SENSITIFITAS HAKIM DALAM
MENGINTERPRETASIKAN ALASAN PERCERAIAN
Oleh : Drs. Sudono, MH.*)
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah .Demikian juga disebutkan dalam
pasal 1 UU. No.1/1974 bahwa , perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa , tujuan tersebut sejalan dengan maksud firman Allah
dalam surat Ar
Rum ayat 21 yang artinya : Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
Tentu jika masing-masing pasangan suami istri
dapat mewujudkan tujuan luhur dari perkawinan tersebut maka akan terlihat
dampak positif yang dirasakan masing-masing pasangan suami istri ,anak-anak dari perkawinan orang
tuanya, bahkan dalam kehidupan
bermasyarakat , berbangsa dan bernegara .
Ternyata untuk mewujudkan tujuan
luhur perkawinan tersebut diatas
tidaklah mudah , padahal menegakkan
rumah tangga adalah sebuah keharusan bagi suami istri tatkala mereka
telah terikat dalam ikatan perkawinan yang sah
sehingga tidak sedikit pasangan suami istri yang rumah tangganya tidak
sampai ke tujuan perkawinan dan
Seharusnya sebuah rumah tangga itu dapat dibangun sampai pada tujuan perkawinan yang sebenarnya
yaitu membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang sakinah,
mawaddah dan rahmah bahkan sampai salah
satu pihak ada yang meninggal dunia.
Namun faktanya perceraian semakin
meningkat dari tahun ke tahun terutama
cerai gugat, dengan berbagai alasan yang
tidak diatur dalam peraturan perundangan, dan dengan alasan perceraian
yang tidak ditemukan dalam aturan
perundangan itu Hakim dituntut sensitifitasnya untuk menginterpretasikan
alasan-alasan perceraian tersebut . hanya sebagai jembatan menuju
ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk
mencari jalan terbaik bila terjadi konflik
suami istri dalam rumah tangganya
yang lazim dikenal dengan istilah terjadi “perselisihan dan pertengkaran” yang
seharusnya dapat diselesaikan melalui musyawarah untuk menuju perdamaian dan bukan membawanya
ke Pengadilan, karena hasil musyawarah yang berakhir dengan damai akan lebih
baik hasilnya. Ibarat sebuah rumah
yang pintunya rusak atau gentengnya bocor maka pintu tersebut harus diganti
dengan yang baru atau diperbaikinya . Demikian juga dengan genteng yang bocor
harus diganti dengan genteng yang masih baik , dan bukan merobohkan atau
menghancurkan bangunan rumah tersebut.
Kalau yang terjadi adalah menyelessaikan masalah dengan menghancurkan rumah
maka akibatnya semua barang yang ada dalam rumah tersebut menjadi rusak dan
tidak berguna lagi, penyelesaian seperti
diatas dapat diterapkan pada kasus dalam
rumah tangga yang sedang dilanda konflik , termasuk anak-anak dan masa depannya
akan hancur akibat ke egoisan orang tuanya.
Itulah sebuah gambaran penyelesaian yang salah dan ini banyak dilakukan
oleh suami istri dalam menyelesaikan masalah rumah tangganya. Semestinya dicarikan
solusinya dan diselesaikan apa yang menjadi penyebab perselisihan dan pertengkarannya
. Bukan dengan cara menghancurkan bangunan rumah tangganya dengan cara
mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama yang berakhir dengan perceraian.
Perceraian , kalaupun itu terjadi
adalah sebagai pintu dharurat, jalan terakhir , karena perceraian walaupun dibolehkan akan tetapi perceraian
sangat dibenci oleh Allah SWT. Bahkan langit dan arsy sangat terguncang karena ada suami istri yang
bercerai. Semestinya dapat diminimalisir bibir-bibit perselisihan dan
pertengkaran tanpa mengorbankan bangunan rumah tangga yang sudah dilaluinya
dengan susah sama susah dan senang sama senang selama bertahun- tahun , bahkan
sudah puluhan tahun. Ibarat panas setahun dihapus hujan sehari.
B.
Permasalahan
Berpijak dari judul diatas, maka
yang menjadi masalah adalah : Sejauh mana sensitifitas Hakim dalam
menginterpretasikan alasan-alasan
perceraian yang telah diatur dalam Peraturan Perundangan kaitannya dengan
peraturan perundangan lainnya. Dari permasalahan diatas, penulis akan berusaha
menganalisa alasan –alasan perceraian yang selengkapnya dibahas dalam bab
III tulisan ini.
BAB II PEMBAHASAN
A. Cerai Talak dan Cerai Gugat.
Di Indonesia berdasarkan
UU.No.1/1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9/1975 tentang
pelaksanaan UU.No.1/1974 dan Instruksi Presiden RI .
( Inpres ) No. 01 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam ada 2 istilah dalam perceraian yaitu cerai talak dan
cerai gugat. Cerai talak adalah inisiatif yang mengajukan perkara ke
Pengadilan Agama datang dari pihak suami , karenanya suami disebut sebagai
Pemohon dan istri sebagai Termohon ,
sedangkan cerai gugat adalah inisiatif yang mengajukan perkara ke
Pengadilan Agama datang dari pihak istri, karenanya istri disebut sebagai Penggugat
dan suami sebagai
Tergugat dan akibat
cerai talak maupun akibat cerai
gugat menjadi pembahasan tersendiri yang tidak mungkin termuat dalam tulisan
ini.
B.
Tatacara perceraian :
Untuk cerai talak, pasal 66 UU. No. 50 /2009 tentang
perubahan kedua atas UU. No.7/1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan :
(1)
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
istrinya mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak.
(2)
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon ,
kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang
ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3)
Dalam hal termhon bertempat kediaman di luar negeri,
permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
(4)
Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar
negeri , maka permohonan diajukan kepda Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan
atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
(5)
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri
dan harta bersama dapat diajukan
bersama-sama dengan permohonan cerai
talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Permohonan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 66 diatas memuat :
a.
Nama, umur dan tempat kediaman pemohon yaitu suami, dan
termohon yaitu istri.
b.
Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Selama proses pemeriksaan cerai
talak sebelum sidang pembuktian , istri
dapat mengajukan rekonpensi mengenai nafkah anak, nakah madliyah, nafkah iddah,
mut’ah, sedangkan harta bersama dan
hadlonah sebaiknya diajukan
dalam perkara tersendiri.
Untuk cerai gugat, pasal 73 UU. No. 50 /2009 tentang
perubahan kedua atas UU. No.7/1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan :
(1)
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali
apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
izin tergugat.
(2)
Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3)
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar
negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsugkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
C.
Suami / istri dapat mengajukan gugat provisi
Suami
dalam permohonannya dapat mengajukan permohonan provisi, demikian juga istri
dalam gugatan rekonpensinya dapat mengajukan permohonan provisi tentang hal-hal
yang diatur dalam pasal 24 P.P. No.9/1975 yaitu :
(1)
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, Pengadilan dapat
mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
(2)
Selama berlangsungnya gugatan perceraian , atas permohonan
penggugat atau tergugat, Pengadilan
dapat :
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung
oleh suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi
hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
D. Suami / istri dapat
mengkumulasikan gugatan cerai dengan
gugatan lainnya.
Pasal 66 UU. No.50/2009
tentang perubahan kedua
atas UU.No.7/1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan : Permohonan soal penguasaan anak, nafkah
anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan , demikian juga dalam pasal
86 UU. No. 50/2009 menyebutkan : Gugatan
soal penguasaan anak, nafkah anak , nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Agar proses perceraian tidak
memakan waktu yang lama sebaiknya gugatan selain perceraian
diajukan setelah perkara perceraian putus dan berkekuatan hukum tetap, kemudian
gugatan –gugatan lainnya diajukan menjadi perkara tersendiri seperti : tentang pembagian harta bersama,
penguasaan anak dan lainnya agar tidak menghambat proses perceraiannya,
pemisahan perkara perceraian dengan gugatan lainnya ini telah dibenarkan oleh
Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama sebagaimana
suratnya Nomor 17/TUADA-AG/IX/2009
tanggal 29 September 2009 tentang
penjelasan pasal 86 ayat (I) Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama ,
yang tujuannya untuk kelancaran proses perceraian tidak dihambat oleh gugatan
lainnya yang bersifat gugatan kumulasi tersebut.
Gugatan harta bersama, dalam
praktek peradilan ditemukan banyak
kendala yang terkait dengan rahasia Bank apabila harta bersama tersebut berupa
uang dalam rekening giro, tabungan atau deposito di Bank tertentu atas nama
suami atau istri. Suami atau istri yang mendalilkan istrinya atau suaminya mempunyai rekening giro, tabungan atau
deposito pada Bank tertentu akan mengalami
kesulitan dalam pembuktian, karena yang dapat mengakses saldo rekening
giro, tabungan dan deposito tersebut hanya pihak suami atau istri yang memiliki
rekening giro, tabungan atau deposito ( Buku II Edisi 2009 Mahkamah Agung RI.
2009 hal.221 ). Selama ini perkara yang masuk ke Pengadilan Agama terutama
perceraian yang dikumulasikan dengan harta bersama sering berlarut-larut waktu,
tenaga, pikiran, biaya yang tidak sedikit dan tidak tercapai asas peradilan
yang sederhana cepat dan biaya ringan.
E.
Alasan Perceraian
Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b.
perceraian dan c.
atas keputusan Pengadilan ( Pasal
38 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan , untuk selanjutnya disingkat UU No.1/1974 )
.
Selanjutnya pasal 39 UU.No.1/1974 menyebutkan :
( 1 ) Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
( 2 ) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
( 3 ) Tatacara perceraian di depan siding Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
Dalam penjelasan pasal 39
UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tersebut dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian
adalah :
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat
(2) huruf a UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (a) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam) .
b.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 ( dua )
tahun berturut-turut tanpa izin pihak
yang lain dan tanpa ada alasan yang sah
atau karena ada hal yang lain
di luar kemampuannya ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf b UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (b)
PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam).
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf c UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam).
d.
Salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak
yang lain ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf d UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(d) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kwajibannya sebagai suami/istri ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf e UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (e)
PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).
f.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf f
UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf
(f) Kompilasi Hukum Islam).
Alasan-alasan tersebut diatas
masih ditambah 2 lagi sebagaimana
tercantum dalam pasal 116 kompilasi hukum islam
yaitu :
g.
Suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam) .
h.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga (pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam) .
Jadi untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan yang bermuara
pada terjadinya ketidakrukunan dalam
rumah tangga atau sudah
tidak ada harapan
akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga, bahkan dalam doktrin yang dibangun oleh Mahkamah
Agung RI. melalui yurisprudensi nomor 38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991. yang
harus diterapkan dalam perkara perceraian adalah “ pecahnya rumah tangga (
broken marriage ) “ oleh karenanya tidaklah penting menitik beratkan dan
mengetahui siapa yang bersalah yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan
pertengkaran akan tetapi yang terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya
yang terjadi dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon.
Demikian juga yurisprudensi
Mahkamah Agung RI yang lainnya yaitu nomor
28 PK/AG/1995, tanggal 16 Oktober 1996.yang harus diterapkan dalam
perkara perceraian bukanlah “ matri monial guilt “ akan tetapi broken marriage ( pecahnya rumah tangga )
oleh karenanya tidaklah penting menitikberatkan dan mengetahui siapa yang bersalah
yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan pertengkaran akan tetapi yang
terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya yang terjadi dalam rumah tangga
Penggugat dan Tergugat.
Alasan a
s/d h tersebut adalah bersifat alternatif , jika
salah satu saja alasan telah terpenuhi maka Pengadilan Agama dapat mengabulkan
perceraiannya tetapi yang penting dicatat disini
bahwa alasan –alasan a s/d h
sekalipun telah terjadi namun tidak menyebabkan rumah tangganya berantakan dan
masih hidup rukun maka tidak dapat dijadikan alasan perceraian . Karena itu
untuk alasan – alasan a s/d h
hanya sebagai jembatan menuju ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga , sehingga alasan-alasan a s/d
h tersebut, baru berlaku
efektif jika pada akhirnya menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Atau dengan kata lain alasan a
s/d h merupakan alat
bantu untuk mencapai pasal 39 ayat ( 2 )
UU.No. 1/1974 dan khusus alasan h ( Peralihan agama atau murtad ) penulis berpendapat bahwa rukun atau tidak
rukun kalau sudah murtad tidak perlu dicari ada harapan bisa rukun atau tidak
dalam rumah tangganya. Karena bertentangan dengan prinsip aqidah Islam, apalagi
kalau kawin cerai-kawin cerai dan sudah beberapa kali murtad.
BAB III
SENSITIFITAS HAKIM DALAM MENGINTERPRETASIKAN ALASAN PERCERAIAN
Dalam Undang - Undang Nomor 50
tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama maupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan
organic lainnya disebutkan tentang
beberapa alasan perceraian yang termuat dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116
Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan dalam makalah ini penulis akan menjelaskan dan mengungkap
secara tuntas yang menjadi penyebab dari alasan perceraian serta menganalisanya, dengan demikian akan dapat
diketahui latar belakang penyebab perceraian yang terjadi selama ini dan juga
berdasar pada pengalaman penulis sebagai praktisi hukum dalam menangani
perkara-perkara perdata Islam khususnya tentang perceraian yang unik, menarik.
Unik karena terkadang dari persoalan yang sepele tapi dijadikan sebab
perceraian. Menarik karena dengan menganalisa yang menjadi penyebab perceraian
antara satu orang dengan lainnya tidak sama, kalaupun ada yang sama itupun dari
sebab yang berbeda dan alasan boleh sama tetapi dari penyebab yang berbeda.
1.
Perceraian terjadi dengan alasan pasal 19 huruf
a PP.No.9/1975 jo. Pasal 116
huruf a KHI yaitu salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (
penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a UU.No. 1/1974 , jo. Pasal 19 (a) PP. No.
9/1975, jo. Pasal 116 huruf a KHI).
Kalimat salah satu pihak berbuat
zina dapat menjadi alasan perceraian
.Zina adalah bentuk penyaluran biologis yang dilarang dalam agama Islam dan
termasuk perbuatan yang haram dimana pelakunya akan mendapat siksa jika tidak
mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Dan Allah SWT. Akan mengampuninya setelah
ia bertaubat dengan sebenar-benarnya ( taubatan nashuha). Berbuat zina
disamping perbuatan yang hina, juga akan menurunkan martabat dan citra
pelakunya ditengah masyarakat , disamping itu jika salah satu pasangan suami istri berbuat zina akan membuat marah
salah satu pasangannya dan berlanjut pada pengungkitan perbuatan zina yang
berkepanjangan, barang kali dalam benak suami yang istrinya berzina atau istri
yang suaminya berbuat zina dengan orang lain
akan bertanya -tanya, mengapa pasangan hidup saya berbuat zina, mengapa ia sudah tidak setia lagi pada
saya apa salah saya dan apa kekurangan
saya dan banyak pertanyaan lain yang
berkecamuk dihati pasangannya , sehingga membuat hati orang yang pasangan
hidupnya berzina menjadi hancur berkeping-keping sehingga semakin
lengkaplah segala penderitaan pasangan
hidupnya .
Sedikit uraian diatas dan melihat
kenyataan yang terjadi di masyarakat dengan
sekali saja berbuat zina,
cukup menjadi alasan perceraian. Karena akibat buruk yang ditimbulkan
dari berbuat zina sangat besar dan kata
“ zina “ tidak didahului dengan kata “pe”. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun
dilakukan hanya sekali berbuat zina sudah cukup dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian.
Sedangkan alasan
atau menjadi “pemabuk, pemadat, penjudi” ,membutuhkan pengulangan
perbuatan karena kata mabuk,madat dan judi didahului oleh kata “pe” , ini
menunjukan bahwa harus ada perbuatan yang secara berulang-ulang/sering , sehingga
berbuat mabuk, madat dan judi yang baru
satu kali dilakukan kiranya belum dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.Jadi
karena seringnya perbuatan tersebut
dilakukan maka orang yang sering mabuk disebut pemabuk, orang yang sering madat
disebut pemadat dan orang yang sering melakukan judi disebut penjudi.
Tentang alasan perceraian sebagaimana
tercantum dalam pasal pasal 19
huruf a PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf a KHI yaitu
salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf
a UU.No. 1/1974 , jo. Pasal 19 (a) PP. No. 9/1975, jo. Pasal 116 huruf a
KHI), diakhiri dengan kalimat yang berbunyi : dan lain sebagaimanya
yang sukar disembuhkan . dengan kalimat yang demikian ini hakim diberi
kebebasan untuk membuat penilaian tentang hal-hal lain yang dapat dijadikan
alasan perceraian selain yang telah terurai diatas yaitu diluar alasan menjadi
pemabuk, pemadat dan penjudi.
Berdasarkan dari kalimat “ dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan”, maka ada hal yang dimungkinkan untuk
perluasan alasan perceraian yang tidak kalah kejinya dibandingkan dengan
berbuat zina seperti liwath ( homo seks ), sahaq ( lesbian ), bestiality (
menyetubuhi binatang), oral seks dengan pihak lain , semua perbuatan diatas
menurut penulis juga dapat dijadikan
alasan perceraian, karena tingkat kekejiannya sama dengan berbuat zina sehingga meskipun untuk alasan perceraian
ditujukan pada hal-hal yang sukar disembuhkan , tetapi khusus untuk perluasan
alasan diatas tidak perlu dilakukan berulang-ulang /sering tetapi dengan sekali
saja perbuatan tersebut dilakukan sudah cukup untuk dapat dijadikan alasan
perceraian walaupun sekali diperbuat.
Dengan perluasan alasan seperti diatas
sebagai alasan perceraian, maka jika terdapat kasus perceraian dengan alasan
pada hal-hal diatas , tidak perlu lagi dipaksanakn menformulasikan kearah
perselisihan dan pertengkaran yang ditunjuk leh pasal 19 huruf f PP. No. 9/1975
Jo. Pasal 116 huruf f KHI
tetapi sebaliknya dapat mencukupkan dengan menunjuk pasal-pasal alasan perceraian sebagaiamana tercantum dalam angka
1 tersebut. Dan kalau memang terdapat alasan No. 1 telah terbukti serta
terbukti pula ada perselisihan dan pertengkaran sebagaimana alasan perceraian
angka 6, maka tidak ada salahnya disamping menunjuk ketentuan angka 1 juga
menunjuk ketentuan pasal tentang perselisihan dan pertengkaran yang termuat
dalam angka 6.
Sedangkan untuk perluasan ( ektensif )
dari kalimat menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, menurut penulis sangat luas dan
bahkan akibatnya lebih parah dibandingkan menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi,
perluasan tersebut antara lain meliputi
: menjadi penipu, perampok, pencuri, pembunuh, pemeras, penodong , pencopet,
penadah barang curian dan lain sebagainya , tidaklah perbuatan-perbuatan tersebut dapat
dipastikan lebih baik dari pada menjadi pemabuk, Pemadat dan penjudi, sehingga terhalang untuk
dapat dimasukkan sebagai alasan perceraian.
2.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 ( dua )
tahun berturut-turut tanpa izin pihak
yang lain dan tanpa ada alasan yang sah
atau karena ada hal yang lain di
luar kemampuannya (
penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf b
UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (b) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b)
Kompilasi Hukum Islam).
Kalimat diatas harus ada syatrat-syarat
yang harus terpenuhi agar terjadi perbuatan meninggalkan pihak lain yang dapat
dijadikan alasan perceraian yaitu :
a.
Sekurang-kurangnya selama 2 tahun, b. Berturut-turut. c. Tanpa izin pihak lain , d. Tanpa alasan
yang sah.
Ke empat syarat diatas bersifat
komulatif, artinya ke empat syarat tersebut harus terpenuhi agar dapat
dijadikan alasan perceraian . Adapun untuk
merinci meninggalkan pihak lain seperti :
a.
1. Kurang dari dua tahun, 2 . berturut-turut , 3 . tanpa izin pihak lain , 4.
tanpa alasan yang sah
b.
1 Kurang dari
dua tahun , 2 tidak berturut-turut , 3. tanpa izin pihak lain , 4. tanpa
alasan yang sah.
c.
1 kurang dari dua
tahun, 2. tidak berturut-turut, 3 . ada izin pihak lain, 4. tanpa alasan yang sah.
d.
1 kurang dari dua
tahun, 2. tidak berturut-turut, 3. ada izin pihak lain, 4. ada
alasan yang sah.
e.
1 Selama dua tahun, 2 tidak berturut-turut , 3 tanpa izin pihak lain, 4 tanpa
alasan yang sah.
f.
1 Selama dua tahun, 2.
tidak berturut-turut, 3. ada izin
pihak lain
4
ada alasan yang sah.
g.
1 Selama dua tahun, 2.
berturut-turut, 3
tanpa izin pihak lain, 4 ada
alasan yang sah.
h.
1 Selama dua tahun, 2
tidak berturut-turut, 3 ada izin pihak lain , 4 tanpa alasan yang sah.
i.
1 Selama dua tahun, 2
berturut-turut, 3 ada izin pihak lain, 4 tanpa alasan yang sah.
Alasan
a s/d i menurut penulis tidak dapat dijadikan
sebagai alasan perceraian karena tidak bersifat komulatif .
Alasan perceraian sebagaimana angka 2
diatas, diakhiri dengan kalimat yang berbunyi : atau karena hal lain diluar
kemampuannya. Kalimat demikian ini memberi isyarat adanya kelonggaran hakim
untuk memberikan interpretasinya atau kemungkinan lain bahwa meninggalkan pihak
lain dalam keadaan terpaksa yang berada diluar kemampuan untuk menolak keadaan
tersebut dapat juga dijadikan alasan perceraian
dalam syarat komulatif sekuang-kurangnya dua tahun dan berturut-turut.
Ada sekelompok orang yang terdiri dari
suami istri sedang mengadakan study tour ke kota tertentu, ternyata saat ia
terpisah dari rombongan , ia diculik seseorang yang memang sudah/belum mengenalnya karena orang yang diculik sudah
dikenal dan dikuasainya, sehingga sebenarnya suami/istri tidak ingin
meninggalkan pihak lain tetapi karena diculik maka terpaksa meninggalkan pihak
lain. Karena itu perbuatan meninggalkan pihak lain
tersebut bukan atas kehendaknya tetapi karena hal lain
diluar kemampuannya. Kasus lain misalnya salah satu suami/istri sedang
pergi berburu ke hutan yang belum pernah dijamahnya dan ternyata ia tersesat
ditengah hutan belantara dan semakin jauh dari rumahnya , padahal ia telah berusaha untuk mencari
tahu dengan berbagai cara secara maksimal tetapi malah semakin tersesat dihutan
tersebut. Karena itu dalam hal yanag demikian ini ia telah meninggalkan pihak
lain disebabkan sesuatu hal lain berada diluar kemampuannya.
Termasuk menjadi tenaga kerja Indonesia
yang bekerja di luar negeri pada awalnya rutin memberi kabar tentang
dirinya kepada pasangannya tetapi lambat
laun tak ada kabar beritanya yang mungkin akses disana sengaja di putus oleh
majikannya dengan cara disekap dan ditempatkan pada kamar khusus yang orang ain
tidak tahu sehingga ia tidak dapat member kabar sebagaimana pada awal ia
bekerja, maka dalam hal yang demikian ia meninggalkan pihak lain disebabkan sesuatu
hal yang berada diluar kemampuannya.
Menghadapi sesuatu hal lain diluar
kemampuannya memang disatu sisi memberikan kebebasan hakim untuk
berinterpretasi sesuai dengan keyakinannya akan tetapi interpretasi alasan
perceraian tersebut harus tetap mengacu kepada muara yang berujung pada sudah tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga .Kalau ternyata sesuatu hal lain diluar
kemampuannya tidak mengacu pada muara tersebut dan rumah tangganya
tenang-tenang dan tentram saja maka hakim tidak layak menggunakan
interpretasinya , karena mungkin ia masih mau menunggu suatu saat
suami/istrinya akan pulang atau karena bekal yang ditinggalkan suami masih
banyak untuk persiapan beberapa tahun ke depannya sehingga tidak menjadikan persoalan bagi orang yang
ditinggalkan oleh salah satu pasangannya dalam waktu yang lebih lama.
3.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf c UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam).
Salah satu dari suami/istri yang telah terbukti bersalah dan mendapatkan vonis
5 tahun penjara atau lebih, maka dapat
disimpulkan disini bahwa begitu salah
satu pihak mendapat vonis hukuman penjara 5 tahun atau lebih dan vonis tersebut
telah berkekuatan hukum tetap terbuka
kemungkinan salah satu pihak menjadikannya sebagai alasan perceraian
tanpa perlu menunggu hukumannya dijalani selama lima tahun atau lebih tersebut.
Kemudian alasan perceraian no. 3 diatas
diakhiri dengan kalimat setelah perkawinan berlangsung , ini mengandung
pengertian bahwa hukuman penjara selama lima tahun atau lebih tersebut
sekalipun suami istri masih pengantin
baru dan hukuman belum dijalani tetapi ia sudah mendapatkan resmi salinan
putusan dari Pengadilan yang memutusnya maka resmi salinan putusan tersebut
dapat dijadikan alasan perceraian yang sekaligus dapat dijadikan sebagai alat
bukti di sidang pengadilan.
4.
Salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak
yang lain ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf d UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf
(d) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).
Alasan perceraian nomor 4 diatas ,
untuk mencermati dan memahaminya
sepenuhnya diserahkan kepada hakim, hakim diberikan keleluasaan maupun
kebebasannya dalam menginterpretasi maupun memberikan penilaian apakah suatu
perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak termasuk katagori membahayakan
pihak lain atau tidak , bahkan hakim dalam urusan yang menyangkut rumah tangga
yang berujung pada perceraian dengan alasan nomor 4 diatas dalam hal ini hakim
dituntut sensitifitasnya dan menghubungkannya dengan ketentuan perundangan
lainnya seperti Undang-Undang Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ), Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Salah satu contoh disebutkan
dalam pasal 9 ayat (1) dan ( 2 )
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 yaitu
: setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya , padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Kata Penelantaran
sama sekali tidak disebut didalam alasan perceraian akan tetapi pengaruh dari akibat penelantaran baik dilakukan suami
atau istri akan berdampak buruk dan berujung perceraian .
Menurut
R. Sugandi dalam buku KUHP dengan
penjelasannya halaman 366 yang mengutip dari yurisprudensi, penganiayaan adalah
perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau
luka. Menurut pengertian ini maka perbuatan yang dilakukan salah satu pihak
suami/istri yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit berat atau luka berat
dapat dikatagorikan sebagai penganiayaan berat, oleh karena undang –undang
tidak menegaskan arti yang sesungguhnya dari kalimat penganiayaan berat
tersebut maka hakim diberi keleluasaan untuk menilainya apakah perbuatan salah
satu pihak itu termasuk penganiayaan berat atau tidak.
Menurutnya, yurisprudensi tampaknya
membedakan rasa tidak enak dengan rasa sakit, tetapi mungkin yanag dikehendaki
dengan sebutan rasa tidak enak yaitu perasaan hati atau sakit hati, sedangkan
yang dikehendaki dengan sebutan rasa sakit yaitu sakit fisik. Dari sinilah
dapat disimpulkan bahwa penganiayaan bisa berupa penganiayaan psyikis dan
penganiayaan pysik atau penganiayaan
psyikis saja atau pysik saja, atau kedua-duanya dan apalagi sakitnya
dapat dibuktikan dengan surat
keterangan dokter.
Menurut penulis, sebagai bahan pertimbangan
dalam menganalisa suatu kasus layak untuk menggunakan dalil qiyas agar suatu
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain dalam hubungannya dengan sakit hati
(psyikis ) ternyata banyak ragamnya mulai dari ejekan, hinaan, caci maki yang
sangat keterlaluan (meskipun ejekan, hinaan, caci maki sulit untuk dibuktikan )
akan tetapi mengakibatkan amat tertekan hatinya hingga mengalami stress bahakan
stroke menimpa pihak lainnya, maka
hal-hal yang demikian ini patut dikatagorikan sebagai penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain sebab stress berat dapat mengakibatkan
kematian.
Tentang
sakit pysik yang berat, seperti
menendang, menempeleng, memukul , menusuk dengan senjata tajam yang menyebabkan
luka parah , menyulut badan dengan api
atau menjerat dengan tali yang menyebabkan pihak lain tidak berdaya,
sehingga menimbulkan rasa sakit berat sekalipun tidak menyebabkan luka. Jadi
untuk mengukur dan menilai apakah perbuatan salah satu pihak itu membahayakan
pihak lain atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.
Alasan perceraian sebagaimana diuraikan
diatas hanya sebagai alat bantu yang
harus bermuara kepada terjadinya ketidak adanya harapan untuk rukun dalam rumah
tangga.
5.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kwajibannya sebagai suami/istri ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf e UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (e)
PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).
Kalau dicermati bunyi kalimat diatas
akan segera tampak bahwa cacat badan atau penyakit itu baru bisa dijadikan
alasan perceraian jika sudah membawa akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau istri. Sebagaimana uraian dalam angka 4 diatas,
disini juga tersirat bahwa penyakit bisa berupa penyakit jasmani dan rohani (
penyakit pysik dan mental ) yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami atau istri dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.
Seorang suami sehat jasmani tetapi punya kebiasaan buruk, malas bekerja atau
sifat buruk lainnya yang mengakibatkan beban pekerjaan beralih kepada istrinya,
ia mengandalkan penghasilan dari istrinya, sehingga suami tidak sedikitpun
menghidupi istri untuk memberi nafkah kepadanya sehingga kewajiban untuk memberi
nafkah kepada istri tidak terlaksana , maka malas dalam hal ini masuk katagori
penyakit rohani yang membawa akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
suami.
Demikian juga jika perangai atau akhlaq
istri sangat buruk yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri untuk
berbakti lahir batin terhadap suaminya, maka hal demikian juga layak
dikatagorikan sebagai penyakit rohani , karenanya dapat dijadikan sebagai
alasan perceraian .
Adapun tentang salah satu pihak mendapat cacat badan , seperti suami atau istri
yang mengalami kecelakaan
sehingga salah satu tangan atau
kakinya mengharuskan diamputasi sehingga menjadi cacat dan dengan diamputasi tersebut berakibat suami
atau istri beakibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau istri,
maka dapat diajadikan sebagai alasan perceraian. Demikian juga termasuk
penyakit berat lainnya atau gangguan fungsi alat kelamin, seperti inpotensi,
stroke, gila, lumpuh, pendarahan terus menerus , kanker rahim, atau akibat de generative yang akut sehingga
ginjal, jantung, dan sebagainya tidak berfungsi normal yang berakibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau istri maka dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian .
6.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga ( penjelasan pasal 39 ayat (2)
huruf f
UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf
(f) Kompilasi Hukum Islam).
Kalimat nomor 6 tersebut diatas kalau
dijabarkan kira-kira demikian bunyinya :
a.
Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus sehingga tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun dalam rumah tangga, dapat
dijadikan alasan perceraian.
b.
Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang terus
menerus dan masih ada harapan
bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga , tidak dapat
dijadikan alasan perceraian.
c.
Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang tidak terus
menerus baik masih ada
harapan atau tidak ada harapan lagi bagi
suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak dapat dijadikan alasan perceraian.
Dipisahkannya kata perselisihan dan
pertengkaran dalam alasan perceraian angka 6 tersebut diatas tentu mempunyai
maksud yang berbeda. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia , perselisihan adalah persengketaan
yang harus diputuskan lebih dahulu sebelum perkara pokok dapat diadili dan
diputus ( halaman 1174 ) sedangkan pertengkaran adalah percekcokan, perdebatan
, yang menurut penulis kedua kata tersebut adalah komulatif, yang menunjukkan bahwa perselisihan
berbeda dengan pertengkaran .
Oleh karena kehendak kalimat dalam angka
6 tersebut diatas adalah “ terus menerus
“ maka pengertian dan pengembangan maknanya diserahkan kepada hakim untuk
menilainya, apakah perselisihan dan pertengkaran suami istri dikatagorikan
terus menerus atau tidak, apakah masih ada harapan untuk hidup rukun lagi atau
tidak, atau apakah setelah terjadi perselisihan dan pertengkaran suami istri
masih hidup rukun lagi dalam rumah
tangganya atau tidak. Semua diserahkan kepada penilaian hakim karena hakimlah
yang punya otoritas untuk itu.
Adanya ketentuan yang menyatakan
perselisihan dan pertengkaran dan
ditambah dengan kalimat terus menerus bukanlah harga mati sebagai alasan
perceraian akan tetapi hanyalah alat bantu bagi hakim untuk menjatuhkan
penilaian apakah suami istri masih ada harapan untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga
atau tidak , sehingga kesimpulannya
kondisi tidak adanya harapan bagi suami istri untuk dapat hidup rukun lagi
dalam rumah tangga merupakan alasan
perceraian yang mendominasi ketentuan alasan perceraian angka 6 tersebut .
Kalau begitu syarat terus menerus bukan harga mati bagi alasan perceraian
karena faktanya banyak kasus suami istri yang tidak pernah terjadi perselisihan
dan pertengkaran terus menerus akan tetapi mereka tidak pernah berkumpul
sebagai suami istri , karena begitu selesai akad nikah mereka langsung berpisah
dan pulang kerumah masing-masing.perkawinan mereka karena ditangkap dan dipaksa
untuk kawin, padahal maunya sama-sama hanya pacaran saja dan tidak menghendaki
perkawinan, maka dalam hal ini penulis cenderung melihat latar belakang
masing-masing pihak yang sebenarnya dan layak hakim menjatuhkan penilaian bahwa
mereka sama-sama menghedaki perceraian dan sudah tidak ada harapan untuk dapat
hidup rukun lagi dalam rumah tangga, misalnya perkawinan baru seumur jagung ,
tidak pernah bertengkar apalagi terus menerus dan nyatanya memang tidak ada
harapan untuk hidup rukin dalam rumah tangga, maka unsur tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam
rumah tangga itulah kuncinya, kalau memang hati nurani mengatakan suami istri
sudah tidak akan dapat hidup rukun lagi dlam rumah tangga lalu apa perlunya mereka menunggu dulu untuk
menjalani perselisihan dan pertengkaran
dan syarat lainnya yaitu terus menerus , kalau ini yang terjadi maka
secara tidak langsung menyiksa hati kedua belah pihak dalam waktu yang
berkepanjangan sehingga madlorotnya lebih banyak dari pada manfaatnya. Oleh
karena itu untuk penerapan alasan perceraian angka 6 diatas diserahkan kepada
penilaian hakim apalagi hakim dapat menerapkannya secara luwes, fleksibel
adalah lebih bijaksana.
Ada perselisihan dan pertengkaran yang
orang lain tidak tahu, yaitu perselisihan dan pertengkaran secara diam-diam ,
tidak diperlihatkan dalam pertengkaran mulut atau kelihatan secara adu pysik
tetapi suami istri tidak tegur sapa, tidak mau melayani suami atau istrinya
dalam waktu yang lama, diam seribu bahasa atau hanya menangis ketika ditanyakan
apa masalah yang sedang terjadi. Jadi begitu luasnya istilah perselisihan dan
pertengkaran sehingga alasan ini
mendominasi alasan perceraian di Indonesia .
7.
Suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam) .
Tentang suami yang melanggar taklik
talak , disini penulis mengutip pendapat Prof. DR. H. Abdul Manan, SH. S.IP.
M.Hum.dalam Mimbah Hukum No. 23 /VI/1995 halaman 68 s/d 90 pada pokoknya adalah
:
Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon
mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dlam Akta Nikah berupa janji
talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di
masa yang akan dating ( pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam ). Adapun
sighat taklik talak yang diucapkan
sesudah akad nikah sebagai berikut : ( dikutip dari buku Kutipan Akta Nikah
Kantor Urusan Agama tahun 1989 ).
Sesudah akad nikah saya……bin……berjanji
dengan sesungguh hati , bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang
suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama……..binti…..dengan baik (
mu’asyarah bil ma’ruf ) menurut ajaran syari’at agama Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas
istri saya itu sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
(1) Meninggalkan istri saya tersebut dua
tahun berturut-turut,
(2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
(3) Atau saya menyakiti badan/ jasmani
istri saya itu,
(4) Atau saya membiarkan ( tidak
memperdulikan ) istri saya itu enam bulan lamanya,
Kemudian istri saya tidak ridla dan
mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus
pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau
petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,-( seribu
rupiah ) sebagai ‘iwadl ( pengganti ) kepada saya, maka jatuhlah talak saya
kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut
tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwadl ( pengganti ) itu dan kemudian
menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid ( BKM ) Pusat untuk keperluan
ibadah sosial.
8.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga (pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam) .
Alasan perceraian angka 8 diatas sangat
berlebihan ,yang seakan-akan suami atau istri
atau salah satu darinya yang sudah murtad tetapi tidak menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga masih layak dipertahankan dan tidak dapat dijadikan
sebagai alasan perceraian karena masih rukun. Pemahaman selanjutnya bahwa
murtad yang dapat dijadikan alasan perceraian adalah murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.Oleh karena itu jika ketentuan
angka 8 dipegangi apa adanya maka akan timbul konsekuensi hukum
yaitu :
1.
Bahwa suami atau istri yang beragama Islam boleh hidup dalam
ikatan perkawinan sebagai suami istri, dengan suami atau istrinya yang murtad, jika rumah tangga mereka masih rukun.
2.
Bahwa suami atau istri yang beragama Islam boleh hidup dalam
ikatan perkawinan dikala mereka sama-sama murtad, karena mereka masih rukun.
Untuk
angka 1 tersebut diatas, disini akan penulis jelaskan
bahwa jika salah satu dari suami atau istri murtad , lalu salah salah satu
suami atau istri mengajukan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama , maka jika mereka tidak terbukti bahwa rumah
tangganya tidak rukun tetapi masih kumpul serumah dan bahagia bersama
pasangannya meskipun alasan perceraian tentang
murtad terbukti, konsekuensi hukumnya tentu Pengadilan Agama harus menolak
gugatan perceraiannya, artinya mereka masih hidup sebagai suami istri meskipun
salah satunya murtad. Sedangkan untuk angka 2 diatas penjelasannya sama dengan
angka satu, yang membedakan adalah kedua
belah pihak suami atau istri sama-sama menghendaki murtad dan rumah tangganya
tetap rukun.
Oleh karena itu
menurut penulis , jika alasan nomor 8 tersebut ( pasal 116 h ) akan dipertahankan apa
adanya akan berdampak negatif bagi masyarakat Islam karena tidak tepat untuk
diterapkan dalam kasus yang salah satu suami atau istri murtad, tetapi yang
lebih tepat adalah diterapkan terhadap kasus yang suami istri yang sama-sama murtad. Akan tetapi
kalau diterapkan pada kasus yang hanya salah satu dari suami atau istri yang
murtad , maka lebih tepat kalimat yang berbunyi “ yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga,
dihilangkan saja dari pasal 116
h. tersebut. Kalau pasal 116 h tidak dihilangkan berarti akan bertentangan
dengan pasal 40 huruf c maupun
pasal 44 Kompilasi
Hukum Islam . Apa isi pasal 40 h tersebut, isinya adalah larangan bagi pria
yang beragama Islam kawin dengan wanita yang tidak beragama Islam,demikian juga
isi pasal 44 bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pemberlakuan pasal 40 huruf c
dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam harus mendapat perhatian serius terutama
pejabat yang melaksanakan
perkawinan dan perceraian ( Kantor
Urusan Agama dan Pengadilan Agama) harus
mampu menerapkan pasal tersebut
dalam melaksanakan tugas jabatannya.
Kompilasi Hukum Islam sangat menekankan
adanya larangan pria Islam kawin dengan
wanita yang tidak beragama Islam atau sebaliknya wanita yang beragama Islam dilarang kawin dengan
pria yang tidak beragama Islam. Sedangkan orang murtad adalah orang yang keluar
dari agama Islam , meskipun dahulunya beragama Islam, karenanya mengapa ada
kalimat “ yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga “ dicantumkan dalam pasal 116 h tersebut.
Jadi penulis berpendapat bahwa kalau salah satu dari suami atau istri murtad, maka tidak perlu lagi menunggu sampai
rumah tangganya rukun atau tidak,karena pengakuan suami atau istri yang
murtad sudah cukup menjadi alat bukti yang sempurna dan mengikat, karenanya
hakim harus mengabulkan gugatan
perceraian atas alasan peralihan agama atau murtad diantara salah satu pihak
atau keduanya tersebut.
Kehendak pasal 40 huruf c dan pasal 44
Kompilasi Hukum Islam tidak lain adalah untuk mencegah agar orang Islam tidak
hidup sebagai suami istri dengan orang yang tidak beragama Islam, yang meskipun
untuk mencegah agar orang Islam tidak hidup sebagai suami istri dengan orang
yang tidak beragama Islam dapat ditempuh melalui lembaga pembatalan perkawinan.
Dengan menafsir pasal 75 huruf a
Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang
batal karena salah satu dari suami atau istri murtad, dan ternyata murtad
sebagai alasan pembatalan perkawinan secara jelas dan tegas tidak dicantumkan dalam
pasal 70, 71, maupun pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, semestinya dapat
dicantumkan ke dalam salah satu pasal tentang pembatalan perkawinan tersebut.
Beberapa kasus yang masuk ke Pengadilan
Agama di antara alasan perceraian salah satunya adalah murtad , terjadinya
pacaran antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama terkadang menyebabkan
salah satu pasangan menanggalkan
agamanya demi cintanya untuk berusaha menjadikan
pasangan itu sebagai istri atau
suaminya, sehingga tatkala perkawinan telah dilangsungkan dan masing-masing
telah menempuh kehidupan baru sebagai suami istri ternyata salah satu suami
atau istri kembali ke agamanya semula ( murtad ) lalu menyebabkan salah satu
pasangan itu kecewa dan mengambil langkah mengajuan perceraian dengan alasan
murtad. Begitu telah terjadi perceraian , lagi-lagi yang menjadi korban adalah
anak-anak dari perkawinan mereka yang masih kecil-kecil ada yang ikut ibunya ,
ada yang ikut bapaknya menjadi korban kemurtadan orang tuanya. Masalahnya belum
selesai sampai disitu saja tetapi berlanjut hingga anak perempuannya mau
menikah dimana anak perempuannya Islam sedangkan bapaknya non Islam. Otomatis
bapak yang non Islam tak dapat menjadi wali bagi anak perempuannya yang Islam.
Jadi menurut penulis kalau terjadi awal
perbuatan yang tidak baik, maka kelanjutannya akan menjadi tidak baik seperti
orang yang melangsungkan perkawinan yang dimulai dengan beda agama, lalu
terjadi perkawinan itu dilaksanakan , biasanya perbuatan hukum yang demikian
tidak akan bertahan lama dan biasanya salah satu pihak akan kembali ke agamanya
semula. Demikian juga setiap saat bisa saja terjadi konflik idiologis yang
sewaktu-waktu akan terungkit dan meledak bagaikan bom waktu.
Kesimpulan :
Dari tulisan yang telah penulis
uraikan diatas, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Bahwa alasan –alasan perceraian dalan pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 Jo. Pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam harus dikomulasikan dengan
Undang-Undang terkait seperti UU. No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang No.
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Peraturan Perundangan lainnya
dan segala interpretasinya , adalah hanya sebagai jembatan menuju
ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
2.
Hakim dituntut mempunyai sensitifitas tinggi dalam
menginterpretasikan alasan – alasan perceraian , dan tidak hanya berorientasi pada alasan-alasan
yang termuat dalam Peraturan perundangan semata.
F.
Penutup
Demikian tulisan ini disajikan
kehadapan para pembaca, segala kritik dan saran kami harapkan demi kebaikan,
tentu masih banyak kekurangannya tetapi penulis berharap dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita.
*)
adalah Hakim Pengadilan Agama Lumajang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar