UPAYA INTERVENSI DI PENGADILAN AGAMA
HAKIM WAJIB MENGISI KEKOSONGAN HUKUM
MATERIIL
MAUPUN HUKUM FORMIL
Oleh : Drs. H. Sudono, M.H[1]
Pendahuluan
Sudah terlalu lama para penegak hukum Indonesia
mendambakan aturan hukum yang lengkap untuk mengatasi dan menyelesaikan segala
permasalahan hukum di masyarakat yang diajukannya ke Pengadian akan tetapi
ternyata tidak mudah untuk menciptakan hukum melalui peraturan
perundang-undangan baru yang mampu menyelesaikan permasahan hukum dimaksud.
Kalaupun hari ini telah diundangkan peraturan perundang-undangan yang
baru, hari berikutnya akan timbul
permasalahan hukum baru yang lebih rumit lagi bahkan peraturan perundangan yang
telah disahkan menjadi undang-undang belum sampai dilaksanakan peraturan
perunndangannya sudah usang. Itulah sebabnya sebagai penegak hukum (hakim) di
semua lingkungan badan peradilan harus melengkapinya dengan mengisi kekosongan
hukum materiil maupun hukum formil (judges are required to fill the void
of material law and formal law) dalam
mengadili dan menyelesaikan perkara terutama kalau ada upaya intervensi di
pengadilan agama dan jangan sampai ada kekosongan hukum di Indonesia ini.
Untuk mengatasinya
sudah ada signal dalam pasal 10 (1) UU Nomr 48 tahun 2009 menyatakaan :
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya[2].
Demikian juga telah tersirat dalam Pasal 5 (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan : Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan
agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai
dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah
dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir
diubah dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989
dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”[3].
Sesuai dengan
tugas pokok Badan Peradilan adalah menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Setiap perkara yang diajukan
kepada Badan Peradilan dimaksud terdiri dari pihak-pihak (Penggugat/Pemohon
dengan Tergugat/Termohon) dan dimungkinkan ada pihak ketiga / orang lain yang
merasa berkepentingan terhadap hak-haknya yang berhubungan dengan hak-hak para
pihak yang sedang dalam proses peradilan, karena pada asasnya, setiap orang
yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin mempertahankannya
atau ingin membela haknya, berwenang untuk bertindak selaku pihak Penggugat
maupun selaku Tergugat (legitima persona standi in yudicio)[4].
Di Indonesia
sedikit sekali ketentuan hukum yang mengatur upaya intervensi padahal dalam
proses persidangan di Pengadilan Agama
faktanya perkara semakin banyak terkait dengan gugatan intervensi.
Gugatan intervensi
adalah tidak diatur dalam HIR dan RBg, maupun dalam Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, masuknya pihak ketiga dalam proses perkara diatur dalam RV ( pasal 279 sampai dengan pasal 282) dan pasal 70 RV, sehingga dengan demikian
pasal dalam Reglement op de burgerlijke rechtsvordering (RV) tersebut berlaku
juga dalam proses persidangan di Pengadilan Agama. Berpijak dari aturan
hukum dalam RV ternyata sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi
kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum formil[5].
Mahkamah Agung dalam
buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan buku II halaman 126 dikatakan :
§ Apabila benar-benar dibutuhkan dalam praktek
sedangkan belum terdapat kaidah hukum yang mengaturnya, maka Hakim wajib
mengisi kekosongan ini, baik dalam bidang hukum materiil maupun dalam bidang
hukum formil atau Hukum Acara Perdata (Pasal 393 H1R/721 RBg, pasal yang terpenting untuk hukum acara
perdata) .
§ Putusan Hakim
bertujuan untuk memberi penyelesaian terhadap perkara yang sedang diadilinya
sedemikian, sehingga apabila perkara tersebut menyangkut pihak yang lain dari
pada penggugat dan tergugat, maka Hakim atas permintaan, dapat mengabulkan
permintaan pihak ketiga untuk ikut serta dalam proses, sehingga Hakim dapat
memberi putusan bagi semua orang
yang berkepentingan[6].karenanya
hakim dapat berpedoman pada pasal 279 Rv dan seterusnya, dan pasal 70 Rv.
Selanjutnya dalam Pasal
86 ayat (2) juga dikatakan : jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan
menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tentang hal itu,. Berpedoman pada Pasal 86 ayat (2) dan Pasal 54 UU nomor
7 tahun 1989 ini berarti upaya intervensi bisa saja terjadi di Pengadilan
Agama, sekalipun HIR /Rbg, tidak mengenal intervensi tetapi karena
adanya kebutuhan dalam praktek sehingga lembaga intervensi ini dapat
dipergunakan dengan berpedoman pada RV (Reglemen of de rechtsvoordering) yaitu
Pasal 279 dan Pasal 70 berdasar asas proces doelmatig Heid.
A. PERMASALAHAN
Setelah ada sedikit gambaran tentang hakim harus
mengisi kekosongan hukum materiil maupun hukum formil (Judges Are
Required To Fill The Void Of Material Law And Formal Law atas perkara gugatan intervensi di
Pengadilan Agama, maka dalam tulisan ini permasalahannya adalah :
1.
Sejauh mana pihak ketiga dapat
memanfaatkan adanya lembaga intervensi di Pengadilan Agama secara sederhana cepat dan biaya
ringan.
2.
Perkara apa saja yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama yang dapat diintervensi oleh
pihak-pihak menurut peraturan perundangan.
3.
Bagaimana bentuk putusan adanya
gugatan intervensi di Pengadilan Agama.
B. PENGERTIAN INTERVENSI
Intervensi (latin) aslinya intervenire yaitu memberi
kesempatan kepada siapapun yang berkepentingan untuk melibatkan diri dalam suatu proses
perdata yang sedang berjalan antara
pihak, yang dapat diajukan sebelum atau
pada saat antara pihak berakhir[7]. M. Yahya Harahap, SH., dalam
bukunya : "Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama",
menyatakan bahwa : upaya intervensi yaitu pihak ketiga yang semula tidak turut
sebagai pihak dalam suatu perkara yang sedang berjalan pada proses
pemeriksaannya di sidang peradilan, menerjunkan diri sebagai pihak, terutama
untuk membela hak dan kepentingannya sendiri berhadapan dengan penggugat dan
tergugat semula[8].
Berbeda dengan istilah di atas Dr. Wirjono Projodikoro, SH, menyebutkan istilah
lain dari intervensi yaitu "percampuran tangan " yaitu tussenkomst
(menempatkan diri ditengah-tengah antara kedua belah pihak) dan voeging
(menempatkan diri disamping salah satu pihak untuk bersama-sama dengan pihak
itu menghadapi pihak lain.
Secara lengkap upaya intervensi ini telah disebutkan
oleh Pasal 279 RV, yaitu: Barang siapa mempunyai kepentingan dalam suatu
perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut
untuk menggabungkan diri atau campur tangan[9].
Dari beberapa pendapat di atas dan juga berpedoman
pada Pasal 279 RV, akan menjadi jelas bahwa intervensi dapat terjadi di
Pengadilan Agama dalam tingkat selama proses perkara, sehingga dalam kasus yang
demikian kedudukan para pihak-pihak menjadi sebagai berikut :
-
pihak ketiga disebut
"Penggugat Intervensi"
-
para pihak semula
(penggugat /pemohon dengan tergugat/termohon) disebut sebagai "Tergugat
Intervensi".
Dari uraian diatas kiranya penulis ikut menuangkan pendapat bahwa yang
dimaksud dengan intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang
berkepentingan dengan jalan melibatkan diri dalam suatu perkara perdata yang
sedang berlangsung antara kedua pihak yang berperkara dengan mengajukan gugatan
intervensi.
C. BENTUK-BENTUK INTERVENSI
Dalam praktek, apabila Hakim menganggap
perlu dan benar-benar dibutuhkan, dapat mengambil alih bentuk-bentuk acara yang
tidak diatur dalam HIR, juga dalam Rbg, misalnya mengenai intervensi, yaitu ikut sertanya
pihak ketiga kedalam suatu proses perkara yang sedang diperiksa pengadilan, adapun betuk-bentuk intervensi tersebut
antara lain :
1. Tussenkomst (menengahi) :
Yang disebut dengan menengahi (tussenkomst) adalah aksi hukum pihak ketiga
dalam perkara perdata yang sedang berlangsung dan membela kepentingannya
sendiri untuk melawan kedua pihak yang sedang berperkara. Dengan
keterlibatannya pihak ketiga sebagai pihak yang berdiri sendiri dan membela
kepentingannya, maka pihak ketiga ini melawan kepentingan penggugat dan
tergugat yang sedang berperkara, pihak ketiga tersebut disebut intervenent.
Apabila intervensi dikabulkan maka perdebatan menjadi perdebatan segi tiga.
Intervensi dalam bentuk tussenkomst bisa terkabulkan dan bisa juga ditolak, pengabulan atau penolakan
tersebut dalam bentuk putusan sela, dalam hal ini putusan insidentil.
Dikabulkannya intervensi tussenkomst, putusannya dijatuhkan sekaligus dalam
satu putusan, apakah penggugat atau tergugat yang menang atau ataukah
intervenent yang menang, yang pasti adalah bahwa salah satu dari kedua gugatan
itu yang dikabulkan atau mungkin juga kedua-duanya ditolak.
Ciri-ciri
tussenkomst:
1.
Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan
dan berdiri sendiri.
2.
Adanya kepentingan untuk mencegah
timbulnya kerugian, atau kehilangan haknya yang mungkin terancam.
3.
Melawan kepentingan kedua belah
pihak yang berperkara.
4.
Dengan memasukkan tuntutan terhadap
pihak-pihak yang berperkara (Penggabungan tuntutan).
Syarat-syarat mengajukan tussenkomst
adalah :
1.
Merupakan tuntutan hak.
2.
Adanya kepentingan hukum dalam
sengketa yang sedang berlangsung.
3.
Kepentingan tersebut harus ada
hubungannya dengan pokok perkara yang sedang berlangsung.
4.
Kepentingan mana untuk mencegah
kerugian atau mempertahankan hak pihak ketiga.
Keuntungan tussenkomst:
1.
Prosedur beracara dipermudah
dan disederhanakan.
2.
Proses berperkara dipersingkat.
3.
Terjadi penggabungan tuntutan.
4.
Mencegah timbulnya putusan yang saling
bertentangan.
5.
Tercapainya azas peradilan yang
sederhana cepat dan biaya ringan
Tatacara
mengajukan Tussenkomst :
Mengenai Prosedur acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan
mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan melawan pihak yang
sedang bersengketa (Penggugat dan Tergugat) dengan menunjuk nomor dan
tanggal perkara yang dilawan tersebut. Surat gugatan disusun seperti
gugatan biasa dengan memuat identitas, posita dan petitum. Surat gugatan
tersebut diserahkan ke meja I yang selanjutnya diproses seperti gugatan biasa ,
dengan membayar biaya tambahan panjar perkara tetapi tidak diberi nomor
perkara baru melainkan memakai nomor perkara yang dilawan tersebut dan
dicatat dalam regester, nomor dan kolom yang sama.
Selanjutnya Ketua Pengadilan Agama
adalah mendisposisikan kepada majlis hakim yang menangani perkara itu. Kemudian
ketua majlis mempelajari gugatan intervensi tersebut dan membuat “penetapan
hari sidang” yang isinya memerintahkan kepada juru sita agar pihak ketiga
tersebut dipanggil dalam sidang yang akan datang untuk pemeriksaan gugatan
intervensi tersebut pada hari dan tanggal yang sama sidangnya
dengan hari dan sidangnya pihak lawan.
Terhadap intervensi tersebut hakim akan menjatuhkan putusan “sela” untuk
mengabulkan atau menolak intervensi tersebut. Apabila dikabulkan maka
intervenient ditarik sebagai pihak dalam sengketa yang sedang berlangsung.
Jika gugatan intervensi diterima oleh Pengadilan Agama
Sebagai contoh :
Seseorang
yang menjadi pemilik suatu barang, tetapi barang itu sedang diperkarakan
sebagai barang warisan oleh penggugat dan tergugat. Atau dalam perkara harta
bersama dalam perkawinan oleh suami isteri yang sedang dalam proses perkara
perceraian, masuk pihak ketiga yang mempertahankan barang itu adalah miliknya,
bukan harta bersama antara suami istri yang sedang berperkara itu[10].
2. Voeging (menengahi).
Yang disebut dengan
voeging yaitu suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan
memasuki perkara perdata yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat
untuk bersama-sama tergugat untuk menghadapi penggugat. Perbedaannya dengan
tussenkomst adalah keberpihakannya ditujukan langsung kepada pihak tergugat,
misalnya : Misalnya seorang debitur (berhutang) masuk ke dalam proses yang
diajukan kontra borg. Debitur itu dapat menolong penjaminnya karena ia
berkepentingan agar penjamin itu tidak dihukum.
Ciri-ciri voeging:
1.
Sebagai pihak yang berkepentingan
dan berpihak kepada salah satu pihak dari penggugat atau tergugat.
2.
Adanya kepentingan hukum untuk
melindungi dirinya sendiri dengan jalan membela salah satu yang
bersengketa.
3.
Memasukkan tuntutan terhadap
pihak-pihak yang berperkara.
Syarat-syarat untuk mengajukan voeging adalah
1. Merupakan tuntutan hak
2. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi
dirinya dengan jalan berpihak kepada tergugat.
3. Kepentingan tersebut haruslah ada
hubungannya dengan pokok perkara yang sedang berlangsung.
Keuntungan voeging adalah :
1.
Prosedur beracara dipermudah dan
disederhanakan.
2.
Proses berperkara dipersingkat.
3.
terjadinya penggabunga tuntutan
4.
Mencegah timbulnya putusan yang saling
bertentangan.
5. Tercapainya
azas peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan
Tatacara mengajukan Voeging :
Prosedur
acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan Agama dengan mencampuri yang sedang bersengketa, yaitu
penggugat dan tergugat untuk bersama-sama salah satu pihak menghadapi pihak
lain guna kepentingan hukumnya. Permohonan dibuat seperti gugatan biasa dengan
menunjuk nomor dan tanggal perkara yang akan diikutinya itu.
Selanjutnya Permohonan voeging dimasukkan pada meja
pertama dan diproses oleh kasir dan meja II sampai pada ketua, kemudian ketua
Pengadilan Agama menyerahkan berkas tuntutan itu lewat panitera kepada majlis
hakim yang menangani perkara itu, kemudian majlis hakim memberikan penetapan ,
dengan isi penetapan menolak atau menerima pihak ketiga untuk turut campur
dalam sengketa tersebut, apabila dikabulkan maka permohonan ditarik sebagai
pihak dalam sengketa yang sedang berlangsung.
3. Vrijwaring
(penarikan)
Vrijwaring atau
penarikan pihak ketiga dalam perkara adalah suatu aksi hukum yang dilakukan
oleh tergugat untuk menarik pihak ketiga dalam perkara guna menjamin
kepentingan tergugat menghadapi gugatan penggugat.
Adapun ciri-ciri Vrijwaring adalah :
1.
Merupakan penggabungan
tuntutan.
2.
Salah satu pihak yang bersengketa
menarik pihak ketiga didalam sengketa.
3.
Keikut sertaan pihak ketiga timbul
karena dipaksa dan bukan karena kehendaknya.
Tujuan salah satu pihak
(tergugat) menarik pihak ketiga adalah agar pihak ketiga yang ditarik dalam
sengketa yang sedang berlangsung akan membebaskan pihak yang memanggilnya
(tergugat) dari kemungkinan akibat putusan tentang pokok perkara.
Prosedur Vrijwaring tergugat dalam jawabannya atau dupliknya memohon kepada
majlis hakim yang memeriksa perkaranya agar pihak ketiga yang dimaksudkan oleh
tergugat sebagai penjamin ditarik masuk kedalam proses perkara untuk menjamin
tergugat. Majlis hakim dengan penetapan yang dimuat dalam berita acara
persidangan memerintahkan memanggil pihak ketiga tersebut dalam persidangan
yang akan datanguntuk pemeriksaan vrijwaring bersama-sama penggugat dan
tergugat . Dari hasil pemeriksaan itu hakim menjatuhkan “putusan sela” untuk
menolak atau mengabulkan permohonan vrijwaring tersebut. Apabila dikabulkan
maka pihak pihak ketiga ditarik masuk dalam proses perkara tersebut.
Dari tiga bentuk intervensi di atas,
yang paling tepat dan banyak di Pengadilan Agama adalah bentuk yang pertama.
Sebab pihak ketiga itu harus berkepentingan , artinya kepentingannya akan
terganggu jikalau ia tidak mencampuri proses, atau dengan mencampuri proses itu
ia dapat mempertahankan hak-haknya[11].
Memang benar jikalau pihak ketiga yang berkepentingan itu tidak
"intervenieren" tidak bercampur tangan dalam proses yang bersangkutan,
maka ia masih dapat mempertahankan hak-haknya dalam suatu proses tersendiri,
akan tetapi segala sesuatu akan berjalan lebih mudah dan akan menghindarkan
putusan-putusan yang saling bertentangan, jikalau ia ikut serta secara
intervensi tersebut. Lebih lanjut Prof. Dr. R Supomo, SH menguraikan bahwa
intervensi itu tidak harus atas inisiatif pihak ketiga melainkan masyarakat
indonesia memang membutuhkan supaya suatu perkara dapat diselesaikan seluruhnya
antar segala pihak yang bersangkutan, sehingga bukan saja pihak ketiga harus
diperbolehkan ikut berperkara (intervensi) akan tetapi Hakim pula harus diberi
kekuasaan atas inisiatifnya sendiri memanggil seorang pihak ketiga supaya ikut
berperkara jika ia memang sungguh-sungguh langsung berkepentingan terhadap soal
yang menjadi perkara itu.
Sehubungan dengan intervensi ini menurut aliran pikiran adat, Hakim wajib
menyelesaikan perkara yang diadili sehingga perkara itu tidak akan timbul
kembali. Dengan tepat Van Vollen hoven menulis bahwa perkara harus diakhiri
"Uitgemaaht" sesuatu perkara belum dianggap fit jikalau putusan Hakim hanya mengenai
penggugat dan tergugat saja dan tidak mengenai orang-orang lainnya yang
tersangkut juga[12].
Aliran fikiran adat tersebut dibenarkan oleh Ter Haar dengan pendapatnya bahwa
Hakim harus diberi hak untuk memanggil seorang pihak ketiga untuk ikut serta
didalam proses (ikut berperkara) sehingga hakim dapat memberi putusan terhadap
segala orang yang berkepentingan.
D. UPAYA INTERVENSI DI PENGADILAN AGAMA
Ketentuan Pasal 54 UU No. 7 tahun
1989 tentang peradilan agama menyebutkan
bahwa : Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Jika Pasal di atas dihubungkan dengan kekuasaan pengadilan agama yang tercantum
dalam Pasal 49 Undang-undang 03 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang nomor7 tahun 1989 tentang peradilan agama mengatakan : Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang: a. perkawinan; b. waris;c. wasiat; d. hibah;e. wakaf;f. zakat;g. infaq;h.
shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.
Dapat ditegaskan bahwa yurisdiksi Pengadilan Agama
yaitu tidak meliputi Sengketa milik sebagaimana tersebut dalam Pasal 50 UU
nomor 7 tahun 1989, yaitu dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau
keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus
lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pendapat di atas jika dihubungkan dengan Pasal 86 ayat (2) Undang-undang Nomor 7/ 1989
mengenai tuntutan pihak ketiga (penggugat intervensi ) terhadap harta bersama,
maka Pengadilan Agama menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut
sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Intervensi terjadi Dalam Sengkketa Perceraian :
Di muka sudah dikatakan bahwa kedudukan pihak ketiga
disebut sebagai penggugat intervensi sedangkan para pihak semula berkedudukan
sebagai tergugat intervensi, gugatan intervensi dimungkinkan dalam sengketa
perceraian apabila : Kalau gugat intervensi berdasar dalil hak milik, maka
Pengadilan Agama tidak berwenang
menerima dan memeriksanya, intervensi tersebut jatuh menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri. Karenanya jika yang digugat intervensi seluruh harta yang
disengketakan, pemeriksaan Pengadilan Agama dihentikan atau tergantung
(aanhanging) atau "sub yudice" , menunggu penyelesaian Pengadilan
Umum. Dan jika gugat intervensi sebagian,
Pengadilan Agama berhak meneruskan pemeriksaan sebagiannya yang bukan
tersangkut sengketa milik. M. Yahya Harahap. SH. berpendapat bahwa : kalau gugat intervensi
didasarkan atas dalil :
-
Harta yang disengketakan
adalah harta warisan orang tua penggugat intervensi bukan harta warisan para
tergugat intervensi atau selain para pihak yang sedang berperkara, penggugat
intervensi termasuk seorang ahli waris yang berhak mendapatkan bagian[14], maka dalam kasus ini dapat diterapkan
intervensi.
-
Lebih lanjut beliau
mencontohkan jika para ahli waris bersengketa mengenai pembagian harta warisan
peninggalan orang tua mereka, kemudian pihak ketiga mengajukan gugat intervensi
dengan dalil harta yang disengketakan para ahli waris adalah miliknya, maka
dalam hal di atas Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili sepanjang harta
yang didalilkan penggugat intervensi sebagai miliknya.
-
Lain halnya jika orang
masuk sebagai pihak ketiga yang melakukan intervensi, misalnya berkepentingan
mempertahankan hak miliknya yang akan dibagi sebagai barang warisan. sungguh
pun ia tidak beragama Islam, tetapi hal ini mengenai ketentuan dalam Pasal 50
Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 (termasuk keperdataan lain), maka syarat
"orang yang beragama islam tidak perlu diperhatikan sebab dengan masuknya
pihak ketiga itu, maka Pengadilan Agama akan menghentikan pemeriksaannya
mengenai barang dimaksud tetapi tetap. meneruskan proses perkara
sepanjang yang menyangkut barang-barang yang di intervensi .
Intervensi Terjadi Dalam Sengkketa Hibah :
Sesuai dengan batasan kompetensi absolut yang
digariskan oleh Pasal 50 Undang-undang nomor 7 tahun 1989, dalam sengketa hibah
gugatan intervensi bersifat terbatas, keterbatasannya jika dalil gugat
intervensi terdapat sengketa milik, maka Pengadilan Agama tidak berwenang untuk
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan gugat intervensi
dimaksud. Jadi, kebolehan gugat intervensi itu jika harta hibah yang
disengketakan adalah milik penggugat intervensi, bukan milik penghibah.
Ketentuan Pasal 213 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan : hibah yang diberikan
pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka
harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Hal ini dapat dipahami bahwa terbuka
kebolehan mengajukan gugatan intervensi di Pengadilan Agama hanya terbatas jika
penghibahan tidak sah kepada salah satu pihak berperkara. Padahal penggugat
intervensi adalah termasuk salah satu ahli warisnya karena jelas bertentangan
dengan Pasal 213 Kompilasi Hukum Islam. Atau hibah bertentangan dengan Pasal
214 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan : Warga negara Indonesia yang berada
di negara asing dapat membuat surat hibah dihadapan konsulat atau Kedutaan
Republik Indonesia setempat, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan
ketentuan pasal ini. Jadi hibah yang dilakukan di luar negeri tanpa pengesahan
konsulat atau kedutaan Republik Indonesia setempat boleh terbuka kemungkinan
ada gugat intervensi di Pengadilan Agama.
Atau barangkali hibah telah lebih dahulu dihibahkan
kepada penggugat intervensi, sehingga penghibahan yang dilakukan penghibah pada
salah seorang yang sedang berperkara tidak sah[15]. Atau
tidak sesuai dengan Pasal 210 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, yaitu orang yang
telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang
lain atau lembaga, dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Jadi hibah yang
melebihi batas 1/3 bagian dapat dimungkinlcanterjadi gugat intervensi di
Pengadilan Agama. Selanjutnya pada Pasal 210 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
dikatakan : Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Dari pasal ini dapat dimengerti bahwa jika harta benda yang dihibahkan itu bukan
mil ik si-penghibah maka kemungkinan saja dapat terjadi gugat intervensi di
Pengadilan Agama. Karena mungkin saja terjadi hak-hak penggugat intervensi
terlanjur ikut dihibahkan oleh si penghibah.
Pasal 86 ayat (2) Undang-undang nomor 7 tahun 1989:
Jika ada tuntutan pihak ketiga maka pengadilan menunda lebih dahulu perkara
harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu. Jadi tidak
berbeda dengan sengketa warisan dan hibah, jika harta bersama yang
disengketakan sebagian atau selumhnya adalah milik penggugat intervensi,
sebagian atau seluruhnya harta bersama telah dibeli penggugat intervensi,
sebagian atau seluruhnya telah diagunkan atau di hipotikkan penggugat
intervensi. Dan gambaran diatas pihak ketiga tidak dapat mempergunakan upaya
intervensi di Pengadilan Agama, karena tersangkut dengan sengketa milik.
Demikian ini dapat di pahami dari Pasal 86 ayat (2) Undang-undang nomor 7 tahun
1989 yang menurut M Yahya Harahap, SH terdapat tiga patokan dalam memahami
Pasal diatas yaitu :
1.
Penundaan pemeriksaan
harta bersama oleh Pengadilan Agama didasarkan apabila ada tuntutan pihak
ketiga.
2.
Dalil bantahan yang
dikemukakan para tergugat bahwa harta yang digugat adalah milik pribadi, jika
dalil bantahan yang seperti itu diajukan dalam perkara sengketa
harta bersama dan warisan, hal itu
tidak dianggap sengketa milik atau keperdataan secara murni masih dalam
rangkaian proses pemeriksaan yang berkenaan dengan tahap upaya pembuktian.
3. Dalam hal pihak tergugat mengajukan dalil bantahan
bahwabarang terperkara adalah milik pihak ketiga, misalnya dikatakannya
dipinjam, disewa, sebagai barang gadai atau agunan dari pihak ketiga, bantahan
itu tidak dianggap sengketa milik atau sengketa perdata tetapi masih dalam
rangkain proses tahap upaya pembuktian. Kecuali pihak ketiga menyampaikan gugat
intervensi atau derden verzet [16].
Jadi dimungkinkan menerapkan upaya intervensi dilingkungan
Pengadilan Agama sepanjang sengketa harta bersama adalah jika gugat intervensi
didalilkan atau alasan harta yang di sengketakan sebagian atau seluruhnya bukan
harta bersama para pihak, tetapi harta bersama penggugat intervensi dengan
salah seorang pihak penggugat intervensi,. Kasus yang seperti ini biasa terjadi
dalam perkawinan poligami.
Intervensi Terjadi Dalam Sengketa Wakaf :
Pasal 218 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
1 Pihak yang rnewakafkan harus mengikrarkan
kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akte
Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian
menerangkannya dalam bentuk ikrar wakafdengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi.
2. Dalam keadaan tertentu penyimpangan dari ketentuan
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.
Pasal di atas dapat dipahami bahwa penghibah (pewakaf)
harus mengikrarkan wakafnya dihadapan Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf (PPAIW)
dan disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi, jika tidak ada ikrar didepan
PPAIW, maka terbuka kemungkinan penggugat intervensi mengajukan gugatan
intervensi karena tidak ada ikrar didepan PPAIW. Sehubungan dengan masalah di
atas Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
1. Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat
(4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a.
Warga Negara Indonesia
b.
Beragama Islam
c.
Sehat jasmani dan
rohani
d.
Sudah Dewasa
e.
Tidak dibawah pengampuan
f.
Bertempat tinggal
dikecamatan letak benda yang diwakafkan
2. Jika berbentuk Badan Hukum, maka Nadzir harus
memenuhi persyaratan sebagai herikut
a.
Bagian Hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia
b.
Mempunyai perwakilan di
kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
3. Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus
didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran
dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
Dari Pasal di atas maka bahwa syarat-syarat untuk
menjadi Nadzir harus dipenuhi agar dapat melaksanakan tugas sesuai hukum dan
peraturan yang berlaku seperti juga dalam Pasal 6,7 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor.28 Tahun 1977 dan Pasal 8,9,10 dan 11
Peraturan Menteri Agama R.I.
nomor 1 tahun 1978. Jika Nadzir tidak memenuhi syarat sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 219
Kompilasi Hukum Islam , Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 ,jo. Peraturan
Menteri Agama R.I. nomor 1 Tahun 1978, maka dimungkinkan penggugat intervensi dapat
mengajukan gugatan intervensi di Pengadilan Agama menolak atau mengabulkan gugat intervensi
dengan putusan sela :
Dalam masalah yang tersangkut dengan Pasal 86 ayat 2
Undang-undang nomor 7 tahun 1989, maka Pasal itu harus terkait dengan ayat
(1) sehingga jika ada tuntutan pihak ketiga intervensi ,maka Pengadilan Agama menunda terlebih dahulu perkara harta
bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
yang telah memperoleh kekuatan hokum
tetap tentang hal itu.
E. KESIMPULAN :
Dari uraian tersebut diatas, maka
penulis berkesimpulan :
1.
Upaya intervensi adalah pihak ketiga yang semula tidak turut sebagai pihak
dalam suatu perkara yang sedang
berjalan pada proses pemeriksaannya disidang Pengadilan, menerjunkan diri
sebagai pihak (penggugat intervensi) terutama untuk membela hak dan kepentingannya
sendiri, berhadapan penggugat dan
tergugat semula.
2.
Dalam intervensi telah dikenal 3 bentuk yaitu Tussenkomst, Voeging dan
Vrijwaring, Ketiga bentuk
ini dimungkinkan yang paling banyak terjadi di Pengadilan Agama adalah bentuk yang pertama. Ketiganya tidak
dikenal baik dalam HIR maupun RBg. Akan tetapi berdasar Pasal 279 dan 70 RV (Reglement of
de Rechtvoordering) dan juga adanya kebutuhan praktek yang berlaku di Pengadilan.
3.
Penggugat intervensi mengajukan gugatan intervensi kepada ketua Pengadilan
Agama yang memuat secara lengkap identitas penggugat intervensi,
melawan penggugat dan tergugat semula, mencantumkan nomor perkara
dan tanggal gugatan semula, menguraikan posita dan petitum gugatan
intervensi dan penggugat intervensi
membayar panjar biaya perkaranya. Selanjutnya akan diproses
melalui Penetapan majelis hakim, penetapan hari sidang, dipanggil untuk sidang
dan seterusnya.
4.
Upaya Intervensi di Pengadilan Agama terbatas pada hal-hal yang bukan
termasuk sengketa milik
, pembatasannya dapat dilihat dari Pasal 50 Undang-undang nomor 7 tahun 1989, sehinga upaya intervensi di
Pengadilan Agama dimungkinkan jika penggugat intervensi mempunyai hak dan membela
kepentingannya sendiri berhadapan dengan para pihak baik dalam masalah warisan, wasiat,
hibah, wakaf, shodaqoh dan ekonomi syari’ah atau masalah harta bersama yang tidak tersangkut sengketa
milik atau keperdataan lain.
5.
Gugatan intervensi dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan (Hakim)
dengan putusan Sela.
Penutup
Demikian tulisan ini
semoga ada manfaatnya, sekian dan
terimakasih.
[1] Adalah Hakim Utama Muda Pengadilan
Agama Blitar Kelas 1 A.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
[3] https://vjkeybot.wordpress.com/2012/03/25/hukum-acara-peradilan-agama/
[4] H.Zein
Badjeber , Abd Rahman Saleh S.H.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Komentar
Pustaka Amani jakarta, tt hal. 97
[5] Mahkamah Agung RI, Dirjenbapera , Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
Buku II, Jakarta, 2013, hal. 80.
[6] Mahkamah
Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama Buku I, Jakarta, Agustus, 1993, hal. 126..
[7] Dr. Andi
Hamzah, SH., Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal.726.
[8] M . Yahya Harahap, SH., Beberapa
Permasalahan Hukum Acara Pada
Peradilan Agama, Yayasan Al hikmah, Jakarta, 1993, hal. 40.
[9] Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan RI ,PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1989,
hal. 634.
[11] Prof.
Dr.R. Supomo,S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,
Jakarta,1980, hal. 29.
[12] Ibid.,
Hal. 30.
[13] H.Zein
Badjeber, Abd. Rahman Saleh, S.H.,
Op.cit. hal. 85.
[14] M.Yahya
Harahap, S.H.,Loc.cit. hal. 41.
[15] H.Zein
Badjeber, Abd. Rahman Saleh, S.H.,
Op.cit. hal.69.
[16] M.Yahya
Harahap, S.H., Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Pustaka kartini,
Jakarta, 1993, hal. 180-181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar