SEBUAH
KISAH
Oleh:
Abdul Manaf
Dalam sebuah persidangan di Masjid
Madinah,[1] hakimnya
adalah Khalifah Umar Ibnul Khattab yang terkenal sangat adil dan
bijaksana. Terlihat seorang pemuda (terdakwa) yang sedang diadili, duduk
tenang dengan kepalanya menunduk. Tidak jauh dari sisinya ada dua orang
pemuda, penggugat, minta keadilan karena ayahnya yang sudah
tua, bekerja sebagai tukang kebun, telah dibunuh oleh terdakwa. Persidangan
tersebut banyak dihadiri masyarakat. Maklum, sidang itu adalah terbuka
untuk umum, alias Jalasatul maftuhah/open court session. Dalam
persidangan tersebut, pemuda (penggugat) kepada hakim bercerita, ayahnya
yang membunuh onta milik terdakwa, karena marah melihat onta itu
mondar-mandir dan merusak kebun milik syekh tempat bekerja ayahnya. Dalam
kejadian itu, ayahnya minta maaf. Tetapi pemuda itu tidak memberi maaf, bahkan
mencekiknya hingga mati.
Terdakwa di depan sidang itu, kepalanya
menunduk, namun mendengarkan semua yang dikatakan oleh pendakwa kepada hakim,
Khalifah Umar Ibnul Khattab. Pada saat itu, peristiwa yang sudah lewat beberapa
hari, terbayang kembali dalam ingatannya. “Maafkan saya anak muda, saya tak
sengaja membunuh onta itu,” kata penjaga kebun sambil menunjuk onta yang sedang
tergeletak dijalan, dekat kebun. “Saya tidak sengaja membunuhnya. Saya
benar-benar khilaf. Karena itu saya menyesal dan minta maaf,” kata orang tua
itu lagi kepadanya.
Ingat
apa yang dikatakan penjaga kebun yang dibunuhnya itu, ia menghela napas.
“Aakh..., mengapa aku membunuhnya? Padahal orang itu, telah menyatakan
penyesalannya dan minta maaf. Sebenarnya bukan dia yang salah, tapi aku
sendiri. Mengapa aku ketiduran, onta itu tidak aku ikat? Ini
salahku. Seandainya kuikat onta itu, dia tak akan keliaran
dan merusak tanaman orang lain,” gumamnya.
Hakim,
Khalifah Umar Ibnul Khattab memandang ke arah terdakwa dan pendakwa
dengan silih berganti. Setelah itu beliau bertanya: “Benarkah apa
yang dikatakan penggugat?“Benar ya Amiral Mukminin. Saya telah
membunuhnya.” “Baik pengakuanmu. Itulah seorang Muslim,”
ujar Amiral Mukminin. “Yang akuingin tanyakan, mengapa Eengkau
mengakuinya, padahal jika Engkau membantah, Engkau bisa. Karena
penggugat tidak bisa melihat sendiri kejadian itu.” “Saya tidak ingin
membantahnya. Sebab, sekalipun saya bisa lolos dari hukuman disini, di akhirat
saya tidak akan bisa luput. Saya sangat menyesal telah melakukan perbuatan yang
hanya mengikuti hawa nafsu. Kini saya menjadi seorang penghianat Islam.
Tidak bisa melaksanakan ajaran Nabi Muhammad saw. yang mengharuskan seorang
muslim menjaga dan tidak mengganggu harta benda, nyawa, dan kehormatan orang
lain. Maka apapun keputusan Amiral Mukminin, saya menerimanya. Saya rela,
sekalipun harus menjalani hukuman mati.”
Masyarakat
yang hadir terkejut campur kagum mendengarkan pengakuan terdakwa. “Pemuda
yang berani mengakui kesalahannya, sekalipun harus menjalani hukuman mati.”
Setelah
terdiam sejenak dan masyarakat hadirin tenang, Amiral Mukminin memutuskan
bahwa berdasarkan uraian dari penggugat dan pengakuan terdakwa, hukuman bagi
terdakwa adalah hukuman mati.”
Terdakwa
tersenyum dan kemudian berujar: “Saya terima putusan hakim. Memang sudah
sepantasnya saya mati.”
Masjid
yang menjadi tempat persidangan itupun menjadi ramai oleh suara masyarakat yang
hadir, yang memuji akan kejujuran terdakwa.
Sebelum
menjalani hukuman, ya Amiral Mukminin, saya mohon izin pulang
kerumah, karena saya masih punya hutang pada tetangga. Hutang haruslah dibayar,
sebagaimana Nabi sendiri pernah berkata: “Jika ada hutang yang belum dibayar,
supaya ditunaikan sebelum menghadap Tuhan. Begitu juga jika ada yang merasa
disakiti.”
Keinginanmu akukabulkan.
Tapi apa yang menjadi jaminan bahwa engkau akan datang lagi? Adakah orang yang
dapat menjadi petaruhmu? “Tidak punya.Hanya janji itulah,” jawabnya
seraya memandang ke sekeliling. “Janji seorang muslim dapat
dipercaya,” katanya lebih lanjut.
“Benar!
Tetapi, peraturan hukum harus dipegang teguh dan hukum tidak dapat menganggap
bahwa janji adalah sebagai jaminan.” Pada saat terdakwa itu kebingungan, Abu
Dzar al-Ghiffari, Sahabat Nabi, mengangkat tangan dan berkata: “Ya Amirul
Mukminin! Saya bersedia menjadi pengganti pemuda itu selama ia pulang ke rumah.”
Orang
yang menyaksikan persidangan itu, terkejut melihat Abu Dzar bersedia menjadi
pengganti pemuda itu. Tapi ada juga yang khawatir, bagaimana kalau pemuda itu
ingkar janji, maka Abu Dzar tentu akan menjadi korban.
Pemuda
itu menarik napas dalam-dalam dan berjalan mendekati Abu Dzar al-Ghiffari
dan mengucapkan: “Syukron jiddan ya Sayyidi,” katanya. Terima kasih
atas kesedian itu.
Pemuda
itu lalu pulang untuk menunaikan kewajibannya membayar hutang dan juga menemui
ibundanya serta anak istrinya. Sampai batas waktu yang ditetapkan ternyata
pemuda itu tidak datang juga. Tanpa kehadiran pemuda itu, Khalifah Umar tetap
menjalankan putusannya. Karena pemuda itu tidak hadir, maka Abu Dzar yang
menjalani hukuman mati itu, karena dia telah bersedia menjadi penggantinya. Abu
Dzar berjalan menuju tiang gantungan, dan eksekutor telah siap
melaksanakan tugasnya. Namun sebelum itu, Abu Dzar meminta waktu untuk sholat
terlebih dahulu dan Khalifah Umar pun mengizinkannya.
Pada
saat hukuman mati itu akan dilaksanakan dan tali telah dilingkarkan dileherAbu
Dzar, tiba-tiba Khalifah Umar berteriak : INTADZIR! INTADZIR!
UNDZUR! “Tunggu, tunggu! “Lihat ke sana, ada
seseorang yang datang, mungkin pemuda itu.”
“Orang-orang
yang berkerumun hatinya berdebar-debar dan berharap pemuda itulah yang datang.
Sebab, jika tidak, sayang sekali Abu Dzar jadi korban. Sungguh
sia-sia pengorbanan jiwanya. Padahal, dia tidak punya stock nyawa
lagi.
Apa
yang diharapkan kaum muslimin dan Khalifah Umar, benar adanya. Yang datang
adalah memang pemuda yang akan menjalani hukuman mati. Dengan kehadirannya itu
Khalifah dan kaum muslimin semakin kagum kepada pemuda yang jujur itu.
Sebelum
menjalani hukuman, pemuda itu disuruh beristirahat. Dduduklah pemuda itu,
Abu Dzar dan Khalifah Umar serta pemuda yang orang tuanya dibunuh, juga
masyarakat Muslim.
“Abu
Dzar! Apa yang mendorongmu untuk bersedia menjadi jaminan pemuda ini, dengan
tidak mengindahkan keselamatan dirimu sendiri?” Wahai Amiral
Mukminin,” sahut Abu Dzar, sahabat Nabi. Ketika pemuda ini menengok
ke kiri dan ke kanan meminta pertolongan siapa yang bersedia
menolongnya, saya merasa kasihan, karena tidak ada yang bersedia. Hati saya
menjadi terenyuh dan merasa malu, karena dalam lingkungan muslim, ada
orang yang merasa terpencil. Sehingga seolah-olah persaudaraan muslim
yang menjadi ajaran Islam itu hanya omong kosong belaka. Padahal ayat dan
hadis tentang ini, sore pagi, siang dan malam dibaca.
Nyatanya, dia dalam kesusahan, tidak ada yang bersedia menolong. Nama
Islam tidak boleh dicemarkan karena peristiwa itu. Karena itulah saya
memberanikan diri menjadi petaruh pemuda itu.”
Engkau
anak muda, apa yang menyebabkan Engkau kembali untuk menepati janji untuk
menjalani hukumanmu? “Ya Amiral Mukminin, bagi saya untuk menepati janji ini
tidaklah mudah. Godaan besar sekali, untuk berangkat kesini, saya ditangisi
oleh ibu saya, isteri dan anak-anak saya. Ketiga anak saya memeluk kaki saya
karena ini merupakan perjalanan yang terakhir dan berpisah untuk selamanya.
Sebenarnya, untuk ingkar janji, saya bisa. Sebab, rumah saya jauh dan
terpencil, dan sulit dijangkau oleh aparatur hukum. Tapi saya tidak mau. Saya
tidak ingin menjadi penghianat Islam. Maka, betapapun besarnya godaan itu, saya
berangkat juga ke tempat ini, guna menepati janji sebagai seorang Muslim.”
Orang-orang
di masjid itu terharu mendengar cerita anak muda itu, bahkan ada yang
meneteskan air matanya. Saat itu suasana dalam masjid benar-benar dirasakan
penuh semangat ke-Islaman. Kedua pemuda penggugat yang ayahnya dibunuh itu,
kemudian meminta supaya terdakwa dibebaskan dari hukuman mati.
“Kami
maafkan terdakwa, ya Amiral Mukminin. Setelah mendengar pengakuan dan
kejujuran pemuda ini, kami tarik tuntutan kami. Kami maafkan
kesalahannya dan kami tidak mau mencemarkan agama Islam untuk menuntut balas
kepadanya, sekalipun diperkenankan dalam Islam.
“Allahu
Akbar! Teriak hadirin dengan gembira dan senang hati. Tiap-tiap orang yang
hadir merasa puas bahwa peristiwa itu berakhir dengan baik.Wallahu A’alam.[bm]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar