BAGAIMANA
JIKA HARI RAYA BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT
Dulu
di desa/ kampung-kampung jarang ada masjid, kalaupun ada dalam satu desa cuma
ada satu masjid, tidak sebanyak dan seindah seperti keadaan sekarang ini.
Dulu
untuk pergi ke masjid dengan berjalan
kaki, karena tidak ada /tidak mempunyai kendaraan, tidak ada alat tansportasi apalagi
mobil , kalaupun ada tentu harganya mahal sehingga orang tidak mampu
membelinya.Kondisi sekarang sudah lain lagi .untuk membeli kendaraan / alat tranportasi seperti orang seperti
membeli kacang goreng , begitulah
kemudahan yang ada sekarang ini.
Dulu
orang-orang yang akan berangkat sholat hari raya menuju masjid membutuhkan waktu yang
berjam-jam untuk sampai ke masjid, ada yang berangkat sebelum shalat subuh, ada
yang berangkat setelah sholat subuh, ada yang berangkat qobla zawal (sebelum matahari
terbit ). Dan belum lagi kalau sedang musim hujan. Masalahnya sekarang, jika
hari raya bertepatan dengan hari jumat apakah masih sholat dhuhur ? terutama
bagi mereka yang berangkatnya menuju dilasanakannya sholat Id sejak setelah
sholat subuh atau sebelumnya .
Oleh
karena itu timbul pemikiran dari para ulama
untuk mencari jalan keluar bagi penduduk desa yang jauh dari tempat di
laksakannya sholat Id.
Perlu
diketahui bahwa shalat Id hukumnya sunnat, tetapi pahalanya melebihi yang
wajib. Buktinya orang-orang yang jarang sholat jum’at/fardlu, mereka pergi
sholat Id. Yang wajib sebaliknya, seperti sholat jum’at kurang mendapat
perhatian dari mereka, padahal sekarang banyak masjid tetapi kosong apalagi
untuk jama’ah sholat fardlu , mereka mementingkan sholat tahunan. Inilah yang
akan dibahas dalam tulisan singkat ini .
Dulu
Imam Syafi’I ketika masih di Irak juga bersikeras bahwa sholat dzuhur adalah
kewajiban tersendiri, yang dalilnya jadi satu paket dengan sholat lima waktu.
Sedangkan sholat jum’at juga kewajiban tersendiri dengan dalil tersendiri pula.
Namun setelah beliau pindah ke Mesir dan berinteraksi dengan para ulama’
murid-murid Imam Malik, beliau mengetahui bahwa ternyata ada riwayat yang
sangat terkenal (mutawatir/ aklamatif) bahwa Rasulullah setelah melaksanakan
sholat jum’at tidak lagi mengerjakan
sholat dzuhur, akhirnya Imam Syafi’i mengubah pendapatnya di Irak (Qaul
Qodim/lama) dari kewajiban terpisah dan menjadikan satu kesatuan. Inilah
pendapat Syafi’i (Qaul jadid ) yang
berlaku hingga sekarang.
Dalam kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 90 disebutkan yang artinya “
art
; Jika terjadi hari jum’at bertepatan dengan hari raya , maka akan terjadi
permasalahan, apakah wajib jum’atan, untuk menjawabnya maka terdapat 4 madzhab
yaitu :
1. Syafi’i dalam madhabnya berpendapat : Jika ahlul quro (penduduk
pedesaan) maupun penduduk kampung (terpencil ) berangkat sholat Id sebelum
masuk waktu sholat jum’at, maka mereka tidak wajib jum’atan. Adapun bagi ahlul
balad (penduduk ditempat dilaksanakannya sholat Id) maka wajib jum’tan.
2. Madzhab Ahmad: berpendapat
baik ahlul balad maupun ahlul quro tidak wajib jum’atan .
3. Imam Atho’ : berpendapat : jum’atan maupun dhuhur tidak wajib,
tetapi cukup melaksanakan sholat ashar.
4. Madzhab Abu Hanifah, berpendapat bahwa, melaksanakan sholat jum’at
wajib hukumnya secara mutlak.
Oleh
karena itu bagi kita yang sekarang sudah banyak fasilitas tranfortasi , tidak
ada alasan lain kecuali harus datang melaksanakan kewajiban sholat jum’at, karena sekarang ini serba
memungkinkan kecuali ada halangan-halangan khusus yang dapat dibenarkan menurut
hukum.
Demikian
semoga tulisan ini ada manfaatnya, teimakasih,
Lumajang,
03 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar