat melangsungkan perkawinan untuk pihak pria adalah 19 tahun dan pihak
wanita 16 tahun.
Dalam UU Perkawinan itu sendiri menyatakan secara berbeda-beda mengenai
kecakapan berbuat hukum. Sebagai contoh: Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan juga
menentukan lain mengenai kecakapan seseorang untuk melangsungkan perkawinan.
Bunyi ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan tersebut tidak tegas sehingga
tidak memberikan kepastian hukum mengenai ketentuan atas usia seseorang dapat
melaksanakan perkawinan, ketentuan tersebut dapat ditafsirkan hal-hal sebagai
berikut : 1) Seseorang yang akan melaksanakan perkawinan jika yang bersangkutan
telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dapat melaksanakan perkawinan tanpa
harus telebih dahulu memperoleh izin dari kedua orang tua; 2) Perkawinan dapat
dilaksanakan oleh seseoang, dengan ketentuan bahwa yang bersangkutan telah
berumur, bagi seorang laki-laki telah mencapai umur paling sedikit 19 (Sembilan
belas) tahun dan seorang perempuan telah mencapai umur minimal 16 (enam belas)
tahun.
Kalau benar-benar dicermati aturan diatas menurut penulis tidak
ada masalah, karena jelas dan tegas
kepentingannya hanya untuk melaksanakan perkawinan bagi mereka yang belum
berusia 21 tahun dengan cara mengajukan dispensisasi kawin ke pengadilan agama.
Karena batasan usia dewasa bagi laki-laki 19 tahun dan bagi perempuan 16 tahun menurut UU
Perkawinan dikatakan atau dianggap
dewasa, cakap jika usia laki-laki 19 dan
perempuan 16 tahun atau sudah menikah atau pernah menikah. Negara
sudah memberikan kebijakan/solusi melalui dispensasi kawin agar kehendak para
pihak yang akan menikah dapat terlaksana dengan terpenuhinya batasan usia
menikah, sesuai kaidah fikih dalam bidang siyasah ( poplitik Islam) yang
menyatakan : Tasharruful Imami ala ri’ayatin munawwathun bil Mashlahah,
yaitu kebijakan pemimpin dalam urusan-urusan publik harus berorientasi kepada kemaslahatan [6]( H.A.
Djazuli : 2005 : 114 ).
Karenanya jelas kepentingan dan tujuan yang dimaksud dalam UU Perkawinan
bahwa batasan usia itu hanya untuk menikah dan jangan ditafsirkan untuk
kepentingan lainnya. kaidah fiqih yang memang sengaja
dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang
bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya
terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi
kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah[7].seperti
batas usia pelaksanaan perkawinan harus ada kepastian hukumnya. Selain itu
terkadung nilai yang disimpulkan dari
salah satu maqashid al syari’ah yaitu melalui perkawinan akan lahir dan
terpelihara keturunan dan kehormatan ( hifdz al-nasl / irdl [8])
H.A. Djazuli : 2005 ) dan itulah kepentingan negara mengatur batas usia dewasa
maupun kepentingan hukum islam melalui perkawinan yang sah.
4.
UU Pemilihan Umum
Pasal 1 angka 34 Undang Undang Nomor 07 tahun 2017 (selanjutnya di tulis
UU Pemilu ) menyatakan : Pemilih Warga
Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
lebih, sudah kawin,atau sudah pernah kawin [9].
Demikian juga Untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan
daerah, menurut UU ini, pesertanya dalah perseorangan yang telah memenuhi
persyaratan, di antaranya: a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21
(dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. dapat
berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan
paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah
kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat; f. setia
kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik, Indonesia, dan Bhinneka Tunggal lka; g. tidak pernah
dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(ima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada
publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; h. sehat jasmani dan rohani
dan bebas dari penyalahgunaan narkotika; i. terdaftar sebagai Pemilih; dan j.
bersedia bekerja penuh waktu
Jadi ternyata batasan usia untuk mengikuti pemilu adalah 17 tahun atau lebih, sudah kawin,atau sudah pernah
kawin karenanya batas usia tersebut bertujuan hanya untuk kepentingan mengikuti
sebagai peserta pemilu tidak untuk lainnya. Sedangkan untuk dicalonkan menjadi
anggota DPD minimal berusia 21 tahun, berarti tujuanya hanya untuk menjadi
calon anggota DPD. Karena itu jelas sudah permasalahannya. Bahwa setiap
diundangkan suatu aturan hukum harus dilihat dulu tujuannya untuk apa dan
jangan tergesa-gesa menjastfikasi sebuah yang menyatakan aturan hukum batas
usia saling beragam dan bertentangan
pendapat yang demikian adalah tidak tepat.
5. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1)
bahwa Anak adalah orang yang
dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Karenanya dari
ketentuan Pasal 1 Angka 1 tersebut, hanya menyatakan yang berhak mendapat
perlindungan dari Undang-Undang Perlindungan Anak ini adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun, dengan demikian aturan tentang batas umur dewasa dalam
UU tersebut anaklah yang menjadi tujuan perlindungan terhadap anak, akan
tetapi kalau sudah berusia diatas 18 tahun diperlakukan sebagai layaknya orang
yang dianggap sudah dewasa terutama kalau menyangkut hukum pidananya.
6. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
Pada Pasal 1 angka 5
sebagai berikut : Pasal 1 ayat (5) bahwa :
Anak adalah setiap manusia yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah, termasuk anak yang masih didalam kandungan apabila hal
tersebut demi kepentingannya.
7. UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 26 bahwa : Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah
18 (delapan belas) tahun. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa syarat orang yang
dapat dipekerjakan sebagai tenaga kerja adalah yang berumur 18 tahun atau
lebih. Sehingga apabila terdapat perusahaan yang menggunakan jasa tenaga kerja
berumur kurang dari 18 tahun maka dapat dijatuhi sanksi.
8. UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan
Undang-Undang Kewarganegaraan mengatur
mengenai syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia.
Seseorang harus dinyatakan terlebih dahulu dinyatakan cakap dalam melakukan
perbuatan hukum. Adapun ketentuan Pasal 9 huruf a menyatakan sebagai berikut :
Pasal 9 Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut: a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin; Selain ketentuan pada Pasal 9 yang menyatakan umur 18 tahun
sebagai batas usia cakap hukum, pada pasal-pasal Undang-Undang Kewarganegaraan
yang lain juga kompak menyatakan umur 18 tahun sebagai batas usia cakap hukum. Karenanya
tujuan dan kepentingan batas usia dewasa bagi tenaga kerja telah berusia18
tahun.
9. KOMPILASI HUKUM ISLAM
Dalam Pasal 98 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan mengenai batas usia dewasa seseorang, yaitu : “Batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang
anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan[10](
Yayasan AlHikmah: 1993:.410-411). Ketentuan diatas dapat difahami bahwa dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau
sudah kawin, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggungjawab atas dirinya.
10. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dijelaskan mengenai batas usia
belum dewasa. Hal tersebut dinyatakan pada Pasal 1 angka 5 sebagai berikut:
Pasal 1 6. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. i. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008
Tentang Pada Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang anak atau batas usia yang dapat
dikaegorikan belum dewasa. Pasal 1 (4) anak adalah seseorang yang belum berumur
18 (delapan belas) tahun.
11.
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Dirjen
Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah Nomor Dpt.7/539/7-77,
Bahwa seseorang disebut dewasa dalam hal :
a. Dewasa politik, minimal adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut
Pemilu;
b.
Dewasa seksuil, minimal adalah batas umur 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun
bagi pria untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan
;
c.
Dewasa hukum, adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap
cakap bertindak dalam hukum.
Berdasarkan beberapa ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih belum ditemui
keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua
puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17
(tujuh belas) tahun.
12.
Peran Mahkamah Agung
Upaya untuk
menyeragamkan tentang batas usia dewasa dalam hal ini Mahkamah Agung telah
mengantisipasi dengan :
1. Mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun
2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut
sudah menjelaskan mengenai ketentuan batas kedewasaan seseorang. Dinyatakan
dalam Hasil Rapat Kamar Perdata tanggal 14-16 Maret 2012, bahwa dewasa adalah
cakap bertindak dalam hukum yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau
telah kawin. Selain dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Perdata, kedewasaan
seseorang juga dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Pidana Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Pidana bagian Tindak
Pidana Khusus, bahwa ukuran kedewasaan seseorang tergantung pada kasusnya
(kasuistis).
Tujuan diadakannya sitstem rapat
kamar ini tidak lain agar terciptanya suatu kesatuan hukum, dan lebih sederhana
dalam menangani sebuah perkara. Dalam Hasil Rapat Kamar Perdata dinyatakan
bahwa batas usia dewasa dan cakap hukum adalah telah mencapai umur 18 tahun
atau sudah kawin. Hakim menetapkan demikian karena berpedoman pada sebagian
besar peraturan perundang-undangan yang menetapkan batas usia dewasa adalah 18
tahun. Diharapkan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7
Tahun 2012 ini adalah adanya kesamaan hukum dalam menerapkan
ketentuan-ketentuan undang-undang, khususnya mengenai pengaturan batas usia
dewasa seseorang. Sehingga tidak ada kebingungan dalam menerapkan ketentuan
tersebut.
2. Surat Edaran Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015 Tentang Batasan Usia
Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan.
Dalam ketentuan angka 7,
menyatakan bahwa usia dewasa yang dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka
pelayanan pertanahan adalah paling kurang 18 tahun atau sudah kawin. Badan
Pertanahan Nasional sebagai penyelenggara pelayanan pertanahan memandang bahwa
batasan usia dewasa dalam rangka pelayanan di bidang pertanahan di setiap
daerah, Badan Pertanahan Nasional menerapkan 175 secara berbeda ketentuan
mengenai batasan usia dewasa. Agar tidak jadi kerancuan dan menjadi kesatuan
hukum maka Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Edaran ini.
Sehingga setelah ini diharapkan tidak ada penolakan permohonan pendaftaran
tanah walaupun pemohon belum berusia 21 tahun, karena telah diatur secara
khusus pada Surat Edaran Nomor 4/SE/I/2015.
Adanya kedua upaya tersebut
setidaknya dapat memberikan acuan mengenai batasan usia dewasa dalam melakukan
perbuatan hukum. Ketika melakukan hubungan hukum keperdataan maka Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 dapat menjadi dasar hukum untuk menentukan
batas usia dewasa seseorang. Untuk melakukan perbuatan hukum di bidang
pertanahan, maka dapat memperhatikan Surat Edaran Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015, untuk menentukan
batas usia dewasa seseorang dalam rangka pelayanan pertanahan.
13.
Kesimpulan
a. Bahwa batas usia dewasa 21 tahun :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3) Kompilasi Hukum Islam
b. Batas usia dewasa 18 tahun :
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan;
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
7. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
8. UndangUndang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris;
c. Upaya untuk mengatasi
keberagaman pengaturan kedewasaan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum,
antara lain adalah dengan diterbitkannya 2 Surat Edaran. Pertama,
diterbitkannya Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil
Rapat Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut sudah menjelaskan mengenai ketentuan
batas kedewasaan seseorang. Dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Perdata tanggal
14-16 Maret 2012, bahwa dewasa adalah cakap bertindak dalam hukum yaitu orang
yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin. Kedua diterbitkannya Surat
Edaran Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
4/ SE/I/2015 Tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan.
Dalam ketentuan angka 7, menyatakan bahwa usia dewasa yang dapat melakukan
perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah paling kurang 18 tahun
atau sudah kawin.
14.
Saran penulis:
- Bahwa Pemerintah hendaknya melakukan
sosialisasi kepada masyarakat mengenai ketentuan baru tentang batas usia dewasa
seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, baik itu di bidang keperdataan pada
umumnya maupun pada bidang pertanahan, agar masyarakat lebih paham mengenai
aturan baru tersebut.
-
Bahwa Notaris maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ketika menentukan
batas usia dewasa seseorang untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan
maupun perbuatan hukum di bidang perdata, hendaknya mengacu pada ketentuan baru
yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
-
Bahwa masyarakat hendaknya paham peraturan baru tentang batas usia
dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, agar dikemudian hari tidak terjadi lagi
kasus bbagi seseorang yang menjadi saksi di depan pengadilan maupun penolakan
permohonan pendaftaran tanah pada Badan Pertanahan Nasional.
Demikian tulisan
singkat tentang batasan usia sebagai pedoman para praktisi hukum terutama hakim
dalam menjalankan tugasnya agar mampu menerapkan sesuai tugas kewenangannya
dengan cermat dan berkeadilan. Mohon
maaf dan Terimakasih.
Blitar, 20 Nopember 2018
Penulis,
Drs. H. Sudono, M.H.
[2]
Prof.R.Subekti, sh., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti,
Pradnya Paramita, 1985, Jakarta, hal. 305.
[3]Brawijaya.
Zaelani. 2012. “Batas Usia Seseorang Dalam Melakukan Perbuatan Hukum
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9
No.4 – Desember 2012. https://id.wikipedia.org. Hal. 611.
[6] Prof.
H.A. Djazuli,ILMU fiqih Penggalian,
Perkembangan dan Peneraan Hukum Islam (edisi reviisi), Cetakan ke 5 , Prenada
Media, Jakkarta, 2005.
[8] H.A.
Djazuli, Ibid.hal. 27.
[10]
Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan AlHikmah Jakarta, 1993,
hal.410-411.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar